Cerita Sebelumnya >>> klik disini :)
Kami terus berjalan dan merangkak hingga batu ceper. Ku lihat Ayah tertidur dalam keadaan
duduk di sebuah batu. Mungkin kami terlalu lama berjalan sehingga ia lelah
menunggu. Aku dan Mas-mas Surabaya lainnya sudah sampai di Batu Ceper. Sambil
menunggu Mbak Niza, Teh Farah dan Bang Fadly, Mas Galih memulai dongengnya
menggunakan bahasa Jawa. Kami ngakak sepuasnya. Untungnya ada orang seperti Mas
Galih ini yang bisa mencairkan suasana :D
“Agit, udah munggah gunung mana aja?” Tanya Mas Bagus di sebelahku.
“Belum kemana-mana, Mas.. Hehehe”
Jawabku sambil cengengesan.
“Moso? Gunung-gunung Jawa Barat ya?”
Tanyanya lagi. Aku mengangguk.
“Kalo Jawa Tengah, Jawa Timur?”
“Jawa Tengah belum, Jawa Timur baru
Semeru. Mas Bagus sendiri?”
“Sama. Belum pernah kemana-mana.” Ia
membalas jawabanku.
“Semeru, Bromo, Arjuno, Welirang,
Argopuro udah semua ya, Mas? Jagooo..” Ujarku. Ia hanya cengar-cengir, lalu
menutup mulutnya. Nampaknya bibirnya kering dan terasa perih jika ia membuka
mulut lebar-lebar.
“Kenapa, Mas?” Tanyaku polos.
“Bibirku kering banget. Tadi tak kasih Nivea, eh pas minum malah
pahit. Hahaha” Ujarnya masih sambil menutup mulut dengan satu tangan. Aku
memerhatikan botol minumnya, air didalamnya masih keruh, itu pasti air manis.
“Nivea body lotion?” Tanyaku lagi.
“Iyaa.. Tapi yang serum, bukan yang sunblock. Pahit ya. Hahaha..” Aku hanya
tertawa kecil mengingat Nivea milikku, ternyata sama dengan miliknya.
“Ini jalurnya kemana, Mas?” Tanyaku
mengalihkan pembicaraan.
“Tuh, lihat orang pakek keril oren,
ndak? Kita nanti lewat situ.” Ujarnya sambil menunjuk sebuah titik oranye di
kejauhan.
“Wow.. tebing?” Mataku membelalak.
“Iya.. Manjat-manjat batu. Persis
kayak dari Pelawangan Sembalun ke Segara Anak kemarin sore itu, tapi ini kita
naik, kalo kemarin kan turun.”
“Wow..” Aku menghela nafas panjang.
Membaui aroma tanah basah yang bercampur dengan bau kentut Saib -_-
Setelah semua personel lengkap, kami
melanjutkan perjalanan lagi. Ayah bangun dan menyuruh kami jalan duluan. Ia
berjalan paling belakang, menjaga Mbak Niza dan Teh Farah yang padahal sudah
dijaga Bang Fadly. Iya, benar kata Ayah, “Bang Fadly tidak bisa diandalkan.”
Hahahaha..
Aku berada diantara Tim Nutrijel
(sebutan Ayah untuk kelompoknya Mas Bagus, Mas Ewok, Mas Galih dan Mas Kiki ---
entah apa maksudnya) Iya, aku terus berada di antara mereka. Entah aku di
tengah atau di depan, intinya aku tak mau di belakang. Aku harus move on!
Harus! Aku mau jauh-jauh dari Bang Fadly. Cuih. *dikeplak BF*
“Agiiiiit, kamu bawa bedak berapa
kilo sih, Git?” Keluh Mas Galih kepadaku. Oh, saat ini kerirku dipakai Mas
Galih, mungkin Mas Yuli sudah mulai keberatan.
“Bedak?” Aku bingung.
“Iyaaa.. Kok kerilmu abot temen sih? Kamu bawa baju berapa?”
Tanyanya lagi.
“Tiga doang..” Jawabku pelan.
“Jaket berapa?” Sambung Mas Kiki.
“Dua. Satu polar, satu waterproof. Eh jadi tiga deng kalo sama jas hujan. Hehehe..”
Jelasku.
“Termosmu berat ta?” Tanya Mas Bagus.
“Oh, iyaaa.. termosnya yang bikin
berat.” Aku nyengir kepada Mas Galih.
“Udah ngaku aja, mesti kamu bawa
bedak sekilo.” Mas Galih melengos.
“Mau tukar ta?” Tawarku kemudian,
merasa tak enak melihat kerirku dilempar sana-sini.
“Wes, gak usah. Ayok jalan lagi..”
