Cerita sebelumnya >>> klik disini :)
Kami pulang menjelang Maghrib. Pak
Supir segera mengantar kami ke Restoran Khas Lombok selain Ayam Taliwang dan
Plecing Kangkung, yaitu Nasi Balap Puyung. Lokasi restoran berada di dekat
bandara.
Sesi makan bersama yang terakhir ini
begitu hangat dan ceria. Walau aku tau, beberapa dari kami menyembunyikan
kesedihannya. Saling bertukar nomor henfon dan pin bb. Aku sadar, mungkin
memang ini terakhir kali kami akan bertemu. Atau, kami akan bertemu kembali, di
waktu yang belum diketahui pasti.
Sesuatu yang telah terjadi di
gunung, biarlah terjadi, biarlah berlalu…
Sudahi…
Jangan dibawa ke kehidupan nyata…
Iya, akan aku sudahi. Mungkin
perasaan ini hanyalah modus gunung semata. Namun apakah modus gunung juga
berlaku di pantai? Lalu, yang tadi itu apa?
Aku perang batin.
Dan melahap Nasi Balap Puyung
sebagai pelampiasannya...
“Si Farah sama Niza mana?” Tanya Mas
Galih tiba-tiba. Kami menggelengkan kepala pertanda tidak tahu.
“Si Farah itu lucu, yaa.. Hihi..”
Ujar Mas Galih lagi sambil tertawa sendiri.
“Kamu inget nggak, waktu yang dari
Pelawangan Sembalun ke Segara Anak malam-malam, sepanjang jalan dia ngeludah.
Ngeludahnya aja pelan-pelaaaaaan banget. Cuuiiiiih..Cuuuuiiiiihh.. Hahahahaha”
Mas Galih mempraktekkan cara meludah Teh Farah. Kami semua tertawa.
“Gimana kalo dia buang ingus ya? Mesti ngene.. Srooooott.. Sroooooottt!”
Mas Galih mempraktekkan gaya mengelap ingus dengan pelaaaaan sekali.
“Hahahahahaha..”
“Kalo sikat gigi, pasti nyikatnya
satu-satu! Hahahahaha” Timpal Saib dalam Bahasa Jawa.
“Jancuuuk!
Ya opo nyikati untu siji-siji cuuuuk!
Hahahaha..” Mas Yuli ngakak.
“Kalo lagi masak, nggoreng ikan
mbaliknya pelaaan-pelaaaan. Keburu gosong! Hahahahaha”
“Kalo makan nasi sebutir-sebutir!”
“Jancuuuuuk.
Sebutir-sebutiiiir!!! Gak entek-entek cuuuk. Hahahaha”
“Kalo shampoan pasti lamaaa… Sampe
perih mata. Netes-netes shamponya. Hahahahaha.”
Kami terus menimpali keunikan Teh
Farah sampai orangnya tiba-tiba datang.
“Kalian kenapa siiih?” Tanya Teh
Farah dengan logat sundanya. Kami hanya menahan tawa.
Selesai makan siang yang kemalaman,
akhirnya kami diantar pulang ke bandara. Niat awalnya, kami akan menginap di
bandara sampai pagi. Namun ternyata bandaranya tutup pukul sepuluh. Kami segera
menuju masjid terdekat.
Tak banyak yang kami lakukan selama
di Masjid. Hanya melihat-lihat foto dan bercengkerama satu sama lain. Mbak Niza
dan Teh Farah memustuskan untuk tidur duluan. Sementara aku… Aku ingin
menghabiskan malam terakhir di Lombok. Mengingat-ingat apa yang terjadi selama
seminggu bersama mereka, dan menyalin ulang memori otak ke blog ini.
“Gimana kabarnya catper Agit, ya,
Bang?” Tanyaku pada BF.
“Bikin lah. Udah dapet feelnya?” Tanyanya balik.
