Tuesday 29 October 2013

Pedalaman Tanjung Enim, Palembang

Palembang, sebuah kota yang terletak di Pulau Sumatera bagian selatan. Dengan mpek-mpek sebagai makanan tradisionalnya, dan Jembatan Ampera yang membelah Sungai Musi sebagai ikon dari kota tersebut. Beberapa bulan lalu saya mendapat tugas kesana. Saya telah membayangkan berada di tengah-tengah atmosfer kota yang penuh dengan cici dan koko-koko. Namun bayangan saya salah, saya ditugaskan ke hutan, hutan pedalaman Tanjung Enim.

Tanjung Enim merupakan bagian dari Kabupaten Muara Enim yang terletak di Provinsi Sumatera Selatan dan dikenal sebagai salah satu tempat pertambangan batu bara terbesar di Pulau Sumatera. Ya, saya mendapat perintah untuk menjalankan medical check-up di satu pertambangan paling terkenal di Tanjung Enim. Tanpa disebut namanya pun pasti warga setempat tahu. Saya dan tim diberi waktu selama sepuluh hari untuk memeriksa kesehatan pegawai yang bekerja di perusahaan tambang tersebut dengan total lebih dari seribu pegawai.

Disana, kami disediakan mess. Mess putri disediakan satu ruangan sementara yang putra tidur di klinik. Kebetulan alat-alat kesehatan semuanya kami bawa dari Jakarta sehingga benar-benar harus dijaga dan dikontrol setiap waktu. Mess ini terletak di dalam hutan. Sepanjang jalan dari kota menuju kesini hanyalah hutan dan pertambangan. Kendaraan yang boleh keluar masuk area ini pun hanyalah kendaraan yang berlambangkan perusahaan tersebut. Bayangkan saja bagaimana ribetnya akses ke kota.

Niat awal menerima tawaran medical check up di luar pulau dengan harapan bisa menyempatkan jalan-jalan ke Jembatan Ampera atau sekedar melihat-lihat kawasan Gunung Dempo pupus sudah. Saya dan Tim bekerja pagi-sore, siang-malam. Pasien terus-terusan datang ke klinik mengingat jam kerja mereka dibagi menjadi tiga shift. Saya yang sangat takut drop karena kelelahan, akhirnya menjaga pola makan. Berbagai menu makanan yang disediakan untuk pegawai tambang pun ikut saya lahap. Mereka disediakan susu, saya ikut minum susu pagi-sore. Mereka disediakan telur rebus dan buah, saya ikut mengambilnya. Menu makanan selama disana, benar-benar menyehatkan. Pantas saja pegawai-pegawai pertambangan disini sehat-sehat.

Saya pun sehat, juga bertambah berat. Tiga hari terakhir, saya menyempatkan diri untuk lari pagi di sekitaran mess setelah shubuh. Namun tak ada perubahan yang terjadi di pipi dan paha saya. Hahaha :D


Ini saya dan baju dinas kebesaran :D

Iya, bukan bajunya aja yang kebesaran, orangnya juga :(

Bukan Agit namanya kalau hanya kerja dan kerja terus. Ketika yang lainnya sudah merasa bosan, saya mulai asik dengan dunia saya sendiri. Saya mulai berteman dengan langit Tanjung Enim, monyet-monyet di sekitaran mess, juga pemandangan hutan lebat di pinggiran area pertambangan. 

Hae Onye :3


Pisang Ngembat di Kantin

Langit dan Masjid

Senja di Anjungan

Siluet Pipa Raksasa


Kece!!!