Tebing demi tebing telah kami lalui,
sambil beberapa kali mengumpat dan geleng-geleng kepala membayangkan para Porter
Rinjani melewati trek yang hampir vertikal ini. Kami saja menggunakan dua
tangan untuk memegang batu dan memanjat, sementara porter-porter menggunakan
tangannya untuk menyeseimbangkan pikulan beban di pundaknya. Begitu pula alas
kaki yang mereka gunakan hanya sendal jepit, padahal kami yang memakai sepatu
trekking saja resiko terpelesetnya sudah besar.
Treknya lhoooo :| |
“Kaki Agit gak nyampeeekk..” Keluhku
tiap kali menemukan bebatuan yang lebih tinggi dan besar. Saib dan Mas Ewok
bergantian menarikku. Atau sering juga aku berkata kepada mereka, “Enak yaaa..
punya kaki panjang.”
Setiap habis melewati satu
tanjakan/tebing yang tinggi dan menemukan jalanan datar yang cukup luas, kami
menyempatkan diri untuk beristirahat sambil menunggu yang lainnya. Sekedar
minum atau berbagi mie goreng kremes.
“Minum, Git?” Tawar Paklek Andi
sambil menyodorkan botol minumnya. Aku meraihnya dan mengamati dengan seksama.
“Air madu, Paklek? Atau Air gula?”
Tanyaku iseng namun penuh makna.
“Air jeruk, tadi aku nemu C-1000
rasa limun, tak seduh aja.” Ujarnya.
“Lhoh? Nemu dimana? C-1000 Sachetan
warna kuning bukan? Punyaku hilang.” Aku melongo.
“Iya, punyamu kali. Udah minum aja.
Hehehe” Aku segera menenggaknya, yang lainnya ikut meminta. Sekilas kulirik air
keruh di botol minum yang tersangkut di tas depan Mas Bagus. Aku tersenyum
kecil melihatnya, kemudian segera membuang muka, takut ketahuan [--,]>
“Ayoo Mas, dingiiiiin..” Ajakku
lagi. Yang lain tak bergeming. Aku jalan duluan dan sibuk dengan duniaku
sendiri. Oke, aku jalan galau. Sampai akhirnya terdengar suara langkah kaki
dari belakangku. Aku memelankan langkah dan menajamkan pendengaran. Malas
menoleh, takut kesandung.
“Ati-ati, Git..” Ujar Mas Bagus. Aku
mendadak berhenti dan minggir, memberi jalan kemudian mempersilakannya jalan
duluan. Jantungku mulai kembang-kempis, tak mau kalah dengan paru-paru.
“Kok diem aja?” Tanya Mas Bagus lagi
menyadari aku hanya berjalan di belakangnya sambil menunduk.
“Emang Agit harus gimana?” Tanyaku
bingung.
“Nyanyi-nyanyi kek.. Ngobrol kek..”
Ujarnya sambil melangkah lebih cepat. Aku bengong. Orang ini nyuruh nyanyi,
nyuruh ngobrol, tapi aku malah ditinggal. Pe’a!
Aku tak mau kalah, ketika kulihatnya
beristirahat, aku lanjut jalan terus. Terus dan terus di depan. Aku menghindari
pembicaraan berdua dengannya. Aku tak mau terbawa suasana. Aku tak mau pulang
Rinjani tambah galau. Aku juga tak mau modus-modus lagi. Sudah cukup!
Akhirnya aku mengikuti Saib dan
sampailah kami di Pelawangan Senaru. Saib segera sibuk dengan henfonnya. Kami
beristirahat di Pelawangan Senaru cukup lama. Aku menyempatkan diri untuk
menelefon Ayah di rumah, namun tak ada jawaban. Begitu pula kakakku. Akhirnya
ku telefon Ibu.
“Assalamu’alaikum, Ibuuuu..” Ujarku
ketika telefon diangkat.
“Wa alaikumsalam, Acitaaaa.. Dah turuuun?”
Sahut Ibu dengan suara se-riang biasanya. Aku tersenyum haru.
“Udah, Bu. Alhamdulillah muncak. Ini
tinggal nge-camp sekali lagi terus ke pantai terus pulang lewat Jawa deh.” Aku
menjelaskan dengan santai agar Ibu tidak terlalu khawatir.
“Ooooh.. Iyaaa.. Ati-ati. Niii,
Ghania mau ngomong nii..” Ujar Ibu. Kudengar suara krusak-kresek diujung telefon.
“Attaaaaaaaa..” Teriak bocah berumur
tiga belas bulan, aku tersenyum getir menatap awan yang melintas di hadapanku.
“Iya.. Deeeek.. Dedek udah maem
beluuum?” Tanyaku dengan suara yang ditegar-tegarkan. Mataku mulai terasa
panas.
