Tuesday, 21 May 2013

[Pangrango] Tragedi Kandang Batu - Kandang Badak

Cerita sebelumnya klik disini :)

Dalam kesendirian dan hujan-hujanan, akhirnya aku bertemu dengan beberapa anak UPI, sebut saja Dillah, Anita, Beni, Ajeng dan Faris. Kami menggelar flysheet agar terlindung dari hujan. Saling merapatkan jarak agar tercipta kehangatan. Kemudian berbagi cokelat yang agak sedikit mendiamkan perut laparku.

"Si Nurul mimisan katanya." Celetuk seseorang.

"Eh dimana?" Tanyaku.

"Pas nyeberang air panas tea, kepleset ceunah." Jawab lainnya, dalam logat Sunda.

"Ya Allah.. Sereem.. Tapi udah ada yang nolongin kan?" Tanyaku lagi.

"Si nopel paling mah."

Kami terus menunggu hujan reda, namun yang terjadi malah sebaliknya, hujan tambah besar. Kami semakin basah dan kedinginan. Beni tak sabar agar segera beranjak dari tempat itu. Ia ingin segera mendirikan tenda, lebih tepatnya. Maka aku, Beni dan Dillah memutuskan jalan duluan ke Camp Kandang Badak. Sementara Ajeng dan Anita tetap setia dengan flysheet dan carrier titipan Faris, dan Farisnya entah kemana.

Beni jalan duluan, kemudian Dillah. Dan aku, belakangan. Beberapa kali langkah Dillah terhenti untuk menungguku, namun aku benar-benar lemas. Aku menyuruhnya agar jalan cepat menyusul Beni. Biarkan aku sendiri.

Tik Tok Tik Tok..

Tak ada tanda-tanda kehidupan
Aku benar-benar sendirian

Tik Tok Tik Tok..

Jauh didepan sana masih hutan
Dibelakangku kabut berkejaran

Tik Tok Tik Tok..

Semakin dingin
Semakin lapar

Tik Tok Tik Tok..
Hujan terus merintik
Bersaingan dengan melajunya detik
Tik Tok Tik Tok..
"Bolehkah aku beristirahat disini sebentar?"
Tanyaku, pada sebuah batu besar
Ia tersenyum sabar

Aku duduk di sebuah batu besar yang berlumut. Membuka sepatu dan memeras kaus kaki yang sudah banjir tak karuan. Kemudian kukenakan lagi dan mengisi perut dengan sepotong biskuit. Ah, dua potong. Hee, mengaku sajalah, sebungkus biskuit sudah kau habiskan, Git! [--,]>

Setelah 'agak' kenyang, aku masih terdiam disana. Berharap ada orang datang. Namun yang ditunggu kehadirannya tak kunjung tiba. Aku memejamkan mata, meresapi setiap bunyi-bunyian yang ada. Aku mulai masuk ke dimensi lain.

Seketika ada orang berteriak..

"Mbaaak.. Temennya hipo di pinggir jalan sanaaa." Aku membuka mata. Kulihat seorang bapak berlari ke arahku, tergopoh-gopoh.

"Hah? Dillah?" Tanyaku kaget.

"Gaktau, sama cowok. Berdua doang." Sambungnya lagi dengan napas terengah-engah.

"Dillah sama Beni? Yassalaaaam.." Aku hendak berlari, namun si Bapak mengisyaratkan agar aku tak panik.

"Mbak bawa flysheet?" Tanyanya kemudian.

"Ada dibawah, Bang. Dijagain cewek dua. Abang kebawah aja, gakjauh kok dari sini." Jawabku sambil mengingat Anita dan Ajeng.

"Yaudah, mbak lurus aja. Ada temen-temen saya juga lagi nanganin yang hipo. Mbak bawa kompor gak?" 

"Bawa, tapi spirtusnya gak bawa." 

"Ada kok, temen saya bawa spirtus. Ati-ati mbak, gak usah panik." Tuturnya, kemudian meninggalkanku. Aku berjalan gontai ke arah kerumunan. Dan seketika kudapati sosok wanita usia 20 tahunan tergeletak lemas dipinggir jalan. Ia bukan Dillah, dan sosok Pria dengan muka panik disebelahnya juga bukan Beni. Aku menghela napas.

"Assalamu'alaikuum.. Kenapa ni, Bang?" Tanyaku bersikap ramah.

"Wa alaikumussalaaam.. Hypotermia, Neng. Kedinginan. Ada kompor gak?" Tanya salah satu dari mereka. Aku membuka carrier, mengeluarkan kompor, dan memberikannya pada seorang bapak. Ia meraihnya, kemudian mengeluarkan spirtus dan nesting. Ia merebus air.