Hari terakhir, kami diberi kesempatan untuk keluar area pertambangan. Sekedar beli oleh-oleh sampai batas waktu yang ditentukan, initinya tak boleh kemalaman. Kebetulan saat itu malam minggu. Suasana di kota tampak ramai. Teman-teman saya sibuk membeli oleh-oleh, sementara saya celingukan di pinggir jalan. Iya, kebetulan saya hanya membawa carrier dengan muatan 30 L selama dinas disini, padahal yang lainnya membawa koper-koper super besar. Dan carrier sudah terisi penuh. Saya malas membeli oleh-oleh dan berniatan membeli mpek-mpek di dekat rumah saja. Toh rasanya pun sama. Sempat saya mampir ke salah satu toko mpek-mpek, namun di dalamnya begitu amis dan ruangan tersebut penuh sesak dengan botol bir. Saya ketakutan sendiri kalau-kalau cara pembuatannya tak halal.

Terdengar bunyi petasan, saya berjalan ke arah sumber suara. Beberapa teman yang seumuran dengan saya akhirnya mengikuti kemana saya pergi. Mereka takut saya hilang. Tenanglah kawan, sekalipun hilang, saya tetap bisa pulang sendiri :D

Pandangan saya terpaku pada tiga buah patung yang berdiri di tengah-tengah taman bermain. Eh, bukan taman bermain, tapi inilah alun-alun kota. Anak-anak kecil di sini bilang namanya alun-alun muhammadiyah. Setelah diamati, ternyata ketiga patung ini merupakan simbol mata-pencaharian warga setempat. Patung yang tengah bertuliskan BKR (Badan Keamanan Rakyat), yang sebelah kanan adalah laskar rakyat (beruang hitam) yaitu para pekerja tambang, dan yang kiri adalah simbol dari perempuan.dan pendidikan. Kebetulan saat itu bulan purnama dan saya berhasil mendapat jepretan yang pas!


Patungnya kayak gini. (Sumber : Neutrons Blog)


Ini jepretan saya. Yah, walau agak sedikit blurrr..

Saya yang memang senang bermain dengan anak kecil, akhirnya ikut-ikutan menyalakan petasan dan kembang api. Tak lupa berfoto bersama.




Dan setelah sepuluh hari, akhirnya kami pulang. Ya, kami pulang melalui jalan darat dan menyeberangi selat sunda dengan kapal. Satu bis besar yang bermuatan lima puluh orang hanya diisi dengan tim kami yang berjumlah tigabelas orang. Kebayang nggak dinginnya kalo malem gimana? Yaudah, nggak usah dibayangin. Hahaha. Iya, pak Bos sengaja menyewa bis besar karena alat-alat kesehatan yang kami bawa dari Jakarta ukurannya besar-besar. Yah, begitulah. Walaupun badan capek pegel-pegel, tapi pemandangan sepanjang jalan pulang ngebayar semuanya :)




Ada yang bilang ini bukit telunjuk, ada juga yang bilang gunung jempol.

Antara Bakauheuni - Merak


***Foto-foto koleksi pribadi

Friday 18 October 2013

Mendadak Gede 2958 mdpl

Beberapa kali aku menerima ajakan seperti ini...

"Get, naek gunung yuk.." Ajak Oci, teman kampusku.

"Iya, kapan-kapan ya. Males gue." Jawabku ngasal.

Atau ini...

"Anterin gue ke bukit apa kek, gue pengen ngeliat bintaaang sama langiiiiit." Ajak Tiwi, sepupu sekaligus partner kerjaku.

"Iya, kapan-kapan ya. Males gue." 

Berkali-kali aku ditagih dua orang ini untuk menemani mereka naik gunung. Entah apa yang menjadi alasan utama mereka tiba-tiba terlihat begitu ngebet naik gunung setelah aku turun Rinjani. Awalnya mereka tak mengenal satu sama lain, namun aku sengaja memperkenalkan mereka berdua agar berkoordinasi sendiri untuk rencana naik gunung perdananya. Jika mereka berdua telah siap secara fisik, mental dan kebutuhan lainnya, aku baru mau jalan.

