Friday 6 September 2013

Bali - Lombok yang Bikin Nombok


Sabtu, 10 Agustus 2013

Pukul 3 pagi aku terbangun. Padahal menurut perhitunganku, aku baru merasakan tidur selama dua jam. Tak nyenyak memang tidurku semalaman. Memikirkan apa yang akan terjadi esok hari, membayangkan cukupkah uangku nanti, menebak-nebak atmosfer Lombok dan Rinjani yang belum pernah ku ketahui, bertanya-tanya adakah jodoh yang akan kutemui di timur sana?

WOY! GIT! BANGUN!

Oke, aku bangun.
Segera kuraih ponsel dan menghubungi semua nomor Bang Fadly yang ku punya. Bang Fadly satu-satunya travel-mate ku dari Jakarta. Sebelumnya ia telah berkunjung ke rumahku pada malam takbiran dengan tujuan memperkenalkan diri sebagai orang yang akan menjagaku di Lombok. Dengan postur tubuh berotot dan muka sangar-nya, Ayah percaya bahwa aku akan baik-baik saja bersamanya. 

Aku mengenal Bang Fadly dari Semeru, ia merupakan ketua kelompok unyu. Kami memanggilnya Abang Otot atau BF. Namun setelah beberapa kali nada sambung, telefonku tak juga diangkat. Akhirnya aku memutuskan mandi dan bersiap-siap. Setengah empat pagi aku berangkat dengan diantar Ayah, Om dan Kakakku. Menurut pemberitahuan Bang Fadly, kami akan menaikki pesawat Air Asia tujuan Denpasar, Bali dengan jam penerbangan pukul enam pagi. Nampaknya aku kepagian, juga kelaparan karena lupa sarapan.

Bang Fadly tiba lebih dulu. Setelah berpamitan dengan Ayah, Om dan kakakku, akhirnya kami Check-in dan sarapan. Bobot Carrier yang kubawa sebesar 11kg, sementara Bang Fadly 16kg. Berat ya?!!

Dan yang tak diduga adalah...

Bang Fadly mengucapkan selamat ulang tahun sambil memberiku sebuah bingkisan.

"Dari Nauvel.." Katanya.

Aku membukanya,
dan sesuatu yang hangat mengalir di pipiku...



Sebuah novel indie yang berisi tentang catatan perjalananku di blog, dengan cover berwarna krem muda, dengan ilustrasi rel, kereta api, gunung-gunung dan suasana camp, yang diberi judul "Menuju Jauh".

Air mataku meleleh..

Tak pernah terbayangkan olehku seperti apa rasanya gemetar melihat buku dengan penulisnya namaku sendiri. Aku memang suka menulis, aku memang ingin sekali memiliki buku yang ku tulis sendiri. Namun keterbatasan waktu, ide dan fasilitas membuatku hanya berani menulis di blog ini saja. Masih terlalu minder untuk mempublikasikan sebuah buku, masih takut tulisanku ditolak penerbit, lebih tepatnya.

Aku gemetar melihat sebuah buku dengan penulisnya namaku sendiri..

Segera ku telefon Nauvel, mengucapkan berkali-kali terimakasih padanya.

Dan isi dari buku "Menuju Jauh" adalah semua tentangku, tentangmu, tentang kita.
Tentang kalian, kawan-kawan baru.. Sahabat dari Semeru.

Bang Fadly cekikikan melihatku menangis.

"Abang Jahat! Kenapa ndak kasih bukunya nanti aja pas udah di Bali, atau pas di Rinjani sekalian. Di depan orang-orang banyak, biar Agit ndak cengeng. Abang jahat!!" Aku menggerutu.

"Abang mana tau kalo' isinya buku itu. Kirain apa. Pantes Nauvel telfonin abang melulu, udah sampe atau belum paketannya, udah dikasih Agit atau belum. Ternyata..." Jawabnya bijak.

"Agit gemetar, Bang.."

"Sama, Git.. Abang juga. Mana ada orang lain yang kepikiran ngadoin buku itu selain Nauvel coba." Bang Fadly mencoba meyakinkanku.

"Ndak tau, Bang.. Agit masih belum yakin.." Jawabku pelan. Entah suaraku terdengar olehnya atau tidak. Kami melanjutkan sarapan. Aku hanya mengaduk-aduk nasi gorengku. Pikiranku mengawang-awang.

"Udah, gak usah bingung.. Abang tau Nauvel baik. Gitu aja. Tinggal Agitnya yang gimana.."

"Iyaa.." Jawabku kalem.

"Abaaang, ini isi bukunya masih banyak nama Kukuuuh.. Nauvel kok gak ngapus nama Kukuhnya siiiih.." Pekikku sambil membolak-balikkan isi buku.

"Ya itu kan tulisan Agit, Nauvel juga gak ada hak buat ngedit. Biar lebih natural, Git." Bang Fadly menjawab santai.

"Tiap ke Gunung manapun, Agit selalu bikin puisi buat Kukuh, Bang.." Aku menutup muka dengan tissue.

"Ngapain sih masih inget-inget Kukuh?" Bang Fadly sewot. Aku nyengir :D

"Agit titip bukunya ya, Bang. Carrier Agit fullpack. Sayang kalo rusak." Aku menyerahkan buku Menuju Jauh. Bang Fadly meraihnya lalu memasukkannya kedalam daypack.

