Wednesday, 11 September 2013

Senaru... Aku Padamu!



Cerita Sebelumnya >>> klik disini :)

Kami terus berjalan dan merangkak hingga batu ceper. Ku lihat Ayah tertidur dalam keadaan duduk di sebuah batu. Mungkin kami terlalu lama berjalan sehingga ia lelah menunggu. Aku dan Mas-mas Surabaya lainnya sudah sampai di Batu Ceper. Sambil menunggu Mbak Niza, Teh Farah dan Bang Fadly, Mas Galih memulai dongengnya menggunakan bahasa Jawa. Kami ngakak sepuasnya. Untungnya ada orang seperti Mas Galih ini yang bisa mencairkan suasana :D

“Agit, udah munggah gunung mana aja?” Tanya Mas Bagus di sebelahku.

“Belum kemana-mana, Mas.. Hehehe” Jawabku sambil cengengesan.

“Moso? Gunung-gunung Jawa Barat ya?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk.

“Kalo Jawa Tengah, Jawa Timur?”

“Jawa Tengah belum, Jawa Timur baru Semeru. Mas Bagus sendiri?”

“Sama. Belum pernah kemana-mana.” Ia membalas jawabanku.

“Semeru, Bromo, Arjuno, Welirang, Argopuro udah semua ya, Mas? Jagooo..” Ujarku. Ia hanya cengar-cengir, lalu menutup mulutnya. Nampaknya bibirnya kering dan terasa perih jika ia membuka mulut lebar-lebar.

“Kenapa, Mas?” Tanyaku polos.

“Bibirku kering banget. Tadi tak kasih Nivea, eh pas minum malah pahit. Hahaha” Ujarnya masih sambil menutup mulut dengan satu tangan. Aku memerhatikan botol minumnya, air didalamnya masih keruh, itu pasti air manis.

“Nivea body lotion?” Tanyaku lagi.

“Iyaa.. Tapi yang serum, bukan yang sunblock. Pahit ya. Hahaha..” Aku hanya tertawa kecil mengingat Nivea milikku, ternyata sama dengan miliknya.

“Ini jalurnya kemana, Mas?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Tuh, lihat orang pakek keril oren, ndak? Kita nanti lewat situ.” Ujarnya sambil menunjuk sebuah titik oranye di kejauhan.

“Wow.. tebing?” Mataku membelalak.

“Iya.. Manjat-manjat batu. Persis kayak dari Pelawangan Sembalun ke Segara Anak kemarin sore itu, tapi ini kita naik, kalo kemarin kan turun.”

“Wow..” Aku menghela nafas panjang. Membaui aroma tanah basah yang bercampur dengan bau kentut Saib -_-

Setelah semua personel lengkap, kami melanjutkan perjalanan lagi. Ayah bangun dan menyuruh kami jalan duluan. Ia berjalan paling belakang, menjaga Mbak Niza dan Teh Farah yang padahal sudah dijaga Bang Fadly. Iya, benar kata Ayah, “Bang Fadly tidak bisa diandalkan.” Hahahaha..

Aku berada diantara Tim Nutrijel (sebutan Ayah untuk kelompoknya Mas Bagus, Mas Ewok, Mas Galih dan Mas Kiki --- entah apa maksudnya) Iya, aku terus berada di antara mereka. Entah aku di tengah atau di depan, intinya aku tak mau di belakang. Aku harus move on! Harus! Aku mau jauh-jauh dari Bang Fadly. Cuih. *dikeplak BF*

“Agiiiiit, kamu bawa bedak berapa kilo sih, Git?” Keluh Mas Galih kepadaku. Oh, saat ini kerirku dipakai Mas Galih, mungkin Mas Yuli sudah mulai keberatan.

“Bedak?” Aku bingung.

“Iyaaa.. Kok kerilmu abot temen sih? Kamu bawa baju berapa?” Tanyanya lagi.

“Tiga doang..” Jawabku pelan.

“Jaket berapa?” Sambung Mas Kiki.

“Dua. Satu polar, satu waterproof. Eh jadi tiga deng kalo sama jas hujan. Hehehe..” Jelasku.