Perjalanan ini terjadi seminggu lalu, ketika tiga perempuan kecil dan labil kebingungan mengisi hari liburnya. Kebetulan mereka jomblo sehingga tak ada pacar yang melarang dalam perjalanan nekat ini (mereka? iya mereka jomblo. aku sih engga.). Kami memilih untuk menjamah Gunung Gede karena gunung inilah yang terdekat dengan kota kami. Kami juga memutuskan untuk naik gunung dalam sehari saja tanpa berkemah. Ayah Riffat lah yang menjadi pacuan kami mengapa berani untuk tektok di gunung ini. Ia dan suhu-suhu lainnya biasa naik pukul sembilan pagi dan sudah turun dan sampai basecamp pukul empat sore. Mereka hanya membutuhkan waktu tujuh jam untuk naik-turun gunung ini.

***

Sabtu, 5 Oktober 2013

Aku meninggalkan Bekasi lebih dahulu. Sebelumnya aku harus ke Taman Menteng untuk technical meeting dengan kawan-kawan Eks-Semeru 2013 yang akan merayakan reunian di Merbabu (tunggu ceritanya, ya!). Sementara Tiwi masih bekerja di kliniknya sampai pukul sembilan malam, dan Oci kebagian tugas untuk menjemput Tiwi.

Mereka akhirnya meninggalkan Bekasi sekitar pukul sepuluh malam. Oci adalah perempuan bertubuh mungil yang bawelnya luar biasa, sementara Tiwi adalah sosok wanita dengan postur tubuh besar dan suaranya yang menggelegar. Mereka berdua bagaikan..... *isi sendiri* Kebayang gak, mereka berdua naik bis sampe Pasar Rebo dan menungguku sampai dua jam? Apa saja ya, yang mereka bicarakan sepanjang jalan?

Aku ngaret. Transjakarta yang begitu langka karena adanya Pasar Malam di Monas membuatku kesulitan untuk menuju Pasar Rebo. Untunglah mereka berdua setia menungguku. Pukul setengah dua belas malam, kami bertemu. Tak lupa untuk saling berpelukan.

Setelah membeli pisang dan sekiranya logistik lengkap, kami memutuskan untuk menaiki Bus Marita tujuan Cianjur. Tarif bus ini duapuluh ribu rupiah. Kami duduk di tangga depan dikarenakan semua kursi telah terisi penuh.

"Te, gue laper..." Keluh Tiwi. Iya, disini aku dipanggil Gete, bukan Agit.

"Yaudah, makanlah. Tadi mbungkus nasi goreng kan dari Bekasi?" Tanyaku pelan, takut mengganggu penumpang lain yang sedang tidur.

"Iya, tapi sendoknya gak adaaa." Ujar Tiwi dengan suaranya yang besar. Penumpang mulai ber-sstttt-ria. Aku mengambilkan sendok dari dalam tasku. Kemudian kami makan sebungkus nasi goreng bertiga dengan lahapnya.

Setelah makan, kami mencoba untuk tidur atau sekedar memejamkan mata. Henfonku mati sehingga tak bisa melakukan apa-apa selain memandangi jalanan. Sebuah jalan yang tak pernah terasa asing. Sebuah jalan yang dulu sering kita lalui bersama dengan roda-duamu. Ah, sudahlah.

Dan sepanjang jalan kenangan, motor-motor Vespa berjejeran.

Yak! Ternyata komunitas Vespa (entah regional Jabodetabek atau Jawa atau Indonesia) sedang melaksanakan sebuah acara di kawasan Cibodas. Supir Bus terlihat kesal karena motor mereka berjalan lamban, bahkan tak jarang tiba-tiba mati di tengah jalan. Kami hanya tertawa melihatnya. Begitu pula dengan Komunitas Motor Gede yang dengan seenak jidatnya salip sana-sini atau memotong jalan. Bagaikan monyet sok gagah yang tak tahu aturan. Cih!

Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di Masjid At-Ta'awuun. Masjid ini merupakan tempatku biasa menghilang dari peradaban sebelum mengenal dunia pergunungan. Iya, aku sudah biasa menghabiskan Sabtu-Mingguku di masjid ini. Jadi tak heran jika mereka ku ajak kesini untuk sekedar membersihkan badan, mengisi perut-perut lapar atau bahkan tidur sebentar. Tapi yang terjadi malah cekikikan sepanjang malam sambil berfoto-foto ria.


Ini Namanya Oci

Ini Tiwi. Iya, kakinya emang gitu. Hahaha :D


Pukul empat pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Cibodas dengan menggunakan bus Doa Ibu yang kebetulan lewat. Kami menyempatkan diri untuk tidur beberapa menit. Sesampainya di pertigaan Cibodas, Pak Kondektur membangunkan kami dan kami bergegas turun.

Kami segera berlarian ke Alfamart untuk melengkapi belanjaan yang kurang. Kemudian memutuskan untuk berjalan kaki sampai basecamp Indonesian Green Ranger. Namun hal itu tak berjalan lama, tiba-tiba dua buah vespa melintas dan berhenti di hadapan kami. Kami ketakutan.

"Mau kemana, mbak? Pagi-pagi gini udah jalan bertiga gelap-gelapan." Tanya salah seorang diantara mereka.

"Ke Cibodas, Bang." Jawabku ramah.

"Ayo, bareng aja. Kita juga mau kesana. Lagi ada event di Cibodas." Sahut yang satunya. Kami bertatap-tatapan bingung. Ragu.

Setelah melakukan perundingan panjang, akhirnya kami menuruti mereka. Tiwi menaiki vespa berukuran dua orang sementara aku dan Oci berboncengan di vespa yang lebih besar. Kami bertukar cerita sepanjang jalan. Ternyata mas-mas ini berasal dari Karawang dan dari kami sampai di bawah tadi, mereka sudah berniatan memberi tumpangan. Ah, memang susah memiliki tampang ketje seperti ini. *kibas jilbab*

Sesampainya di Cibodas, vespa-vespa ramai terparkir di sepanjang jalan dan pasar. Aroma subuh seolah-olah berdamai dengan wangi alkohol dan ganja. Kami turun dan mengucapkan terimakasih kepada mas-mas Karawang ini. Ingin rasanya segera kabur jauh-jauh dari mereka. Namun mereka menahan kami dengan pertanyaan basa-basi lengkap dengan permintaan nomor telefon. Kami bertiga kompak menjawab "Lupa", sehingga mau tak mau aku yang mengorbankan diri untuk memberikan ID Facebookku..

Kami segera mencari warung, melaksanakan shalat Subuh dan membungkus nasi sebagai bekal perjalanan. Setelah berdoa dan semuanya dirasa lengkap, kami memulai perjalanan pukul setengah enam pagi.


Emang sengaja dibikin blur muka orangnya :D

Kami segera melapor ke perizinan dan membeli tiket wisata ke Curug Cibeureum. Iya, kami tak mengaku kepada petugas bahwa kami memiliki niat terselubung untuk mendaki Gunung Gede dalam sehari. Agak was-was sebenarnya. Namun ya sudahlah, toh niat kami tak jahat.

Kami terus melangkah dengan posisi Oci di depan, Tiwi di tengah dan aku di belakang. Oci berjalan cepat sekali dan Tiwi belum bisa menemukan ritme nafas beserta langkahnya, sehingga beberapa kali ia meminta break. Sementara aku, aku menapak tilas jalur Cibodas ini (bisa dibaca >>> disini). Jalur yang ku lalui bersama Imam dan Nauvael karena suntuknya pikiran dan jengahnya perasaan. Jalur yang kusebut dengan jalur curhat dan galau sepanjang jalan. Jalur yang meyakinkanku bahwa setelah turun dari sini, aku bisa menjalani hari-hariku tanpanya --- tanpa ia, yang setahun terakhir bersamaku.

