Thursday 19 September 2013

Malang Melintang dari Mandalika sampai Ketapang

Cerita Sebelumnya >>> Klik Disini  :)


Taksi berjalan menuju terminal Mandalika. Sepanjang jalan, kami disuguhi pemandangan Minggu Pagi yang dingin dan sepi. Hanya sekitar setengah jam, akhirnya kami sampai di tempat tujuan.

Kami berjalan dengan santai di terminal, setiap ada calo' yang menghampiri pun selalu kami abaikan. Mas Yuli yang sudah memiliki tiket bus Titian Mas jurusan Surabaya segera menghampiri pool bis, sementara kami menunggu di sudut terminal. Sekedar repacking dan mencari sarapan.

"Aku nyari bis dulu yaa.. Kalian disini aja." Ujar Paklek Andi. Kami nurut. Tak lama Mas Yuli datang menghampiri kami.

"Bis ku jam sepuluh berangkatnya." Ujarnya. Kami hanya mengangguk-angguk.

"Kalian mau gak? Duaratus ribu. Titian Mas sampe Surabaya." Ujar Paklek Andi tiba-tiba datang bersama seorang pria berpostur tubuh kecil.

"Enggak ah, Paklek. Mahal." Ujarku malas. Sudah mbatin kalo orang ini Calo'.

"Ini, aku ketemu mas ini, dia kondekturnya Titian Mas. Katanya harga normal tigaratus lima puluh ribu. Ini kita dikasih  duaratus ribu aja. Punyamu tiga setengah kan, Yul?" Paklek Andi berusaha meyakinkan kami.

"Iyo, Paklek." Ujar Mas Yuli sambil meminjamkan tiketnya.

"Iya, mbak. Masih musim lebaran ini. Harga bis belum turun. Ini untung lho saya kasih dua ratus. Sudah murah." Ujar si Mas-Yang-Kusangkan-Calo' dengan logat ketimuran.

"Gimana, Teh?" Tanyaku pada Teh Farah.

"Aku mah ikut kamu aja, Git." Jawabnya kemudian.

"Aku pengennya ngeteng aja sih." Ujarku disertai anggukan tanda setuju dari Teh Farah.

Setelah melalui debat panjang tak berkesudahan, akhirnya kami memutuskan untuk menerima tawaran yang diajukan Paklek Andi. Uangku dan Teh Farah saat itu hanya tersisa dua ratus ribu pas. Entah bagaimana kami melanjutkan perjalanan sampai rumah.

Tiba-tiba sebuah angkot datang menghampiri kami.

Dan si Mas-Yang-Kusangka-Calo' ini tiba-tiba turun dari dalam angkot.

"Ayo, Mbak, Mas, naek bemo dulu sampai pom bensin. Nanti nyegat bus disana. Kalian nunggunya disana." Ujar si Mas. Kami segera berpamitan dan berpisah dengan Mas Yuli. Aku menaikkan kerir ke dalam angkot dan duduk didalamnya. Guratan-guratan bingung tersirat dari muka kami.

Pikiranku terlempar ke bulan Juni 2012, saat dimana aku harus ke Pernikahan seorang teman di Solo, namun travelmate-ku baru datang lima menit setelah kereta jalan. Saat itu kami kebingungan harus naik apalagi karena hari sudah malam. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari bis di pulogadung. Kami kena calo' dengan harga tiket bis yang tak masuk akal. Ditarik kesana, ditarik kesini. Kemudian diantar pakai ojek ke suatu tempat. Naik bus dan jadi penumpang illegal. Lalu di sebuah tempat sepi, kami diturunkan dan diganti dengan bis yang tak layak pakai. Mungkinkah kejadian ini berulang?

Atau, pernah juga aku menaiki bus dari Karanganyar menuju Jakarta, setiap Terminal berhenti. Ditengah bus disediakan bangku panjang. Orang-orang berjejalan masuk layaknya bis ayam. Aku memijat keningku perlahan. Pusing.