“Termosmu berat ta?”  Tanya Mas Bagus.

“Oh, iyaaa.. termosnya yang bikin berat.” Aku nyengir kepada Mas Galih.

“Udah ngaku aja, mesti kamu bawa bedak sekilo.” Mas Galih melengos.

“Mau tukar ta?” Tawarku kemudian, merasa tak enak melihat kerirku dilempar sana-sini.

“Wes, gak usah. Ayok jalan lagi..”

Tebing demi tebing telah kami lalui, sambil beberapa kali mengumpat dan geleng-geleng kepala membayangkan para Porter Rinjani melewati trek yang hampir vertikal ini. Kami saja menggunakan dua tangan untuk memegang batu dan memanjat, sementara porter-porter menggunakan tangannya untuk menyeseimbangkan pikulan beban di pundaknya. Begitu pula alas kaki yang mereka gunakan hanya sendal jepit, padahal kami yang memakai sepatu trekking saja resiko terpelesetnya sudah besar.


Treknya lhoooo :|

“Kaki Agit gak nyampeeekk..” Keluhku tiap kali menemukan bebatuan yang lebih tinggi dan besar. Saib dan Mas Ewok bergantian menarikku. Atau sering juga aku berkata kepada mereka, “Enak yaaa.. punya kaki panjang.”

Setiap habis melewati satu tanjakan/tebing yang tinggi dan menemukan jalanan datar yang cukup luas, kami menyempatkan diri untuk beristirahat sambil menunggu yang lainnya. Sekedar minum atau berbagi mie goreng kremes.



“Minum, Git?” Tawar Paklek Andi sambil menyodorkan botol minumnya. Aku meraihnya dan mengamati dengan seksama.

“Air madu, Paklek? Atau Air gula?” Tanyaku iseng namun penuh makna.

“Air jeruk, tadi aku nemu C-1000 rasa limun, tak seduh aja.” Ujarnya.

“Lhoh? Nemu dimana? C-1000 Sachetan warna kuning bukan? Punyaku hilang.” Aku melongo.

“Iya, punyamu kali. Udah minum aja. Hehehe” Aku segera menenggaknya, yang lainnya ikut meminta. Sekilas kulirik air keruh di botol minum yang tersangkut di tas depan Mas Bagus. Aku tersenyum kecil melihatnya, kemudian segera membuang muka, takut ketahuan [--,]>

“Ayoo Mas, dingiiiiin..” Ajakku lagi. Yang lain tak bergeming. Aku jalan duluan dan sibuk dengan duniaku sendiri. Oke, aku jalan galau. Sampai akhirnya terdengar suara langkah kaki dari belakangku. Aku memelankan langkah dan menajamkan pendengaran. Malas menoleh, takut kesandung.

“Ati-ati, Git..” Ujar Mas Bagus. Aku mendadak berhenti dan minggir, memberi jalan kemudian mempersilakannya jalan duluan. Jantungku mulai kembang-kempis, tak mau kalah dengan paru-paru.

“Kok diem aja?” Tanya Mas Bagus lagi menyadari aku hanya berjalan di belakangnya sambil menunduk.

“Emang Agit harus gimana?” Tanyaku bingung.

“Nyanyi-nyanyi kek.. Ngobrol kek..” Ujarnya sambil melangkah lebih cepat. Aku bengong. Orang ini nyuruh nyanyi, nyuruh ngobrol, tapi aku malah ditinggal. Pe’a!

Aku tak mau kalah, ketika kulihatnya beristirahat, aku lanjut jalan terus. Terus dan terus di depan. Aku menghindari pembicaraan berdua dengannya. Aku tak mau terbawa suasana. Aku tak mau pulang Rinjani tambah galau. Aku juga tak mau modus-modus lagi. Sudah cukup!

Akhirnya aku mengikuti Saib dan sampailah kami di Pelawangan Senaru. Saib segera sibuk dengan henfonnya. Kami beristirahat di Pelawangan Senaru cukup lama. Aku menyempatkan diri untuk menelefon Ayah di rumah, namun tak ada jawaban. Begitu pula kakakku. Akhirnya ku telefon Ibu.