Kami berjalan cukup cepat, hanya setengah jam waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke Telaga Biru. Aku segera sarapan sementara Tiwi dan Oci sibuk berfoto-foto. Setelah kriuk-kriuk di perut mulai hilang, kami melanjutkan perjalanan.

Lovieisme \m/

Kami tak banyak bercengkrama, hanya berbicara sekedarnya sambil bersenandung ria. Ku lihat muka stress terpancar dari wajah Tiwi, nampaknya ia telah merasakan penyesalan di awal. Iya, siapa bilang penyesalan selalu datang belakangan? Nyesel naik gunung itu datangnya di awal, tau! Puasnya belakangan :)

Di Pos Pencayangan, kami tak beristirahat. Saat itu pukul tujuh dan kami harus tiba di Kandang Badak sebelum Dzuhur. Kami terus berjalan sampai Pos Air Panas. Tiwi mulai ngebut dan aku masih terseok-seok di belakang. Payah -_-

Sesampainya di Kandang Batu, kami membuka nasi bungkus dan tidur sebentar. Lama kelamaan badan kami terasa dingin. Kami terus berjalan dan sebentar-sebentar beristirahat. Badan kami sudah terasa lemas dengan kantuk yang luar biasa karena tak tidur semalaman. Kami baru tiba di Kandang Badak pukul sebelas siang.

Setelah membuka termos berisi nata de coco plus floridina yang terasa dingin di tenggorokan, semangat kami kembali membuncah. Target kami sampai Tanjakan Setan tepat pukul dua belas siang. Namun rencana hanyalah rencana. Kami drop.

Kaki-kaki kami sudah mulai gemetaran. Nafas kami mulai terasa pendek. Beban di punggung kami seolah-olah bertambah dua kali lipat. Dan Tanjakan Setan tak juga terlihat. Berkali-kali kami disapa pendaki lain yang melintas dan meyakinkan kami bahwa puncak sudah dekat. Sampai pukul dua belas siang, kami tak juga sampai.

Kami kelelahan.

"Gue gak kuat, Te.. Ini udah jam berapa.. Kayaknya gak sanggup deh." Ujar Tiwi hopeless.

"Gimana, Ci?" Tanyaku pada Oci. Jujur, aku pun sudah pasrah dan ingin segera turun.

"Tanggung, Get.." Jawab Oci memelas. Kami semua diam menunduk.

"Gue takut kemaleman turunnya. Gelap di jalur." Ujar Tiwi lagi.

"Apalagi kita cuma bertiga.." Sambungku lemah.

"Gue juga udah lemes, Get. Tapi tanggung..." Tegas Oci.

"Lo naek deh, Ci.. Gue disini aja. Capek banget gue. Huaaaaa..." Mataku mulai berkaca-kaca. Begitu pula Tiwi. Sementara Oci terlihat pasrah.

"Yaudah deh, kita turun.." Ujar Oci tiba-tiba. Kami berpandang-pandangan sedih. Kami diam cukup lama.



hening



"Gue gak rela kalo kita nangis disini!! Udah ya, mendingan kita nangis diatas aja!!" Ujarku emosi. Sudah jauh-jauh kesini tapi nggak muncak itu rasanya percuma!

"Tiwi di depan, Oci tengah, gue belakang. Ci, lo pelan-pelan, sambil ngobrol aja sama Tiwi. Ikutin langkahnya. Gue mau jalan galau aja. Hahaha" Kami berangkulan dan melanjutkan perjalanan. Pukul satu kurang sekian, akhirnya kami tiba di Tanjakan Setan.

Trek Tanjakan Setan ini persis seperti bebatuan di Senaru. Bedanya, disini disediakan tali untuk rock climbing. Oci yang memanjat paling pertama, kemudian disusul aku dan yang terakhir Tiwi. Jam tangan Tiwi jatuh di Tanjakan ini. Sabar ya, nduk, nanti minta dibeliin yang baru sama si Mas ya :)

Ciyeee, yang habis ngelewatin Tanjakan Setan :)

"Get, kita gila nggak sih, Get... Ke Gede tektok gini?" Tanya Oci tiba-tiba.

