Sunday 8 September 2013

Menebus Janji Dewi Anjani



Cerita sebelumnya >>> Klik disini :)
(Judul postingan ini terinspirasi dari Album Foto di FB Nganga, Menembus Janji Dewi Anjani :) ) 

Rabu, 14 Agustus 2013

“Banguuuun.. banguuuuuuuuuun..” Suara Paklek Andi membangunkan kami. Aku segera bangun dan bersiap-siap. Perutku tak bisa diajak kompromi, tiba-tiba merasa lapar dan mulas dalam waktu bersamaan. Pisang dari Ayah masih tersisa dua. Aku segera melahapnya sendirian. Kemudian ku minum sari kurma dan cairan penambah darah sebagai dopping, juga tak lupa menyelipkan fitbar, cokelat dan madu untuk bekal di perjalanan.

Bang Fadly merebuskan air untuk diisi di termosku dan Teh Farah.

“Kita gak sarapan?” Tanyaku pada semua mata, namun hanya dijawab dengan gelengan saja.

Hah?!! Biasanya gue kalo mau summit pasti disuapin sama Nganga, dipaksa makan walaupun gak lapar. Ini dari dua belas orang gak ada yang sarapan???!!” Teriakku dalam hati sambil mengusap-usap perut. “Sabar yah.. Untung tadi udah makan pisang. Yang kuat yah, jangan laper di jalur, jangan mules juga..

Sebelum jalan, kami membuat lingkaran dan berdoa..
“Temen-temen.. Sekarang kita mau lanjut perjalanan ke puncak. Jalannya pelan-pelan aja, barengan terus, kalo capek bilang lho ya. Semoga semuanya bisa sampe puncak, selamat sampai tujuan dan bisa pulang sama-sama..” Ujar Mbak Niza dan diaminkan oleh semua.

“Semoga perjalanan kita lancar, sampe puncak, sampe turun, daaaan.. KETEMU JODOH!!” Teriakku iseng teringat percakapan dengan Ayah semalam, “Kalo doa tuh sekalian, jangan setengah-setengah.. Yang total!” Hahaha dan kali ini terdengar suara Aamiin yang lebih keras.

“Berdoa.. dimulai.”

*hening*

“Selesai..”

Kami start pukul tiga pagi. Jalan dalam satu barisan. Mas Bagus tetap yang paling pertama, kemudian Mas Ardi, aku, Saib dan tidak tahu siapa lagi urutannya. Yang bertugas mengurutkan posisi dan menghitung jumlah kelompok ya Paklek Andi. Hehe :D

Baru juga kami berjalan setengah jam, tiba-tiba Mas Ewok berkata bahwa dia mulas. Kami menunggunya menuntaskan tugas mulia. Aku iseng menyorotnya dengan headlamp.

“Hooooy, cah gendriiiiing. Ojok ngintiiiiip!!!” Teriaknya dari balik pasir. Yak, Mas Ewok resmi pup di pasir, kayak kucing.

“Biar gak peteng maaaas!!” Sahutku sambil cekikikan. Terlihat beberapa pendaki melintas di hadapan kami. Sebagian besar dari mereka adalah bule-bule yang lengkap dengan porternya.

Rinjani, treknya hampir sama seperti Semeru, yaitu sama-sama pasir. Namun Rinjani memiliki tekstur pasir yang lebih kasar dan berkerikil. Kemudian jalurnya melipir jurang sehingga menyulitkan kita berlindung ketika ada hembusan angin kencang. Aku hanya melangkah dan melangkah dengan tongkat saktiku. Aku yang biasanya paling sering istirahat dan malas cepat-cepat sekarang malah jalan seenaknya. Aku mulai menemukan tempo dalam langkahku. Langkah yang memiliki ritme dan begitu berirama.

Berkali-kali kami break, berkali-kali ku temukan Mas Bagus yang tertidur dan berkali-kali juga aku kepergok lagi ngeliatin hidungnya.