“Assalamu’alaikum, Ibuuuu..” Ujarku ketika telefon diangkat.

“Wa alaikumsalam, Acitaaaa.. Dah turuuun?” Sahut Ibu dengan suara se-riang biasanya. Aku tersenyum haru.

“Udah, Bu. Alhamdulillah muncak. Ini tinggal nge-camp sekali lagi terus ke pantai terus pulang lewat Jawa deh.” Aku menjelaskan dengan santai agar Ibu tidak terlalu khawatir.

“Ooooh.. Iyaaa.. Ati-ati. Niii, Ghania mau ngomong nii..” Ujar Ibu. Kudengar suara krusak-kresek diujung telefon.

“Attaaaaaaaa..” Teriak bocah berumur tiga belas bulan, aku tersenyum getir menatap awan yang melintas di hadapanku.

“Iya.. Deeeek.. Dedek udah maem beluuum?” Tanyaku dengan suara yang ditegar-tegarkan. Mataku mulai terasa panas.

“Ataaaa.. Ata ata ataaaa..” Ia terus mengoceh ‘ata-ata’. Iya, dirumah aku dipanggil Cita, dan Adikku baru bisa memanggilku Ata.

“A’em, Deeeekk..” Ujarku sabar.

“A’em?” Suaranya terdengar lucu.

“Iyaaa.. Dedek a’eeem..”

“Udah a’em, Citaa.. Dedek mau bobok dulu yaaa..” Giliran Ibuku yang menyahut. Aku berpamitan dan tak lama telefon terputus.

Gumpalan awan melintas dihadapanku, kemudian berubah menjadi butiran kabut yang dingin.
Aku menghela nafas panjang…
Sejauh apapun kaki ini melangkah, rumah adalah satu-satunya tempat terbaik untuk kembali.
Dan kalian.. Gilang, Galih, Ghania.. Kalian satu-satunya alasan mengapa aku selalu ingin pulang cepat.
Aku merindukan kalian..

Aku mengetik sesuatu di henfonku.

Agit udah turun, Alhamdulillah muncak semua.
Message Sent
Message Delivered

Tak lama henfonku bergetar. Nauvel menelefonku.

“Hallo.. Assalamu’alaikum..” Sapaku ketika membuka telefon.

“Wa alaikumsalam, Agiiiit.. Gimanaaa?” Tanyanya antusias.

“Gimana apanya? Hahaha. Ini baru di Pelawangan Senaru. Lagi dapet sinyal, langsung nelfon rumah.”

“Farah gimana? Sehat?” Tanyanya lagi.

“Sehat, dong.. Teh Farah aman bersama BF. Agit yang sendirian dari start sampe muncak. Heuheu..”

“Rencananya mau ngecamp lagi atau langsung turun basecamp?”

“Ngecamp lagi di pos 3. Tapi gatau deh Om Pulung sih maunya langsung turun.”

“Ngecamp aja dulu, jangan dipaksain. A’ aja dipaksain sampe basecamp baru nyampe malem banget. Serem.”

“Iyaa..”

“Gimana? Gimana? Cerita dong!”

“Nanti aja ya.. Sinyalnya ilang-ilangan nih. Batere juga tiris.” Ujarku kemudian berpamitan dan telefon terputus.

Senaru kala itu, biru. Berada di hadapan awan dan sesekali awannya menghampiri itu rasanya seperti sedang berada di dunia dongeng. Aku bahkan sempat membayangkan jika aku ini Raja Kera Langit yang bisa terbang dengan awan kinton. Senaru.. Aku padamu :')

Ku amati sekelilingku. Mas Bagus tertidur di rerumputan, Mbak Niza dan Saib sibuk berceloteh dengan henfonnya. Mas Kiki dan Mas Galih leyeh-leyeh. Mas Ardi dan Mas Yuli terus merokok. Mas Ewok dan Paklek Andi cengar-cengir. Bang Fadly dan Teh Farah bikin foto pre-wedd, Ayah ndak tau dimana. Aku iseng membuka mie goreng di tasku, dan memakannya sendirian.