Beberapa dari mereka sibuk memasang flysheet. Aku membantu menghangatkan korban. Sebut saja namanya Septi. Dari mulai meminumkan cokelat hangat suap demi suap, melumurkan minyak panas ke badannya, menggenggam tangannya, hingga memeluk tubuhnya. Oh, Tuhan.. Jangan biarkan aku menikmati ini. Aku hanya ingin menjadi wanita normal :| #abaikan #inihanyapencitraan

Septi megap-megap.

Agit panik.

Takut salah pegang salah penanganan.

Septi tiba-tiba diem.

Gak gerak.

Mati? Pingsan?

"Kak.. Bangun kaak.!" Aku menggampari wajahnya.

Septi napas lagi.

"Neng, itu gantiin bajunya. Dah basah semua." Teriak bapak-bapak dibalik flysheet.

"Nih, git, bajunya." Seorang pria, pacar septi, namanya Erik, memberiku sebungkus pakaian. Kubuka plastiknya, kemudian ku hitung. Tujuh lembar pakaian? Mbak mau kemping berapa hari???!!

"Kak diganti dulu yuk bajunyaa.." Kataku pelan.

"Kepala aku sakit kaak.." Jawabnya megap-megap. Aku angkat kepalanya.

"Ebuset mbaaak.. Besok-besok kalo naek gunung jangan pakek hijaaab. Pake jilbab simpel aja kayak sayaaa. Ini jarum pentul tiga biji nusuk pala semua, gimana gak sakit." Aku ngomel.

"Tenggorokan aku kayak kecekek kak.." Rintih Septi lagi.

Aku panik.

Matilah, Izrail ada di sekitarku.

Aku takut malaikat itu salah mencabut.

Git.. FOKUS!! -_-

Ku periksa bagian lehernya. Dan kutemukan jarum pentul (lagi) menusuk dengan beringas ke tenggorokan. Aku mebuka hijabnya secara paksa. 

"Ganti pake kupluk aja yuk. Hijabnya bikin puyeng. Udah makenya muter-muter, jarum pentulnya banyak banget pula." Kataku kesal. Kemudian memakaikan kupluk untuk menutupi rambutnya.

Saat itu ia mengenakan lima lapis pakaian. Tebal-tebal memang, namun tembus air semua dan gak cepat kering. Itulah yang menjadi penyebab ia Hypotermia, kedinginan. Sementara aku hanya mengenakan selembar kaus dan selapis jas hujan. Iya, aku gak kedinginan, soalnya kulit dan lemakku udah cukup menghangatkan. Termasuk doamu dari jarak jauh juga cukup untuk menguatkanku untuk memerangi dingin ini. #eaaaaak

Aku menggantikan pakaiannya yang basah.

*Sensor*


*Sensor*


*Sensor terus sampe sepuluh menit*

"Baaang! Jangan ada yang ngintip yaa! Kalo ada temen saya lewat, bilangin yaaa. Cowok dua oraang, bawa cewek mimisaaan!" Teriakku kepada bapak-bapak dibalik flysheet. Mereka menjawab 'iyaa' dengan kompak.

Setelah kelar diganti bajunya, Septi pingsan lagi.

A'Nauvel, Imam dan rombongan terakhir melintas.

"Imaaam, Nopeeeeeeeel.." Teriakku dari balik flysheet. Untung aku lihat mereka lewat.

"Loh, bukan Agit yang hipo?" Tanya Nauvel. Aku menatapnya lemas -_-

"Bang, pingsan lagi ni." Laporku pada mereka. Seketika Om Teddy datang. Menampar-nampar wajah Septi. Imam memijati kaki Septi yang sudah dingin. Septi bangun, kesakitan.

"Perut aku sakit kaaak.." Rintih Septi. Seketika teman perempuannya yang entah datang darimana, menyodorkan sebotol Tupperware berisi air panas. Membantu menekan-nekan di perutnya.

"Punggung aku sakit kaaak.." Rintihnya lagi.

"Yeeee, abang. Ini gak dipakein matras, bawahnya batu semua pantes sakit." Omelku pelan.

Seketika mereka membuat keputusan untuk membawa Septi turun. Mereka telah menyiapkan sepotong kayu yang kokoh untuk tandu darurat.

"Ada sarung gak? Ini butuh dua sarung buat ngangkut." Perintah seorang bapak. Bang Erik mengeluarkan sarung. Sementara sarungku telah dipakai untuk menghangatkan Septi. 

"Itu mau dibawa sarungnya?" Tanyaku bengong.