“Kenapa, Git?” Tanyanya mengagetkanku. Dia selama ini sering tidur, tapi kok tau ya kalo aku lagi ngeliatin?

“Mas Apik hidungnya ngeselin, kayak bule-bule itu. Hehe..” Jawabku ngasal, kebetulan ada beberapa bule yang lewat. Aku menggaruk-garuk kepala.

“Kenapa ta? Mancung ya? Gak punya ya?” Aku menarik-narik hidungku. Mas Bagus tertawa pelan.

“Mau mimik ta?” Ia menawarkanku minum. Airnya masih keruh seperti kemarin. Aku langsung meminumnya. Alisku mengerut.

“Itu air gula..” Ujar Mas Bagus. Ia mengerti apa yang ada di pikiranku.

“Kok air gula?” Tanyaku heran.

“Iya, lupa madunya aku taruh mana.”

“Kenapa gak air putih aja? Kenapa harus air manis?” Tanyaku polos.

“Kamu sukanya air manis kan?” Tanyanya balik. Aku tertegun, memikirkan apa maksud pertanyaannya. Darimana ia tau? Apa kemarin ia mendengar gumamanku? Atau, apa maksudnya ia sengaja menyiapkanku air manis agar aku sering minta? Sudahlah, Git. Tak usah kegeeran. Ini hanya kebetulan.

“Yuk, Mas.. Jalan lagi, selak dingin.” Ajakku sambil mengalihkan pembicaraan.

Aku terus berada diantara Mas Bagus, Mas Ardi dan Saib. Teh Farah terlihat begitu lelah namun Bang Fadly dengan sabar selalu menuntunnya. Padahal, menurut kesepakatan awal, harusnya aku muncak dengan posisi di-webbing atau ditarik-tarik sarung oleh Bang Fadly. Tapi, siapa yang tau kalau takdir tak selalu berjalan sesuai rencana?

Bang Fadly yang sabar ya, jagain Teteh sampai puncak. Kayak Nauvel sama Teteh waktu di Semeru. Pelan tapi pasti. Agit udah biasa kok gak ada yang jagain, Agit tunggu abang diatas ya :’)

Dua jam berjalan, rasanya puncak masih terlalu jauh untuk diraih. Aku menunaikan shubuhku dibalik pasir. Dan ketika mengucap salam, semburat mentari pagi muncul dari arah timur. Tubuhku gemetar melihatnya.

Ibu, andai kita dapat melihat pagi yang sama

Disini indah, Ibu

Bahkan rasanya hanya menilai dengan kata indah pun tak cukup



Ibu, andai kita dapat menunaikan subuh di tempat yang sama

Disini dingin, Ibu

Namun rasanya,

Dengan mencium tanganmu saja

Sudah dapat menghangatkan jari jemari yang membeku



Tuhan, di tempat yang sedekat ini..

Bolehkah ku meminta?

Beri aku pagi yang cerah

Beri aku siang yang teduh

Beri aku senja yang oranye

Beri aku malam yang hangat dan berbintang

Cukup untuk hari ini saja

Ijinkan aku bermain dengan langit

Ijinkan aku menyentuh awan-awanMu



Tuhan, di tempat setinggi ini..

Bolehkah ku bertanya?

Dimana dapat ku temukan lelaki yang pasti?

Yang hitam atau putih

Yang merah atau biru

Bukan abu-abu, apalagi ungu



Sembilan belas tahun lebih lima hari

Sudah terlalu jauh ku bawa kaki ini melangkah

Tanpa alasan, tanpa tujuan

Berbekal perasaan dan rasa penasaran

Apa yang selama ini ku cari?

Apa yang selama ini telah kuhasilkan?



Anjani,

Sesaat lagi aku sampai singgasanamu,

Tak usah repot-repot menjamuku,

Cukup bimbing aku menjadi wanita sesederhana dirimu.