Pukul sembilan. Akhirnya kami diturunkan di suatu tempat dengan pohon rindang dan bale bambu di bawahnya. Kami beristirahat disana. Aku bahkan sempat tertidur. Kemudian terbangun karena Paklek Andi berkata, "Ada telefon dari Mas Bagus."

"Assalamu'alaikum, dek Agit.." Ujar Mas Bagus diujung telefon. Aku masih belum sadar dari mimpiku.

"Eh.. Iya.. Wa'alaikumsalam, Mas.." Jawabku datar.

"Udah sampe mana ta ini?" Tanyanya lagi.

"Gaktau.. Kayaknya kena calo' deh. Ini lagi nunggu bis di pinggir jalan. Mas Bagus udah check-in?"

"Ini baru habis check-in. Lagi nunggu pesawatnya." Ujarnya singkat. Aku hanya diam.

"Dek Agit.. Ati-ati ya pulangnya. Barang-barangnya dijaga. Jangan sampe hilang."

"Iyaa.." Aku tersenyum getir. Bingung harus sedih atau senang.

"Dek Agit kok hape nya ndak  aktif?" Tanyanya. Aku bingung, orang se-pendiam Mas Bagus kenapa bisa bawel denganku?

"Iya, Mas. Baterenya habis. Powerbanknya juga semalam kan dihabisin anak-anak." Jawabku lemas.

"Yaudah.. Hati-hati ya. Salam semuanya. Nanti kabar-kabarin ya.." Ujar Mas Bagus mengakhiri telefon. Sempat ada adegan "Kamu aja yang matiin" , "Enggak, kamu aja." , "Kamu aja" , "Kamu!" Hahahahahaha :D

Kami jengah. Sudah hampir dua jam menunggu tapi tak ada satupun bis yang mau berhenti di hadapan kami. Sang supir bus bahkan menambahkan kecepatan bis setiap melihat si-Mas-Yang-Kusangka-Calo' ini. Kami tak mau melakukan pembayaran di muka. Kami baru mau membayar jika kami mendapat tempat duduk di dalam bis.

"Bayar disini aja, Pak." si-Mas-Yang-Kusangka-Calo' ini ngotot. Kami hanya mengabaikan. Tak lama bis AKAS melintas dan Paklek Andi mengejarnya. Bertanya-tanya. Menurut informasi yang ia dapat, tariff bis  AKAS Mandalika - Surabaya sekitar seratus limapuluh ribu.

"Yang mana, Bang, bisnya? Daritadi gak ada bis yang mau berhenti." Ujarku setengah mengejek.

"Nama Bisnya Rasa Sayang, Mbak." Ujarnya.

"Lah, tadi katanya Titian Mas." Celetukku. Ia terlihat gusar. Tiba-tiba bis Rasa Sayang melintas. Ia mencoba memberhentikan namun bis tetap melaju kencang seolah-olah tak peduli.

"Iya, Titian Masnya penuh. Ada di bangku supir yang belakang mau?" Tawarnya.

"Loh? Kok disumpel-sumpel." Aku melengos.

"Kalo mau bangku normal ya tigaratus lima puluh mbak. Mbaknya cuma duaratus masa mau bangku enak? Mana ada! Bayar juga belum mbak ini." Ia mulai emosi. Aku menyunggingkan senyum.

"Terus kalo kita udah bayar, dapet tiket?" Pancingku lagi.

"Ya enggaklah mbak. Dua ratus ribu mana dapat tiket. Bersyukur mbak bisa pulang juga. Segitu sudah murah." Ia masih sewot.

"Terus, kalo kita gak punya tiket, sementara di bis nanti ada yang punya tiket di nomor bangku yang kita dudukin, gimana? Kita diturunin ditengah jalan?" Aku bertanya dengan santai. Paklek mulai panik dengan kemungkinan-kemungkinan yang aku utarakan.

"Nanti di Bali pindah bis, Mbak. Dari Bali ke Surabaya lain lagi bisnya." Jawaban yang aneh.