"Iya, buat tandu."

"Imaaam.. Itu sarung agit dari Kalimantaaaan.." Kataku melemah. Iya, itu songket oleh-oleh dari A'Nauvel yang mau dibawa muncak dan india-indiaan di Mandalawangi.  Pandanganku nanar. Pasrah. Imam menatapku ragu.

"Emang dari sebanyak bapak-bapak ini gak ada yang bawa sarung apaa.." Aku menggerutu. Menyesal kenapa tak berteriak saja agar mereka dengar sekalian. Nauvel menatapku iba. Bang Erik merasa bersalah.


"Nanti gue balikin, Git. Lo add FB gue aja Erikh Bastian" ujarnya mantap.

"Yaudah gih, bawa.." Mataku terasa panas. Aku mengalihkan pandangan. Imam menyerahkan sarung ke si Bapak.

"Wah, ini songket Sulawesi ya?" Tanya si Bapak.

"Bukan! Kalimantan!" Sahutku ketus. 

Aku merapikan barang-barangku. Carrierku basah dan kotor. Kesal sekali rasanya >_<

Mereka akhirnya turun. Sebelumnya a'Nauvel sempat bertukaran nomor dengan kakak perempuan yang tiba-tiba datang. Siapa tau sewaktu-waktu butuh.

Kami yang tinggal berempat, akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kandang Badak. Imam dan Om Teddy berjalan mendahului kami. Aku masih merengut, Nauvel salah tingkah.

"Si Nurul jatuh tadi yang pas nyeberang air panas." Nauvel memulai pembicaraan.

"Oh, iyah.. gimana ceritanya?" Tanyaku kemudian.

"Iyah, dia kan pake sendal. Licin kali. Kepleset. Terus tau-tau aku liat dia dah telungkup ajah. Pas dibawa bangun tau-tau udah mimisan. Si Nganga mau bantuin langsung lari gemeteran dia, takut liat darah."

"Nganga takut darah?" Tanyaku menahan tawa.

"Hahahaha.. Iyah. Habis itu ditolongin sama Imam, untung P3K-nya Vaza kebawa Imam."

"Ah syukurlaaah.."

Hening.


"Tinggal kita berdua ya, yang paling belakang?" Tanyaku sambil menoleh ke belakang.

"Masih ada si Arjul sama Gallan. Keong banget mereka berdua mah. Tenang.." 


Hening lagi..


"Tadi teh aku kira yang hipo si Agit.." Ujar A'Nauvel. Aku nyengir.

"Habiiis, tau-tau ada Abang-abang lari-lari bilang temennya ada yang hipo, cewe, pake kerudung. Aku lagi nuntun si Nurul langsung lari buru-buru. Si Imam dah sibuk aja bilang 'tenang Vel, tenang..' tapi gak aku gubris. Pas udah deket kok ga kenal mukanya. Eeeeh ga taunya disitu teh ada si Agit."

"Iyah, Agit juga takut tau-tau kalian lewat, terus gak liat ada Agit, terus Agit ditinggal sendirian paling belakang, terus Agit tak tau arah dan tak tau jalan pulang, terus..."

"Hahahahaha"

Kami tertawa dalam gerimis.

Senja yang manis.

Ditengah hutan yang mistis.





Sila baca lanjutannya >> disini :)

[Pangrango] Dalam Kesendirian di Sepanjang Jalur Cibodas

Rabu, 8 Mei 2013

Selalu ada keraguan tiap kali mau melangkahkan kaki keluar rumah untuk pergi berhari-hari, pergi untuk naik gunung, misalnya. Dan seperti biasa, aku belum mengantongi ijin dari Ayah. Aku hanya bilang, aku pergi ke kawasan Cibodas dan pulang hari Jum'at. Beliau mengiyakan, namun hatiku tetap ragu.

Sebuah keraguan,
Untuk apa tujuanku melangkah kali ini?
Aku baru saja menyudahi hubunganku dengannya, beberapa hari setelah ulang tahun pertama kita.
Apakah perjalanan ini hanya sebuah pelarian? Atau pencerahan batin yang suntuk? Atau mungkin perjalanan dimana aku harus mulai membersihkan sisa-sisa kenanganku bersamanya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku sendiri pun, aku masih ragu.

Seorang teman pernah berkata, "Ketika hatimu patah, bawalah kakimu untuk melangkah"
Sepatah itukah hatiku sampai-sampai harus melangkahkan kaki ke gunung? Rumit memang. Namun sudahlah, aku toh hanya mengikuti ajakan trip dari mereka. Nikmati saja perjalanannya...