“Ataaaa.. Ata ata ataaaa..” Ia terus
mengoceh ‘ata-ata’. Iya, dirumah aku dipanggil Cita, dan Adikku baru bisa
memanggilku Ata.
“A’em, Deeeekk..” Ujarku sabar.
“A’em?” Suaranya terdengar lucu.
“Iyaaa.. Dedek a’eeem..”
“Udah a’em, Citaa.. Dedek mau bobok
dulu yaaa..” Giliran Ibuku yang menyahut. Aku berpamitan dan tak lama telefon
terputus.
Gumpalan awan melintas dihadapanku,
kemudian berubah menjadi butiran kabut yang dingin.
Aku menghela nafas panjang…
Sejauh apapun kaki ini melangkah,
rumah adalah satu-satunya tempat terbaik untuk kembali.
Dan kalian.. Gilang, Galih, Ghania..
Kalian satu-satunya alasan mengapa aku selalu ingin pulang cepat.
Aku merindukan kalian..
Aku mengetik sesuatu di henfonku.
Agit
udah turun, Alhamdulillah muncak semua.
Message
Sent
Message
Delivered
Tak lama henfonku bergetar. Nauvel
menelefonku.
“Hallo.. Assalamu’alaikum..” Sapaku
ketika membuka telefon.
“Wa alaikumsalam, Agiiiit.. Gimanaaa?”
Tanyanya antusias.
“Gimana apanya? Hahaha. Ini baru di
Pelawangan Senaru. Lagi dapet sinyal, langsung nelfon rumah.”
“Farah gimana? Sehat?” Tanyanya
lagi.
“Sehat, dong.. Teh Farah aman
bersama BF. Agit yang sendirian dari start sampe muncak. Heuheu..”
“Rencananya mau ngecamp lagi atau
langsung turun basecamp?”
“Ngecamp lagi di pos 3. Tapi gatau
deh Om Pulung sih maunya langsung turun.”
“Ngecamp aja dulu, jangan dipaksain.
A’ aja dipaksain sampe basecamp baru
nyampe malem banget. Serem.”
“Iyaa..”
“Gimana? Gimana? Cerita dong!”
“Nanti aja ya.. Sinyalnya
ilang-ilangan nih. Batere juga tiris.” Ujarku kemudian berpamitan dan telefon
terputus.
Senaru kala itu, biru. Berada di hadapan awan dan sesekali awannya menghampiri itu rasanya seperti sedang berada di dunia dongeng. Aku bahkan sempat membayangkan jika aku ini Raja Kera Langit yang bisa terbang dengan awan kinton. Senaru.. Aku padamu :')
Ku amati sekelilingku. Mas Bagus tertidur di rerumputan, Mbak Niza dan Saib sibuk berceloteh dengan henfonnya. Mas Kiki dan Mas Galih leyeh-leyeh. Mas Ardi dan Mas Yuli terus merokok. Mas Ewok dan Paklek Andi cengar-cengir. Bang Fadly dan Teh Farah bikin foto pre-wedd, Ayah ndak tau dimana. Aku iseng membuka mie goreng di tasku, dan memakannya sendirian.
Ku amati sekelilingku. Mas Bagus tertidur di rerumputan, Mbak Niza dan Saib sibuk berceloteh dengan henfonnya. Mas Kiki dan Mas Galih leyeh-leyeh. Mas Ardi dan Mas Yuli terus merokok. Mas Ewok dan Paklek Andi cengar-cengir. Bang Fadly dan Teh Farah bikin foto pre-wedd, Ayah ndak tau dimana. Aku iseng membuka mie goreng di tasku, dan memakannya sendirian.
“Lhoooo… Agit peliiiiit.. Mauuuuu..”
Ujar Saib, kemudian Mbak Niza, juga yang lainnya. Padahal mereka sedang sibuk
sendiri, tapi sama makanan aja cepet banget tanggep. Ku serahkan mie kremesku,
kemudian aku mencari makanan lain.
Aku membuka carrier dan kutemukan sebungkus nata de coco. Aku meminta tolong porter untuk mengambilkan sendok dan gelas besar. Ku campurkan nata de coco dengan madurasa. Segarnya luar biasa. Aku memasang senyum penuh kemenangan.
Aku membuka carrier dan kutemukan sebungkus nata de coco. Aku meminta tolong porter untuk mengambilkan sendok dan gelas besar. Ku campurkan nata de coco dengan madurasa. Segarnya luar biasa. Aku memasang senyum penuh kemenangan.