Menu Juara :)
 
“Lhoooo… Agit peliiiiit.. Mauuuuu..” Ujar Saib, kemudian Mbak Niza, juga yang lainnya. Padahal mereka sedang sibuk sendiri, tapi sama makanan aja cepet banget tanggep. Ku serahkan mie kremesku, kemudian aku mencari makanan lain.

Aku membuka carrier dan kutemukan sebungkus nata de coco. Aku meminta tolong porter untuk mengambilkan sendok dan gelas besar. Ku campurkan nata de coco dengan madurasa. Segarnya luar biasa. Aku memasang senyum penuh kemenangan.

Makan Sendirian sambil Ngeliatin Awan :')

 “Mauuuuuuuuuuuuuuu…” Teriak yang lainnya. Aku memberi pandangan ke mereka semua dengan makna seperti ini, ‘enak aja mau-mau. Ini punya gue, sana bikin sendiri!’ hahahaha. Setelah merasa puas dengan nata de coco plus madu ini, barulah ku serahkan pada yang lainnya. Mereka berebutan seperti kaum duafa mengantri sembako.

“Lanjut duluan, Git. Nanti Ayah nyusul, mau lari.” Ujar Ayah tiba-tiba.

“Ayok, Ib.. Lanjut..” Ajakku pada Saib. Kami berjalan melipir tebing yang agak curam. Kemudian melewati turunan berpasir yang bikin lutut gemetaran. Aku merasa jompo sekali menghadapi trek seperti ini. Bahkan tongkatku kehilangan kesaktiannya ketika menopang badanku. Berbeda dengan Teh Farah. Ia ngebut, bahkan dengan lincahnya berlari. Aku hanya geleng-geleng kepala. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri, hanya Tuhan yang Maha Sempurna.

Teh Farah terus berlari, sementara Bang Fadly mengejar~

Aku bertahan dengan tongkat saktiku, begitu pula mbak Niza. Kami berdua mendadak jompo dan mengikuti Paklek Andi terus. Ayah tiba-tiba berlari membalapku dan meninggalkan debu-debu bertebangan di sepanjang jalan yang menyebabkan kami batuk-batuk, bahkan sesak nafas. Kemudian tak lama, jalanan berubah menjadi trek batu bercampur pasir yang begitu miring. Kakiku gemetar, tongkatku sudah tak bisa diandalkan. Terlintas pertanyaan di benakku. Dari sekian banyak orang yang melalui jalan ini sendirian, tak adakah dari kalian yang membutuhkan pegangan? Atau membantuku menghadapi jalan ini bersamaan, sambil berpegangan tangan, persis yang di depan~ #lirikBFdanTeteh #KemudianKesandung #GelundunganDiTurunan

Mbak Niza sedang mengalami PMS, sehingga menyebabkan jalannya lama sekali. Mas Kiki menjaganya. Aku terus mengikuti Paklek Andi yang melangkah pelan tapi pasti. Mas-mas lainnya sudah di depan. Akhirnya kami berkumpul di jalan yang cukup luas.

“Jalannya dibuat nge-per lho, aku di depan, nanti aku berhenti di tempat yang enak, terus kalian ngekor. Kayak per gitu lhooo..” Ujar Mas Galih dengan tangannya yang mempraktekan gaya pegas pada per. Aku hanya mengangguk-angguk sambil menguap. Tiba-tiba Mbak Niza dan Mas Kiki datang. Mas Kiki mengenakan kerir depan belakang, sementara Mbak Niza memegangi perutnya.

"Sini, lhoo.. Mbles. Aku pakek punyamu, kamu bawa punya Agit aja yaa.." Ujar Mas Galih sambil menukar kerirku dengan milik Mas Kiki.

"Eh, punya Mbak Niza aku bawa aja deh, Mas Kiki bawa punya Mas Yuli nih enteng kok." Sambungku kemudian.