***

Perjalanan kali ini melibatkan 21 orang. Tujuh orang dari Jakarta dan sisanya dari Bandung semua. Beberapa orang eks-Semeru2013, sisanya temen-temen mereka, temennya lagi, dan temen dari temennya lagi. Repot ya? Heuheuheu.Ada Nganga, Imam, Bray, Kak Hayya, Kak Vaza, Fachri, Nauvel, Om Teddy, Vian, Anak-anak UPI, dll. Baca aja post sebelumnya yang di Semeru dan Papandayan. Aku malas ngenalin lagi :p

Kali ini gak ada Leader. Semua bertanggungjawab atas diri masing-masing. Tapi A'Nauvel tetap menjadi penanggung jawab rombongannya, Anak-anak UPI. Dan bertanggungjawab atas diriku juga deng #halah #uopoiki Sabar yah a' :D

Meeting Point tujuh orang dari Jakarta ditentukan di Terminal Kampung Rambutan. Seperti biasa, aku datang paling pertama, kemudian disusul Nganga dan yang lainnya. Kang Fachri berangkat dari Cileunyi beserta dua orang temannya, sementara A'Nauvel berangkat dari Bandung juga bersama anak-anak UPI.

Nganga ini ajaib, begitu datang ia membawa sebungkus kue lengkap dengan pita merah jambu *yang katanya dari temannya* Berikut penampakannya..

kue unyu dari @dinaapuspita


Setelah lengkap tujuh orang, dengan menaiki Bus Do'a Ibu Jakarta - Cianjur pukul sepuluh atau sebelas malam, aku lupa, aku tertidur pulas beberapa menit setelah bus berjalan. Benar-benar pelor memang, nempel-molor. Dan tiga jam kemudian akhirnya kami sampai di pertigaan Cibodas.

Begitu turun dari bus, Brrrrrrrrrr.. dinginnya ruar biaso :D
Aku masuk angin, dan terkentut-kentut sepanjang jalan :|

Akhirnya kami bertemu dengan rombongan dari Bandung yang telah menunggu lama. Iya, tak hanya kau yang menunggu lama, aku pun telah menanti-nanti hari ini, untuk segera berjumpa denganmu. #abaikan

Dan dinginnya Cibodas,
seketika menghangat saat jari-jemari menjabat tanganmu..
Begitu pula mata kantukku,
seketika berbinar-binar menyadari sosokmu yang selalu berada didekatku..
Ah, Fatamorgana..

#Fokus #Fokus #Fokus Git!!!>_<

Kembali ke cerita..

Tak lama setelah berkumpul dan berhitung 21 orang lengkap, kami mencharter angkot menuju pos perizinan. Ternyata barak yang telah Imam pesan tanpa booking itu telah ditempati orang. Jadilah kami beristirahat di warung seadanya. Isi perut, charger henpon, leyeh-leyeh bahkan tidur sampai menunggu shubuh. Dan semakin pagi rasanya semakin dingin. (Yakin, Git, dingin?) Iya! 'dingin'!! -____- #AgitError

Pukul setengah enam pagi, akhirnya kami berkumpul. Mengecek gear dan share beban. Aku membawa tenda yang akan dipinjam oleh Fachri dkk. Tenda kuserahkan pada Fachri, dan entenglah sudah carrierku ini :D

Setelah semua dirasa lengkap, kami berkumpul, berhitung dan berdoa bersama..

Foto sebelum pendakian

he? kayak ada yang hilang :|

Kami berjalan perlahan, membentuk satu barisan, menuju pos perijinan pendakian. Aku hanya diam, dan berjalan sendiri tanpa teman bicara. Aku memang belum cukup untuk dikatakan waras ketika ku sadari aku lebih suka berbicara sendiri. Nafasku memburu, inilah akibat tubuh malasku yang tak pernah berolahraga. Rasakan! Baiklah.. angel dan demon dalam jiwaku sedang bertengkar -_-


Dimana aku? Disini..

Langit kala itu,
Biru,
Bercampur kelabu..
Mentari enggan menyinari kalbu,
Seperti aku yang enggan menyatakan rindu..

Terpaku,
malu..

Terhanyut,
dalam resah..

Terombang-ambing,
dalam gundah..

Terbakar gulana dalam dinginnya pagi,
Membangunkan asap-asap emosi,
Mengusir benih-benih kasih..
Pergi!!!

Tertatih aku,
dalam nafas memburu,
tak peduli siapa kamu.. 

 Cibodas, 9 Mei 2013

 

Setibanya disini, Angel dan Demon telah berdamai.