Kami menuju Boarding Room pukul 5. Berbincang-bincang seperti semula, sampai akhirnya masuk ke dalam pesawat dan tertidur sambil mp3an. Ketika melintasi Jawa Timur, kami terbangun dan bang Fadly sibuk membidik sunrise.

Itu gunung apa?


"Itu gunung apa, ya, Git?" Tanya BF sambil menunjuk ke bawah.

"Semeru kali, Bang." Jawabku ngasal.

"Eh, tapi di sebelah sana juga banyak gunung, Git." BF sibuk menunjuj-nunjuk.

"Ya, kan dari Semeru juga kelihatan banyak gunung, Bang." Aku terkekeh.

Tak lama, pesawat kami tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali.

"Bali.. Bali.. Baliii.." Aku bernyanyi sambil joget-joget. Bang Fadly ikut-ikutan joget sambil tertawa-tawa. Hahahaha..

Kami segera meluncur ke bandara sebelah, lupa namanya. Pokoknya kalo penerbangan domestik, berangkatnya dari sana. Bandaranya gede, masih baru, juga mbingungin. Bang Fadly segera mengurus tiket penerbangan ke Lombok. Merpati pukul 15.00 WITA.

Kami segera keluar bandara, mencari es teh. Bali panas ternyata. Dan warung-warung juga jarang. Bayanganku saat itu hanyalah segelas es teh buatan ibu-ibu warteg. Tapi apa daya, mencari makanan halal disini pun susah. Kami mampir ke sebuah toko kelontong. Bang Fadly membeli sebotol minuman dengan bulir jeruk, sementara aku membeli sekaleng larutan penyegar dan sebotol air mineral.

Kesan pertama untuk Bali ; Bali uwakeh asu.

Kami berbincang-bincang dengan si pemilik warung. Bertanya-tanya arah sampai diberi pinjaman motor dan penginapan dengan tarif 150ribu. Kami menolak dengan pasti.

Sampai akhirnya kami menemukan sebuah tempat sewa motor dengan tarif 40ribu dan tanpa jaminan. Tapi tetep sih, carrier kami ditinggal disana. Ribet juga jalan-jalan pake Carrier. Sebuah kunci motor honda vario berada di genggaman Bang Fadly.

"Yuk, Kita kemon.."

Motor melesat dengan pengendaranya yang tak tahu arah, serta dengan penumpangnya yang tak tau jalan pulang. Kami berdua bagaikan butiran debu #halah. Motor melaju sesuka roda dan stangnya. Bali yang macet serta bule-bule yang padet bikin pikiran tambah mumet. Kami akhirnya tiba di Pantai Kuta, Bali... yang kata orang, “belum ke Bali kalo belum ke Kuta”, tapi menurut kami, Kuta sama aja kayak Ancol.. cuma beda ombak dan beda 'pemandangan'.

Kami berjalan dari ujung ke ujung hanya dengan satu tujuan, 'mencari es kelapa'. Tapi malangnya, sepanjang garis pantai hanya ada yang jualan bir dan tattoo. Terus aku kudu piye?

*Lanjut poto-poto*


Unyu @Kuta, Bali


*Pulang*

*Nyari makan siang*

Sempet menyasarkan diri kesini..




Dan memasrahkan diri untuk memakan ini..

Nasi Pedas Bu Andika

muka melas kepedesan :(


Bang Fadly makan dengan lahapnya, sementara aku hanya memakan setengahnya. Perutku panas, hidungku panas, mulutku panas, telingaku panas sampai-sampai kepalaku juga panas. Untung aku mengurungkan niatku untuk bugil disana sangking panasnya. Oh, Tuhan.. Adakah sambal yang tak sepedas buatan ibuku di dunia ini? :(

Setelah urusan perut kelar, kami kembali mengitari Bali. Bang Fadly menyempatkan diri memasuki pasar joger, sementara aku menjaga motor di pinggir jalan. Malas kalau harus parkir dan mengeluarkan uang lagi. Kami sudah cukup berfoya-foya disini. Dari yang namanya minum air mineral harus merek Nestle - dengan alasan, hanya Nestle yang bikin tenggorokan adem. Padahal penelitianku di laboratorium menunjukkan MPN Coliform Nestle yang terbanyak dibanding air mineral merek lainnya. Oke, Abaikan.

Jarum jam menunjukkan pukul 13.00 WITA. Bang Fadly segera melajukan motor ke tempat penyewaan. Dengan acara nyasar dan macet-macetan dulu. Setibanya di tempat penyewaan, kami segera mengembalikan motor dan menggendong carrier masing-masing lagi. Berjalan menuju bandara penerbangan domestik dan Check-in. Setibanya di Boarding Room, aku tertidur. Bang Fadly sibuk nyari colokan.

Pesawatnya delay. Aku bosan tidur terus. Akhirnya berkenalan dengan orang-orang dengan wajah dan atribut pendaki yang semenjak aku tidur sudah berisik di sebelahku. Mereka alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tujuan kami sama, Puncak Anjani.


Setengah empat sore, akhirnya Merpati yang kami naikki terbang ke Lombok. Aku tidur lagi dan terbangun ketika pesawat mendarat dengan cara yang menegangkan :| *ndak mau ingat-ingat*

Dan sesampainya di Lombok, kami disambut oleh angin semilir yang menyejukkan hati, deretan pegunungan yang menyegarkan mata, juga sunset yang menghangat di pipi.



Di belakang BF itu gunung apa?