Makan Sendirian sambil Ngeliatin Awan :') |
“Mauuuuuuuuuuuuuuu…” Teriak yang
lainnya. Aku memberi pandangan ke mereka semua dengan makna seperti ini, ‘enak aja mau-mau. Ini punya gue, sana bikin
sendiri!’ hahahaha. Setelah merasa puas dengan nata de coco plus madu ini,
barulah ku serahkan pada yang lainnya. Mereka berebutan seperti kaum duafa
mengantri sembako.
“Lanjut duluan, Git. Nanti Ayah nyusul, mau lari.” Ujar Ayah tiba-tiba.
“Ayok, Ib.. Lanjut..” Ajakku pada Saib. Kami berjalan melipir tebing yang agak curam. Kemudian melewati turunan berpasir yang bikin lutut gemetaran. Aku merasa jompo sekali menghadapi trek seperti ini. Bahkan tongkatku kehilangan kesaktiannya ketika menopang badanku. Berbeda dengan Teh Farah. Ia ngebut, bahkan dengan lincahnya berlari. Aku hanya geleng-geleng kepala. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri, hanya Tuhan yang Maha Sempurna.
Teh Farah terus berlari, sementara Bang Fadly mengejar~
Aku bertahan dengan tongkat saktiku, begitu pula mbak Niza. Kami berdua mendadak jompo dan mengikuti Paklek Andi terus. Ayah tiba-tiba berlari membalapku dan meninggalkan debu-debu bertebangan di sepanjang jalan yang menyebabkan kami batuk-batuk, bahkan sesak nafas. Kemudian tak lama, jalanan berubah menjadi trek batu bercampur pasir yang begitu miring. Kakiku gemetar, tongkatku sudah tak bisa diandalkan. Terlintas pertanyaan di benakku. Dari sekian banyak orang yang melalui jalan ini sendirian, tak adakah dari kalian yang membutuhkan pegangan? Atau membantuku menghadapi jalan ini bersamaan, sambil berpegangan tangan, persis yang di depan~ #lirikBFdanTeteh #KemudianKesandung #GelundunganDiTurunan
Mbak Niza sedang mengalami PMS, sehingga menyebabkan jalannya lama sekali. Mas Kiki menjaganya. Aku terus mengikuti Paklek Andi yang melangkah pelan tapi pasti. Mas-mas lainnya sudah di depan. Akhirnya kami berkumpul di jalan yang cukup luas.
“Jalannya dibuat nge-per lho, aku di depan, nanti aku berhenti di tempat yang enak, terus kalian ngekor. Kayak per gitu lhooo..” Ujar Mas Galih dengan tangannya yang mempraktekan gaya pegas pada per. Aku hanya mengangguk-angguk sambil menguap. Tiba-tiba Mbak Niza dan Mas Kiki datang. Mas Kiki mengenakan kerir depan belakang, sementara Mbak Niza memegangi perutnya.
"Sini, lhoo.. Mbles. Aku pakek punyamu, kamu bawa punya Agit aja yaa.." Ujar Mas Galih sambil menukar kerirku dengan milik Mas Kiki.
"Eh, punya Mbak Niza aku bawa aja deh, Mas Kiki bawa punya Mas Yuli nih enteng kok." Sambungku kemudian.
"Udah gak usah, Git. Aku bawa sendiri aja." Kata Mbak Niza. Namun melihatnya saja aku tak tega. Segera ku kenakan kerir deuter miliknya dan melanjutkan perjalanan. Mbak Niza berjalan beriringan denganku. Namun ia masih saja sibuk dengan henfonnya dan Mas Imam. Aku tak sedikitpun tertarik dengan apa yang mereka bicarakan. Aku tak mau kalah. Segera ku telfon jodohku melalui telepati. Hasilnya, jaringan tidak ditemukan. *pukpuk Agit*
Sampai menemukan jalan datar dan agak sempit, kami mendengar suara tertawa yang begitu kencang.
“Lanjut duluan, Git. Nanti Ayah nyusul, mau lari.” Ujar Ayah tiba-tiba.
“Ayok, Ib.. Lanjut..” Ajakku pada Saib. Kami berjalan melipir tebing yang agak curam. Kemudian melewati turunan berpasir yang bikin lutut gemetaran. Aku merasa jompo sekali menghadapi trek seperti ini. Bahkan tongkatku kehilangan kesaktiannya ketika menopang badanku. Berbeda dengan Teh Farah. Ia ngebut, bahkan dengan lincahnya berlari. Aku hanya geleng-geleng kepala. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri, hanya Tuhan yang Maha Sempurna.