Akhirnya aku berjalan dengan Nganga. Berbincang sedikit yang bahkan aku sendiri lupa apa saja isi obrolannya. Kemudian berganti dengan Imam, dan beberapa kali diberi petuah.. beserta beberapa pernyataan dan pertanyaan yang bikin skakmatt. *sungkem suhu imam*

Melintasi Telaga Biru, yang kata Imam, disini masih ada ganggang biru yang hidup. Namun kali itu yang kulihat airnya bahkan butek.

"Agit gakmau foto-foto?" Tanya Imam, mengalihkan pandanganku dari telaga-biru-berair-butek.

"Eh? Imam gak foto-foto?" Tanyaku kembali.

"Enggak, kemarin Imam udah foto disini." Jawabnya jelas.

"Agit juga enggak deh." Kami melanjutkan perjalanan.

Kemudian beberapa kali beristirahat sesuka hati, aku benar-benar onta sekali, dan Imam benar-benar penggembala onta yang sangat sabar. *salim suhu imam*

Beristirahat di Pos Pencayangan, tragedi dimulai.. Dua anak UPI dikabarkan hilang, ah, bukan hilang, tapi terpisah dari rombongan. Sebut saja Benny dan Ajeng. Iya, mereka tak melihat kami sedang beristirahat di pos. Mereka malah ambil jalur ke kanan, menuju air terjun (curug). A'Nauvel, Nganga dan Imam segera mencari, ternyata mereka sedang menikmati pemandangan curug. Baiklah -__-

Perjalanan di lanjut, aku masih sama Imam. Kak Vaza, Kang Fachri dan dua temannya didepan. Kak Hayya dan Bray gaktau dimana. Aku masih tak bisa berpikir jernih. Suntuk!

Dan akhirnya beristirahat sangat lama di pos sebelum air panas, beberapa teman cedera. Bahkan sangking lamanya, aku sempat tertidur pulas. Dan sempat memimpikannya. Memimpikan siapa? Yang mana? #Ambigu

Dari pos tersebut, aku berjalan mengikuti Om Teddy. Melintasi air panas dibantu Nganga, kemudian Om Teddy sudah tak terlihat lagi. Akhirnya aku tertinggal begitu jauh. Mau kembali ke Nganga yang masih membantu orang lain menyeberang pun aku enggan. Tiba-tiba hujan, merintik, kemudian deras. Aku berjalan sendirian. Dalam hujan.. Kedinginan.. Begitu pelan.. Dan tanpa genggaman.




Notes : Menulis dalam keadaan perasaan gak tentu hasilnya jadi kayak gini. Selamat menikmati!



Sila baca lanjutannya >> disini :)

Tuesday, 7 May 2013

Kemping Unyu Papandayan #4 (end)


Hoaaaamm.. molor panjang ni catpernya. Gak usah banyak alasan.. Langsung aja lah yuk :D


Oke, cerita sebelumnya bisa klik disini :)


***

Masih 29 Maret 2013...




 
Loncat :D


terbang :')

we proud to be a part of stiba iec :')


Dan..
Tak lupa, memvideokannya :')


Setelah berfoto-foto ria, hari semakin sore, kabut mulai turun, langit semakin gelap dan kulit semakin terasa dingin, akhirnya kami memutuskan untuk turun..


Kali ini mungkin segitu dulu.. Sulit bagi saya mendreskipsikan semuanya.. Kali ini biar youtube dan foto-foto saja yang bicara :')

Terimakasih Semesta :')
Terimakasih Jamuannya :')

Terimakasih Kebersamaannya :')
Terimakasih Kehangatannya :')

Selalu 'menunduk' ketika 'naik'
Dan tetap 'tegak' ketika 'turun'


Sampai jumpa lagi, Kepulan putih.. Kabut, awan, dan asap :')

Menunggu Pagi..

Papandayan, 30 Maret 2013



*) Foto-foto : Adi Januar, Coco Komarudin dan Galeri Pribadi
*)) Video : Coco Komarudin

Monday, 8 April 2013

Kemping Unyu Papandayan #3

Cerita sebelumnya bisa klik disini :)


Foto terakhir sebelum pendakian

Perjalanan dimulai dengan barisan sesukanya. Tak ada peraturan satu jalur atau bergerombol. Pengunjung Papandayan hari itu bisa dibilang agak ramai. Eh, bukan agak ramai lagi, namun sangat--ramai--sekali. Om Ipung dan Bang Endi jalan duluan. Kebetulan mereka-lah yang membawa tenda. Lagipula mereka juga sudah hapal rute pendakian. Anggap saja ini daerah kekuasaan mereka. *PasangKacamata*