Pandanganku terpaku pada matahari yang mulai bergerak lebih tinggi. Bulir-bulir air mata meleleh di pipiku. Selesai shubuh tadi, nampaknya aku tertinggal rombongan. Aku segera melangkahkan kaki dengan pasti, walau hanya seorang diri.



Aku muncak sendirian lagi.
Dan aku sudah terbiasa seperti ini.
Karena dengan melangkah sendiri, aku baru sadar, siapa aku ini.

Mentari semakin meninggi. Mas Bagus sudah tak terlihat lagi. Aku melahap bekal sarapan cokelat dan fitbarku. Berjalan santai dan tiba-tiba ku temukan Saib yang tertidur. Ternyata rombongan kami masih di belakang. Aku berjalan di belakang Saib walaupun itu tak berlangsung lama, Ia berjalan lebih cepat dariku dan aku sukses ditinggal olehnya. Tak lama Mas Ardi melintas, aku mengekornya lagi namun sama saja, aku ketinggalan lagi. Tiba-tiba Mas Yuli berjalan ke arahku.

“Lha kok kamu jadi di belakang, Git?” Tanyanya sambil tertawa.

“Ngantuk, Mas.” Jawabku ngasal. Dan aku di-overlap lagi. Namun tepat di belakangku ada Mas Kiki, Mas Ewok dan Mas Ais. Mereka bertiga-tigaan terus. Aku tak mau berjalan di belakang mereka. Tak mau dibalap lagi pokoknya!

“Alon-alon, Cah Gendriiiing..” Teriak Mas Ewok. Aku nyengir. Sudah banyak pendaki yang mulai turun, apalagi bule-bule yang memiliki kaki panjang. Tentu mudah untuknya berjalan di trek sesulit ini. Ku mantapkan hati untuk terus menatap kebawah, aku tak mau lihat-lihat puncak yang bikin hopeless. Namun tetap saja tak bisa. Jalan lagi, duduk lagi, makan lagi, jalan lagi. Ya, begitulah aku.

“Gagaaaaa….” Teriakku menemukan sosok Nganga yang terseok-seok di belakangku.

“Agiiiiit.. Ayooo semangaaat.” Kata seseorang yang melintas dihadapanku.

“Hah? Siapa sih?” Aku mengamatinya.

“Siapa lagi, Git, kalo bukan Sumar.” Sahut Nganga tiba-tiba mendahuluiku.

“Ayok, mau ditarik ga?” Tawar Sumar. Aku mengangguk pelan. Trekking pole ku berpindah ke tangannya.

“Lima langkah istirahat, lima langkah istirahat ya.” Ujar Sumar memberi instruksi, kemudian ia menggenggam tanganku dan melangkah. Aku berasa ditarik.

Pada lima langkah yang ke-tujuh kalinya, aku menyerah.

“Udahaaaaan. Bang Aten duluan ajaaaaaa. Agit capeeeeeeek. Hahahaha” Teriakku. Dia tertawa.

“Yaudah, ditunggu di atas ya, Git!” Ia mendahuluiku. Tiba-tiba Mas Galih berlari kencang. Mas Kiki juga sudah jauh di depan. Ah, puncak sebentar lagi!

Sampai akhirnya aku menemukan bebatuan besar. Aku bersandar pada salah satunya. Andai yang kusandarkan saat ini adalah dada bidangmu, pasti aku tak mau beranjak pergi. Halah! Woy, bangun Git!!!!

Seorang pria tiba-tiba menyodorkan botol minumnya padaku, seorang lainnya memberiku cokelat dan biskuit. Lagi-lagi rejeki di gunung datang menghampiriku. Kami ternyata sama-sama berasal dari Bekasi. Oke, sejauh ini kabur dari peradaban ternyata ketemu orang Bekasi lagi???!!!

