Monday 30 September 2013

Let Me Go Home (end)

Ceita Sebelumnya >>> Klik disini :)

Aku tiba di pelabuhan Ketapang pukul sebelas malam. Segera ku telefon saudaraku di Banyuwangi. Setelah satu jam menunggu, tak ada satupun yang bisa menjemput. Akhirnya ku putuskan untuk segera ke rumahnya dengan menggunakan bus.

Aku turun di Benculuk. Dari sana aku tak tau harus kemana lagi. Ku putuskan untuk menunggu di Alfamart yang kebetulan buka 24 jam. Jarum jam telah menunjukkan angka satu. Situasi jalan sudah sepi dan menyeramkan. Disana hanya ada supir truk dan preman pasar yang memandangiku aneh karena mondar-mandir dengan carrier di punggung. Sejenak aku merasa beruntung memiliki wajah gosong seperti ini karena terlihat menyeramkan. Tak ada satupun dari mereka yang berani menggodaku.

Setengah dua pagi, akhirnya aku di jemput. Tepat jam dua aku beranjak tidur.


Senin, 19 Agustus 2013

Aku bangun bertepatan dengan adzan shubuh. Badanku semakin terasa tak enak. Seharian di Banyuwangi hanya ku habiskan dengan makan, tidur dan jalan-jalan ke rumah saudara yang lain. Aku bosan.

Beranjak malam hari, ku lihat bulan purnama yang begitu terang. Ku habiskan malam di pinggir sawah milik pakdhe sambil bermain petasan dengan bocah-bocah penghuni kampung. Ku layangkan pandangan ke langit. Karena sejauh apapun jarak kita, selama masih bisa melihat bulan yang sama, aku akan selalu merasa dekat.



Selasa, 20 Agustus 2013

Sama seperti sebelumnya, aku bangun bertepatan dengan adzan shubuh. Kemudian segera mandi dan berkemas karena akan melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan kereta Mutiara Timur Siang pukul delapan. Aku diantar pakdhe menuju stasiun Banyuwangi Baru pukul enam pagi.

Sungguh tak enak rasanya dibonceng naik motor dengan menggendong carrier selama satu setengah jam. Terlebih lagi aku mulai moncor-moncor. Itulah penyakitku yang paling sering kambuh jika masuk angin dan asal makan.

Kereta mulai beranjak meninggalkan stasiun Banyuwangi baru pukul setengah sembilan. Jantungku terasa berdesir mengamati pemandangan di luar jendela. Aku semakin menjauh dari timur. Aku terus menuju barat walaupun aku sendiri tak tau kapan bisa tiba di rumah.

Ku habiskan waktuku selama enam jam di kereta dengan tidur dan memainkan ponsel. Mas Bagus terus menanyakan keberadaanku. Aku sendiri bingung mau langsung melanjutkan perjalanan ke Kediri atau menghabiskan satu malam di Surabaya. Aku terus meminta maaf tak bisa mampir ke kotanya, Ia pun meminta maaf karena tak bisa menemuiku di stasiun. Saat itu ia masih dalam jam kerja dan baru pulang pukul lima sore. Saib juga mulai berisik menanyakan keberadaanku. Begitu pula Mas Ardi dan Mbak Niza. Semua berebutan menawarkan jemputan.

Pukul setengah tiga, kakiku melangkah perlahan di Stasiun Gubeng. Ku hirup aroma Surabaya yang panas dan menyengat. Dalam. Ku pejamkan mata dan badanku bersandar pada salah satu dindingnya. Baru kali ini, aku merasa bingung dan tak tau harus kemana. Ku seret langkahku menuju loket.


"Mbak, Kereta jurusan Kediri?" Tanyaku pelan.

"Kereta Rapidoho terakhir jam lima sore, Mbak." Jawab petugasnya.

"Satu, mbak." Ujarku ragu.

"Buat besok!!" Sambungku cepat. Mbak Loket bingung menatapku.

"Buat besok pagi, kereta pertama tujuan kediri." Jelasku perlahan. Si Mbak Loket segera mencetak tiket dan aku menyerahkan uang lima ribuan. Aku bengong. Surabaya kan gak ada di dalam jadwal jalan-jalan sembilan belas tahun! Harusnya kan sore ini juga ke Kediri! Kenapa harus semalam di Surabaya sih!!!

"Mas, Kereta Kediri adanya besok pagi. Aku harus kemana lagi ini?" Segera ku kirim ketikan tersebut ke Line Mas Bagus.


Maaf aku berdusta
Meninggalkan kotamu saja aku tak kuasa

Aku...
Ah sudahlah
Semoga kau datang menjemputku
Seorang gadis kecil dengan tas besar di punggung
Duduk termenung
Bingung

Di Sudut Stasiun, Surabaya - 20 Agustus 2013


Henfonku berdering.

"Agit dimana?" Suara Mbak Niza terdengar panik di kejauhan.

"Hehehe.. Udah Mbak Niza tenang aja yaaa.. Aku mau keliling Surabaya dulu." Jawabku cengengesan.

"Lhoooo jangaaan. Nanti kamu nyasar. Tak jemput aja wes. Posisimu dimana?" Tanyanya lagi. Aku masih ketawa-ketiwi.

"Santai aja, Mbak.. Nanti malem ngopi yaaa.."

"Ooooohh.. Dijemput Mas Bagus ta? Hmmmmmm...." Aku hanya menjawab dengan hehehe. Telefon diputus.

Aku segera mencari warung untuk mengisi perut dan menyeruput es teh manis. Mungkin diujung perbatasan sana, di Tanjung Perak tempat ia bekerja, Mas Bagus sedang sumringah dan senyum penuh bahagia. Atau bahkan sampai loncat-loncat sangking senangnya. *dikeplak* Ia terus memperingatkanku agar tak main jauh-jauh. Aku hanya menjawab, " Kalo aku  nyasar, mas jemput ya..."

Ku putuskan naik angkot asal-asalan. Kemudian setiap orang-orang turun, aku ikut turun. Mengunjungi taman, pusat kota, mall, kerumunan pinggir jalan dan lain-lain. Dua jam ku habiskan untuk keliling Surabaya. Henfonku mulai menunjukkan tanda-tanda kematiannya. Mas Bagus kelabakan mencariku. Rupanya ia telah keluar kantor dan hendak menjemputku.

Aku segera kembali ke Stasiun Gubeng. Namun sialnya angkot yang ku naikki tak lewat sana. Ku telfon Mas Bagus agar menungguku di depan hotel Sahid. Kebetulan saat itu yang terlihat jelas oleh mataku hanya Hotel Sahid. Namun ternyata cukup jauh aku berjalan menuju sana.

Aku menyeberang.
Kini aku tepat di depan hotel Sahid.

Seorang pria berjalan pelan ke arahku.
Aku memincingkan mata.
Kau kah?

Entah memang aku yang rabun senja atau memang sel-sel di otakku yang berhenti bekerja.
Tiba-tiba lagu Padi berjudul Mahadewi mengalun di telingaku

Terpukau aku menatap wajahnya
Aku merasa mengenal dia...