"Udah gak usah, Git. Aku bawa sendiri aja." Kata Mbak Niza. Namun melihatnya saja aku tak tega. Segera ku kenakan kerir deuter miliknya dan melanjutkan perjalanan. Mbak Niza berjalan beriringan denganku. Namun ia masih saja sibuk dengan henfonnya dan Mas Imam. Aku tak sedikitpun tertarik dengan apa yang mereka bicarakan. Aku tak mau kalah. Segera ku telfon jodohku melalui telepati. Hasilnya, jaringan tidak ditemukan. *pukpuk Agit*

Sampai menemukan jalan datar dan agak sempit, kami mendengar suara tertawa yang begitu kencang.

“Wah, udah ada tanda-tanda kehidupan nih, Mbak.” Ujarku.

“Di hutan kan aneh, Git. Suaranya mantul-mantul. Walaupun jauh ya kedengerannya kenceng tapi nggak jelas asalnya dari arah mana.” Jelas Mbak Niza, aku hanya mengangguk-angguk. Namun tak lama kami menemukan serombongan orang yang sedang duduk-duduk dan tertawa.

Iya, mereka adalah timku sendiri. Aku segera duduk dengan kerir Mbak Niza sebagai bantalan, sementara Mbak Niza segera mengenakan s***** di balik semak-semak. Teringat jelas wajah-wajah lelah kami saat itu. Namun Mas Ais tak kunjung lelah, ia tetap bersemangat bercerita yang lucu-lucu. Aku hanya memejamkan mata. 


 Dhuuuuuuuuuuuuuut…

Saib kentut. Semuanya tertawa. Kemudian menghujat Saib dengan berbagai sumpah serapah. Saat itu waktu sudah sore, aku merasa dingin.

“Dingin.. Mas.. Jalan lagi yuk.” Ajakku pada Mas Bagus yang saat itu hanya berjarak setengah meter dariku. Ia mempersilakanku jalan duluan, sementara ia di belakangku. Aku paling tidak bisa berjalan didepan orang yang jalannya cepat. Kasihan kalau dia menungguku terlalu lama. Aku berhenti mendadak.

“Lho, kenapa berhenti?” Tanyanya kaget.

“Mas duluan aja deh. Hehe..” Jawabku cengengesan. Ku kira ia akan meninggalkanku seperti sebelumnya. Namun ternyata tidak. Ia berjalan santai sambil menikmati senja yang berada di sebelah kiri kami.

“Mas.. Bagus.. Mataharinya..” Ujarku terputus-putus.

“Maksudnya gimana?” Tanyanya bingung.

“Itu.. Mataharinya.. Bagus..” Ujarku sambil menunjuk sunset di arah barat.

“Mataharinya ‘bagus’? Aku dong?” Tanyanya sambil memberi penekanan pada kata ‘bagus’. Aku cukup lama mengartikannya.

Iyaa.. Mas Bagus kayak matahari.. menyinari hariku~” Batinku kemudian. Ingin rasanya kata itu terucap dari mulutku. Namun ku urungkan niatku. Orang seperti ini lebih pantas diseriusin, Git.. Bukan dimodusin.

Aku hanya berjalan sambil menunduk.

“Lama niiih.. Ayah disini udah berapa jam tau.” Ujar Om-om Pea, sombong dan bersahaja yang sedang duduk sambil merokok di sebuah pos. Aku cengar-cengir.

“Langsung kesana aja, Git. Kita ngecamp disana.” Ujar Ayah sambil menunjuk dimana letak Pos 3 Senaru. Aku berjalan mengikuti Pak Porter.

“Capek yaa..” Aku duduk mengamati Pos 3 Senaru. Mas-mas segera mendirikan tenda. Di sekeliling kami hanya hutan dan monyet-monyet yang berkeliaran. Tekstur dataran yang kami pijak sudah mulai tanah, bukan pasir. Alhamdulillah.

“Kakiku sakiiiiit..” Keluh Mas Ewok sambil duduk dan meringis memegangi lututnya. Aku mengubek-ubek tas kecilku, kemudian memberikannya vicks.

“Buat Mas aja, kenang-kenangan dari Agit. Hehe..” Ujarku sambil nyengir.