Teh Farah terus berlari, sementara Bang Fadly mengejar~
Aku bertahan dengan tongkat saktiku, begitu pula mbak Niza. Kami berdua mendadak jompo dan mengikuti Paklek Andi terus. Ayah tiba-tiba berlari membalapku dan meninggalkan debu-debu bertebangan di sepanjang jalan yang menyebabkan kami batuk-batuk, bahkan sesak nafas. Kemudian tak lama, jalanan berubah menjadi trek batu bercampur pasir yang begitu miring. Kakiku gemetar, tongkatku sudah tak bisa diandalkan. Terlintas pertanyaan di benakku. Dari sekian banyak orang yang melalui jalan ini sendirian, tak adakah dari kalian yang membutuhkan pegangan? Atau membantuku menghadapi jalan ini bersamaan, sambil berpegangan tangan, persis yang di depan~ #lirikBFdanTeteh #KemudianKesandung #GelundunganDiTurunan
Mbak Niza sedang mengalami PMS, sehingga menyebabkan jalannya lama sekali. Mas Kiki menjaganya. Aku terus mengikuti Paklek Andi yang melangkah pelan tapi pasti. Mas-mas lainnya sudah di depan. Akhirnya kami berkumpul di jalan yang cukup luas.
“Jalannya dibuat nge-per lho, aku di depan, nanti aku berhenti di tempat yang enak, terus kalian ngekor. Kayak per gitu lhooo..” Ujar Mas Galih dengan tangannya yang mempraktekan gaya pegas pada per. Aku hanya mengangguk-angguk sambil menguap. Tiba-tiba Mbak Niza dan Mas Kiki datang. Mas Kiki mengenakan kerir depan belakang, sementara Mbak Niza memegangi perutnya.
"Sini, lhoo.. Mbles. Aku pakek punyamu, kamu bawa punya Agit aja yaa.." Ujar Mas Galih sambil menukar kerirku dengan milik Mas Kiki.
"Eh, punya Mbak Niza aku bawa aja deh, Mas Kiki bawa punya Mas Yuli nih enteng kok." Sambungku kemudian.
"Udah gak usah, Git. Aku bawa sendiri aja." Kata Mbak Niza. Namun melihatnya saja aku tak tega. Segera ku kenakan kerir deuter miliknya dan melanjutkan perjalanan. Mbak Niza berjalan beriringan denganku. Namun ia masih saja sibuk dengan henfonnya dan Mas Imam. Aku tak sedikitpun tertarik dengan apa yang mereka bicarakan. Aku tak mau kalah. Segera ku telfon jodohku melalui telepati. Hasilnya, jaringan tidak ditemukan. *pukpuk Agit*
Sampai menemukan jalan datar dan agak sempit, kami mendengar suara tertawa yang begitu kencang.
“Wah, udah ada tanda-tanda kehidupan
nih, Mbak.” Ujarku.
“Di hutan kan aneh, Git. Suaranya
mantul-mantul. Walaupun jauh ya kedengerannya kenceng tapi nggak jelas asalnya
dari arah mana.” Jelas Mbak Niza, aku hanya mengangguk-angguk. Namun tak lama
kami menemukan serombongan orang yang sedang duduk-duduk dan tertawa.
Iya, mereka adalah timku sendiri.
Aku segera duduk dengan kerir Mbak Niza sebagai bantalan, sementara Mbak Niza
segera mengenakan s***** di balik semak-semak. Teringat jelas
wajah-wajah lelah kami saat itu. Namun Mas Ais tak kunjung lelah, ia tetap
bersemangat bercerita yang lucu-lucu. Aku hanya memejamkan mata.
Dhuuuuuuuuuuuuuut…
Saib kentut. Semuanya tertawa.
Kemudian menghujat Saib dengan berbagai sumpah serapah. Saat itu waktu sudah
sore, aku merasa dingin.
“Dingin.. Mas.. Jalan lagi yuk.”
Ajakku pada Mas Bagus yang saat itu hanya berjarak setengah meter dariku. Ia
mempersilakanku jalan duluan, sementara ia di belakangku. Aku paling tidak bisa
berjalan didepan orang yang jalannya cepat. Kasihan kalau dia menungguku
terlalu lama. Aku berhenti mendadak.
“Lho, kenapa berhenti?” Tanyanya
kaget.
“Mas duluan aja deh. Hehe..” Jawabku
cengengesan. Ku kira ia akan meninggalkanku seperti sebelumnya. Namun ternyata
tidak. Ia berjalan santai sambil menikmati senja yang berada di sebelah kiri
kami.
“Mas.. Bagus.. Mataharinya..” Ujarku
terputus-putus.
“Maksudnya gimana?” Tanyanya bingung.
“Itu.. Mataharinya.. Bagus..” Ujarku
sambil menunjuk sunset di arah barat.
“Mataharinya ‘bagus’? Aku dong?”
Tanyanya sambil memberi penekanan pada kata ‘bagus’. Aku cukup lama
mengartikannya.