Tapi ada entah dimana
Hanya hatiku mampu menjawabnya
Mahadewi resapkan nilainya

Pencarian ku...
Usai sudah...
 

"Hai.." Sapaku pelan. Lututku terasa lemas. Kami segera berjabat tangan cukup lama dan terasa jelas terbersit keraguan untuk melepasnya. Ia segera meraih carrierku. Kami berjalan beriringan ke motornya.

"Yang lainnya udah pada istirahat di rumah, Dek Agit masih keliling-keliling aja." Ujarnya sambil tertawa. Aku hanya cengar-cengir.Carrierku diselipkan di bagian depan motor. Ia mempersilakanku naik. Motor melaju perlahan.

Situasi Surabaya senja itu, macet. Layaknya Jakarta pada jam pulang kerja. Namun hanya pada titik-titik tertentu saja. Aku segera dibawa ke rumahnya, berkenalan dengan ibunya kemudian tak lupa numpang mandi. Aku hanya memikirkan satu hal... Ketmau aku nggumun.. Kok iso yo, aku tekan kene.

Setelah mandi dan beres-beres, kami berbincang sebentar di ruang tamu rumahnya. Ia menanyakan akses menuju rumahku. Ku jelaskan perlahan. Baik dengan bus, kereta, sampai pesawat. Aku tak pernah sebesar ini menaruh harapan kepada seseorang. Dan sampai saat ini, aku masih berharap, kamu benar-benar datang.

"Tadi itu, sebenernya udah mau keluar kantor jam tiga. Pas Dek Agit sampe stasiun" Ujarnya tiba-tiba.

"Terus?"

"Kerjaanku udah kelar. Udah mau izin keluar sebentar, nengok Dek Agit di Gubeng sebelum lanjut ke Kediri. Eh tapi atasanku malah ngasih kerjaan lagi." Lanjutnya. Aku diam mendengarkan.

"Udah bingung mau ngapain itu tadi. Eh tau-tau Dek Agit bilang kereta ke Kedirinya habis. Alhamdulillaaaaah..." Ku lihat senyumnya yang begitu bahagia. Tatapan matanya yang teduh ku rekam dalam-dalam di ingatan. Semoga kelak aku bisa duduk di kursi ini lagi, mendengarkan ceritamu sepulang bekerja.

Mas Bagus mengajakku makan malam bersama Mas Galih dan Mas Kiki. Kebetulan juga ada Listy, teman pendaki juga yang baru turun Semeru. Kami membincangkan banyak hal. Aku masih mengingat setiap detailnya. Namun biar ku simpan sendiri ya :')

Pada sesi ngopi-ngopi, Mbak Niza datang. Aku memesan cokelat panas, padahal saat itu aku juga membawa cokelat instan yang tinggal di seduh. Mas Kiki dan Mas Ais menceritakan kesedihannya ketika mmc videonya hilang. Aku hanya menjawab dalam hati, semoga tulisan di blog ini bisa mengganti mmc video yang hilang. Walaupun masih banyak kekurangan dalam tiap detailnya. Kenangan kita kan beda-beda.

"Ngantuk ta, Git?" Tanya Mas Bagus membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng perlahan. Bagaimana bisa mengantuk bila rasa ini semakin menusuk.

"Capek, Mas.." Jawabku. Pukul sebelas malam, ia mengantarku pulang ke rumah Mbak Niza. Aku menginap disana, sementara carrierku ditinggal dirumah Mas Bagus. Esok pagi-pagi sekali ia akan mengantarku ke stasiun. Kereta tujuan Kediri berangkat pukul setengah lima pagi.



Rabu, 21 Agustus 2013

Aku bangun pukul tiga pagi. Ku lihat Mbak Niza masih terlelap. Ku sempatkan mandi sebentar dan segera ku hubungi Mas Bagus. Rupanya ia juga telah bangun dan hendak bersiap-siap menjemputku. Pukul empat kurang sekian, ia menelfonku dan mengatakan bahawa dirinya sudah di depan.

Ku bangunkan Mbak Niza dan berpamitan. Ia juga ikut pulang ke rumahnya. Iya, yang semalam tempatku menginap itu kos-kosannya.

Ku layangkan pandangan ke langit.
Bulan yang tinggal separuh,
Seolah-olah melepas kepergianku.

"Mas ngebut ya, dek.." Ujar Mas Bagus. Aku mengeratkan peganganku di pinggangnya. Terbersit rasa Mak Serrr di jantungku. Aku tak tau harus menyebutnya apa.

Perjalanan menuju stasiun Wonokromo ditempuh kurang dari tiga puluh menit. Kami tak banyak bicara saat itu. Aku pun masih bingung harus berkata apa. Kami hanya duduk di depan stasiun dan ia masih memegangi carrierku. Sampai akhirnya kereta datang dan kami berjalan beriringan ke pintu masuk.

Kami bersalaman dalam diam

Lama

Dan lebih lama dari sebelum-sebelumnya

Mataku terasa panas melihat matanya yang biasanya teduh, kali ini memancarkan kesedihan.

Tuhan, Aku tak pernah merasakan perpisahan seberat ini.

"Ati-ati ya dek..." Ujarnya pelan dan menyuruhku segera masuk.

"Carrierku mas. Hehe" Celetukku sambil melirik carrierku yang di gendongnya. Ia cengar-cengir sambil menyerahkan carrierku.

Aku masuk dan menunggu kereta siap.

Ia masih menunggu di luar dan tak mau beranjak sebelum kereta jalan.

Sesekali ku tolehkan pandangan, ia masih setia berdiri disana. Sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Segera ku usap agar tak ketahuan orang di sebelahku.

"Dek, ini buat bekal di kereta." Tiba-tiba Mas Bagus menyerahkan bungkusan plastik berisi air mineral, dan minuman lainnya. 

"Mas..." 

Belum sempat aku berkata-kata, 

ia sudah menghilang.



Menuju Kediri

Perjalanan ke Kediri hanya memakan waktu dua jam. Aku menghabiskannya dengan tidur. Begitu pula ketika sampai di Kediri. Niatanku untuk mengunjungi saudara disana dan berkeliling kota tiba-tiba menguap. Ku putuskan untuk sarapan Soto Daging. Beberapa menit setelah sarapan, badanku keringat dingin. Aku demam.

Kereta tujuan Semarang ku majukan untuk hari itu juga dengan keberangkatan pukul dua belas siang. Aku tak mau menunggu lama. Aku harus segera sampai di rumah. Ku hubungi teman-teman di Cruiser dan Unyu bahwa aku sakit di perjalanan. Mbak Ang siap menampungku di rumahnya. Mas Bagus dan Ayah memperingatkanku agar menuruti Mbak Ang.



Di Kereta Brantas Tujuan Semarang


Ku sandarkan kepalaku
Lemah
Di bahu jendela
Dengan kening yang menguap
Panas

Di sudut kursi
Merintih sendiri
Ku coba pejamkan mata
Sesak yang kurasa

Sampai semuanya gelap
Dan aku benar-benar terlelap

Agita Violy - Lemah
Brantas, 21 Agustus 2013


Di Semarang

Aku tiba di Semarang Poncol bertepatan dengan adzan Maghrib. Tak lama Mbak Anggarita menjemputku. Ia adalah pembalap rally nasional yang berdomisili di Banyumanik. Beruntung sekali ia mau menampungku. Ia segera mengarahkan mobilnya ke Simpang Lima kemudian berhenti di sebuah kedai sop dan gulai kambing.