"Terus nanti di Bali pindah bis dan bayar lagi?" Agita cerdas!!!

Si-Mas-Yang-Kusangka-Calo'-dan-Memang-Benar-Calo' ini kehabisan jawaban. Ia tak cukup pintar untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan anak dengan usia sembilan belas tahun ini.
 
"Yaudah, kalo gak mau dibantu! Cari aja bis sendiri sana! Dua ratus ribu dapat apa sampai Jawa!!" Ujarnya mengusir kami. Kesempatan untuk kabur harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

"Kalo ngeteng cuma seratus ribuan kok, Paklek. Kita ngeteng aja dari Lembar." Ujarku santai sambil mengenakan kerir. Yang lainnya kompak mengikuti. Situasi disana sudah mulai ramai oleh penumpang-penumpang yang berhasil ditipu calo. Rata-rata dari mereka menyerahkan pembayaran di muka sehingga ka lau mengikuti kabur seperti kami sayang uangnya.

Si-Mas-Calo'-yang-Bodoh-Ini mengeluarkan kata umpatan dan sumpah serapah. Ku lihat mata Paklek Andi mulai memerah. Aku tau, ia sangat ingin menjelaskan dan menyelesaikan masalah ini baik-baik. Namun apalah gunanya berdamai dengan orang tak berpendidikan dan tukang tipu ini?

"Wes, ta, pak. Tokne ae..." Ujarku gemas. Orang seperti ini tak usah diladeni. Paklek berjalan dengan tak semangat.

"Sing waras ngalah.." Tambahku.

"Bangs*t!! Ta****!!! Pergi lu sana! Jangan balik lagi! Ini daerah kekuasaan gua!!" Teriaknya. Aku dan Mas Ardi menoleh.

"Jancuk!!" Ujar kami berbarengan. Semua orang menatap kami ngeri. Mas Ardi telah menyiapkan pisau lipatnya untuk berjaga-jaga. Kami berjalan cepat, takut tau-tau ia mengejar kami dengan komplotannya. Sementara Teh Farah begitu ribet dengan barang bawaannya. Matras dan oleh-oleh di luar carrier. Hadeh!

"Yah.. Trekking lagi deh.." Ujar Teh Farah. Kami hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian berjalan dan terus menjauh dari daerah kekuasaan si Mas-Calo'-yang-Bodoh-itu.

"Apa semua orang Lombok kayak gini cara jualannya? Inget gak, kemarin yang tukang kain di Kuta? Maksa kan? Kalo gak beli di maki-maki." Tanyaku pelan. Takut ada orang Lombok yang mendengar.

"Semakin ke Timur, semakin ilang adatnya. Semakin keras."




Kami hanya berjalan sambil menduduk.




"Baksoooo!!" Ujarku girang menemukan sebuah kedai bakso di pinggir jalan. Kami lantas mengisi perut dan membahas masalah tadi.

"Tadi itu aku kira mas-masnya kondektur bus Titian Mas. Gak taunya makelar." Ujar Paklek menyesal seraya melahap mie ayamnya.

"Untung kita bisa kabur." Sahut Teteh sambil mengunyah bakso.

"Aku udah gak ada uang lagi soalnya. Hehehe. Kita ngeteng aja ya. Dari sini ke Lembar naik angkot. Lembar ke Padangbai nyeberang naek kapal. Dari Padang bai ke Terminal ubung naek angkot lagi. Dari ubung Teteh ke Denpasar, aku ke Banyuwangi, Kalian ke Surabaya langsung juga gak papa."  Jelasku perlahan.

"Apa nggak capek transit-transit gitu? Nggak naik AKAS aja?" Tanya Paklek meragu.

"Bebas, Sih. Sembarang." Jawabku santai.

"Aku teh pengen ngerasain nyambung-nyambung gitu iiiih, bekpekeraaan." Ujar Teteh pelan.

"Mas Ardi gimana?" Tanyaku mengumpulkan suara.