"Emang kenapa, Ci?" Tanyaku bingung.

"Iya, temen gue bilang gini, 'lu gila ya ci, gunung gede tektok. yang ada mati lu ntar' Gitu Get!" aku tertawa kecil.

"Iya, temen gue juga bilang gitu Te. Katanya kalo ke Gede harus nge-camp. Gak bisa tektok." Sambung Tiwi. Iya, Oci memanggilku Get, sementara Tiwi memanggilku Te.

"Kata siapaaaa?" Ujarku bijak. Mereka menggidikkan bahu.

"Ayah Riffat yang urutan ke-sembilan Mount Rinjani Ultra aja yakin kita bisa. Temen lo itu siapaa? Bisa apa diaa? Mereka bilang mustahil karena mereka gak pernah nyoba." Sambungku perlahan.

"Kata temen lo apa, ci? Kalo tektok Gede nanti lo mati?" Tanyaku pada Oci. Oci hanya mengangguk.

"Nah, nanti sampe puncak, lo bikin tulisan gede-gede kalo lo masih idup. Oke?"

"Hahahaha..." Kami saling tertawa.

Tiba-tiba muncul tiga orang mas-mas dari Bekasi juga. Kami terus mengikuti mereka. Mereka pun sabar menunggu jalan kami yang mulai melamban dan tertatih-tatih. Jarum jam telah melewati angka satu dan lagi-lagi kami merasa hopeless. Ya memang selalu seperti itu perjalanan ke puncak, selalu bikin down.

"Ayo, mbak. Dikit lagi!! Ini batas vegetasinya udah mau abis nih!!" Ujar salah satu di antara mereka terus menyemangati kami. Kami pun heran mengapa mereka begitu baiknya menunggu kami, padahal berkenalan pun belum.

Kami berjalan terseret-seret..

Dengan mata berkaca-kaca..

Dan lutut yang semakin lemas..

Kami berpelukan...

Di ketinggian....



Makasih ya, Tim Floridina!!

Iya, kami menamakan tim kami ini Floridina. Tau Floridina, gak? Itu loh, minuman bulir jeruk yang jadi saingannya Pulpy Orange. Aku sengaja membawa oplosan Floridina, madu dan nata de coco yang hanya boleh dibuka jika telah sampai di puncak. Dan akhirnya kami pesta Floridina di puncak! Tak lupa melahap telur dan roti sebagai makan siang. Nyam :D

"Gete, lo gak bikin tulisan buat Mas Apik?" Ujar Tiwi tiba-tiba. Aku memutar bola mata dan menggeleng mantap disertai senyum penuh makna. Tiwi menatapku bingung.

"Kenapa?" Ujarnya kepo.

"Nggak papa." Sahutku singkat. Iya, jika diingat-ingat, sepertinya aku hanya membuat tulisan di Rinjani saja, di gunung lainnya belum pernah. Itupun tulisanku di khususkan untuk keluarga. Bukan untuk pacar dan lain-lainnya. Lagipula aku lebih senang foto dengan boneka daripada secarik kertas. Ah, sudahlah :)

"Yaudah, bikinin gue tulisan dong." Ujar Tiwi seraya menyodorkan kertas dan spidol.

"Buat?" 

"Buat Rindi yang ulang tahun, sama buat si Mas yang lagi di Timur." Ujar Tiwi malu-malu. Aku menjalankan perintahnya sementara Oci sibuk sendiri.


2958 woooy, bukan 2985!!!