Aku makan dengan perlahan. Nampaknya upaya pengurusan badan ke Rinjani dengan target susut delapan kilo ini positif gagal. Di Rinjani saja makanan berlimpah, turun Rinjani makan Ayam Taliwang, Nasi Balap Puyung. Di Bali makan Nasi Rawon. Di Banyuwangi makan masakan rumah. Di Surabaya makan bebek. Di Kediri makan Soto Daging. Sekarang di Semarang makan sup kambing. *elus-elus-perut*

Kebetulan saat itu ada mamanya mbak Ang juga adiknya. Sepertinya mereka baru pulang jalan-jalan. Selama di perjalanan pulang, Mbak Ang menjelaskan tempat-tempat nongkrong di Semarang. Namun aku hanya mendengarnya samar-samar. Aku ketiduran.

Sesampainya di rumah Mbak Ang, aku segera mandi air hangat dan memutuskan untuk tidur setelah sebelumnya ditodong cerita macam-macam dan akhirnya bercerita dari hati ke hati  :)



22 Agustus 2013


Aku bangun pukul enam pagi. Kebetulan saat itu aku sedang tidak shalat. Badanku terasa mendingan dari sebelumnya. Mbak Ang mengajakku mencari tiket pulang kemudian jalan-jalan ke Kota Lama Semarang.




Agit item banget ya? Hahahaha :D

Udah item, gendut, dekil :(




Kalo kata Om Lopi, Agit men-jelek :(


Menuju dzuhur kami pulang, kemudian melaksanakan sarapan yang tertunda. Selesai sarapan aku tertidur sampai Ashar. Lalu mandi dan membereskan barang-barang. Aku mendapatkan bis Nusantara tujuan Jakarta pukul tujuh malam. Mbak Ang mengajakku napak tilas dengan menggunakan motornya. Jalan-jalan sore sambil nyari Nasi Gandul dan mimik susu.

Ia membawaku ke universitas tempatnya kuliah dulu. Cantik-cantik gini ternyata dulunya Mbak Ang anak teknik. Ia menunjukkan tempat-tempat dimana ia pacaran dan cabut semasa kuliah. *digetok Mba Ang*

Kami main lupa waktu sampai-samapai adzan Maghrib berkumandang. Sesampainya di rumah, aku segera mengangkut carrierku ke mobil mbak Ang dan berpamitan dengan ibunya juga adiknya. Kami menuju agen bus Nusantara. Mbak Ang memberikanku bekal obat batuk, cokelat, biskuit dan air jeruk untuk di perjalanan.

Setelah foto-foto perpisahan dan menunggu bus cukup lama, akhirnya Mba Ang berpamitan pulang duluan. Aku masuk ke dalam bus dan duduk bersandar jendela. Ku minum obat batuk pemberian Mbak Ang, memberi kabar kepada Mas Bagus dan Ayah Riffat, lalu tertidur sampai Jakarta.


Dan akhirnya, setelah empat belas hari melangkah
Aku merasakan banyak hal
Kebersamaan, kesombongan, kesenangan
Kehilangan, kepayahan, keraguan, kesepian
Sampai melupakan
Melupakan segala sesuatu yang pernah singgah
Membersihkan segala ingatan dan kenangan
Untuk ditempati memori baru

Maaf, bagi yang tersakiti
Bukan maksudku tak peduli
Bukan juga aku bermain hati
Semoga kamu mengerti
Apa yang kurasakan ini

Ayah, Ibu,
Terimakasiih telah menunggu
Cita pulang membawa rindu...



Terimakasih, untuk pembaca setia Rinjani Mountain 2013 - The Series.
Tanpa kalian, page viewer blog ini gak akan tembus sepuluh ribu dalam sebulan :')


Selesai...

Thursday 19 September 2013

Malang Melintang dari Mandalika sampai Ketapang

Cerita Sebelumnya >>> Klik Disini  :)


Taksi berjalan menuju terminal Mandalika. Sepanjang jalan, kami disuguhi pemandangan Minggu Pagi yang dingin dan sepi. Hanya sekitar setengah jam, akhirnya kami sampai di tempat tujuan.

Kami berjalan dengan santai di terminal, setiap ada calo' yang menghampiri pun selalu kami abaikan. Mas Yuli yang sudah memiliki tiket bus Titian Mas jurusan Surabaya segera menghampiri pool bis, sementara kami menunggu di sudut terminal. Sekedar repacking dan mencari sarapan.

"Aku nyari bis dulu yaa.. Kalian disini aja." Ujar Paklek Andi. Kami nurut. Tak lama Mas Yuli datang menghampiri kami.

"Bis ku jam sepuluh berangkatnya." Ujarnya. Kami hanya mengangguk-angguk.

"Kalian mau gak? Duaratus ribu. Titian Mas sampe Surabaya." Ujar Paklek Andi tiba-tiba datang bersama seorang pria berpostur tubuh kecil.

"Enggak ah, Paklek. Mahal." Ujarku malas. Sudah mbatin kalo orang ini Calo'.

"Ini, aku ketemu mas ini, dia kondekturnya Titian Mas. Katanya harga normal tigaratus lima puluh ribu. Ini kita dikasih  duaratus ribu aja. Punyamu tiga setengah kan, Yul?" Paklek Andi berusaha meyakinkan kami.

"Iyo, Paklek." Ujar Mas Yuli sambil meminjamkan tiketnya.

"Iya, mbak. Masih musim lebaran ini. Harga bis belum turun. Ini untung lho saya kasih dua ratus. Sudah murah." Ujar si Mas-Yang-Kusangkan-Calo' dengan logat ketimuran.

"Gimana, Teh?" Tanyaku pada Teh Farah.

"Aku mah ikut kamu aja, Git." Jawabnya kemudian.

"Aku pengennya ngeteng aja sih." Ujarku disertai anggukan tanda setuju dari Teh Farah.

Setelah melalui debat panjang tak berkesudahan, akhirnya kami memutuskan untuk menerima tawaran yang diajukan Paklek Andi. Uangku dan Teh Farah saat itu hanya tersisa dua ratus ribu pas. Entah bagaimana kami melanjutkan perjalanan sampai rumah.

Tiba-tiba sebuah angkot datang menghampiri kami.

Dan si Mas-Yang-Kusangka-Calo' ini tiba-tiba turun dari dalam angkot.

"Ayo, Mbak, Mas, naek bemo dulu sampai pom bensin. Nanti nyegat bus disana. Kalian nunggunya disana." Ujar si Mas. Kami segera berpamitan dan berpisah dengan Mas Yuli. Aku menaikkan kerir ke dalam angkot dan duduk didalamnya. Guratan-guratan bingung tersirat dari muka kami.