"Sembarang wes. Numpak truk juga nggak popo."


Kami melanjutkan berjalan kaki entah kemana. Aku jalan paling depan dan berusaha menertawakan kebodohan serta kesialan yang kami alami hari ini. Hidup sudah susah, jangan ditambah susah.

"Lembar, Dek. Lembar!" Sebuah Angkutan umum berwarna biru tiba-tiba berhenti di hadapan kami. Pak Supir segera turun dan membukakan pintu untuk kami. Kami melongo.

"Piye, Paklek? Mas? Teh?" Tanyaku meminta kesepakatan. Ku lihat wajah-wajah tak bergeming yang kebingungan mau menjawab apa.

"Berapa, Pak?" Tanyaku pada Sang Supir.

"Lima belas ribu, Dek. Sampai dalam pelabuhan." Ujarnya.

"Gimana?" Ku layangkan lagi pandanganku kepada tiga orang ini. Bahu mereka terangkat, tanda bahwa tak tau harus berbuat apa.

Daripada menunggu lama dan tak jelas sampai kapan, segera ku angkat carrierku dan ku masukkan ke dalam angkot. Aku duduk didepan, persis di sebelah Pak Supir. Teh Farah latah duduk di sebelahku. Mas Ardi dan Paklek Andi duduk di belakang.

Angkutan melaju kencang.

"Turun Rinjani, Dek?" Tanya Pak Supir.

"Iya, Pak." Jawabku ramah.

"Saya sering antar jemput pendaki dari pelabuhan atau bandara ke beskem. Makanya tadi pas lihat adek-adek ini bawa tas besar, saya langsung berhenti saja. Pasti pada mau pulang toh ini?" Tanyanya kemudian. Aku mulai paham mengapa angkot ini tiba-tiba berhenti mendadak di hadapan kami yang sedang berjalan di trotoar. Aku dan Teh Farah hanya mengangguk-angguk.

"Darimana ini, Dek?" Tanyanya lagi.

"Saya dari Jakarta, Kakak ini dari Bandung, yang mas-mas dua di belakang dari Surabaya." Jawabku santun.

"Hanya berempat?" Tanyanya kaget.

"Yang delapan orang udah pulang tadi pagi naik pesawat."

"Oooohh.. Enak darat ya lebih irit, Dek." Kemudian Pak Supir menjelaskan apa saja yang harus kami naiki sampai Surabaya, beserta informasi tarif angkutannya. Kami mendengarkan dengan seksama. Beliau juga memberi tau bagaimana sangarnya makelar Lombok dan Bali ini. Dan lain lain.. Dan lain lain.

"Giiit, Bapak ini mau ke Surabaya ni, Git." Ujar Paklek Andi terdengar riang memperkenalkan teman yang baru ia kenal di dalam angkot ternyata memiliki tujuan yang sama.

"Waahh.. Ngeteng juga, Pak?" Tanyaku. Ia mengangguk.

"Bareng ya, Pak. Perdana ini." Ujarku sopan. Kemudian Paklek Andi terlihat asik bercengkerama dengan kawan barunya. Kami merasa jauh lebih tenang. Wajah Paklek sudah tak semuram tadi. Matanya pun jauh lebih jernih dari sebelumnya. Aku asik berceloteh dengan Teh Farah dan Pak Supir. Mas Ardi diam tak punya teman.

Pukul sebelas, kami tiba di Pelabuhan Lembar.

Calo'calo tiket sudah mulai mengerubungi angkot. Namun Pak Supir memberikan kami kemudahan, ternyata ia dan kakaknya juga menjual tiket kapal. Kami membeli dari mereka dan segera masuk ke kapal.