Kak Ida berjalan paling belakang dan dikawal ketat oleh Bang Coco. Entah persiapan fisik yang kurang matang atau kaget dengan pengalaman pertamanya dengan gunung, ia merasakan sesak. Sabar kak, Kakak pasti kuat :'( Sementara saya, ehm, saya berjalan sesuka hati. Kadang dekat mas Nur, kadang kejar-kejaran sama a'Novel, kadang ngobrol-ngobrol unyu disebelah Ibang, kadang diam tanpa kata dibelakang bang Adi, kadang dorong-dorongan ke kawah sama Immut. Hahahaha :D

Barisan terlihat tak putus-putus. Beberapa kali saya dibalap anak Lab School, nampaknya mereka sedang diklat disini. Seringkali saya membatin, "Hae, dedek-dedek ganteng. Gak ada yang mau kenalan sama kakak?" (--,)> *sambil-guling-guling-di-pasir*

Setelah dua jam berjalan, akhirnya kami tiba di Hutan Mati. Dan saatnya berfoto-foto-ria *LepasCadar*

ini namanya hutan mati

Dua Bendera

OrangeHolic dan Bapaknya

inih akoh gelayutan :3

Mari Lanjutkan Perjalanan, Kawan :)


Om Ipung dan Bang Endi mungkin sudah tiba di Camp Pondok Salada. Perkiraan hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit dari Hutan Mati untuk sampai kesana.Saya dan Bang Adi melanjutkan perjalanan duluan. Rombongan kami masih berfoto-foto ria di belakang. Sampai akhirnya tersesat dan tak tau arah jalan pulang #halah. Iya, saya sama Bang Adi tiba-tiba cuma berdua di hutan mati dan bingung mesti kemana. Lalu apa yang kami lakukan disanaaa? Hayoooo!! PADA KEPO KAN!! :D

Kami beristirahat sejenak, membuka cemilan sambil meneriakkan rombongan yang jauh di belakang. Agak lama juga menunggu kedatangan mereka. Ah iya, disini kami sempat kena jepret reporter nakal. Foto dibawah ini diambil dari metrotvnews(dot)com . Sempat dipublish juga di Koran Media Indonesia edisi 1 April 2013. Ehm, baeklah..

Jangan tinggalkan aku, Bang Adi :'(



























Setelah kami berkumpul, akhirnya Bang coco menunjukkan jalan terang. Dari kejauhan nampak tenda warna-warni mengelilingi Camp Pondok Salada. Hmm, sudah ramai.


disini masih keliatan sepi

ini gunung atau pasar? :|

Ternyata benar dugaan saya bahwa Om Ipung dan Bang Endi telah sampai duluan. Bahkan mereka sudah mendirikan tenda. Rombongan A'Novel juga sudah gelar lapak disana. Hmm, ternyata saya keong juga jalannya. Lama :(

Sesampainya di Pondok Salada, kami segera makan siang. Perut Om Ipung yang kelaparan agak terlihat menciut. Hahaha. Tapi gak cuma Om Ipung doang kok yang kelaparan, kami semua kelaparan. Terutama saya yang paginya hanya makan bubur ayam. Dan saking laparnya, sampai lupa tak ada yang mendokumentasi kegiatan makan siang ini. huhu :(

Setelah makan siang, beres-beres tenda dan gear, beberapa teman kami tidur siang. Saya juga sebenarnya mengantuk sekali saat itu. Cuma Om Ipung emang resek, tiap saya merem diteriakin suruh ambil air. Errr >_< Saya sendiri gak ngerti kenapa sesiang itu doi nyuruh ngambil air. Katanya buat masak. Ha? Barusan kan habis makan!!

Immut dan Mbak Gita, Bobo-bobo-Unyu

Hae, Ibang dan Topi merahnya ;)

ini saya sendiri gak ngerti dua orang ini lagi ngapain :|

Kavling Tenda Anak Stiba B-)
Setelah ambil air, leyeh-leyeh dan istirahat, jam empat sore kami bersiap untuk summit attack. Gak summit juga sih ceritanya, cuma ke Tegal Alun ajah. Hahaha soalnya waktu itu cuacanya lagi berkabut dan agak gerimis. Oh iya, sebelum saya berangkat, tiba-tiba rombongan ayek-ayek datang (Temen Nyemeru, bisa dibaca disini). Ada Kang Fachri juga, iya, Kang Fachri yang itu. Kalo ketemu beliau mah bawaannya langsung bikin rencana, "Mau boker dimana? Bareng ya." Hemm -_- Mereka datang kesini dengan tujuan wisuda di gunung.


ini luchuk :D
ini anak siapa?