Pikiranku terlempar ke bulan Juni 2012, saat dimana aku harus ke Pernikahan seorang teman di Solo, namun travelmate-ku baru datang lima menit setelah kereta jalan. Saat itu kami kebingungan harus naik apalagi karena hari sudah malam. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari bis di pulogadung. Kami kena calo' dengan harga tiket bis yang tak masuk akal. Ditarik kesana, ditarik kesini. Kemudian diantar pakai ojek ke suatu tempat. Naik bus dan jadi penumpang illegal. Lalu di sebuah tempat sepi, kami diturunkan dan diganti dengan bis yang tak layak pakai. Mungkinkah kejadian ini berulang?

Atau, pernah juga aku menaiki bus dari Karanganyar menuju Jakarta, setiap Terminal berhenti. Ditengah bus disediakan bangku panjang. Orang-orang berjejalan masuk layaknya bis ayam. Aku memijat keningku perlahan. Pusing.

Pukul sembilan. Akhirnya kami diturunkan di suatu tempat dengan pohon rindang dan bale bambu di bawahnya. Kami beristirahat disana. Aku bahkan sempat tertidur. Kemudian terbangun karena Paklek Andi berkata, "Ada telefon dari Mas Bagus."

"Assalamu'alaikum, dek Agit.." Ujar Mas Bagus diujung telefon. Aku masih belum sadar dari mimpiku.

"Eh.. Iya.. Wa'alaikumsalam, Mas.." Jawabku datar.

"Udah sampe mana ta ini?" Tanyanya lagi.

"Gaktau.. Kayaknya kena calo' deh. Ini lagi nunggu bis di pinggir jalan. Mas Bagus udah check-in?"

"Ini baru habis check-in. Lagi nunggu pesawatnya." Ujarnya singkat. Aku hanya diam.

"Dek Agit.. Ati-ati ya pulangnya. Barang-barangnya dijaga. Jangan sampe hilang."

"Iyaa.." Aku tersenyum getir. Bingung harus sedih atau senang.

"Dek Agit kok hape nya ndak  aktif?" Tanyanya. Aku bingung, orang se-pendiam Mas Bagus kenapa bisa bawel denganku?

"Iya, Mas. Baterenya habis. Powerbanknya juga semalam kan dihabisin anak-anak." Jawabku lemas.

"Yaudah.. Hati-hati ya. Salam semuanya. Nanti kabar-kabarin ya.." Ujar Mas Bagus mengakhiri telefon. Sempat ada adegan "Kamu aja yang matiin" , "Enggak, kamu aja." , "Kamu aja" , "Kamu!" Hahahahahaha :D

Kami jengah. Sudah hampir dua jam menunggu tapi tak ada satupun bis yang mau berhenti di hadapan kami. Sang supir bus bahkan menambahkan kecepatan bis setiap melihat si-Mas-Yang-Kusangka-Calo' ini. Kami tak mau melakukan pembayaran di muka. Kami baru mau membayar jika kami mendapat tempat duduk di dalam bis.

"Bayar disini aja, Pak." si-Mas-Yang-Kusangka-Calo' ini ngotot. Kami hanya mengabaikan. Tak lama bis AKAS melintas dan Paklek Andi mengejarnya. Bertanya-tanya. Menurut informasi yang ia dapat, tariff bis  AKAS Mandalika - Surabaya sekitar seratus limapuluh ribu.

"Yang mana, Bang, bisnya? Daritadi gak ada bis yang mau berhenti." Ujarku setengah mengejek.

"Nama Bisnya Rasa Sayang, Mbak." Ujarnya.

"Lah, tadi katanya Titian Mas." Celetukku. Ia terlihat gusar. Tiba-tiba bis Rasa Sayang melintas. Ia mencoba memberhentikan namun bis tetap melaju kencang seolah-olah tak peduli.

"Iya, Titian Masnya penuh. Ada di bangku supir yang belakang mau?" Tawarnya.

"Loh? Kok disumpel-sumpel." Aku melengos.

"Kalo mau bangku normal ya tigaratus lima puluh mbak. Mbaknya cuma duaratus masa mau bangku enak? Mana ada! Bayar juga belum mbak ini." Ia mulai emosi. Aku menyunggingkan senyum.

"Terus kalo kita udah bayar, dapet tiket?" Pancingku lagi.

"Ya enggaklah mbak. Dua ratus ribu mana dapat tiket. Bersyukur mbak bisa pulang juga. Segitu sudah murah." Ia masih sewot.

"Terus, kalo kita gak punya tiket, sementara di bis nanti ada yang punya tiket di nomor bangku yang kita dudukin, gimana? Kita diturunin ditengah jalan?" Aku bertanya dengan santai. Paklek mulai panik dengan kemungkinan-kemungkinan yang aku utarakan.

"Nanti di Bali pindah bis, Mbak. Dari Bali ke Surabaya lain lagi bisnya." Jawaban yang aneh.

"Terus nanti di Bali pindah bis dan bayar lagi?" Agita cerdas!!!

Si-Mas-Yang-Kusangka-Calo'-dan-Memang-Benar-Calo' ini kehabisan jawaban. Ia tak cukup pintar untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan anak dengan usia sembilan belas tahun ini.
 
"Yaudah, kalo gak mau dibantu! Cari aja bis sendiri sana! Dua ratus ribu dapat apa sampai Jawa!!" Ujarnya mengusir kami. Kesempatan untuk kabur harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

"Kalo ngeteng cuma seratus ribuan kok, Paklek. Kita ngeteng aja dari Lembar." Ujarku santai sambil mengenakan kerir. Yang lainnya kompak mengikuti. Situasi disana sudah mulai ramai oleh penumpang-penumpang yang berhasil ditipu calo. Rata-rata dari mereka menyerahkan pembayaran di muka sehingga ka lau mengikuti kabur seperti kami sayang uangnya.

Si-Mas-Calo'-yang-Bodoh-Ini mengeluarkan kata umpatan dan sumpah serapah. Ku lihat mata Paklek Andi mulai memerah. Aku tau, ia sangat ingin menjelaskan dan menyelesaikan masalah ini baik-baik. Namun apalah gunanya berdamai dengan orang tak berpendidikan dan tukang tipu ini?

"Wes, ta, pak. Tokne ae..." Ujarku gemas. Orang seperti ini tak usah diladeni. Paklek berjalan dengan tak semangat.

"Sing waras ngalah.." Tambahku.

"Bangs*t!! Ta****!!! Pergi lu sana! Jangan balik lagi! Ini daerah kekuasaan gua!!" Teriaknya. Aku dan Mas Ardi menoleh.

"Jancuk!!" Ujar kami berbarengan. Semua orang menatap kami ngeri. Mas Ardi telah menyiapkan pisau lipatnya untuk berjaga-jaga. Kami berjalan cepat, takut tau-tau ia mengejar kami dengan komplotannya. Sementara Teh Farah begitu ribet dengan barang bawaannya. Matras dan oleh-oleh di luar carrier. Hadeh!

"Yah.. Trekking lagi deh.." Ujar Teh Farah. Kami hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian berjalan dan terus menjauh dari daerah kekuasaan si Mas-Calo'-yang-Bodoh-itu.

"Apa semua orang Lombok kayak gini cara jualannya? Inget gak, kemarin yang tukang kain di Kuta? Maksa kan? Kalo gak beli di maki-maki." Tanyaku pelan. Takut ada orang Lombok yang mendengar.

