Tuesday 21 May 2013

[Pangrango] Tragedi Kandang Batu - Kandang Badak

Cerita sebelumnya klik disini :)

Dalam kesendirian dan hujan-hujanan, akhirnya aku bertemu dengan beberapa anak UPI, sebut saja Dillah, Anita, Beni, Ajeng dan Faris. Kami menggelar flysheet agar terlindung dari hujan. Saling merapatkan jarak agar tercipta kehangatan. Kemudian berbagi cokelat yang agak sedikit mendiamkan perut laparku.

"Si Nurul mimisan katanya." Celetuk seseorang.

"Eh dimana?" Tanyaku.

"Pas nyeberang air panas tea, kepleset ceunah." Jawab lainnya, dalam logat Sunda.

"Ya Allah.. Sereem.. Tapi udah ada yang nolongin kan?" Tanyaku lagi.

"Si nopel paling mah."

Kami terus menunggu hujan reda, namun yang terjadi malah sebaliknya, hujan tambah besar. Kami semakin basah dan kedinginan. Beni tak sabar agar segera beranjak dari tempat itu. Ia ingin segera mendirikan tenda, lebih tepatnya. Maka aku, Beni dan Dillah memutuskan jalan duluan ke Camp Kandang Badak. Sementara Ajeng dan Anita tetap setia dengan flysheet dan carrier titipan Faris, dan Farisnya entah kemana.

Beni jalan duluan, kemudian Dillah. Dan aku, belakangan. Beberapa kali langkah Dillah terhenti untuk menungguku, namun aku benar-benar lemas. Aku menyuruhnya agar jalan cepat menyusul Beni. Biarkan aku sendiri.

Tik Tok Tik Tok..

Tak ada tanda-tanda kehidupan
Aku benar-benar sendirian

Tik Tok Tik Tok..

Jauh didepan sana masih hutan
Dibelakangku kabut berkejaran

Tik Tok Tik Tok..

Semakin dingin
Semakin lapar

Tik Tok Tik Tok..
Hujan terus merintik
Bersaingan dengan melajunya detik
Tik Tok Tik Tok..
"Bolehkah aku beristirahat disini sebentar?"
Tanyaku, pada sebuah batu besar
Ia tersenyum sabar

Aku duduk di sebuah batu besar yang berlumut. Membuka sepatu dan memeras kaus kaki yang sudah banjir tak karuan. Kemudian kukenakan lagi dan mengisi perut dengan sepotong biskuit. Ah, dua potong. Hee, mengaku sajalah, sebungkus biskuit sudah kau habiskan, Git! [--,]>

Setelah 'agak' kenyang, aku masih terdiam disana. Berharap ada orang datang. Namun yang ditunggu kehadirannya tak kunjung tiba. Aku memejamkan mata, meresapi setiap bunyi-bunyian yang ada. Aku mulai masuk ke dimensi lain.

Seketika ada orang berteriak..

"Mbaaak.. Temennya hipo di pinggir jalan sanaaa." Aku membuka mata. Kulihat seorang bapak berlari ke arahku, tergopoh-gopoh.

"Hah? Dillah?" Tanyaku kaget.

"Gaktau, sama cowok. Berdua doang." Sambungnya lagi dengan napas terengah-engah.

"Dillah sama Beni? Yassalaaaam.." Aku hendak berlari, namun si Bapak mengisyaratkan agar aku tak panik.

"Mbak bawa flysheet?" Tanyanya kemudian.

"Ada dibawah, Bang. Dijagain cewek dua. Abang kebawah aja, gakjauh kok dari sini." Jawabku sambil mengingat Anita dan Ajeng.

"Yaudah, mbak lurus aja. Ada temen-temen saya juga lagi nanganin yang hipo. Mbak bawa kompor gak?" 

"Bawa, tapi spirtusnya gak bawa." 

"Ada kok, temen saya bawa spirtus. Ati-ati mbak, gak usah panik." Tuturnya, kemudian meninggalkanku. Aku berjalan gontai ke arah kerumunan. Dan seketika kudapati sosok wanita usia 20 tahunan tergeletak lemas dipinggir jalan. Ia bukan Dillah, dan sosok Pria dengan muka panik disebelahnya juga bukan Beni. Aku menghela napas.