Kami terdiam di Lombok Praya Airport cukup lama. Menanti seorang kekasih, yang tercantik yang datang di hari ini #eaaa #uhukBFuhuk. Enggak deng, kami menunggu Teh Farah, kawan asal Bandung yang tiba-tiba memutuskan ingin ikut ke Rinjani. Dan sampai kami menunggu selama dua jam pun, ia belum juga memberi kabar.

Dari yang duduk-duduk nyari charger sampe nongkrong di depan indomaret sambil nyargher juga. Pokoknya dimanapun ada colokan, kami akan mendatanginya. Teh Farah tak juga menghubungi kami dimana posisinya, tapi tiba-tiba ia malah mengganti DP BBM-nya dengan foto bandara Lombok. TETEH DIMANAAAA?!! Oke, kami kesal.

Memasuki Waktu Indonesia Tengah Bagian Maghrib, akhirnya Teh Farah menemukan kami yang luntang-lantung di depan Indomaret. Segera kami salam-salaman dan mencharter mobil. Beberapa pendaki melintas di hadapan kami. Dari pendaki yang dekil sampai pendaki dengan penampilan rapi.

“Bang, kira-kira nanti temen-temen kita yang dari Surabaya itu Pendaki dekil apa Pendaki rapi ya, Bang?” Tanyaku iseng.

“Hah? Maksudnya?” Ia terlihat bingung. Aku menggunakan ‘kode mata’.

“Oooh, rapi deh, Git. Kayaknya. Kita aja termasuk pendaki rapi, kan? Cuma keliatan dekil aja gara-gara muter-muter kemana-mana. Hahaha” Bang Fadly menjawab dengan diakhiri tawa. Aku ikut tertawa.

“Eh, ada yang mau ke Mataram, gak? Ikut dong.” Tiba-tiba seseorang berambut cepak dengan Carrier 80L fullpack yang digendongnya dibelakang dan daypack didepannya, dan tas kamera ---- entah bagaimana cara ia memakai 3 tas dalam bersamaan---, ia bertanya kepada kami.

“Ini kita mau ke Mataram, Bang. Rinjani juga?” Sahutku.

“Iya, ikut dong. Biar murah sewa mobilnya.” Ia cengengesan.

“Masnya sendirian? Solo trekking?” Tanya Bang Fadly. Ia mengangguk sambil cengar-cengir.

“Jago lu, Bang. Hahahaha” Sahutku sambil tertawa.

“Eh, sekarang kita mau kemana?” Tanya Teh Farah tiba-tiba. Teh, daritadi kan kita ngomongin sewa mobil ke mataram -_-

“Mataram dulu, kita nungguin rombongan dari Surabaya. Mereka baru datang besok. Kalo bisa cari penginapan dekat terminal.” Jawabku sabar.

“Masnya mau ngapain ke Mataram?” Tanya BF lagi.

“Mau ketemu temen, kalo bisa sih malam ini juga langsung ke Sembalun. Tapi kalo ga bisa ya cari penginapan dulu aja.”

Akhirnya kami mencharter mobil. Pak supirnya baik. Kami diantar ke penginapan, kemudian diantar lagi keliling Lombok, lanjut makan malam di rumah makan Ayam Taliwang yang bikin nguras kantong. Enak sih, tapi menyesal kemudian.

 
Pesta Pora

Ini namanya Bang Martin


Sekitar pukul Sembilan, kami tiba di penginapan lagi.

“Eh, Cuy.. Gue langsung balik ya? Ni duit buat patungan hotel.”

“Laaaaaaahhhh?!!!” Sahut kami bersamaan.

“Hehehe iya tuh, temen gue tadi gak ada kabar, makanya gue cari penginapan. Eh tau-tau sekarang udah di depan.”

“Langsung Sembalun malam ini juga?” Tanyaku.

“Iya kayaknya, tapi kalo gak memungkinkan ya besok aja. Ni duitnya.”

“Eeeeh, gak usaaah.. Kan gak ikut nginep.” Sergah Bang Fadly.

“Gapapa udah.” Ia memaksa, Bang Fadly menyerah. Huh, dasar BF lemah. #eh *dijitakBF*

Setelah bertukar nomor ponsel, Ia memakai Carrier, daypack, dan tas kameranya lagi. Kemudian bersalaman dengan kami dan melangkah keluar kamar. Hati-hati, teman baru --- yang baru ini diketahui kalau namanya Martin [--,]>


Dan saatnya kami istirahat untuk melanjutkan hari esok yang masih jadi misteri..
Bang Fadly dan Teh Farah sudah terlelap, sementara aku masih sibuk mengetik notes, mengingat-ingat apa saja yang terjadi seharian, juga menyempatkan diri untuk meng-admin di @backpackerunyu :D



Minggu, 11 Agustus 2013


BANGUUUUUUUUUUUUNNNNN!!!!

“Abang udah mandi?” Tanyaku pada BF.

“Belum. Suhunya tembus tujuh belas derajat nih Lombok.” Jawabnya sambil mengutak-atik kabel charger dan Ipinnya (ipin itu sebutan untuk i-Phone ya :D )

“Teteh?” Aku menoleh ke teh Farah. Ia menggeleng.

“Agit mandi duluan ya?” Tanyaku meminta persetujuan mereka. Keduanya mengiyakan.

“Abang bikin prendjak aaah..” Teriak BF sambil menyebutkan nama merk teh yang enak.