“Iyaa..
Mas Bagus kayak matahari.. menyinari hariku~” Batinku kemudian. Ingin
rasanya kata itu terucap dari mulutku. Namun ku urungkan niatku. Orang seperti
ini lebih pantas diseriusin, Git.. Bukan dimodusin.
Aku hanya berjalan sambil menunduk.
“Lama niiih.. Ayah disini udah
berapa jam tau.” Ujar Om-om Pea, sombong dan bersahaja yang sedang duduk sambil
merokok di sebuah pos. Aku cengar-cengir.
“Langsung kesana aja, Git. Kita
ngecamp disana.” Ujar Ayah sambil menunjuk dimana letak Pos 3 Senaru. Aku
berjalan mengikuti Pak Porter.
“Capek yaa..” Aku duduk mengamati
Pos 3 Senaru. Mas-mas segera mendirikan tenda. Di sekeliling kami hanya hutan
dan monyet-monyet yang berkeliaran. Tekstur dataran yang kami pijak sudah mulai
tanah, bukan pasir. Alhamdulillah.
“Kakiku sakiiiiit..” Keluh Mas Ewok
sambil duduk dan meringis memegangi lututnya. Aku mengubek-ubek tas kecilku,
kemudian memberikannya vicks.
“Buat Mas aja, kenang-kenangan dari
Agit. Hehe..” Ujarku sambil nyengir.
Setelah tenda berdiri, aku segera
memasukkan matras dan merapikan isi tenda. Carrier
Teh Farah dan Mbak Niza juga segera ku masukkan ke dalam. Aku segera
membersihkan diri, berganti pakaian dan menjama’ shalat. Sementara yang lainnya
entah sibuk apa. Mbak Niza dan Teh Farah tak kunjung masuk ke dalam tenda. Aku glundang-glundung di dalamnya. Batukku
semakin parah.
Hari semakin malam. Pak Porter memasakkan
kami telur, sosis dan tempe. Kami kehabisan logistik.
“Agit, porter Ayah masak sayur tuh
banyak banget. Agit ambil gih, buat makan sama Niza.” Ujar ayah di luar tenda.
Aku nurut.
“Ayah udah makan?” Iya hanya
mengangguk dan berlalu ke tenda mas-mas. Segera ku ambil piring dan ku hampiri
tenda milik teman-teman Ayah. Disana ku temukan Teh Farah dan Bang Fadly yang
sedang duduk di dekat api. Malam ini aku makan dengan Mbak Niza. Bang Fadly
sudah lupa dengan adek kecilnya yang satu ini, ia telah menemukan adeknya yang
lain :’)
Aku makan dengan lahap, sementara
mbak Niza masih saja berkutat dengan henfonnya. Aku masih suka heran dengan
orang-orang yang mencari sinyal di gunung, padahal aku sendiri sengaja pergi ke
gunung agar bisa menghilang dari peradaban karena terlalu bosan dengan
rutinitas. Selama di gunung pun henfon ku matikan, powerbank juga tak terpakai.
“Iya,
lo ngomong gitu soalnya lo jomblo, Git.” Terdengar suara dari telinga
kiriku. Sial.
“Agit udah kenyang, Mbak Niza
habiskan ya. Sambalnya pedas. Mbak Niza makannya yang bener lho.” Ujarku seraya
meninggalkan Mbak Niza sendirian di dalam tenda. Aku jalan-jalan dengan sarung
dan sendal jepit. BF dan Teteh Farah masih anget-angetan di depan api. Ayah dan
Mas-mas sedang berkumpul di dalam tenda. Aku menatap langit.
Bintangnya ketutupan pohon. Disini mistis.
“Agiiit.. Sini pijetin Ayah, Git.”
Ujar Ayah. Perlahan aku menghampirinya. Ku longok tenda berkapasitas lima orang
ini namun begitu sesak di dalamnya.
“Yang ini sakit nih, Git.” Ujar Ayah
sambil memijat-mijat bahu kirinya. Mas Ewok menyodorkan vicks yang tadi aku
berikan padanya. Ayah resmi aku siksa malam ini.
“Kapan lagi, kan, ngerjain aki-aki
pea.” Ujarku penuh kemenangan. Ayah meringis.
“Kamu tuh, gak kayak orang Jawa ya,
Git? Kayak orang Betawi atau Sunda.” Ujar Mas Galih.
“Iya.. Banyak kok yang bilang gitu.”
Sahutku.
“Yang pantes jadi orang Solo tuh si
Farah.. Kalem.. Alus.. Pelaaann..” Sambung Mas Galih dengan gayanya yang dibuat-buat
agar terlihat kemayu.
“Tapi bisa bahasa Jawa ta?” Tanyanya
lagi.