You're Rock Ci!!! \m/


Anggap saja ini Medina Kamil versi Syariah ;)

Sabar ya, bentar lagi ganti :')

Lovieisme lagi \m/

Setelah puas makan dan jeprat-jepret, akhirnya kami turun. Ketiga mas-mas asal Bekasi juga ikut turun. Setelah mengobrol panjang lebar ternyata masing-masing dari mereka bernama Eko, Eka dan Tile. Mas Eko sama sepertiku, yang meracuni teman-temannya untuk tektok gede. Sementara Mas Eka dan Tile sama seperti Oci dan Tiwi yang hanya ikut-ikut saja.

Sepanjang jalur turun, aku berlari. Butuh waktu kurang dari satu jam yang kuhabiskan dari puncak sampai Kandang Badak, sementara saat naik tadi kami sampai tiga jam. Aku sampai lebih dulu di Kandang Badak dan memutuskan tidur cukup lama. Di jalur turun tadi Tiwi sempat jatuh, nampaknya kakinya mulai cidera---sebut saja kecetit.


without me :'(

Aku tak tau kapan mereka sampai di Kandang Badak. Waktu telah menunjukkan setengah lima sore ketika kubuka mata. Aku tertidur dengan bersandar di sebuah pohon. Menurut informasi mas-mas yang kami ikuti, Tiwi dan Oci sedang mengambil air dan buang air. Bukan sambil menyelam minum air, ya. Bukan itu!

Kami melanjutkan perjalanan turun yang sudah pasti nantinya akan melalui night trekking. Bodohnya, aku lupa tak mengingatkan Tiwi agar membawa senter, sementara Oci hanya menerangi dirinya dengan lampu powerbank. Dan aku, aku lupa membawa batere cadangan untuk headlampku sehingga nyala lampunya terlihat redup.  Untung ada mas-mas ini. Jadi sepanjang jalan turun pun kami mengikuti mereka.

Kami terus berjalan tanpa henti
Menembus kegelapan yang merasuki
Angin hutan tak lelah berbisik
Begitu pun suara jangkrik
Membangunkan bulu-bulu yang bergidik

Kunang-kunang menari-nari
Berkelap-kelip menerangi
Apakah benar hewan kecil nan indah ini
Terbuat dari kuku orang mati?

Mari segera pulang
Hutan tak lagi milik orang


Agita Violy - Ketakutan
Jalur Cibodas, 6 Oktober 2013

Kami tiba di Pos Pencayangan pukul tujuh malam. Tiwi bercerita bahwa ketika melintasi air panas tadi, dirinya hampir terpeleset karena licin. Untunglah ada mas-mas yang siap sedia menolongnya. Dan untung juga, ia memiliki kaki panjang sehingga kemungkinan ia terjatuh lebih rendah dibanding aku ataupun Oci yang kakinya lebih pendek. Oke, Abaikan.

Di pos Pencayangan ini, banyak pendaki yang beristirahat dan ngeriung. Kalo kata orang Jawa mah, njagong atau cangkruk. Aku tak kuasa menahan kantuk. Dengan beralaskan tas ransel avtech milik mas-mas, aku tertidur sambil ngiler. Maaf ya, mas. Aku khilaf ._. Oci dan Tiwi pun ikut tertidur sementara mas-mas sibuk ngopi dan merokok dengan pendaki lainnya.

Lama kelamaan badan kami semakin dingin. Akhirnya kami terus turun dan tiba di basecamp kurang dari jam delapan. Aku segera menyalakan henfon dan mengabari orang rumah bahwa aku pulang telat. Tak lupa juga memberi tau si Mas bahwa kami turun dengan selamat. Kami segera mengisi perut dan membeli minuman hangat. Kemudian bertukar cerita tentang pendakian.

Bogor gerimis. Mas-mas mengantar kami sampai pertigaan Cibodas. Kebetulan saat itu tersedia dua motor. Jadilah satu motor untuk mereka bertiga dan satunya lagi dipakai kami dengan Tiwi sebagai tukang ojeknya. Tak cukup lama kami menunggu bus menuju Jakarta. Setelah bertukar kontak, kami pulang.