Setelah tenda berdiri, aku segera memasukkan matras dan merapikan isi tenda. Carrier Teh Farah dan Mbak Niza juga segera ku masukkan ke dalam. Aku segera membersihkan diri, berganti pakaian dan menjama’ shalat. Sementara yang lainnya entah sibuk apa. Mbak Niza dan Teh Farah tak kunjung masuk ke dalam tenda. Aku glundang-glundung di dalamnya. Batukku semakin parah.

Hari semakin malam. Pak Porter memasakkan kami telur, sosis dan tempe. Kami kehabisan logistik.

“Agit, porter Ayah masak sayur tuh banyak banget. Agit ambil gih, buat makan sama Niza.” Ujar ayah di luar tenda. Aku nurut.

“Ayah udah makan?” Iya hanya mengangguk dan berlalu ke tenda mas-mas. Segera ku ambil piring dan ku hampiri tenda milik teman-teman Ayah. Disana ku temukan Teh Farah dan Bang Fadly yang sedang duduk di dekat api. Malam ini aku makan dengan Mbak Niza. Bang Fadly sudah lupa dengan adek kecilnya yang satu ini, ia telah menemukan adeknya yang lain :’)

Aku makan dengan lahap, sementara mbak Niza masih saja berkutat dengan henfonnya. Aku masih suka heran dengan orang-orang yang mencari sinyal di gunung, padahal aku sendiri sengaja pergi ke gunung agar bisa menghilang dari peradaban karena terlalu bosan dengan rutinitas. Selama di gunung pun henfon ku matikan, powerbank juga tak terpakai.

Iya, lo ngomong gitu soalnya lo jomblo, Git.” Terdengar suara dari telinga kiriku. Sial.

“Agit udah kenyang, Mbak Niza habiskan ya. Sambalnya pedas. Mbak Niza makannya yang bener lho.” Ujarku seraya meninggalkan Mbak Niza sendirian di dalam tenda. Aku jalan-jalan dengan sarung dan sendal jepit. BF dan Teteh Farah masih anget-angetan di depan api. Ayah dan Mas-mas sedang berkumpul di dalam tenda. Aku menatap langit.

Bintangnya ketutupan pohon. Disini mistis.

“Agiiit.. Sini pijetin Ayah, Git.” Ujar Ayah. Perlahan aku menghampirinya. Ku longok tenda berkapasitas lima orang ini namun begitu sesak di dalamnya.

“Yang ini sakit nih, Git.” Ujar Ayah sambil memijat-mijat bahu kirinya. Mas Ewok menyodorkan vicks yang tadi aku berikan padanya. Ayah resmi aku siksa malam ini.

“Kapan lagi, kan, ngerjain aki-aki pea.” Ujarku penuh kemenangan. Ayah meringis.

“Kamu tuh, gak kayak orang Jawa ya, Git? Kayak orang Betawi atau Sunda.” Ujar Mas Galih.

“Iya.. Banyak kok yang bilang gitu.” Sahutku.

“Yang pantes jadi orang Solo tuh si Farah.. Kalem.. Alus.. Pelaaann..” Sambung Mas Galih dengan gayanya yang dibuat-buat agar terlihat kemayu.

“Tapi bisa bahasa Jawa ta?” Tanyanya lagi.

“Saget, Mas. Sithik-sithik. Tapi gak iso mboso jowo alus.. Hehehe. Bahasa sunda juga bisa, betawi apalagi.” Ujarku sambil terus menekan bahu ayah sampai beliau kesakitan.

“Pijetin Ayah aja, Git. Gak usah ngeliatin orang tidur.” Gumam Ayah pelan. Mataku terbelalak. Bagaimana Ayah bisa tau apa yang ku lihat sementara ia duduk membelakangiku?!

“Hah? Kok Ayah tau?” Ujarku pelan sambil menekan bahunya lebih keras. Ia meringis.

“Lo itu nyari yang kayak gimana, sih, Git?” Ayah tak menjawab pertanyaanku.
                                                                                                    
“Agit gak nyari yang macem-macem, Yah, yang penting Jawa.” Jawabku pelan. Entah Mas-mas ini mendengarkan atau tidak.