“Saget, Mas. Sithik-sithik. Tapi gak
iso mboso jowo alus.. Hehehe. Bahasa sunda juga bisa, betawi apalagi.” Ujarku
sambil terus menekan bahu ayah sampai beliau kesakitan.
“Pijetin Ayah aja, Git. Gak usah
ngeliatin orang tidur.” Gumam Ayah pelan. Mataku terbelalak. Bagaimana Ayah
bisa tau apa yang ku lihat sementara ia duduk membelakangiku?!
“Hah? Kok Ayah tau?” Ujarku pelan
sambil menekan bahunya lebih keras. Ia meringis.
“Lo itu nyari yang kayak gimana,
sih, Git?” Ayah tak menjawab pertanyaanku.
“Agit gak nyari yang macem-macem,
Yah, yang penting Jawa.” Jawabku pelan. Entah Mas-mas ini mendengarkan atau
tidak.
“Lhaaa.. Ini Jawa semuaaa, tinggal
pilih..” Suara Ayah terdengar sangat bijak. Mas Galih cengar-cengir dengan
makna yang ku tangkap seperti ini, ‘pilih
aku! Pilih aku! Gratis!!’
“Nih, tak kasih tau satu-satu..” Sambung Ayah lagi. Aku memelankan
pijatanku.
“Jangan mau sama Mas Ais, orangnya
aneh, kuliahnya gak kelar-kelar. Dia cocoknya sama Selly Jayanti. Ihirrrr”
“Hahahahahahaaa..” Kami tertawa, Mas
Galih manyun.
“Jangan mau juga sama Mas Ewok.
Namanya Ewok, tapi brewoknya aja gak jelas. Jangan mau…” Aku mendengarkan
dengan seksama.
“Jangan mau sama Saib, dia orangnya
bau. Udah bau kentut, bau kaos kaki pula.”
“Hahahahahahahahaha.. Iki mambu sikile Saib mesti ketmau apek-apek
ngene.” (Ini bau kakinya Saib pasti, daritadi bau apek kayak gini)
“Jangan mau sama Mas Gambles.. Dia
orangnya minus.” Ujar Ayah lagi.
“Hah? Minus gimana, Yah?” Sahutku
bingung.
“Lo liat aja kacamatanya, minus,
kayak orangnya. Hehehe. Masa nanti misalkan lo berdua udah mau trekking, eh
kacamatanya ketinggalan, kan repot. Jangan mau!” Ayah melucu. Kami cekikikan.
“Jangan mau sama si Yuli. Pokoknya
jangan mau aja.” Sambung Ayah tanpa memberi alasan kenapa aku tak boleh sama
Mas Yuli.
“Nah.. Agit sama Mas Bagus aja..”
Ujar Ayah lembut sekali. Aku lemas mendengarnya.
“Orangnya lagi tidur, Yah..” Sahutku
pelan. Udah dong, Yah.. Jangan dilanjutin
:’(
“Mas Bagus orangnya bagus, apik,
rajin, udah kerja, nggantheng,
tinggi, sama Ayah sopan.. Gak kayak Mas-mas ini nih..” Jelas Ayah sambil
meremehkan yang lainnya. Aku salah tingkah. Yang lain ber-ihiirrr-ria. Mas
Bagus tak mengubah posisi tidurnya. Nampaknya ia benar-benar tertidur.
“Agit udah jomblo berapa lama?” Mati aku, di interogasi sama Ayah.
“Mei.. Juni.. Juli.. Agustus. Tiga
bulan, Yah. Turun Pangrango bulan Mei, terus gak lama diputusin. Kasian ya..”
Ujarku sambil memelas.
“Curhaaaaaaaaaaattt..” Saib
mencibirku. Aku tak meladeninya.
“Turun gunung diputusin… Hmmm..”
Ayah bergumam. Tiba-tiba Mas Bagus membuka matanya dan mengubah posisi
tidurnya.
“Aku juga turun gunung diputusin.”
Ujar Mas Bagus pelan sekali. Jadi selama ini dia mendengarkan apa yang kami
bicarakan???!!! Bunuh Agit, Yah, bunuh
Agit!!!!
“Ihiiiiiiiiiiiiiirrrr… Passs!!” Yang
lainnya mengompori. Aku menekan bahu Ayah lebih kencang lagi. Ayah berteriak
kesakitan.
“Nah, tuh, Mas Bagus baru jomblo
empat bulan tuh, Git.” Ayah tersenyum penuh makna.
“Kok Om Pulung tau?” Tanya Mas Bagus
kaget.
“Jangankan tau berapa bulan, tanggal
putusnya juga gua tau.” Gumam Ayah pelan, namun terdengar jelas olehku. Secara
aku berada tepat di belakangnya. Aku mulai paham mengapa ia mudah mengetahui
pikiran kami. Aku paham.