"Semakin ke Timur, semakin ilang adatnya. Semakin keras."




Kami hanya berjalan sambil menduduk.




"Baksoooo!!" Ujarku girang menemukan sebuah kedai bakso di pinggir jalan. Kami lantas mengisi perut dan membahas masalah tadi.

"Tadi itu aku kira mas-masnya kondektur bus Titian Mas. Gak taunya makelar." Ujar Paklek menyesal seraya melahap mie ayamnya.

"Untung kita bisa kabur." Sahut Teteh sambil mengunyah bakso.

"Aku udah gak ada uang lagi soalnya. Hehehe. Kita ngeteng aja ya. Dari sini ke Lembar naik angkot. Lembar ke Padangbai nyeberang naek kapal. Dari Padang bai ke Terminal ubung naek angkot lagi. Dari ubung Teteh ke Denpasar, aku ke Banyuwangi, Kalian ke Surabaya langsung juga gak papa."  Jelasku perlahan.

"Apa nggak capek transit-transit gitu? Nggak naik AKAS aja?" Tanya Paklek meragu.

"Bebas, Sih. Sembarang." Jawabku santai.

"Aku teh pengen ngerasain nyambung-nyambung gitu iiiih, bekpekeraaan." Ujar Teteh pelan.

"Mas Ardi gimana?" Tanyaku mengumpulkan suara.

"Sembarang wes. Numpak truk juga nggak popo."


Kami melanjutkan berjalan kaki entah kemana. Aku jalan paling depan dan berusaha menertawakan kebodohan serta kesialan yang kami alami hari ini. Hidup sudah susah, jangan ditambah susah.

"Lembar, Dek. Lembar!" Sebuah Angkutan umum berwarna biru tiba-tiba berhenti di hadapan kami. Pak Supir segera turun dan membukakan pintu untuk kami. Kami melongo.

"Piye, Paklek? Mas? Teh?" Tanyaku meminta kesepakatan. Ku lihat wajah-wajah tak bergeming yang kebingungan mau menjawab apa.

"Berapa, Pak?" Tanyaku pada Sang Supir.

"Lima belas ribu, Dek. Sampai dalam pelabuhan." Ujarnya.

"Gimana?" Ku layangkan lagi pandanganku kepada tiga orang ini. Bahu mereka terangkat, tanda bahwa tak tau harus berbuat apa.

Daripada menunggu lama dan tak jelas sampai kapan, segera ku angkat carrierku dan ku masukkan ke dalam angkot. Aku duduk didepan, persis di sebelah Pak Supir. Teh Farah latah duduk di sebelahku. Mas Ardi dan Paklek Andi duduk di belakang.

Angkutan melaju kencang.

"Turun Rinjani, Dek?" Tanya Pak Supir.

"Iya, Pak." Jawabku ramah.

"Saya sering antar jemput pendaki dari pelabuhan atau bandara ke beskem. Makanya tadi pas lihat adek-adek ini bawa tas besar, saya langsung berhenti saja. Pasti pada mau pulang toh ini?" Tanyanya kemudian. Aku mulai paham mengapa angkot ini tiba-tiba berhenti mendadak di hadapan kami yang sedang berjalan di trotoar. Aku dan Teh Farah hanya mengangguk-angguk.

"Darimana ini, Dek?" Tanyanya lagi.

"Saya dari Jakarta, Kakak ini dari Bandung, yang mas-mas dua di belakang dari Surabaya." Jawabku santun.

"Hanya berempat?" Tanyanya kaget.

"Yang delapan orang udah pulang tadi pagi naik pesawat."

"Oooohh.. Enak darat ya lebih irit, Dek." Kemudian Pak Supir menjelaskan apa saja yang harus kami naiki sampai Surabaya, beserta informasi tarif angkutannya. Kami mendengarkan dengan seksama. Beliau juga memberi tau bagaimana sangarnya makelar Lombok dan Bali ini. Dan lain lain.. Dan lain lain.

"Giiit, Bapak ini mau ke Surabaya ni, Git." Ujar Paklek Andi terdengar riang memperkenalkan teman yang baru ia kenal di dalam angkot ternyata memiliki tujuan yang sama.

"Waahh.. Ngeteng juga, Pak?" Tanyaku. Ia mengangguk.

"Bareng ya, Pak. Perdana ini." Ujarku sopan. Kemudian Paklek Andi terlihat asik bercengkerama dengan kawan barunya. Kami merasa jauh lebih tenang. Wajah Paklek sudah tak semuram tadi. Matanya pun jauh lebih jernih dari sebelumnya. Aku asik berceloteh dengan Teh Farah dan Pak Supir. Mas Ardi diam tak punya teman.

Pukul sebelas, kami tiba di Pelabuhan Lembar.

Calo'calo tiket sudah mulai mengerubungi angkot. Namun Pak Supir memberikan kami kemudahan, ternyata ia dan kakaknya juga menjual tiket kapal. Kami membeli dari mereka dan segera masuk ke kapal.



Di dalam kapal

Aku, Mas Ardi dan Teh Farah terus bertiga-tigaan, sementara Paklek Andi bersama kawan barunya.  Kami membicarakan apapun dari mulai kuliah, gunung, makan sampai ketiduran. Perjalanan dari Pelabuhan Lembar menuju Pelabuhan Padang Bai yaitu empat jam lamanya. Angin berhembus kencang dan Teh Farah berteriak riang. Iya, ini kali pertama ia naik kapal. Lucu ya :)

Tak bisa ku pungkiri kalau lapar menyiksa perutku. Bakso yang ku makan di pinggir jalan tadi tak mampu bertahan lebih dari empat jam. Mas Ardi menyodorkanku susu jahe. Manis dan hangat, namun tak jua meredakan rasa lapar. Akhirnya aku dan teh Farah menuju ke kantin kapal. Sementara Mas Ardi melahap nasi bungkus yang ia beli sebelum kapal berangkat.

"Pop Mie nya berapa?" Tanya Teh Farah.

"Lima belas ribu."

"Slai Olai?" Tanyaku.

"Lima ribu."

"He???" di bekasi cuma seribu >_<

"Chiki Taro?"

"Lima Ribu." Aku menggaruk-garuk kepala.

"Energen?"

"Tujuh ribu."

"Yaudah Energen aja."

"Aku pop mie deh." Sahut Teh Farah. Kami mengisi perut di pinggiran kapal, sambil memandangi kemegahan Gunung Agung dari kejauhan. Tak lama, Mas Ardi menyusul kami. Sayangnya, kegiatan kami selama di kapal tak ada dokumentasinya :')

Kapal sandar pukul empat sore. Kami turun dengan santai dan bertemu dengan banyak manusia berotot keril.

"Turun Rinjani, Mbak?" Tanya seorang bapak dengan daypack bermerek outdoor gear terkenal.

"Iya, Pak." Jawabku sambil tersenyum.

"Saya juga dari sana, tapi yang lomba lari." 

"Wah, temen kita juga ada tuh yang ikutan. Om Pulung Arbi, kenal ga?" Tanyaku antusias.