“Semangat, Mbak. Itu udah puncak. Paling lima menit.” Ujar mereka, kemudian turun. Aku menemukan Mas Galih yang bersandar di salah satu bebatuan. Nampaknya ia begitu kelelahan setelah berlari.

“Ayooo, Mas Aiiiiis..” Teriakku meng-overlapnya.

“Hooooy, anak mudaaaa!! Lama sekali kamu! Ayah disini dari Subuuuuuh!! Buruan, dong. Dingin nih!” Teriak sesosok Om-om yang pea, sabar dan bersahaja dari jarak lima belas meter. Oke, aku yang masih muda dan bertenaga, resmi dikalahkan oleh Om-om dengan resiko asam urat lebih tinggi. Oke.

“Aaaaaaaaaakk! Agit ndak terimaaaa!” Teriakku sambil berlari tergopoh-gopoh. Ayah terlihat bahagia karena telah membuatku ‘panas’. Tiba-tiba Mas Bagus muncul dengan kameranya, kemudian membidik kearahku.

Aku berhenti berlari, juga berhenti bergerak. Rasanya jantungku tak berdetak untuk beberapa detik. Aku teringat do’a isengku yang diAamiinkan teman-teman tadi pagi. Atau pertanyaanku pada Tuhan selesai shalat shubuh tadi. Inikah jawabannya?

KLIK

Oke, Git. Fokus. Tarik nafas, buang. Control your emotion, Git. Ini cuma imajinasi. Oke? Fokus ya, Git? Iya.

Hanya dengan beberapa langkah, akhirnya aku sampai di titik tertinggi Lombok. Tepat di ketinggian 3.726 Meter diatas permukaan laut. 

“Aaaagiiiiiiiiiiiiiiittt..” Teriak Nganga sambil menyalamiku.

“Nganga gamau peluk Agit?” Tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

“Nganga kemana-mana sama Agiiit, tapi di Semeru Nganga ditinggal sama Agiiit.. Selamat ya, Git. Akhirnya kita sampe siniii bareng-bareng.” Ujar Nganga sambil memelukku.

“Sayang ya Nga, gak ada Imam..” Ujarku sambil melepas pelukannya.

“Iyaaa, sedih ya.. Imam oyoy sih. Ohiya ni, Git. Temen-temen Nganga..” Ujar Nganga meperkenalkan. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Ini Agit, gua kemana-mana ama dia. Biasanya jalannya keong, minumnya banyak kaya onta, tapi tadi summit sendirian.” Iya, Nganga orangnya emang suka ngejelek-jelekin.

“Salaman dulu dong, Git, sama Bang Sumar” Celetuk Bang Sumar sambil mengulurkan tangan.

“Aaaaaaaa.. Makasih Bang Aten.. eh, Sumar. Hahaha” Aku mencium tangannya. Ia sibuk mencoret-coret tulisan. Aku teringat tulisan-tulisanku yang masuk ke dalam tasnya Bang Fadly. Dia dimana ya?

Kemudian aku duduk dan makan biskuit orang. Hehehe. Tak lupa juga saling mengucapkan selamat kepada teman-teman satu timku ini. Kami duduk-duduk sambil menunggu yang lainnya. Puncak Anjani begitu ramai, untuk foto di tiang bertuliskan 3726 mdpl dengan bendera diatasnya saja mesti mengantri. Ayah masih mengompori orang-orang yang ada dibawah. Bang Fadly terlihat sedang menuntun Teh Farah sambil mengalungkan sarung. Ayah menghampiri mereka dan membawakan tas milik Teh Farah.

“Abaaaaaaaaaang.. Semangaaaat!!!” Teriakku. Ia tergopoh-gopoh menghampiriku.

“Aaaaaaaaaaaakkkk. Hahahahaha” Bang Fadly mengangkat tubuhku, menggendongku. Kemudian memutar-mutarku ke langit dan melemparku ke Segara Anak. Oke, ini lebay. Hahaha

Kami membuka jaket. Bang Fadly hanya mengenakan kaos tanpa lengan sementara aku mengenakan jersey couple dengan Saib.