Mas Eko, Mas Nur dan Om Ipung stay di tenda. Dan yak, kami terpisah menjadi beberapa rombongan. Kak Ida jalan duluan sama bang Endi dan bang Coco. Sementara saya dan yang lainnya bersama anak-anak UPI. Ternyata a'Novel juga belum hapal jalur ke puncak. Memang agak sulit menemukan tanda-tanda jalur di hutan mati. Beberapa kali Mbak Gita mengeluh minta pulang karena kami tiga kali menemukan jalan buntu. Namun Mas Andre tetap menyemangati, "Tangghuuung".

Dan kami bersyukur ketika melintasi tanda ini...


















Beberapa kali bersimpangan dengan pendaki yang akan turun dan berkali-kali mendengar ucapan, "Semangat mbak, sepuluh menit lagi sampee..."

Tanjakan ini benar-benar 'Mamang' sekali -_-

Sempat bersitegang dengan Immut cuma gara-gara air minum. Ehm, sorry, Mut, diriku ndhak tega cerita disini. Hehe ^^v


Immut dan Kak Amel terlihat pasrah
Papandayan bener-bener gak ada bonusnya, yah. Jalurnya nanjak terus. Kak Amel sempat keram berkali-kali. Dan, ehm, kali ini gak ada yang menemani saya sampai puncak. Rombongan juga terputus-putus, terpisah-pisah. Mbak Gita sama Mas Andre, Immut sama Kak Amel, saya sebatang kara :( Eh enggak deng, saya jalan dibelakang Bang Adi. hemm *garuk-garuk-kepala*

Setelah merangkak dan tarik-tarikan di tanjakan mamang, jalan lagi, istirahat, jalan, istirahat, dan kayaknya itu lebih dari sepuluh menit deh -_- akhirnya kami tiba disini...



Semesta, Izinkan Aku Berpuisi...



Dan disinilah kakiku berpijak,
Tegal Alun,
Padang edelweis yang meninggalkan ribuan jejak..

Disinilah kakiku berpijak,
Hamparan rumput dan dedaunan hijau,
Laksana permadani menjuntai di langit,
Bunga-bunga abadi,
Malu-malu bermekaran,
Ranum..
Harum...

Disinilah kakiku berpijak,
Diantara jutaan edelweis,
Dibumi pertiwi yang gerimis,
Ditanah lembab yang beraroma manis,
Udara gunung yang dingin nan romantis,
Mistis...

Disinilah kakiku berpijak,
Seorang diri,
Tanpamu,
Lagi...

 Puncak Tegal Alun
Papandayan - Garut
29 Maret 2013


  

 







Bersambung ke Papandayan #4 (end) bisa klik disini...


Sunday, 7 April 2013

Kemping Unyu Papandayan #2

Cerita sebelumnya bisa klik disini :)



28 Maret 2013

Meeting Point kami tentukan di perempatan Kayu Ringin. Hampir semua peserta trip kali ini mahasiswa/i STIBA, diluar stiba hanya Bang Adi dan Bang Endi. Bang Adi datang belakangan, dan kami cukup lama menunggu kedatangannya. Bang Adi diantar oleh Ibunya menggunakan sepeda motor. Ibunya ini benar-benar DEWI sekali, beliau dibonceng bang Adi sambil mengenakan kerir, namun ketika ingin turun dari motor, beliau jatuh ngejengkang karena keberatan. Antara mau ketawa atau prihatin, saya hanya bungkam. Dan seluruh mata yang sedang terjebak lampu merah di perempatan Kayu Ringin, terpana melihat kejadian tersebut. Maaf ya Tante :')


di perempatan lampu merah kayu ringin. pengendara motor yang melintas selalu menoleh ke arah kami :)

Oke, perjalanan dimulai pukul sepuluh malam. Kami berjalan beriringan menuju halte tol Bekasi Barat. Sempat tertipu oleh Kenek Bus Cililitan yang mengatakan Bus menuju Kampung Rambutan telah habis malam itu. Kami sudah sempat naik dan ber-leyeh-leyeh di Bus Cililitan namun tiba-tiba bis terakhir menuju Kampung Rambutan tiba. Alhasil dengan tergopoh-gopoh kami pindah bis. (Kok bahasa saya aneh ya?)

Bus mulai jalan perlahan. Dengan ditemani alunan suara sumbang pengamen, beberapa dari kami tertidur atau sekedar memejamkan mata. Menembus jarak Bekasi - Jakarta Timur melalui Cikunir sehingga memaksa otak saya untuk mengingatnya. Saya menghela napas, ini trip ke-sekian saya tak bersamanya...