"Dia urutan ke-sembilan yang Senaru - Pelawangan - Senaru." Sahut Teh Farah. Wah, Ayah hebat.

"Kurang tau deh, tapi kayaknya kalo liat langsung kenal. Saya ikutnya yang sampe puncak, Mbak. Banyak yang gagal tuh gak sampe finish. Termasuk saya. Gak nyangka jalurnya kayak gitu." Keluh si Bapak.
"Emang belum pernah ke Rinjani sebelumnya?"

"Pernah, tapi udah lama banget. Ini juga sepatu yang saya pake susah buat jalur ke puncak, licin." 

"Oh, kalo Om Pulung sebelum lomba lari, dia trekking bareng kita. Jadi abis turun gunung, naik lagi buat lomba. Hahahaha"

"Wah, hebat.. Udah pro nih kayaknya. Hahaha.."   

Kami turun dari kapal. Ternyata Bapak ini berdomisili di Bali, entah setelah turun kapal ia melanjutkan naik apa. Kami segera mencari angkutan menuju Terminal Ubung. Seorang pendaki dari Cilacap turut bergabung dengan kami. Penampakannya kecil, berambut gondrong serta berkumis dan dilengkapi brewok. Cukup seram dan sangar untuk berhadapan dengan calo'-calo' disini. Ia jago menawar harga sampai calo'-calo' jengkel. Akhirnya kami mendapat angkutan menuju Terminal Ubung dengan tarif empat puluh ribuan. Padahal awalnya mereka ngotot di angka enam puluh. Yah, begitulah.

"Ini statusnya Mas Kiki kenapa?" Tanya Teh Farah sambil menunjukkan henfonnya. Disana tertera kata 'Guobblooooook'

"Lah, coba tanya." Sahutku penasaran. Teh Farah segera mengirim bbm.

"MMC Video recording kita hilang." Ujar Teh Farah lemas.

"Hah? Rekaman kita? Yang buat dijadiin dokumenter?" Tanyaku panik.

"Iyaaa.." Seketika wajah-wajah kami terlihat lemas. Tak terbayang bagaimana lucunya rekaman perjalanan yang telah kami lakukan bersama-sama selama seminggu, tiba-tiba harus hilang dan tak diabadikan.

Terlebih lagi, rekaman terakhir di pantai... Saat ia menggenggam tanganku.

Bali sore itu, macet. Sementara kami harus cepat-cepat pulang agar tak kemalaman. Namun apa daya, kami baru tiba di Terminal Ubung bertepatan dengan Adzan Maghrib.



Sesampainya di terminal...

"Pak, kemana pak?" Tanya seorang Calo'.
"Sini, pak. Surabaya, Malang, Purbolinggo, Jakarta, Jawa." Ujar yang lainnya.

"Ikut saya, Pak. Ke Jember. Bayuwangi." Calo'-calo' mulai mengerubungi kami.

"Ketapang, Gilimanuk." Kami mulai ditarik-tarik.

"LAPER!! GUE MAU NYARI MAKAN!!" Ujarku galak. Paklek Andi yang terlihat mau menyebutkan kota tujuannya seketika bungkam dan mengikutiku berjalan.

"Jangan sampe kena calo' lagi, Paklek." Ujarku pelan.

"Iya.. Disini banyak makelar ya. Mosok sampe sana masih diikutin." Ujar Paklek Andi sambil menunjuk kerumunan calo' yang berkeliaran di sepanjang jalan.

"Calo' disini kalo kita diem aja malah diikutin terus, kalo kita sebut mau kemana langsung ditarik ke agen bisnya terus dikasih harga sembarangan. Nah, mbaknya tadi bener... bentak aja bilang cari makan." Ujar Mas Pendaki Gondrong Yang Aku Lupa Namanya. Aku mengangguk-angguk. Aku bisa segalak itu karena memang aslinya aku lapar. Iya, lapar bisa dengan mudah memunculkan sifat asliku.

Kami segera mengisi perut dengan nasi rawon. Teh Farah menghubungi tantenya untuk dijemput. Mas Pendaki Gondrong mencarikan tumpangan untuk aku, Mas Ardi dan Paklek Andi menuju pelabuhan Gilimanuk. Dan hebatnya, ia mendapat angkutan dengan tarif lima belas ribu. Eh, apa dua puluh ya? Gak tau, aku lupa. Intinya, dari terminal Ubung sampai Gilimanuk memakan waktu sekitar tiga jam-an.

"Tantenya sudah ditelfon, Farah?" Tanya Paklek Andi.

"Udah, tapi ini belum ada kabar. Aku teh bingung mau ikut kalian atau ke denpasar." Jawab Teh Farah labil.

"Yaa.. pastiin dulu. Ini kita udah mau jalan. Takut kemalaman." Ujar Paklek Andi menegaskan.

"Kalian gak mau nungguin sampe tante aku dateng?" Tanya Teh Farah bingung.

"Kemalemaaaaann.." Ujarku gemas.

"Tapi aku takuuut. Yaudah deh, ati-ati yaa.. Sampai ketemu lagiii.." Kami bersalaman dan berpamitan dengan Teh Farah. Ia sempat memelukku dan mencium pipi kanan-kiriku. Iya, aku tau, aku memang menggemaskan.

"Kabar-kabarin ya, dek..."

"Teh Farah ati-ati. Nunggunya di tempat yang rame. Awas dikejar makelar! Hahaha..."




Menuju Barat 


Kami duduk sendiri-sendiri. Sang supir menyetel dangdutan dengan dvd player dan televisi mini yang menggantung di bagian depan mobil. Aku melayangkan pandangan keluar jendela. Menyesap udara bali malam ini. Harum. Wangi khas aroma dupa dan melati semerbak dan menyeruak di sepanjang jalan. Entah apa nama jalannya.

Aku termenung menatap layar ponselku yang gelap dan memantulkan bayangan wajahku sendiri.  Kenapa harus mati disaat membosankan kayak gini, sih.

"Mas, Agit duduk disitu ya?" Ujarku pada Mas Ardi. Ia mempersilakanku duduk di sebelahnya. Ternyata anak ini bocor juga. Semua tema kami obrolkan malam itu. Dari mulai lumpur Sidoarjo, beasiswa kuliah, masalah gunung, sampai semua kisah di Rinjani kemarin. 

Rinjani banyak meninggalkan cerita...
yang tak habis jika dibahas dalam satu part saja...

Angin malam semakin kencang, angkutan kami pun tak kunjung sampai. Aku tertidur. Begitu pula yang lainnya. Pukul sepuluh malam, kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk.

"Mas, bangun." Ujarku pada Mas Ardi yang telah berpindah tempat duduk. Kami segera berkemas dan membeli karcis.  

"Kamu kemana, Git?" Tanya Paklek Andi.

"Banyuwangi, Paklek. Pisah di Ketapang aja nanti."

"Udah di telfon sodaranya?"

"Belum, henfonku mati. Nanti aja nyargher di kapal." Jawabku santai.

"Gak ke Surabaya aja, ta?" Tanyanya menggodaku.

"Nanti, Paklek. InsyaAllah selasa." Jawabku malu.