“Maaauuuuuuuu!!!” Teriakku.

Selesai mandi, nge-teh dan bongkar muatan, akhirnya kami menyempatkan sarapan dan beli nomor XL Lombok. Huehehehe iseng banget ya? Habis, banyak yang bilang kalau sinyal yang nyangkut sampai atas Rinjani nanti XL. Lagipula sebagian besar tempat penyewaan seperti sewa mobil sampai sewa porter pun menggunakan kartu perdana XL. Biar murah sih ceritanya.

Lombok pagi hari masih sepi, seperti hati yang baru ditinggal kekasih pergi #tsaaaah. Entah memang sepi karena libur lebaran atau penduduknya yang malas bangun pagi, aku tak tahu. Intinya tak ada tukang bubur ayam atau tukang ketoprak yang melintas dengan gerobaknya pagi-pagi seperti di Jakarta atau Jawa Barat. Tukang Nasi Uduk pun tak ada. *megangin perut*

Sampai kami menemukan sebuah rumah makan mirip dapur umum, bagian lantainya masih semen (bukan ubin) yang menyediakan menu utama Kelor. Hah? Kolor? *dikeplak BF*

Iya, daun kelor yang diolah menjadi sayur bening. Ditambah potongan babat goreng yang empuk, sate ati-ampela dan sepotong ayam kampung, juga terong balado dan sambal. Rasanya enak sekali, sayurnya pun segar sekali. Enaknya melebihi Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung yang malam sebelumnya kami makan di restoran mahal ituuuuuh. Iyaaaaa. Enakan iniiii :’( 


“Babatnya empuuk iiih, padahal aku teh ga doyan babat aslinya maaah..” Ujar Teh Farah dengan logat Sundanya yang khas.


“Iyaaa, ini enaaaak. Huhuhuuu. Lebih enak dan lebih murah dari yang semalaaam.” Suaraku terdengar tragis.

“Jauuuuuuuhhh..” Sahut BF dan Teteh kompak. #ciyeeeee

“Agit kok ndak pake ayam?” Tanya BF.

“Agit malas ngunyah ayam, Bang. Dari kemarin ayam terus.. Bosan. Enak ini babatnya.” Jawabku.

“Beli lagi apa nih babatnya?” Tanya BF lagi. Belum sempat kami menjawab, namun Bang Fadly telah membawa sebuah piring berisi enam potong babat goreng. Aaaaah, Suurgaaaaa :’)

Kami makan sampai kekenyangan, kemudian lanjut pulang dan foto-foto.

Tak lama Mbak Niza mengabarkan bahwa mereka sedang menuju penginapan kami. Alhasil kami buru-buru pulang dan berkemas. Tak sampai satu jam, Mbak Niza dan kawan-kawan sampai.
 

Jantungku deg-degan ingin bertemu teman-teman baru. Antara penasaran dan minder karena katanya Mas-mas dari Surabaya ini Suhu semua. Seperti apa ya, orang-orangnya??

Setelah siap, aku keluar penginapan paling pertama, BF mengurus check-out, sementara Teh Farah masih berkutat dengan barang-barangnya. Hehehehe ^^v


"Assalamu'alaikuuuum.." Sapaku pada Mas-mas yang telah menunggu lama. Mereka menjawab salamku. Aku berkenalan satu persatu.

"Kenalin, Agiiiiit. Ini siapa?"


(Bersambung kesini >>> Keluarga Baru dari Sembalun :) )


Thursday 5 September 2013

Rinjani Mountain 2013 - The Series

9 Agustus 2013

Ucapan demi ucapan telah berdatangan, doa dan harapan mulai bermunculan. Melalui pesan singkat, aplikasi chat, social media, bahkan telefon. Dari sahabat serta kerabat yang selama 19 tahun telah mengisi hari-hariku, terimakasih! :)

"Selamat 19 tahun, Acitaaaa.."

Terimakasih, Ayah.. Terimakasih, Ibu.. 
Selama 19 tahun ini telah membesarkanku dengan didikan yang membuatku berani melangkah sejauh ini seorang diri.
Selama 19 tahun ini telah mengajarkanku agar mandiri dan tak mudah menangis atau mengeluh.
Selama 19 tahun ini telah memberiku kasih sayang dan cinta yang tiada batas, yang tak pernah ku temui dari seseorang manapun.

Dan terimakasih, telah mengijinkanku melalang-buana ke timur selama dua minggu.
Walau aku tahu, dengan sangat-berat-hati kalian mengijinkannya.
Tapi percayalah,
Dimanapun kakiku berpijak, aku akan selalu membuatmu bangga, Ayah..
Dan aku tak mau sedikitpun mengecewakanmu, Ibu..

"Semoga Panjang Umur, Acitaaa.."

Hey,
Mbak Gilang, Galih, Ghania.. Kapan kita bisa main bareng sekeluarga?
Keluarga kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, ya!
Jangan pernah lupa ritual minggu pagi di teras rumah. Habis lari pagi, makan nasi uduk sambil sibuk sama isi gelas masing-masing.. Share pengalaman sambil rebutan bakwan, Ayah ngerokok, Ibu gendong Ghania :)

"Semoga impian, keinginan dan cita-citamu tercapai, Acitaaa..."