“Kan kita gak ‘salaman’, Yah.. Kok
Ayah bisa ‘mbaca’?” Tanyaku sambil berbisik.
“Ya, tapi kan Agit mijetin Ayah..
Hahahahaha..” Ayah tertawa penuh kemenangan. Aku mendadak lemas. Jadi daritadi semua yang ku pikirkan ketauan??!!
Ahhh.. Ayah curaaaaang!! Mana sempet mikirin yang enggak-enggak pula. Ketauan
juga gak ya? Aku memukul-mukul punggungnya kesal.
“Cuma kurangnya Mas Bagus itu satu,
dia ngerokok.” Sambung Ayah.
“Emang kenapa Yah kalo ngerokok? Gak
masalah kok. Ayah Agit juga ngerokok.” Ujarku polos. Ayah nyengir.
“Tuh.. Gus.. Kapan lagi ada cewek
yang ngijinin ngerokok.” Ujar mas-mas lainnya bergantian mengompori. Mas Bagus
memainkan koreknya.
“Udahan ah, Agit mau ke tenda.” Aku
segera keluar dan meluncur ke tendaku. Mbak Niza masih saja berkutat dengan
henfonnya.
“Kenapa, Git?” Tanya Mbak Niza.
Segera ku ceritakan apa saja yang terjadi di tenda sebelah. Pikiranku tak
karuan. Kami berdua heboh bercerita. Sementara Bang Fadly dan Teh Farah masih
menikmati malam terakhir mereka.
“Giiiitt.. Jangan ngomongin Ayah,
Giiiit..” Teriak Ayah sambil tertawa di tenda sebelah. Sial. Ngomongin aja
ketauan juga >_<
“Agit sini coba..” Ayah memanggilku.
Aku nurut dan menghampirinya.
“Ini, coba tolong diambilin sayur
yang banyak. Mas-mas ini kelaparan. Dipenuhin ya..” Ayah menyodorkan sebuah
piring besar. Aku segera mengambilkan sayur di tenda Ayah. Kok tumben ya, aku
jadi penurut sekali?
“Ini, Yah…” Ujarku sambil
menyodorkan piring.
“Ucapin met makan dulu dong buat Mas
Bagus..” Ayah menggodaku. Aku garuk-garuk kepala.
“Met maem, Mas Apiiiik..”
“Ihiiiiiiiiiiirrrr… Gak disuapin
sekaliaaan?” Mas-mas lainnya berisik. Aku kabur dan misuh-misuh di tenda.
Segera ku kenakan sleepingbag dan
mojok di tenda. Aku tak mau tidur dekat Ayah. Takmau!
Ku curahkan semua unek-unekku pada
Mbak Niza, namun itu tak berlangsung lama. Mbak Niza malah gantian curhat
masalah asmaranya. Astaga, ceritaku belum kelar, Mbak -_- Tak lama Ayah masuk
ke tendaku. Ia terus mencecarku dengan pertanyaan dan pernyataan yang membuatku
skakmatt.
“Ayahnya Agit pasti senengnya sama
orang Jawa, kan? Sama yang ‘kemarin’ gak di setujuin kan?” Pertanyaan paling
menohok yang dilemparkan Ayah, air mataku meleleh. Maaf ya, Ayah.. Agit gak
ngaku kalo Agit nangis di pojokan. Mbak Niza juga pasti gak tau.
Aku terus menerus dinasehati oleh
Ayah sampai pagi. Posisi tidurku pindah ke sebelah Ayah. Bang Fadly dan Teh
Farah akhirnya kembali ke tenda.
Semua sudah terlelap,
Kecuali aku.. Mataku masih saja
terjaga..
Memikirkanmu…
Yang belum tentu memikirkanku.
Selamat tidur, kamu.
Bersambung Kesini >>> Ketika Anak Gunung Main ke Pantai :)
naek gunung nemu yang baru, doanya di jabah :D
ReplyDeleteaamiiiin :D
DeleteWakakaakkk....tulisan yg paling membuat menang fisik mental dan semuanya dari Penulis ...Hureeeeyyyy
ReplyDeleteWkwkwkwk apa pula hurey-hurey segala :D
Deletesekali dayuung dua tiga pulau trlampaui ya git...
ReplyDeletehihiii...
joozzz critanee...
aq rencana bln depn ke rinjani lg
semoga sukses, Mas :)
Deletesalam buat anjani...
keren tulisannya,,,saluttt deskriptif,detail,tapi agit orangnya PHP kayanya,,hee
ReplyDeleteSsssssst. jgn berisiiiik. wkwkwk
Delete