"Eh, itu bis ke Malang." Ujar Paklek Andi. Ia segera menghampiri kondektur bus dan tawar menawar harga. Mereka bertiga rencananya akan menaikki bus itu, sementara aku harus mampir ke Banyuwangi dulu. Sedih rasanya membayangkan malam-malam jalan sendirian. Mereka segera menyusun carrier di bagasi, sementara aku menumpang di dalam bis, aku memangku carrierku, memeluknya erat. Gajah kecil, be strong ya! Bis berjalan dan masuk ke dalam kapal.

Kami menuju kantin, Mas Ardi membawakan carrierku. Aku segera mencharge henfonku dan mengaktifkannya. Menelefon om-ku di Banyuwangi kemudian mengecek notifikasi yang masuk.


1 Message Received

From : Mas Bagus (+62812225xxxx)

Udah sampe mana, dek gendring? :)


Seketika lututku melemas. Aku duduk dan memijat dahiku. Kemudian kuketikkan huruf demi huruf perlahan.

Pelabuhan gilimanuk, mas.
Mau nyeberang.

Message Sent
Message Delivered

Tak lama ia membalas...


.....


Gak jadi deh. Hahahaha.



Penyeberangan dari Pelabuhan Gilimanuk sampai Ketapang memakan waktu hanya setengah jam. Di dalam kapal, Paklek Andi begitu mengkhawatirkanku yang nekat pulang sendirian. Habis mau bagaimana lagi? Aku jomblo sih. Kalo punya pacar juga pasti nemenin. Eaaaaaak. *dikeplak!*

"Mampir-mampir lho yaaa.. Awas kalo nggak mampir. Apa mau tak jemput di Stasiun?" Paklek Andi terus mencecarku.

"InsyaAllah, Paklek. Aku ke Surabaya langsung transit Kediri soalnya. Liat nanti deh gimana hati aja, mau mampir atau enggak." Jawabku bingung.

"Nginep di rumahku aja. Kan ada anak istriku." Ujarnya meyakinkanku. Aku hanya tersenyum.

"Yowes, ayo siap-siap balik ke bis." Si Mas Pendaki Gondrong mengingatkan. Kami bersalaman satu sama lain. Aku menyeberang sendirian.
 

Dan...
Satu pergi
Satu-satu menjauh
Satu per satu menghilang

Satu lupa
Satu-satu terputus
Satu per satu berakhir

Satu di antara sekian,
Hanya satu bintang yang paling terang.
Jika ku ingat kematian,
Satu per satu pasti pulang.


Agita Violy - Pulang
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi
23.00 WIB - 18 Agustus 2013




Penasaran cerita Agit di Banyuwangi - Surabaya - Kediri - Semarang?
Bersambung ke sini >>> Let Me Go Home (end) :)

Thursday 12 September 2013

Perpisahan di Bawah Langit Praya



Cerita sebelumnya >>> klik disini  :)


Kami pulang menjelang Maghrib. Pak Supir segera mengantar kami ke Restoran Khas Lombok selain Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung, yaitu Nasi Balap Puyung. Lokasi restoran berada di dekat bandara.

Sesi makan bersama yang terakhir ini begitu hangat dan ceria. Walau aku tau, beberapa dari kami menyembunyikan kesedihannya. Saling bertukar nomor henfon dan pin bb. Aku sadar, mungkin memang ini terakhir kali kami akan bertemu. Atau, kami akan bertemu kembali, di waktu yang belum diketahui pasti.

Sesuatu yang telah terjadi di gunung, biarlah terjadi, biarlah berlalu…
Sudahi…
Jangan dibawa ke kehidupan nyata…

Iya, akan aku sudahi. Mungkin perasaan ini hanyalah modus gunung semata. Namun apakah modus gunung juga berlaku di pantai? Lalu, yang tadi itu apa?

Aku perang batin.
Dan melahap Nasi Balap Puyung sebagai pelampiasannya...

“Si Farah sama Niza mana?” Tanya Mas Galih tiba-tiba. Kami menggelengkan kepala pertanda tidak tahu.

“Si Farah itu lucu, yaa.. Hihi..” Ujar Mas Galih lagi sambil tertawa sendiri.

“Kamu inget nggak, waktu yang dari Pelawangan Sembalun ke Segara Anak malam-malam, sepanjang jalan dia ngeludah. Ngeludahnya aja pelan-pelaaaaaan banget. Cuuiiiiih..Cuuuuiiiiihh.. Hahahahaha” Mas Galih mempraktekkan cara meludah Teh Farah. Kami semua tertawa.

“Gimana kalo dia buang ingus ya? Mesti ngene.. Srooooott.. Sroooooottt!” Mas Galih mempraktekkan gaya mengelap ingus dengan pelaaaaan sekali.

“Hahahahahaha..”

“Kalo sikat gigi, pasti nyikatnya satu-satu! Hahahahaha” Timpal Saib dalam Bahasa Jawa.

Jancuuuk! Ya opo nyikati untu siji-siji cuuuuk! Hahahaha..” Mas Yuli ngakak.

“Kalo lagi masak, nggoreng ikan mbaliknya pelaaan-pelaaaan. Keburu gosong! Hahahahaha”

“Kalo makan nasi sebutir-sebutir!”

Jancuuuuuk. Sebutir-sebutiiiir!!! Gak entek-entek cuuuk. Hahahaha

“Kalo shampoan pasti lamaaa… Sampe perih mata. Netes-netes shamponya. Hahahahaha.”

Kami terus menimpali keunikan Teh Farah sampai orangnya tiba-tiba datang.

“Kalian kenapa siiih?” Tanya Teh Farah dengan logat sundanya. Kami hanya menahan tawa.

Selesai makan siang yang kemalaman, akhirnya kami diantar pulang ke bandara. Niat awalnya, kami akan menginap di bandara sampai pagi. Namun ternyata bandaranya tutup pukul sepuluh. Kami segera menuju masjid terdekat.

Tak banyak yang kami lakukan selama di Masjid. Hanya melihat-lihat foto dan bercengkerama satu sama lain. Mbak Niza dan Teh Farah memustuskan untuk tidur duluan. Sementara aku… Aku ingin menghabiskan malam terakhir di Lombok. Mengingat-ingat apa yang terjadi selama seminggu bersama mereka, dan menyalin ulang memori otak ke blog ini.

“Gimana kabarnya catper Agit, ya, Bang?” Tanyaku pada BF.

“Bikin lah. Udah dapet feelnya?” Tanyanya balik.

“Udah, tapi bukan feel ke perjalanannya. Feel yang lain, Bang.” Ujarku pelan. Aku terus berceloteh panjang lebar tentang apa yang terjadi selama ini kepadaku, mengapa tiba-tiba aku salah tingkah atau mati gaya, dan apapun semua yang ku rasakan. Oke, kartu As berada di tangan Bang Fadly.

“Abang ingat, gak, dulu kita pernah kepikiran kalo nantinya kita cuma jalan berdua terus, dan misah sama yang lain?” Bang Fadly hanya mengangguk.