Keinginanku saat ini cuma menjamah tanah tertinggi Lombok, Puncak Anjani. Mensyukuri kehidupanku selama 19 tahun di atas sana. Menangis dan tertawa sesukanya, kemudian kembali ke rumah dengan pribadi yang lebih baik, InsyaAllah..

Gunung Rinjani merupakan gunung tertinggi ke-tiga di Indonesia. Setelah Jaya Wijaya di Papua dan Kerinci di Sumatera, tentunya. Gunung dengan persiapan yang lebih matang dari perjalananku ke Semeru. Gunung yang benar-benar menguras tabungan dan perijinan yang lebih menyusahkan -_-

"Acita mau kado apaaaa???"

Cita mau ke Lombok. Cita udah punya tiketnya, tinggal ijin dari Ayah sama Ibu aja, itu bakal jadi kado terindah 19 tahunan Cita.

Oke, bilangnya ke Lombok. Padahal mau ke Rinjani, berdosa kah aku? :'(
Dan gak hanya ke Lombok, tapi juga Bali - Banyuwangi - Surabaya - Kediri - Semarang :|
Tapi untuk Lombok dan keliling Jawa, aku bilang. Sementara Rinjani hanya Ayah yang tak tau.


Rincian Biaya
Tiket Kereta Jawa


Sekilas perjalananku selama dua minggu.. Selamat menikmati :)






Saturday 8 June 2013

REVIEW FILM : Laura dan Marsha


Film ini bercerita tentang sebuah perjalanan sepasang sahabat di luar negeri. Dengan tokoh utamanya Laura, (Prisia Nasution) yang merupakan seorang travel agent dan Marsha (Adinia Wirasti) yang berprofesi sebagai penulis buku traveling. Keduanya bersahabat sejak SMA dan sama-sama memimpikan sebuah perjalanan ke Eropa. Namun, semenjak Laura menjadi seorang single parent, ia telah melupakan mimpinya berkeliling Eropa bersama Marsha. Ia bahkan tak pernah berpikir untuk bepergian keluar Jakarta karena tak rela meninggalkan anak semata wayangnya, Luna (Amanina Afiqah Ibrahim).




"Mimpi gue masih bisa gue tunda, sampai Luna udah gede.. sampai Luna udah bisa ditinggal" - Laura


Berbeda dengan Marsha, ia tak pernah lupa akan mimpi mereka kala SMA. Berkali-kali Marsha membujuk Laura agar mewujudkan keinginannya keliling Eropa, semata-mata untuk mengenang kepergian mendiang ibunya. Laura tak pernah mengiyakan, sampai akhirnya Laura terkena musibah kecelakaan dan mengharuskannya menginap berhari-hari di Rumah Sakit. Laura koma.


"Hidup tuh singkat banget, La. Kematian bisa dateng kapan aja dan gue gak mau mati sebelum ngewujudin impian gue." - Marsha


Ungkapan inilah yang membuat Laura akhirnya mengiyakan perjalanan ke Eropa meskipun tak sepenuh hati diinginkannya. Dan Luna akhirnya dititipkan selama dua minggu kepada Ibunda Laura.

Perjalanan dimulai dari Amsterdam (Belanda). Laura yang memiliki sifat lebih strict dan segala sesuatunya harus teratur ini memulai perjalannya dengan sebuah koper super besar. Sementara Marsha yang berkarakter santai hanya membawa sebuah carrier dengan muatan tak lebih dari empat puluh liter.


 


 


Perselisihan kecil mulai bermuculan. Peraturan demi peraturan dibuat Laura agar perjalanan mereka sesuai schedule. Dan Marsha yang senang berulah spontan ini mau tak mau harus mengiyakan. Konflik dimulai ketika dengan santainya Marsha mengajak seorang penumpang asing bernama Finn. Marsha yakin bahwa Finn dapat mengantar mereka ke destinasi selanjutnya yaitu Munchen (Jerman). Namun siapa sangka, Finn malah membawa mereka ke Bruhl dan melenceng jauh dari Munchen. Laura marah besar dan akhirnya mengusir Finn.

Kisah liburan mereka semakin rumit ketika mereka tersesat hingga dirampok. Marsha tak bisa berbuat apa-apa selain memilih menjalani perjalanannya tanpa beban. Tiap kali Laura menghadapi kesulitan, Marsha tanpa banyak syarat selalu membantu mereka menemukan jalan keluar.


 


"Santai aja, La.. Alam semesta akhirnya akan memberikan apapun yang kita butuhkan tepat pada waktunya." - Marsha


Dengan tiba-tiba Laura meminta Marsha agar mampir ke Verona sebentar, sementara tujuan mereka selanjutnya adalah Venice. Persahabatan dari SMA ternyata tidak menjamin keduanya sama-sama terbuka satu sama lain. Ada maksud yang tak diketahui Marsha, Laura sebenarnya memiliki alasan dan tujuan khusus hingga akhirnya ia setuju ke Eropa.

Hal ini membuat mereka berada di satu titik pertengkaran yang hebat sehingga membuat mereka terpisah berhari-hari. Kejadian demi kejadian menjadi sebuah pelajaran berharga bagi mereka. Dari tiap negara yang mereka datangi membawa cerita dan kejutan tersendiri. Yang pada akhirnya, tanpa mereka sadari itulah yang mereka cari. Pencarian makna cinta, makna hidup, makna persahabatan dan makna perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan Laura dan Marsha, Dua Cerita Satu Perjalanan.