Di dalam kapal

Aku, Mas Ardi dan Teh Farah terus bertiga-tigaan, sementara Paklek Andi bersama kawan barunya.  Kami membicarakan apapun dari mulai kuliah, gunung, makan sampai ketiduran. Perjalanan dari Pelabuhan Lembar menuju Pelabuhan Padang Bai yaitu empat jam lamanya. Angin berhembus kencang dan Teh Farah berteriak riang. Iya, ini kali pertama ia naik kapal. Lucu ya :)

Tak bisa ku pungkiri kalau lapar menyiksa perutku. Bakso yang ku makan di pinggir jalan tadi tak mampu bertahan lebih dari empat jam. Mas Ardi menyodorkanku susu jahe. Manis dan hangat, namun tak jua meredakan rasa lapar. Akhirnya aku dan teh Farah menuju ke kantin kapal. Sementara Mas Ardi melahap nasi bungkus yang ia beli sebelum kapal berangkat.

"Pop Mie nya berapa?" Tanya Teh Farah.

"Lima belas ribu."

"Slai Olai?" Tanyaku.

"Lima ribu."

"He???" di bekasi cuma seribu >_<

"Chiki Taro?"

"Lima Ribu." Aku menggaruk-garuk kepala.

"Energen?"

"Tujuh ribu."

"Yaudah Energen aja."

"Aku pop mie deh." Sahut Teh Farah. Kami mengisi perut di pinggiran kapal, sambil memandangi kemegahan Gunung Agung dari kejauhan. Tak lama, Mas Ardi menyusul kami. Sayangnya, kegiatan kami selama di kapal tak ada dokumentasinya :')

Kapal sandar pukul empat sore. Kami turun dengan santai dan bertemu dengan banyak manusia berotot keril.

"Turun Rinjani, Mbak?" Tanya seorang bapak dengan daypack bermerek outdoor gear terkenal.

"Iya, Pak." Jawabku sambil tersenyum.

"Saya juga dari sana, tapi yang lomba lari." 

"Wah, temen kita juga ada tuh yang ikutan. Om Pulung Arbi, kenal ga?" Tanyaku antusias.

"Dia urutan ke-sembilan yang Senaru - Pelawangan - Senaru." Sahut Teh Farah. Wah, Ayah hebat.

"Kurang tau deh, tapi kayaknya kalo liat langsung kenal. Saya ikutnya yang sampe puncak, Mbak. Banyak yang gagal tuh gak sampe finish. Termasuk saya. Gak nyangka jalurnya kayak gitu." Keluh si Bapak.
"Emang belum pernah ke Rinjani sebelumnya?"

"Pernah, tapi udah lama banget. Ini juga sepatu yang saya pake susah buat jalur ke puncak, licin." 

"Oh, kalo Om Pulung sebelum lomba lari, dia trekking bareng kita. Jadi abis turun gunung, naik lagi buat lomba. Hahahaha"

"Wah, hebat.. Udah pro nih kayaknya. Hahaha.."   

Kami turun dari kapal. Ternyata Bapak ini berdomisili di Bali, entah setelah turun kapal ia melanjutkan naik apa. Kami segera mencari angkutan menuju Terminal Ubung. Seorang pendaki dari Cilacap turut bergabung dengan kami. Penampakannya kecil, berambut gondrong serta berkumis dan dilengkapi brewok. Cukup seram dan sangar untuk berhadapan dengan calo'-calo' disini. Ia jago menawar harga sampai calo'-calo' jengkel. Akhirnya kami mendapat angkutan menuju Terminal Ubung dengan tarif empat puluh ribuan. Padahal awalnya mereka ngotot di angka enam puluh. Yah, begitulah.

"Ini statusnya Mas Kiki kenapa?" Tanya Teh Farah sambil menunjukkan henfonnya. Disana tertera kata 'Guobblooooook'

"Lah, coba tanya." Sahutku penasaran. Teh Farah segera mengirim bbm.

"MMC Video recording kita hilang." Ujar Teh Farah lemas.

"Hah? Rekaman kita? Yang buat dijadiin dokumenter?" Tanyaku panik.

"Iyaaa.." Seketika wajah-wajah kami terlihat lemas. Tak terbayang bagaimana lucunya rekaman perjalanan yang telah kami lakukan bersama-sama selama seminggu, tiba-tiba harus hilang dan tak diabadikan.