Dan tak ada yang lebih menyenangkan, dari pengalaman dan teman-teman baru yang begitu beragam. Buatlah anak cucu kita bangga, bahwa ibu atau neneknya dulu adalah seorang pejalan yang tangguh. Salam pejalan...




Sekian :)

Thursday 17 October 2013

Lombok Tourism Place and the Sasak Tribe

-->

Lombok Island Tourism Map



Lombok is an island in West Nusa Tenggara Province, Indonesia. The northern part of the island is mountainous and lush with tall trees or  shrubs. The south, on the other hand is arid and covered by savannas. The difference becomes more pronounced as one moves further east, where dry seasons are more prolonged.

Situated on the western side of Lombok Island, the city of Mataram is the capital and largest city in the West Nusa Tenggara Province. Mataram is the center of the provincial government, education, commerce, industry and services. Public buildings, banks, post office, general hospitals, shopping malls, and hotels are found here, making it a perfect staging point before travelers explore the undiscovered splendors of Lombok Island.


Sasak Tribe



No many people know about this general area in the past. During 17th century, Dutch began to colonize this place. Sasak kingdom dominated this area until Balinese and Makasarrese attacked it. In the middle of 18th century, Balinese kingdom reigned this place. Dutch occupied this place in 19th century.

After Indonesian independence, Sasak people and Balinese dominate Lombok, but Javanese also can be found in West Nusa Tenggara. Arab, Bugis and Chinese also live in this area. Most of Sasak people are Muslim. They value modesty, meaning visitors should respect their belief. You should cover yourself appropriately, meaning going nude or topless is deemed inappropriate. Public display of affection should be limited and consumption of alcohol must be done moderately.


Nowadays, Sasak People still live like their ancestors, fishing or farming. Corn and sago are staple food, instead of rice. Sasak people enjoy spicy food such as Ayam Taliwang, Plecing Kangkung, Nasi Balap Puyung or Sayur Kelor. Ayam Taliwang is roasted chicken served with peanut, tomato chili and lime dip. Plecing Kangkung is stir-fry water spinach that made with chili, shrimp paste and tomato. Nasi Balap Puyung is rice with side dishes of spicy chicken and fried soy bean. And the last, sayur kelor is hot soup with kelor leaves.

Some of Sasak People is a weaver too. Sukerare and Sade village is the producent of woven fabric which is called Tenun Sasak or Songket Sasak. It is one of the uniqes traditional crafts from Lombok. Women in these village was indeed obliged to learn weaving. More uniquely, one of the conditions of the weavers in the village must be a girl or still virgin or unmarried women. So you could say, before getting married, the girl must be clever in weaving.

 
Tenun Sasak



Regulation for marriage in Sasak is called Merarik. So, if both of them like each other, don ' t have to wait long to get married. The boy must steal the girl, wait for one day and the girl’s parents will looking for her. After that they should be married. Filch the girl was more accepted their family.


And the last, the most popular in Lombok is the tourism places. Senggigi and Kuta Beach in Lombok is also famous for its beautiful, largely deserted, white sand beaches. Sekotong, in southwest Lombok, is popular for its numerous and diverse scuba diving locations. South Lombok surfing is considered some of the best in the world and includes Desert Point at Banko Banko in the southwest of the island. And the nothern, you can go to Gili Islands. They are Gili Trawangan, Gili Meno and Gili Air. But, if you like adventurer activity, you must try to climb and hike the Rinjani Mountain. Rinjani Mountain is the third highest Mountain in Indonesia with the top 3.726 meters above sea level. You can see a most beautiful landscape like a paradise. Trekking up Rinjani Mountain is a test of endurance but you’ll be rewarded with spectacular views of volcanic landscapes, sulfur lakes and waterfalls and other magnificent scenery along the way. Once you’ve climbed the mountain, there are still many wonders left to explore in the Rinjani Mountain National Park.


Kuta Beach, Lombok

Rinjani Mountain
 



*all photos are from google.co.id :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...