Seperti apakah kisah perjalanan Laura dan Marsha di Eropa?
Saksikan Film-nya di Bioskop terdekat mulai 30 Mei 2013




Laura And Marsha


Muvila.com 





PROFIL


Prisia Nasution

Wanita yang biasa dipanggil Pia ini berperan sebagai Laura, seorang travel agent yang serba sistematis dan teratur. Padahal aslinya, Pia memiliki sifat yang cuek dan simpel layaknya Marsha dalam film. Namun kualitas akting peraih Piala Citra 2011 sebagai Pemeran Wanita Terbaik ini tak perlu diragukan lagi. Pia selalu bermain total dalam setiap film yang dimainkannya, termasuk Sang Penari dan Rectoverso.


Adinia Wirasti

Asti berperan sebagai Marsha yang serba cuek dan santai. Sama seperti Pia, ia juga ditantang untuk berakting sebagai seseorang yang sifatnya bertolak belakang dengan dirinya. Asti memiliki sifat yang teratur dan sistematis, layaknya Laura dalam film. Kepiawannya di dunia seni peran telah dibuktikan dengan menggondol Penghargaan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik FFI 2005 (Tentang Dia), Pasangan Terbaik IMA 2012 (Jakarta Maghrib) dan Aktris Pemeran Pembantu Terpilih Piala Maya 2012 (Arisan! 2).


Leni Lolang

Leni Lolang telah 18 tahun menjadi produser. Leni sukses dalam mendirikan dan memimpin Inno Maleo dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Film Laura dan Marsha merupakan film ke-3 yang ia produksi setelah Jagad X-Code dan Ai Lap Yu Pul house in Indonesia.


Dinna Jasanti

Ketika ditemui dalam acara Nonton Bareng Blogger yang diadakan oleh Viva.co.id , kesan pertama yang saya tangkap untuk mbak Dinna yaitu sosok sutradara yang supel, humoris dan ramah. Beberapa pertanyaan dari penonton ia jawab dengan santai namun berisi. Film Laura dan Marsha ini merupakan debut pertama mbak Dinna sebagai seorang sutradara. Dengan setting Road Movie yang menghabiskan waktu selama 20 hari di Eropa ini memberi pengalaman berharga untuknya. Dari tersasar sampai kehabisan bekal makanan telah dialaminya selama shooting di Amsterdam, Bruhl, Innsbruck, Verona dan Venice.


Titien Wattimena

Mbak Titien selaku scriptwriter membuat saya antusias dalam menonton film ini. Naskah yang sangat bagus serta alur ceritanya begitu menarik untuk ditonton sampai habis. Emosi penonton terlihat jelas ketika menyaksikan film ini. Ending Film Laura dan Marsha memang terkesan mudah ditebak. Namun siapa sangka jika konflik dan klimaksnya se-menggugah itu?!



SEUCAP

Arti persahabatan sesungguhnya baru akan kita temui saat berada dalam sebuah perjalanan. Susah senang bersama hingga emosi yang meledak ketika seorang sahabat terlihat karakter aslinya. Sudah tak ada yang dapat kita tutupi ketika perjalanan dengan sahabat telah mencapai konfliknya. Namun itulah esensi perjalanan, saling terbuka.

Saat sedang melakukan perjalanan seorang diri tanpa sahabat yang biasanya mendampingi, kita akan merindukan hal itu. Merindukan betapa perjalanan ini tak seindah bersamanya. Namun sesendiri apapun, pada akhirnya kita tak pernah sendirian dalam sebuah perjalanan---bayu.

Begitu pula dalam film ini, ketika Laura dan Marsha berpisah, mereka tak pernah benar-benar sendirian. Keduanya saling mencari kabar satu sama lain. Film ini mengajarkan banyak sekali hal tentang kehidupan, quotes menarik pun bertebaran di sepanjang jalan cerita. Setting lokasi dan pemilihan tempat-tempat di Eropa yang begitu indah membuat mata tak lelah memelototi setiap adegannya. Best Recommended FILM!!





*) Foto-foto : www.lauramarsha.com

Thursday 6 June 2013

Mengintip Wajah Indonesia dari Yogyakarta



"Hi, where do you come from?"

"Hi, I come from Indonesia."

"Indonesia? Where Is it?"

"Do you know Bali?"

"Yes, I know Bali. Is it near from Indonesia?"

"No. Bali is a part of Indonesia. Bali is city, and Indonesia is the country"

Percakapan diatas sudah terlalu sering di ceritakan oleh sahabat-sahabat saya yang pernah bepergian ke luar negeri. Dan kesimpulannya adalah, Indonesia belum se-tersohor Bali.

Agak miris mendengarnya, terlebih lagi Indonesia memiliki beragam potensi wisata yang lebih indah dari Bali. Sebut saja Pulau Weh di Aceh, Derawan dari Kalimantan, Losari milik Sulawesi hingga Raja Ampat di Papua yang merupakan impian para traveller dan backpacker domestik hingga mancanegara. Masih banyak destinasi wisata di Indonesia selain yang disebut tadi. Baik wisata budaya, wisata sejarah, wisata alam, wisata buatan hingga wisata reliji. Indonesia memang kaya.

Kembali ke judul tulisan saya...
Mengintip wajah Indonesia dari Yogyakarta. Mengapa Yogyakarta?