Bisakah kau merasakan perasaan seorang gadis di pojokan bus sana?

Kami tiba di Kampung Rambutan setengah sebelas malam. Sesaat ketika kami sampai, saya bertemu dengan Siskom. Siskom ini temannya A' Novel, kami memang janjian untuk bertemu disini dan berangkat ke Garut bersamaan. Tak lama kemudian kami bertemu dengan Om Ipung. Setelah personel lengkap dan urusan buangair selesai, akhirnya kami berjalan beriringan dan masuk kedalam terminal. Memilih dan mencari bus dengan sangat selektif #halah

Seluruh kerir diletakkan di bagasi. Saya duduk terpisah dengan rombongan. Siskom ini ajaib, bisa-bisanya dia menyisakan satu tempat duduk untuk temannya, padahal temannya ada di Rest Area KM 57. Sementara kondisi bus penuh dan beberapa penumpang yang berdiri mulai gelisah melihat ada satu bangku kosong tak berpenghuni. Beberapa kali ia ditegur Bapak Kondektur. Namun tetap saja cuek dan, ehm, agak sedikit ribet sepertinya. Hehehe :D



29 Maret 2013

Kondisi jalan saat itu macet, long weekend. Bus baru bergerak meninggalkan kampung rambutan pukul duabelas malam. Kemudian baru melintasi daerah Bekasi satu jam berikutnya. Dan tiba di Rest Area KM 57 tepat jam dua. Setelah bersitegang dengan Bapak Kondektur, akhirnya temannya siskom ditemukan sedang berdiri di pinggir jalan. Ia masuk dan dengan santainya duduk disebelah Siskom. Batin saya agak miris melihat pendaki lain yang sedaritadi kelelahan berdiri. Sudahlah, biar dijadikan pengalaman.

Target kami tiba di terminal Guntur jam empat pagi. Namun apa daya, karena macet yang tiada tara ternyata jam empat kami masih di Cileunyi. Dan touchdown Terminal Guntur tepat setengah enam pagi. Hari sudah terlalu siang untuk melanjutkan tidur lagi.

Setibanya di Terminal Garut, kami segera menuju masjid terdekat. Disana telah berkumpul ratusan bahkan ribuan pendaki. Eh, kedengarannya berlebihan ya. Hahaha. Iya, jumlah pendaki saat itu memang banyak sekali. Rada curiga pengunjung Tangkuban Parahu pindah kesini -_-

Kedatangan kami disambut oleh a' Novel yang sudah menunggu lama. Beberapa teman kami menunaikan ibadah shalat shubuh yang tertunda, beberapa orang lagi bersih-bersih-badan, namun saya yang sedang berhalangan (lagi) kebagian menjaga tas dan kangen-kangenan sama a' Novel. hahaha dan akhirnya berkenalan sama teman-teman beliau yang semuanya merupakan mahasiswa/i UPI Bandung. Teman-teman saya pada sombong nih, bukannya kenalan malah sibuk ngerumpi sendiri.

Hastag UHUK :D
Penitipan Barang


ini saya sama teman-temannya A' Novel a.k.a anak-anak UPI
Ngerumpi Sendiri

Kami juga menyempatkan diri untuk sarapan. Saya dan beberapa orang lainnya hanya makan bubur ayam yang berhasil membuat perut kami keroncongan lagi beberapa jam kemudian.


Selamat Makan Pagi :)


Perjalanan kami lanjutkan setelah urusan perut selesai. Kurang lebih jam tujuh kami baru meninggalkan Terminal Garut dan men-charter angkot menuju desa Cisurupan. Total rombongan kami menjadi 25 orang sehingga membutuhkan dua angkot. Saya dan Bang Endi kebagian angkot bareng anak-anak UPI. Setelah bercakap-cakap dengan beberapa orang diantara mereka, ternyata ada satu orang tetangga saya disana. Namanya Vian, anak Narogong, sekolahnya di 9. Hahaha jauh-jauh ke Garut ketemunya anak Bekasi lagi.

Setibanya di Desa Cisurupan, kami segera men-charter mobil bak terbuka dan ternyataaaaa, jalur menuju basecamp terakhir maceeeeet sekaliiiiiiii. Mungkin sangking ramainya pengunjung ya? Entahlah..

Dan saya pribadi lupa jam berapa kami tiba di basecamp. Setelah re-packing, simaksi, foto-foto dan berdoa bersama, pendakian dimulai...





(Bersambung ke Papandayan #3 bisa klik disini)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...