“Lhaaa.. Ini Jawa semuaaa, tinggal pilih..” Suara Ayah terdengar sangat bijak. Mas Galih cengar-cengir dengan makna yang ku tangkap seperti ini, ‘pilih aku! Pilih aku! Gratis!!’

“Nih, tak kasih tau satu-satu..” Sambung Ayah lagi. Aku memelankan pijatanku.

“Jangan mau sama Mas Ais, orangnya aneh, kuliahnya gak kelar-kelar. Dia cocoknya sama Selly Jayanti. Ihirrrr”

“Hahahahahahaaa..” Kami tertawa, Mas Galih manyun.

“Jangan mau juga sama Mas Ewok. Namanya Ewok, tapi brewoknya aja gak jelas. Jangan mau…” Aku mendengarkan dengan seksama.

“Jangan mau sama Saib, dia orangnya bau. Udah bau kentut, bau kaos kaki pula.”

“Hahahahahahahahaha.. Iki mambu sikile Saib mesti ketmau apek-apek ngene.” (Ini bau kakinya Saib pasti, daritadi bau apek kayak gini)

“Jangan mau sama Mas Gambles.. Dia orangnya minus.” Ujar Ayah lagi.

“Hah? Minus gimana, Yah?” Sahutku bingung.

“Lo liat aja kacamatanya, minus, kayak orangnya. Hehehe. Masa nanti misalkan lo berdua udah mau trekking, eh kacamatanya ketinggalan, kan repot. Jangan mau!” Ayah melucu. Kami cekikikan.

“Jangan mau sama si Yuli. Pokoknya jangan mau aja.” Sambung Ayah tanpa memberi alasan kenapa aku tak boleh sama Mas Yuli.

“Nah.. Agit sama Mas Bagus aja..” Ujar Ayah lembut sekali. Aku lemas mendengarnya.

“Orangnya lagi tidur, Yah..” Sahutku pelan. Udah dong, Yah.. Jangan dilanjutin :’(

“Mas Bagus orangnya bagus, apik, rajin, udah kerja, nggantheng, tinggi, sama Ayah sopan.. Gak kayak Mas-mas ini nih..” Jelas Ayah sambil meremehkan yang lainnya. Aku salah tingkah. Yang lain ber-ihiirrr-ria. Mas Bagus tak mengubah posisi tidurnya. Nampaknya ia benar-benar tertidur.

“Agit udah jomblo berapa lama?” Mati aku, di interogasi sama Ayah.

“Mei.. Juni.. Juli.. Agustus. Tiga bulan, Yah. Turun Pangrango bulan Mei, terus gak lama diputusin. Kasian ya..” Ujarku sambil memelas.

“Curhaaaaaaaaaaattt..” Saib mencibirku. Aku tak meladeninya.

“Turun gunung diputusin… Hmmm..” Ayah bergumam. Tiba-tiba Mas Bagus membuka matanya dan mengubah posisi tidurnya.

“Aku juga turun gunung diputusin.” Ujar Mas Bagus pelan sekali. Jadi selama ini dia mendengarkan apa yang kami bicarakan???!!! Bunuh Agit, Yah, bunuh Agit!!!!

“Ihiiiiiiiiiiiiiirrrr… Passs!!” Yang lainnya mengompori. Aku menekan bahu Ayah lebih kencang lagi. Ayah berteriak kesakitan.

“Nah, tuh, Mas Bagus baru jomblo empat bulan tuh, Git.” Ayah tersenyum penuh makna.

“Kok Om Pulung tau?” Tanya Mas Bagus kaget.

“Jangankan tau berapa bulan, tanggal putusnya juga gua tau.” Gumam Ayah pelan, namun terdengar jelas olehku. Secara aku berada tepat di belakangnya. Aku mulai paham mengapa ia mudah mengetahui pikiran kami. Aku paham.

“Kan kita gak ‘salaman’, Yah.. Kok Ayah bisa ‘mbaca’?” Tanyaku sambil berbisik.