Indonesia terkenal dengan penduduknya yang ramah, adat dan budaya yang beragam serta pusat perbelanjaan yang murah. Yogyakarta memiliki semuanya. Dari Malioboro dan Beringharjo yang murah meriah, Gunung Merapi yang berdiri dengan gagah, hinggan pantai-pantai di selatan yang masih perawan dan tak terjamah. Mari kita mulai perjalanan dari tugu nol kilometer Yogyakarta.


Tugu nol kilometer Yogyakarta menjadi tanda bahwa Kota tersebut tersusun dalam satu garis lurus yang terhubung dari Gunung Merapi - Tugu - Keraton - Laut Selatan. Konon, dengan landmark seperti itu memudahkan para pemimpin terdahulu memantau daerah kekuasaan dan aktivitas warganya. Dari keraton akan nampak Gunung Merapi dan arah sebaliknya akan terlihat Laut Selatan. Unik bukan?

Bicara tentang Gunung Merapi, Gunung Api yang berbentuk kerucut ini masih aktif hingga sekarang dan memiliki daya tarik dalam segi penelitian, pendidikan hingga pariwisata. Setelah meletus terakhir kalinya tiga tahun lalu dan memakan banyak korban jiwa, masyarakat setempat tak kehabisan akal dalam mengolah potensi wisatanya. Saat ini telah tersedia jeep-jeep khusus wisata Merapi hingga tour-guide. Dan bagi Komunitas Pecinta Alam dapat merasakan sensasi mendaki gunung dengan jenis bebatuan ini sampai ke Puncak Garuda yang ketinggiannya mencapai 2.968 meter diatas permukaan laut. Berfoto bersama awan dan bendera Merah Putih serta memandang Kota Yogyakarta hingga garis-garis pantainya. Menakjubkan.



Setelah turun dari Gunung Merapi, perjalanan dapat dilanjutkan ke kawasan Gunungkidul. Gunungkidul memiliki dua buah potensi wisata yaitu pantai dan goa. Wisatawan dapat menjelajah goa seperti Goa Jomblang dan Goa Pindul. Namun saya lebih menyarankan untuk menelusuri pantai di kawasan Gunungkidul ini. Dalam satu hari penuh pun tak akan cukup untuk mampir ke setiap pantainya!

Ada lebih dari sepuluh pantai di kawasan Gunungkidul. Sebut saja Pantai Baron, Pantai Krakal, Pantai Sundak, Pantai Kukup, Pantai Indrayanti, Pantai Drini, Pantai Pok Tunggal, Panta Seruni dan masih banyak lagi hingga entah dimana ujungnya. Perjalanan menuju pantai-pantai tersebut harus melewati bukit demi bukit terlebih dahulu. Bayangkan saja, dibalik bukit ada hamparan pasir putih yang menawan lengkap dengan birunya laut dan tebing-tebing tinggi. Jika bosan bermain di pasir dan berenang di laut, kita dapat memanjat tebing-tebing tersebut sampai ke puncaknya, kemudian berteriak sambil menatap samudera. Indonesia, I Love Youuuuuuuuuu!!!



Pulang dari gunung dan pantai, jangan lupa mampir ke pasar tradisional, keraton serta alun-alun dan beringin kembar. Tak ada habisnya jika bicara Yogyakarta, apalagi Indonesia. Indonesia memiliki wajah dan cerita yang beragam untuk dibahas, sementara Yogyakarta hanyalah sebuah pandangan saya terhadap Indonesia dengan cara melihatnya dengan celah yang sempit atau biasa disebut "mengintip".




Mengintip Indonesia melalui Yogyakarta saja sudah begitu menarik dan memukau. Bagaimana bila membuka mata dan melihat Indonesia secara langsung? Kembali saya ulangi, Indonesia tak hanya seindah Bali dan seramah Yogyakarta. Ada Pulau Weh di Aceh, Derawan dari Kalimantan, Losari milik Sulawesi, Wamena, Raja Ampat dan Jelajah Bumi Papua. Aaaaah, Let's Visit Wonderful Indonesia!











Untuk info lengkap kunjungi http://jelajahbumipapua.com/home.php

Wednesday 5 June 2013

Mimpi dan Impian


Mimpi baik itu datangnya dari Tuhan,
Sementara mimpi buruk datang dari setan.
Sungguh saya tak pernah peduli mimpi itu datang dari mana. Bagi saya, mimpi hanyalah sebuah bunga tidur. Penghias dari segala kegiatan melelahkan nan membosankan yang kita lalui setiap hari. Tidur, bermimpi dan menjadikan mimpi tersebut sebagai sebuah pelajaran, renungan atau penyemangat ketika kita telah bangun. Namun sayang, banyak yang lupa betapa dalamnya makna bangun tidur; bangun untuk hidup yang lebih baik.

Iya, setelah bangun tidur, kamu akan melakukan hal yang itu-itu saja seperti sebelumnya. Tak pernah jauh lebih baik. Bahkan biasanya jauh lebih membosankan. Karena sesungguhnya hari-hari dan tanggal yang paling menarik hanya jatuh pada akhir bulan; ketika gajian.

Apakah tujuan hidup kamu hanya sekedar menunggu gajian?

Untuk urusan bermimpi ketika tidur, saya bukan ahlinya. Mungkin saking lelahnya, saya hanya tertidur lelap, gelap, dan tiba-tiba terbangun ketika hari sudah terang. Iya, mimpi saya hanya gelap dan itu berlangsung setiap hari. Yang saya ingat, beberapa kali mimpi dipatuk ular atau mimpi gigi saya tanggal. Mimpi seperti itu termasuk jenis mimpi yang mana? Baik atau buruk? Dari Tuhan atau setan? Beberapa orang pasti tahu artinya.