Terlebih lagi, rekaman terakhir di pantai... Saat ia menggenggam tanganku.

Bali sore itu, macet. Sementara kami harus cepat-cepat pulang agar tak kemalaman. Namun apa daya, kami baru tiba di Terminal Ubung bertepatan dengan Adzan Maghrib.



Sesampainya di terminal...

"Pak, kemana pak?" Tanya seorang Calo'.
"Sini, pak. Surabaya, Malang, Purbolinggo, Jakarta, Jawa." Ujar yang lainnya.

"Ikut saya, Pak. Ke Jember. Bayuwangi." Calo'-calo' mulai mengerubungi kami.

"Ketapang, Gilimanuk." Kami mulai ditarik-tarik.

"LAPER!! GUE MAU NYARI MAKAN!!" Ujarku galak. Paklek Andi yang terlihat mau menyebutkan kota tujuannya seketika bungkam dan mengikutiku berjalan.

"Jangan sampe kena calo' lagi, Paklek." Ujarku pelan.

"Iya.. Disini banyak makelar ya. Mosok sampe sana masih diikutin." Ujar Paklek Andi sambil menunjuk kerumunan calo' yang berkeliaran di sepanjang jalan.

"Calo' disini kalo kita diem aja malah diikutin terus, kalo kita sebut mau kemana langsung ditarik ke agen bisnya terus dikasih harga sembarangan. Nah, mbaknya tadi bener... bentak aja bilang cari makan." Ujar Mas Pendaki Gondrong Yang Aku Lupa Namanya. Aku mengangguk-angguk. Aku bisa segalak itu karena memang aslinya aku lapar. Iya, lapar bisa dengan mudah memunculkan sifat asliku.

Kami segera mengisi perut dengan nasi rawon. Teh Farah menghubungi tantenya untuk dijemput. Mas Pendaki Gondrong mencarikan tumpangan untuk aku, Mas Ardi dan Paklek Andi menuju pelabuhan Gilimanuk. Dan hebatnya, ia mendapat angkutan dengan tarif lima belas ribu. Eh, apa dua puluh ya? Gak tau, aku lupa. Intinya, dari terminal Ubung sampai Gilimanuk memakan waktu sekitar tiga jam-an.

"Tantenya sudah ditelfon, Farah?" Tanya Paklek Andi.

"Udah, tapi ini belum ada kabar. Aku teh bingung mau ikut kalian atau ke denpasar." Jawab Teh Farah labil.

"Yaa.. pastiin dulu. Ini kita udah mau jalan. Takut kemalaman." Ujar Paklek Andi menegaskan.

"Kalian gak mau nungguin sampe tante aku dateng?" Tanya Teh Farah bingung.

"Kemalemaaaaann.." Ujarku gemas.

"Tapi aku takuuut. Yaudah deh, ati-ati yaa.. Sampai ketemu lagiii.." Kami bersalaman dan berpamitan dengan Teh Farah. Ia sempat memelukku dan mencium pipi kanan-kiriku. Iya, aku tau, aku memang menggemaskan.

"Kabar-kabarin ya, dek..."

"Teh Farah ati-ati. Nunggunya di tempat yang rame. Awas dikejar makelar! Hahaha..."




Menuju Barat 


Kami duduk sendiri-sendiri. Sang supir menyetel dangdutan dengan dvd player dan televisi mini yang menggantung di bagian depan mobil. Aku melayangkan pandangan keluar jendela. Menyesap udara bali malam ini. Harum. Wangi khas aroma dupa dan melati semerbak dan menyeruak di sepanjang jalan. Entah apa nama jalannya.

Aku termenung menatap layar ponselku yang gelap dan memantulkan bayangan wajahku sendiri.  Kenapa harus mati disaat membosankan kayak gini, sih.