"Assalamu'alaikuum.. Kenapa ni, Bang?" Tanyaku bersikap ramah.

"Wa alaikumussalaaam.. Hypotermia, Neng. Kedinginan. Ada kompor gak?" Tanya salah satu dari mereka. Aku membuka carrier, mengeluarkan kompor, dan memberikannya pada seorang bapak. Ia meraihnya, kemudian mengeluarkan spirtus dan nesting. Ia merebus air.

Beberapa dari mereka sibuk memasang flysheet. Aku membantu menghangatkan korban. Sebut saja namanya Septi. Dari mulai meminumkan cokelat hangat suap demi suap, melumurkan minyak panas ke badannya, menggenggam tangannya, hingga memeluk tubuhnya. Oh, Tuhan.. Jangan biarkan aku menikmati ini. Aku hanya ingin menjadi wanita normal :| #abaikan #inihanyapencitraan

Septi megap-megap.

Agit panik.

Takut salah pegang salah penanganan.

Septi tiba-tiba diem.

Gak gerak.

Mati? Pingsan?

"Kak.. Bangun kaak.!" Aku menggampari wajahnya.

Septi napas lagi.

"Neng, itu gantiin bajunya. Dah basah semua." Teriak bapak-bapak dibalik flysheet.

"Nih, git, bajunya." Seorang pria, pacar septi, namanya Erik, memberiku sebungkus pakaian. Kubuka plastiknya, kemudian ku hitung. Tujuh lembar pakaian? Mbak mau kemping berapa hari???!!

"Kak diganti dulu yuk bajunyaa.." Kataku pelan.

"Kepala aku sakit kaak.." Jawabnya megap-megap. Aku angkat kepalanya.

"Ebuset mbaaak.. Besok-besok kalo naek gunung jangan pakek hijaaab. Pake jilbab simpel aja kayak sayaaa. Ini jarum pentul tiga biji nusuk pala semua, gimana gak sakit." Aku ngomel.

"Tenggorokan aku kayak kecekek kak.." Rintih Septi lagi.

Aku panik.

Matilah, Izrail ada di sekitarku.

Aku takut malaikat itu salah mencabut.

Git.. FOKUS!! -_-

Ku periksa bagian lehernya. Dan kutemukan jarum pentul (lagi) menusuk dengan beringas ke tenggorokan. Aku mebuka hijabnya secara paksa. 

"Ganti pake kupluk aja yuk. Hijabnya bikin puyeng. Udah makenya muter-muter, jarum pentulnya banyak banget pula." Kataku kesal. Kemudian memakaikan kupluk untuk menutupi rambutnya.

Saat itu ia mengenakan lima lapis pakaian. Tebal-tebal memang, namun tembus air semua dan gak cepat kering. Itulah yang menjadi penyebab ia Hypotermia, kedinginan. Sementara aku hanya mengenakan selembar kaus dan selapis jas hujan. Iya, aku gak kedinginan, soalnya kulit dan lemakku udah cukup menghangatkan. Termasuk doamu dari jarak jauh juga cukup untuk menguatkanku untuk memerangi dingin ini. #eaaaaak

Aku menggantikan pakaiannya yang basah.

*Sensor*


*Sensor*


*Sensor terus sampe sepuluh menit*

"Baaang! Jangan ada yang ngintip yaa! Kalo ada temen saya lewat, bilangin yaaa. Cowok dua oraang, bawa cewek mimisaaan!" Teriakku kepada bapak-bapak dibalik flysheet. Mereka menjawab 'iyaa' dengan kompak.

Setelah kelar diganti bajunya, Septi pingsan lagi.

A'Nauvel, Imam dan rombongan terakhir melintas.

"Imaaam, Nopeeeeeeeel.." Teriakku dari balik flysheet. Untung aku lihat mereka lewat.

"Loh, bukan Agit yang hipo?" Tanya Nauvel. Aku menatapnya lemas -_-

"Bang, pingsan lagi ni." Laporku pada mereka. Seketika Om Teddy datang. Menampar-nampar wajah Septi. Imam memijati kaki Septi yang sudah dingin. Septi bangun, kesakitan.