Tujuan hidup saya bukan hanya sekedar menunggu gajian. 
Dan impian saya bukanlah menjadi pegawai kantoran.

Banyak hal yang dapat kamu tanam selagi umur masih sedini ini, dan kamu panen ketika tua nanti.
Modal macam apa yang dapat kamu tanam? Segala sesuatunya bukankah butuh uang?
Menanam uang?

Tanamlah impianmu didalam hati dan pikiran. Lalu kamu siram dan beri pupuk dengan segala usaha dan pengalaman yang berkelanjutan. Lakukan terus menerus. Jangan pernah menyerah atau berhenti di tengah jalan. Kamu mau tanamanmu gagal panen?

Saya tahu, banyak dari kamu yang masih saja meremehkan impian orang lain. Sama seperti saya beberapa tahun lalu, saya pernah meremehkan impian orang lain ketika impian saya masih biasa saja dan anak-anak sekali; lulus sekolah, kuliah dan jadi dokter. Mimpi teman saya pada saat itu adalah ke Jepang. Mana bisa ke Jepang tanpa uang? Saya juga bisa ke Jepang ketika sudah jadi dokter. Pikir saya yang saat itu masih duduk di bangku SMP.

Namun nasib berkata lain, impian teman saya terwujud. Ia mendapat program pertukaran pelajar ketika kami sama-sama sedang duduk di bangku SMA, di sekolah yang berbeda. Dan seperti impiannya, ia lolos ke Jepang, tanpa uang, tanpa harus menunggu kuliah bertahun-tahun dan mendapat gelar dokter. Bahkan ia mendapat uang saku untuk hidup di negeri sakura itu selama beberapa bulan.

Saya banyak belajar dari mimpi dan impian.

Sekarang saatnya impian saya yang diremehkan orang, termasuk keluarga sendiri. Entah otak saya yang impulsnya berantakkan atau memang pola pikir kami yang tidak sejalan. Sudah terlalu banyak impian saya yang ditentang oleh Ayah dan Ibu.

"Kamu pikir mudah menjadi seperti itu?"

"Bekerja saja yang benar di kantormu. Kuliah juga yang rajin."

Sebenarnya semua akan menjadi lebih mudah apabila impian saya didukung olehmu, Yah, Bu. Apa salahnya sekedar mendukung atau merestui? Impian pertama saya awalnya adalah kuliah di Solo. Fokus kuliah dengan beasiswa. Namun yang terjadi sekarang saya harus kuliah sambil bekerja, sambil menyempatkan diri untuk jalan-jalan ke luar kota setiap bulan, atau sekedar menghilang dari peradaban berhari-hari dan kembali menjadi manusia normal. Kemudian menumpahkan hasil jalan-jalan dan renungannya di blog ini... bermimpi suatu saat ada penerbit yang tertarik. who knows? 

Letakkanlah impianmu setinggi langit.

Tak usah jauh-jauh. Cukup ditanam di hati dan pikiran saja.

Agar kau tak sakit ketika impianmu tiba-tiba jatuh terhempas ke bumi.

Banyak yang berbeda setelah saya turun dari titik tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru. Entah sugesti atau apa, Semeru mengubah segalanya.

Saya yang tadinya seorang pemikir akut ketika 'gagal' dalam suatu hal, sekarang bisa lebih santai.
Saya yang tadinya seorang yang ketergantungan terhadap kabar pacar, sekarang sudah bisa menjalani hidup sendiri dan jauh lebih baik.
Saya yang tadinya selalu mengeluhkan tugas-tugas kampus dan kerjaan, sekarang hanya diam dan bergerak bagaimana kerjaan bisa lekas rampung-- walaupun masih suka emosian dan diselingi misuh.
Saya yang tadinya selalu sedih dan depresi ketika tulisan di blog ini menerima kritik pedas dari pembaca, sekarang hanya bergumam, "Perbandingan pengkritik dengan pendukung blog ini masih satu banding sekian. Lagipula, rata-rata orang yang suka mengkritik adalah orang yang tidak punya karya sama sekali. Mereka yang punya karya akan jauh lebih menghargai dan memberi saran bijak, bukan kritik."

Dan saya, yang tadinya punya impian biasa saja, kini mulai berani bermimpi yang jauh. Sejauh jarak dari desa terakhir menuju puncak, lalu menembus awan. Tak peduli dengan ejekan dan remehan yang terlontarkan. Justru ejekan dan remehan itulah yang membuat saya lebih kuat dari sebelumnya. Sama seperti ketika semua orang tertawa sambil  meremehkan saya yang berpamitan pergi Mahameru. Sudah terbukti, kan, siapa yang akhirnya tertawa belakangan?

Tak banyak yang dapat saya lakukan saat ini, selain menanam impian dan menyuburkannya sendirian.

Bermimpilah, dan bangun untuk hidup yang lebih baik.

Jangan pernah takut melangkahkan kaki untuk memulai sebuah impian. Karena sebuah hasil yang besar selalu dimulai dari langkah awal.

Hadapilah, ujian hidupmu tak seberat berjalan di trek pasir Mahameru.






Agita Violy,
Enam puluh lima hari menuju 19 tahun.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...