“Yang terjadi malah sebaliknya, ya, Bang… Malah kita yang kepisah. Agit di depan, Abang di belakang. Agit pun ndak pernah nyangka bisa jalan secepat itu, Bang. Agit juga ndak pernah sekuat itu sebelumnya.” Sambungku pelan. Pandanganku menerawang ke langit.

“Tepat seminggu yang lalu, kita ada disini, Bang. Nungguin Teh Farah disana. Terus makan-makan.” Aku mulai flashback ke seminggu lalu. Pandangan mata kami sama-sama terlihat sedih.

“Dari Maret kita mulai nabung ya, Bang. Mei beli tiket. Juni Agit nyari duit sampe ke Palembang. Tiba-tiba Imam cancel. Tiba-tiba Teh Farah nelfon bilang mau ikut. Tiba-tiba udah sampe Bali. Tiba-tiba ketemu mereka. Dan sekarang udah mau pisah…”

“Sedih ya..”

“Coba Abang itung bintang malam ini ada berapa…” Kami sama-sama melihat langit.

“Enam belas.” Ujar BF.

“Tujuh belas.” Sahutku.

“Yang itu paling terang.” BF menunjuk satu bintang.

“Iya… Mulai besok kita udah gak bisa lihat langit yang sama, Bang. Mulai besok kita cuma bisa ngeliat langit Jakarta yang abu-abu, tanpa bintang.”

“Apa yang udah terjadi di gunung, biar terjadi di gunung, Git. Biarkan berlalu. Yang udah ya udah. Jangan dibawa ke kehidupan nyata.” Ujar BF bijak.

“Tapi yang ini beda, Bang. Dari awal ketemu, salaman, sampe di pantai tadi. Itu udah di luar gunung kan, Bang?” Aku terus bertanya-tanya.

“Ikutin kata hati, Git…” Kemudian kami bertukar cerita sampai larut malam. Tentang BF dan kisah terbarunya dengan seorang perempuan berkelakuan minus. Malam itu, benar-benar pencerahan.

“Nggak nge-mie ta, Git?” Tanya Mas Bagus tiba-tiba.

“Popmie?” Tanyaku bingung. Ia meng-iyakan. Aku melemparkan pandanganku ke BF.

“Boleh, deh Mas. Dua sama Agit.” Mas Bagus berlalu.

“Kayaknya bakal panjang banget ceritanya, Bang. Semeru kalah.” Ujarku. (saat aku ngetik ini, di Microsoft Word udah sampe halaman 90, TNR 12, spasi 1 --- Sementara Semeru hanya 47 halaman dengan format yang sama)

“Pokoknya abang tunggu catpernya.”

Selesai makan, aku berpamitan tidur.


Minggu, 18 Agustus 2013

Aku bangun pukul empat pagi. Henfonku low, powerbankku pun dihabiskan anak-anak lainnya. Padahal perjalananku masih panjang. Tega ya mereka-mereka ini.

Iya, perjalananku masih panjang. Aku tak langsung pulang ke rumah. Tapi masih harus ke Bali – Banyuwangi – Surabaya – Kediri – Semarang. Bang Fadly pulang paling pertama.

“Agit, Abang pulang ya. Sampai jumpa di Jakarta.” Ujar BF dengan wajah yang ditegar-tegarkan. Aku mencium tangannya, ia mengelus kepalaku. Tiba-tiba teringat Bang Yasin yang pamitan di Semeru jam empat subuh. Sedih :’(

“Abang ati-ati…” Kataku pelan. Ia melangkah pergi tanpa menoleh.

Adzan shubuh berkumandang. Sebagian dari kami mulai bersiap-siap. Mas Ardi menangis mendengar adzan. Mungkin ia sedih selama seminggu di gunung dan baru ini mendengar adzan lagi. Setelah mandi dan shalat, kami berkemas pulang.

Shubuh itu, di Praya

 Yang melanjutkan perjalanan via darat dan laut hanya aku, Teh Farah, Mas Ardi, Paklek Andi dan Mas Yuli. Sementara sisanya melalui udara. Hari semakin terang dan Paklek Andi mencarter Taksi untuk mengantar kami berlima ke terminal Mandalika.

Pandanganku terpaku pada sosok tinggi dan tegap di hadapanku.

Terimakasih,
Telah diizinkan untuk mengenalmu.
Terimakasih…
Atas rasa ini.
Selamat tinggal.
Aku akan melupakanmu perlahan…

“Kenapa, Git?” Tanya Mas Bagus mengagetkanku. Ia menyadari bahwa aku menatapnya begitu lama.

“Gak papa..” Jawabku sambil tersenyum getir. Aku menolehkan pandangan ke Carrierku. Hallooo… Gajah kecil, perasaan baru kemarin kamu berangkat jalan-jalan, sekarang udah mau pulang aja. Perjalanan kita masih panjang. Yang kuat ya, Gajah kecil.

Aku mengangkat Carrierku dan ku letakkan di bagasi taksi. Kemudian bersalaman satu-satu kepada marbot masjid dan istrinya, bersalaman dengan Saib, Mas Ewok, Mas Kiki dan terakhir Mas Bagus. Mbak Niza dan Mas Galih masih di toilet. Aku tak berpamitan dengan mereka.

“InsyaAllah ketemu lagi di Merbabu ya, Git.” Ujar Mas Bagus ketika bersalaman denganku. Ia tak segera melepas genggamanku. Tuhan, aku tak pernah merasakan perpisahan seberat ini.

“Mas Bagus ikut? Agit udah ada tiket buat Oktober ke Merbabu, sama Ayah…” Jawabku pelan, sambil melepaskan tangan.

“InsyaAllah…” Ujarnya sambil menutup hidung dan mulut dengan dua tangan, seperti orang hendak batuk.

Bahkan, sekedar gerik atau gerakanmu pun aku tak pernah lupa
Begitu pula kata-katamu, aku tak pernah bisa lupa
Apalagi melupakan wajah sendumu itu?
Apalagi melupakan rasa ini?
 Butuh berapa lama waktu yang ku habiskan untuk benar-benar melupakanmu?


“Main-main ke Surabaya yaaa, Cah Gendring..” Teriak Mas Ewok. Aku tersenyum.

“Tiket Surabayaku hari selasa, Mas. InsyaAllah yaaa..” Sahutku sambil melangkah menuju taksi bersama Paklek Andi, Mas Yuli, Mas Ardi dan Teh Farah.

“Ada yang ketinggalan, nggak?” Tanya Saib.

“Hati, Ib.” Jawabku pelan. Sedih cuuuuuuuuuuukk!!!! Aku nggak boleh ya, gak usah bikin ending cerita ini??? :’’’’’((

“Tuh, Mas.. Katanya hatinya Agit ketinggalan.” Ujar Saib kepada Mas Bagus.

“Enggak, kok. Gak ketinggalan.” Sahut Mas Bagus meyakinkanku. Aku menutup pintu taksi. Ku turunkan kaca mobil dan melambaikan tangan.

Awan yang kemerahan, mengiringi kepergianku


Langit Praya pagi itu, sendu
Seolah mengantar kepergianku
Semakin jauh
Dan jauh
Jauh
Sampai tak terlihat lagi
Ku tolehkan wajah ke jendela
Ada air mata yang menitik disana



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...