"Perut aku sakit kaaak.." Rintih Septi. Seketika teman perempuannya yang entah datang darimana, menyodorkan sebotol Tupperware berisi air panas. Membantu menekan-nekan di perutnya.

"Punggung aku sakit kaaak.." Rintihnya lagi.

"Yeeee, abang. Ini gak dipakein matras, bawahnya batu semua pantes sakit." Omelku pelan.

Seketika mereka membuat keputusan untuk membawa Septi turun. Mereka telah menyiapkan sepotong kayu yang kokoh untuk tandu darurat.

"Ada sarung gak? Ini butuh dua sarung buat ngangkut." Perintah seorang bapak. Bang Erik mengeluarkan sarung. Sementara sarungku telah dipakai untuk menghangatkan Septi. 

"Itu mau dibawa sarungnya?" Tanyaku bengong.

"Iya, buat tandu."

"Imaaam.. Itu sarung agit dari Kalimantaaaan.." Kataku melemah. Iya, itu songket oleh-oleh dari A'Nauvel yang mau dibawa muncak dan india-indiaan di Mandalawangi.  Pandanganku nanar. Pasrah. Imam menatapku ragu.

"Emang dari sebanyak bapak-bapak ini gak ada yang bawa sarung apaa.." Aku menggerutu. Menyesal kenapa tak berteriak saja agar mereka dengar sekalian. Nauvel menatapku iba. Bang Erik merasa bersalah.


"Nanti gue balikin, Git. Lo add FB gue aja Erikh Bastian" ujarnya mantap.

"Yaudah gih, bawa.." Mataku terasa panas. Aku mengalihkan pandangan. Imam menyerahkan sarung ke si Bapak.

"Wah, ini songket Sulawesi ya?" Tanya si Bapak.

"Bukan! Kalimantan!" Sahutku ketus. 

Aku merapikan barang-barangku. Carrierku basah dan kotor. Kesal sekali rasanya >_<

Mereka akhirnya turun. Sebelumnya a'Nauvel sempat bertukaran nomor dengan kakak perempuan yang tiba-tiba datang. Siapa tau sewaktu-waktu butuh.

Kami yang tinggal berempat, akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kandang Badak. Imam dan Om Teddy berjalan mendahului kami. Aku masih merengut, Nauvel salah tingkah.

"Si Nurul jatuh tadi yang pas nyeberang air panas." Nauvel memulai pembicaraan.

"Oh, iyah.. gimana ceritanya?" Tanyaku kemudian.

"Iyah, dia kan pake sendal. Licin kali. Kepleset. Terus tau-tau aku liat dia dah telungkup ajah. Pas dibawa bangun tau-tau udah mimisan. Si Nganga mau bantuin langsung lari gemeteran dia, takut liat darah."

"Nganga takut darah?" Tanyaku menahan tawa.

"Hahahaha.. Iyah. Habis itu ditolongin sama Imam, untung P3K-nya Vaza kebawa Imam."

"Ah syukurlaaah.."

Hening.


"Tinggal kita berdua ya, yang paling belakang?" Tanyaku sambil menoleh ke belakang.

"Masih ada si Arjul sama Gallan. Keong banget mereka berdua mah. Tenang.." 


Hening lagi..


"Tadi teh aku kira yang hipo si Agit.." Ujar A'Nauvel. Aku nyengir.

"Habiiis, tau-tau ada Abang-abang lari-lari bilang temennya ada yang hipo, cewe, pake kerudung. Aku lagi nuntun si Nurul langsung lari buru-buru. Si Imam dah sibuk aja bilang 'tenang Vel, tenang..' tapi gak aku gubris. Pas udah deket kok ga kenal mukanya. Eeeeh ga taunya disitu teh ada si Agit."

"Iyah, Agit juga takut tau-tau kalian lewat, terus gak liat ada Agit, terus Agit ditinggal sendirian paling belakang, terus Agit tak tau arah dan tak tau jalan pulang, terus..."

"Hahahahaha"

Kami tertawa dalam gerimis.

Senja yang manis.

Ditengah hutan yang mistis.





Sila baca lanjutannya >> disini :)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...