 
 
Kami memutuskan turun pukul sepuluh, atau sebelas? Aku lupa. Ayah sudah turun duluan. Aku turun bareng Saib dan Mas Ardi.

“Itu siapa, Ib, yang di webbing?” Tanyaku pada Saib ketika melihat sesosok wanita yang ditarik-tarik menggunakan tali. Saib segera menghampirinya.

“Arvita, Git.” Teriak Saib kemudian.

“Ayooo, Taaa.. Semangaaat. Puncak udah dekeeet” Teriakku menyemangati.

“Ada air, gak, Git?” Tanyanya. Oh iya aku lupa tak mengisi ulang termosku. Aku menjawab dengan cengiran yang artinya ‘yah.. abis, Ta’

“Apaan sih, lo, diwebbing segala.. Manja dah. Hahahaha” Aku mengejeknya.

“Gak kuat gue, Git.” Ia mengeluh pelan.

“Semeru kuat, Ciremai kuat. Udah buruan sono muncak, keburu kabut. Semangat, Ta!” Ujarku seraya berpamitan.

Perjalanan turun begitu menyedihkan. Iya, sedih. Kakiku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda rematiknya. Ditambah lagi jarak antara aku, Saib dan Mas Ardi terlalu jauh dan kejar-kejaran terus. Tak punya air pula. Namun aku senang melihat hari yang cerah ini, awan yang menggumpal seperti kapas-kapas, juga panorama Segara Anak dibawah sana yang membuatku tersenyum kecil bila melihatnya.

Aku menghela nafas panjang, kemudian mengoceh sendiri.

Kapan lagi, ya, kesini?
Berasa deket banget sama Tuhan, daritadi semua harapan diijabah. Baru ini muncak gak ditemenin kabut. Baru ini juga gak dihujanin. Tuhan baik banget ya. Anjani juga baik, Agit dibolehin main sampe puncak. Anjani, makasih jamuannya, rumahmu indah.. Kapan-kapan undang aku kesini lagi ya J

“Agiiiiiiiiiiitt.. Sarung tanganmu terbaaaang!” Teriak Saib membuyarkan lamunanku.

“Hah? Kok bisaaaa?” Jawabku berteriak.

“Iyaaa, lagi tak lepas, aku mau nyalain rokok. Eh, terbang. Hehehe” Ujar Saib sambil cengengesan.

“Yaaaah, sarung tangan nemu di lab ituuuu.” Aku panik, takut Tiwi ngomel karena sarung tangan Lab hilang. Iya, Tiwi partner kerjaku di Lab.

“Nanti tak ganti, Git.” Ujar Saib santai. Aku melengos.

Saib berjalan terburu-buru. Katanya sih kebelet pup. Aku sibuk jalan dan ngoceh sendiri lagi sampai akhirnya bertemu Mas Ardi yang sengaja menungguku. Jalannya agak bercabang dan ia sengaja menunggu karena takut aku tersesat. Mas Ardi baik ya :’) *kedip-kedip*

Aku membuntutinya. Dari jauh sudah kelihatan tenda warna-warni yang berdiri kokoh. Tak jarang juga kami berlari ketika turunan. Tak lama, kami tiba di Camp Pelawangan Sembalun. Namun sayangnya, tenda kami masih jauh.

“Git, mandi Giiiit..” Ujar Mas Bagus melintas dihadapanku. Ia hendak mandi bersama Mas Kiki. Arek iki wes rajin, apikan, resikkan pisan. Aku menggumam dalam hati.

“Iya, duluan Mas..” Jawabku singkat.

Sesampainya di tenda, aku segera melepas sepatu dan membersihkan kuku-kukuku. Semua aman, belum ada tanda-tanda akan lepas atau cantengan seperti biasanya.