“Udah, tapi bukan feel ke perjalanannya. Feel yang lain, Bang.” Ujarku pelan. Aku
terus berceloteh panjang lebar tentang apa yang terjadi selama ini kepadaku,
mengapa tiba-tiba aku salah tingkah atau mati gaya, dan apapun semua yang ku
rasakan. Oke, kartu As berada di tangan Bang Fadly.
“Abang ingat, gak, dulu kita pernah
kepikiran kalo nantinya kita cuma jalan berdua terus, dan misah sama yang lain?”
Bang Fadly hanya mengangguk.
“Yang terjadi malah sebaliknya, ya,
Bang… Malah kita yang kepisah. Agit di depan, Abang di belakang. Agit pun ndak pernah nyangka bisa jalan secepat itu, Bang. Agit juga ndak pernah sekuat itu sebelumnya.” Sambungku pelan. Pandanganku menerawang ke
langit.
“Tepat seminggu yang lalu, kita ada
disini, Bang. Nungguin Teh Farah disana. Terus makan-makan.” Aku mulai flashback ke seminggu lalu. Pandangan
mata kami sama-sama terlihat sedih.
“Dari Maret kita mulai nabung ya,
Bang. Mei beli tiket. Juni Agit nyari duit sampe ke Palembang. Tiba-tiba Imam cancel. Tiba-tiba Teh Farah nelfon
bilang mau ikut. Tiba-tiba udah sampe Bali. Tiba-tiba ketemu mereka. Dan sekarang
udah mau pisah…”
“Sedih ya..”
“Coba Abang itung bintang malam ini ada
berapa…” Kami sama-sama melihat langit.
“Enam belas.” Ujar BF.
“Tujuh belas.” Sahutku.
“Yang itu paling terang.” BF
menunjuk satu bintang.
“Iya… Mulai besok kita udah gak bisa
lihat langit yang sama, Bang. Mulai besok kita cuma bisa ngeliat langit Jakarta
yang abu-abu, tanpa bintang.”
“Apa yang udah terjadi di gunung,
biar terjadi di gunung, Git. Biarkan berlalu. Yang udah ya udah. Jangan dibawa
ke kehidupan nyata.” Ujar BF bijak.
“Tapi yang ini beda, Bang. Dari awal
ketemu, salaman, sampe di pantai tadi. Itu udah di luar gunung kan, Bang?” Aku
terus bertanya-tanya.
“Ikutin kata hati, Git…” Kemudian
kami bertukar cerita sampai larut malam. Tentang BF dan kisah terbarunya dengan
seorang perempuan berkelakuan minus. Malam itu, benar-benar pencerahan.
“Nggak nge-mie ta, Git?” Tanya Mas
Bagus tiba-tiba.
“Popmie?” Tanyaku bingung. Ia
meng-iyakan. Aku melemparkan pandanganku ke BF.
“Boleh, deh Mas. Dua sama Agit.” Mas
Bagus berlalu.
“Kayaknya bakal panjang banget
ceritanya, Bang. Semeru kalah.” Ujarku. (saat
aku ngetik ini, di Microsoft Word udah sampe halaman 90, TNR 12, spasi 1 ---
Sementara Semeru hanya 47 halaman dengan format yang sama)
“Pokoknya abang tunggu catpernya.”
Selesai makan, aku berpamitan tidur.
Minggu, 18 Agustus 2013
Aku bangun pukul empat pagi.
Henfonku low, powerbankku pun dihabiskan anak-anak lainnya. Padahal
perjalananku masih panjang. Tega ya mereka-mereka ini.
Iya, perjalananku masih panjang. Aku
tak langsung pulang ke rumah. Tapi masih harus ke Bali – Banyuwangi – Surabaya –
Kediri – Semarang. Bang Fadly pulang paling pertama.
“Agit, Abang pulang ya. Sampai jumpa
di Jakarta.” Ujar BF dengan wajah yang ditegar-tegarkan. Aku mencium tangannya,
ia mengelus kepalaku. Tiba-tiba teringat Bang Yasin yang pamitan di Semeru jam
empat subuh. Sedih :’(
“Abang ati-ati…” Kataku pelan. Ia
melangkah pergi tanpa menoleh.