"Mas, Agit duduk disitu ya?" Ujarku pada Mas Ardi. Ia mempersilakanku duduk di sebelahnya. Ternyata anak ini bocor juga. Semua tema kami obrolkan malam itu. Dari mulai lumpur Sidoarjo, beasiswa kuliah, masalah gunung, sampai semua kisah di Rinjani kemarin. 

Rinjani banyak meninggalkan cerita...
yang tak habis jika dibahas dalam satu part saja...

Angin malam semakin kencang, angkutan kami pun tak kunjung sampai. Aku tertidur. Begitu pula yang lainnya. Pukul sepuluh malam, kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk.

"Mas, bangun." Ujarku pada Mas Ardi yang telah berpindah tempat duduk. Kami segera berkemas dan membeli karcis.  

"Kamu kemana, Git?" Tanya Paklek Andi.

"Banyuwangi, Paklek. Pisah di Ketapang aja nanti."

"Udah di telfon sodaranya?"

"Belum, henfonku mati. Nanti aja nyargher di kapal." Jawabku santai.

"Gak ke Surabaya aja, ta?" Tanyanya menggodaku.

"Nanti, Paklek. InsyaAllah selasa." Jawabku malu.

"Eh, itu bis ke Malang." Ujar Paklek Andi. Ia segera menghampiri kondektur bus dan tawar menawar harga. Mereka bertiga rencananya akan menaikki bus itu, sementara aku harus mampir ke Banyuwangi dulu. Sedih rasanya membayangkan malam-malam jalan sendirian. Mereka segera menyusun carrier di bagasi, sementara aku menumpang di dalam bis, aku memangku carrierku, memeluknya erat. Gajah kecil, be strong ya! Bis berjalan dan masuk ke dalam kapal.

Kami menuju kantin, Mas Ardi membawakan carrierku. Aku segera mencharge henfonku dan mengaktifkannya. Menelefon om-ku di Banyuwangi kemudian mengecek notifikasi yang masuk.


1 Message Received

From : Mas Bagus (+62812225xxxx)

Udah sampe mana, dek gendring? :)


Seketika lututku melemas. Aku duduk dan memijat dahiku. Kemudian kuketikkan huruf demi huruf perlahan.

Pelabuhan gilimanuk, mas.
Mau nyeberang.

Message Sent
Message Delivered

Tak lama ia membalas...


.....


Gak jadi deh. Hahahaha.



Penyeberangan dari Pelabuhan Gilimanuk sampai Ketapang memakan waktu hanya setengah jam. Di dalam kapal, Paklek Andi begitu mengkhawatirkanku yang nekat pulang sendirian. Habis mau bagaimana lagi? Aku jomblo sih. Kalo punya pacar juga pasti nemenin. Eaaaaaak. *dikeplak!*

"Mampir-mampir lho yaaa.. Awas kalo nggak mampir. Apa mau tak jemput di Stasiun?" Paklek Andi terus mencecarku.

"InsyaAllah, Paklek. Aku ke Surabaya langsung transit Kediri soalnya. Liat nanti deh gimana hati aja, mau mampir atau enggak." Jawabku bingung.

"Nginep di rumahku aja. Kan ada anak istriku." Ujarnya meyakinkanku. Aku hanya tersenyum.

"Yowes, ayo siap-siap balik ke bis." Si Mas Pendaki Gondrong mengingatkan. Kami bersalaman satu sama lain. Aku menyeberang sendirian.
 

Dan...
Satu pergi
Satu-satu menjauh
Satu per satu menghilang

Satu lupa
Satu-satu terputus
Satu per satu berakhir

Satu di antara sekian,
Hanya satu bintang yang paling terang.
Jika ku ingat kematian,
Satu per satu pasti pulang.


Agita Violy - Pulang
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi
23.00 WIB - 18 Agustus 2013




Penasaran cerita Agit di Banyuwangi - Surabaya - Kediri - Semarang?
Bersambung ke sini >>> Let Me Go Home (end) :)

1 comment:

  1. calonya banyak banget ya disana, ngeri juga kalau sampe ngotot-ngotot gitu..

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...