“Agiiiiiiiitt.. Siniiiii..” Teriak Nganga yang entah darimana asalnya.

“Iyaaaa, bentaaaar.” Sahutku. Aku segera merapikan peralatanku, membersihkan badan dan mengganti pakaian. kemudian tak lupa memakai sarung. Iya, seperti biasa, aku memang suka jalan-jalan sambil sarungan di gunung. Aku menghampiri tenda Nganga sambil menggenggam sebotol sari kurma.

“Nganga mau sari kurmaaa?” Tawarku. Nganga langsung melet-melet kayak guguk.

“Jangan belepotan!” Aku mengingatkannya dengan galak. Nganga nurut. Ia mengambil sendok dan menakar sari kurma, kemudian meminum dan menjilati sendoknya. Nganga cengar-cengir.

“Git, ada yang mau kenalan tuh ama lu, Git.” Ujar Nganga sambil menunjuk seseorang didalam tenda dengan sendok bekas sari kurmanya.

“Siapa? Sini kenalan ama gua. Hahaha” Tantangku sambil tertawa.

“Agiiiiiiiiiiiiiiiitttt..” Teriak seseorang dari tenda lainnya.

“Siapa sih? Budi ya? Apa Bang Aten?” Tanyaku.

“Sumar itu, Budi lagi tepar. Elu doang ya Git yang manggil Sumar pake sebutan Aten. Hahahaha…” Ujar Nganga.

“Hehehe.. Aten ya.. Asu Tenan.” Gumamku sambil cekikikan.

“Itu temen gua mau kenalan.” Ujar Nganga lagi. Aku mengulurkan tangan, namun lupa namanya siapa :|

“Git, bagi aer git. Aer gua abis.” Nganga memasang muka melas. Dan dia tau, aku paling tak bisa meninggalkan ia dengan posisi seperti itu.

“Ambil sih, disana ada sumber air.. Tuh temen-temen gue lagi pada mandi.” Jawabku.

“Dimana, Git? Capek Giiiit..” Sekarang Nganga mulai manja.

“Sini gue pijetin kalo capek.”

“Eh, gue juga capek Giiiiit..” Sahut temannya Nganga yang tadi kenalan.

“Gue jugaaaaaaaaaa.” Sahut Sumar.

“Hahahaha..” Kami tertawa. Aku menghampiri tenda Sumar, kemudian mengacak-acak logistiknya, merampas beberapa susu cokelat, mie dan botol kosong. Ku tinggal sebentar ke tendaku, Bang Fadly membantu menuangkan air ke botol kosong yang ku bawa. Tak lama aku kembali ke Nganga dengan membawa dua botol yang berisi air.

“Makasih Agiiiiiit..” Ujar Nganga dan Sumar. Budi masih tidur. Suka nggak tega kalo ngeliat Budi :’(

Ayah mulai memburu-burui kami agar segera berkemas. Barang-barangku sudah rapi sejak tadi. Saat Mbak Niza dan Teh Farah sibuk berkemas, aku menyempatkan diri untuk tidur sekitar setengah jam didalam tenda. Dan ketika tenda dibongkar, aku melanjutkan tidurku diluar sambil memeluk carrier.

Sembalun dingin dan berkabut.
Namun perjalanan ini harus tetap berlanjut...


(Bersambung kesini >>> Gagal Move On di Segara Anak :) )

2 comments:


  1. “Hooooy, anak mudaaaa!! Lama sekali kamu! Ayah disini dari Subuuuuuh!! Buruan, dong. Dingin nih!” Teriak sesosok Om-om yang pea, sabar dan bersahaja dari jarak lima belas meter. Oke, aku yang masih muda dan bertenaga, resmi dikalahkan oleh Om-om dengan resiko asam urat lebih tinggi. Oke.

    Semangat berkata buat kalian yg menyukai ketinggian yg kudapatkan belasan tahun lalu .... Nice to summit attack :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...