Adzan shubuh berkumandang. Sebagian
dari kami mulai bersiap-siap. Mas Ardi menangis mendengar adzan. Mungkin ia
sedih selama seminggu di gunung dan baru ini mendengar adzan lagi. Setelah
mandi dan shalat, kami berkemas pulang.
Shubuh itu, di Praya |
Yang melanjutkan perjalanan via
darat dan laut hanya aku, Teh Farah, Mas Ardi, Paklek Andi dan Mas Yuli.
Sementara sisanya melalui udara. Hari semakin terang dan Paklek Andi mencarter
Taksi untuk mengantar kami berlima ke terminal Mandalika.
Pandanganku terpaku pada sosok
tinggi dan tegap di hadapanku.
Terimakasih,
Telah diizinkan untuk mengenalmu.
Terimakasih…
Atas rasa ini.
Selamat tinggal.
Aku akan melupakanmu perlahan…
“Kenapa, Git?” Tanya Mas Bagus
mengagetkanku. Ia menyadari bahwa aku menatapnya begitu lama.
“Gak papa..” Jawabku sambil
tersenyum getir. Aku menolehkan pandangan ke Carrierku. Hallooo… Gajah
kecil, perasaan baru kemarin kamu berangkat jalan-jalan, sekarang udah mau
pulang aja. Perjalanan kita masih panjang. Yang kuat ya, Gajah kecil.
Aku mengangkat Carrierku dan ku letakkan
di bagasi taksi. Kemudian bersalaman satu-satu kepada marbot masjid dan
istrinya, bersalaman dengan Saib, Mas Ewok, Mas Kiki dan terakhir Mas Bagus.
Mbak Niza dan Mas Galih masih di toilet. Aku tak berpamitan dengan mereka.
“InsyaAllah ketemu lagi di Merbabu
ya, Git.” Ujar Mas Bagus ketika bersalaman denganku. Ia tak segera melepas
genggamanku. Tuhan, aku tak pernah
merasakan perpisahan seberat ini.
“Mas Bagus ikut? Agit udah ada tiket
buat Oktober ke Merbabu, sama Ayah…” Jawabku pelan, sambil melepaskan tangan.
“InsyaAllah…” Ujarnya sambil menutup
hidung dan mulut dengan dua tangan, seperti orang hendak batuk.
Bahkan, sekedar gerik atau gerakanmu pun aku tak pernah lupa
Begitu pula kata-katamu, aku tak pernah bisa lupa
Apalagi melupakan wajah sendumu itu?
Apalagi melupakan rasa ini?
Butuh berapa lama waktu yang ku habiskan untuk benar-benar melupakanmu?
“Main-main ke Surabaya yaaa, Cah
Gendring..” Teriak Mas Ewok. Aku tersenyum.
“Tiket Surabayaku hari selasa, Mas.
InsyaAllah yaaa..” Sahutku sambil melangkah menuju taksi bersama Paklek Andi,
Mas Yuli, Mas Ardi dan Teh Farah.
“Ada yang ketinggalan, nggak?” Tanya
Saib.
“Hati, Ib.” Jawabku pelan. Sedih cuuuuuuuuuuukk!!!! Aku nggak boleh ya,
gak usah bikin ending cerita ini??? :’’’’’((
“Tuh, Mas.. Katanya hatinya Agit
ketinggalan.” Ujar Saib kepada Mas Bagus.
“Enggak, kok. Gak ketinggalan.”
Sahut Mas Bagus meyakinkanku. Aku menutup pintu taksi. Ku turunkan kaca mobil
dan melambaikan tangan.
Awan yang kemerahan, mengiringi kepergianku |
Langit Praya pagi itu, sendu
Seolah mengantar kepergianku
Semakin jauh
Dan jauh
Jauh
Sampai tak terlihat lagi
Ku tolehkan wajah ke jendela
Ada air mata yang menitik disana
Bersambung Kesini >>> Malang Melintang dari Mandalika sampai Ketapang :)
gud..gud..
ReplyDelete