“Ya, tapi kan Agit mijetin Ayah.. Hahahahaha..” Ayah tertawa penuh kemenangan. Aku mendadak lemas. Jadi daritadi semua yang ku pikirkan ketauan??!! Ahhh.. Ayah curaaaaang!! Mana sempet mikirin yang enggak-enggak pula. Ketauan juga gak ya? Aku memukul-mukul punggungnya kesal.

“Cuma kurangnya Mas Bagus itu satu, dia ngerokok.” Sambung Ayah.

“Emang kenapa Yah kalo ngerokok? Gak masalah kok. Ayah Agit juga ngerokok.” Ujarku polos. Ayah nyengir.

“Tuh.. Gus.. Kapan lagi ada cewek yang ngijinin ngerokok.” Ujar mas-mas lainnya bergantian mengompori. Mas Bagus memainkan koreknya.

“Udahan ah, Agit mau ke tenda.” Aku segera keluar dan meluncur ke tendaku. Mbak Niza masih saja berkutat dengan henfonnya.

“Kenapa, Git?” Tanya Mbak Niza. Segera ku ceritakan apa saja yang terjadi di tenda sebelah. Pikiranku tak karuan. Kami berdua heboh bercerita. Sementara Bang Fadly dan Teh Farah masih menikmati malam terakhir mereka.

“Giiiitt.. Jangan ngomongin Ayah, Giiiit..” Teriak Ayah sambil tertawa di tenda sebelah. Sial. Ngomongin aja ketauan juga >_<

“Agit sini coba..” Ayah memanggilku. Aku nurut dan menghampirinya.

“Ini, coba tolong diambilin sayur yang banyak. Mas-mas ini kelaparan. Dipenuhin ya..” Ayah menyodorkan sebuah piring besar. Aku segera mengambilkan sayur di tenda Ayah. Kok tumben ya, aku jadi penurut sekali?

“Ini, Yah…” Ujarku sambil menyodorkan piring.

“Ucapin met makan dulu dong buat Mas Bagus..” Ayah menggodaku. Aku garuk-garuk kepala.

“Met maem, Mas Apiiiik..”

“Ihiiiiiiiiiiirrrr… Gak disuapin sekaliaaan?” Mas-mas lainnya berisik. Aku kabur dan misuh-misuh di tenda. Segera ku kenakan sleepingbag dan mojok di tenda. Aku tak mau tidur dekat Ayah. Takmau!

Ku curahkan semua unek-unekku pada Mbak Niza, namun itu tak berlangsung lama. Mbak Niza malah gantian curhat masalah asmaranya. Astaga, ceritaku belum kelar, Mbak -_- Tak lama Ayah masuk ke tendaku. Ia terus mencecarku dengan pertanyaan dan pernyataan yang membuatku skakmatt.

“Ayahnya Agit pasti senengnya sama orang Jawa, kan? Sama yang ‘kemarin’ gak di setujuin kan?” Pertanyaan paling menohok yang dilemparkan Ayah, air mataku meleleh. Maaf ya, Ayah.. Agit gak ngaku kalo Agit nangis di pojokan. Mbak Niza juga pasti gak tau.

Aku terus menerus dinasehati oleh Ayah sampai pagi. Posisi tidurku pindah ke sebelah Ayah. Bang Fadly dan Teh Farah akhirnya kembali ke tenda.

Semua sudah terlelap,
Kecuali aku.. Mataku masih saja terjaga..
Memikirkanmu…
Yang belum tentu memikirkanku.
Selamat tidur, kamu.


Bersambung Kesini >>> Ketika Anak Gunung Main ke Pantai :)

8 comments:

  1. naek gunung nemu yang baru, doanya di jabah :D

    ReplyDelete
  2. Wakakaakkk....tulisan yg paling membuat menang fisik mental dan semuanya dari Penulis ...Hureeeeyyyy

    ReplyDelete
  3. sekali dayuung dua tiga pulau trlampaui ya git...
    hihiii...
    joozzz critanee...

    aq rencana bln depn ke rinjani lg

    ReplyDelete
  4. keren tulisannya,,,saluttt deskriptif,detail,tapi agit orangnya PHP kayanya,,hee

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...