Cerita sebelumnya >>> Klik disini :)
(Judul postingan ini terinspirasi dari Album Foto di FB Nganga, Menembus Janji Dewi Anjani :) )
Rabu, 14 Agustus 2013
“Banguuuun.. banguuuuuuuuuun..”
Suara Paklek Andi membangunkan kami. Aku segera bangun dan bersiap-siap.
Perutku tak bisa diajak kompromi, tiba-tiba merasa lapar dan mulas dalam waktu
bersamaan. Pisang dari Ayah masih tersisa dua. Aku segera melahapnya sendirian.
Kemudian ku minum sari kurma dan cairan penambah darah sebagai dopping, juga
tak lupa menyelipkan fitbar, cokelat dan madu untuk bekal di perjalanan.
Bang Fadly merebuskan air untuk
diisi di termosku dan Teh Farah.
“Kita gak sarapan?” Tanyaku pada
semua mata, namun hanya dijawab dengan gelengan saja.
“Hah?!!
Biasanya gue kalo mau summit pasti disuapin sama Nganga, dipaksa makan walaupun
gak lapar. Ini dari dua belas orang gak ada yang sarapan???!!” Teriakku
dalam hati sambil mengusap-usap perut. “Sabar
yah.. Untung tadi udah makan pisang. Yang kuat yah, jangan laper di jalur,
jangan mules juga..”
Sebelum jalan, kami membuat
lingkaran dan berdoa..
“Temen-temen.. Sekarang kita mau
lanjut perjalanan ke puncak. Jalannya pelan-pelan aja, barengan terus, kalo
capek bilang lho ya. Semoga semuanya bisa sampe puncak, selamat sampai tujuan
dan bisa pulang sama-sama..” Ujar Mbak Niza dan diaminkan oleh semua.
“Semoga perjalanan kita lancar,
sampe puncak, sampe turun, daaaan.. KETEMU JODOH!!” Teriakku iseng teringat
percakapan dengan Ayah semalam, “Kalo doa
tuh sekalian, jangan setengah-setengah.. Yang total!” Hahaha dan kali ini
terdengar suara Aamiin yang lebih keras.
“Berdoa.. dimulai.”
*hening*
“Selesai..”
Kami start pukul tiga pagi. Jalan dalam satu barisan. Mas Bagus tetap
yang paling pertama, kemudian Mas Ardi, aku, Saib dan tidak tahu siapa lagi
urutannya. Yang bertugas mengurutkan posisi dan menghitung jumlah kelompok ya
Paklek Andi. Hehe :D
Baru juga kami berjalan setengah
jam, tiba-tiba Mas Ewok berkata bahwa dia mulas. Kami menunggunya menuntaskan
tugas mulia. Aku iseng menyorotnya dengan headlamp.
“Hooooy, cah gendriiiiing. Ojok
ngintiiiiip!!!” Teriaknya dari balik pasir. Yak, Mas Ewok resmi pup di pasir,
kayak kucing.
“Biar gak peteng maaaas!!” Sahutku
sambil cekikikan. Terlihat beberapa pendaki melintas di hadapan kami. Sebagian
besar dari mereka adalah bule-bule yang lengkap dengan porternya.
Rinjani, treknya hampir sama seperti
Semeru, yaitu sama-sama pasir. Namun Rinjani memiliki tekstur pasir yang lebih
kasar dan berkerikil. Kemudian jalurnya melipir jurang sehingga menyulitkan kita
berlindung ketika ada hembusan angin kencang. Aku hanya melangkah dan melangkah
dengan tongkat saktiku. Aku yang biasanya paling sering istirahat dan malas
cepat-cepat sekarang malah jalan seenaknya. Aku mulai menemukan tempo dalam
langkahku. Langkah yang memiliki ritme dan begitu berirama.
Berkali-kali kami break, berkali-kali ku temukan Mas Bagus
yang tertidur dan berkali-kali juga aku kepergok lagi ngeliatin hidungnya.
“Kenapa, Git?” Tanyanya
mengagetkanku. Dia selama ini sering tidur, tapi kok tau ya kalo aku lagi
ngeliatin?
“Mas Apik hidungnya ngeselin, kayak
bule-bule itu. Hehe..” Jawabku ngasal, kebetulan ada beberapa bule yang lewat. Aku
menggaruk-garuk kepala.
“Kenapa ta? Mancung ya? Gak punya
ya?” Aku menarik-narik hidungku. Mas Bagus tertawa pelan.
“Mau mimik ta?” Ia menawarkanku
minum. Airnya masih keruh seperti kemarin. Aku langsung meminumnya. Alisku
mengerut.
“Itu air gula..” Ujar Mas Bagus. Ia
mengerti apa yang ada di pikiranku.
“Kok air gula?” Tanyaku heran.
“Iya, lupa madunya aku taruh mana.”
“Kenapa gak air putih aja? Kenapa
harus air manis?” Tanyaku polos.
“Kamu sukanya air manis kan?”
Tanyanya balik. Aku tertegun, memikirkan apa maksud pertanyaannya. Darimana ia
tau? Apa kemarin ia mendengar gumamanku? Atau, apa maksudnya ia sengaja
menyiapkanku air manis agar aku sering minta? Sudahlah, Git. Tak usah kegeeran.
Ini hanya kebetulan.
“Yuk, Mas.. Jalan lagi, selak dingin.” Ajakku sambil mengalihkan
pembicaraan.
Aku terus berada diantara Mas Bagus,
Mas Ardi dan Saib. Teh Farah terlihat begitu lelah namun Bang Fadly dengan
sabar selalu menuntunnya. Padahal, menurut kesepakatan awal, harusnya aku
muncak dengan posisi di-webbing atau
ditarik-tarik sarung oleh Bang Fadly. Tapi, siapa yang tau kalau takdir tak
selalu berjalan sesuai rencana?
Bang Fadly yang sabar ya, jagain
Teteh sampai puncak. Kayak Nauvel sama Teteh waktu di Semeru. Pelan tapi pasti.
Agit udah biasa kok gak ada yang jagain, Agit tunggu abang diatas ya :’)
Dua jam berjalan, rasanya puncak
masih terlalu jauh untuk diraih. Aku menunaikan shubuhku dibalik pasir. Dan
ketika mengucap salam, semburat mentari pagi muncul dari arah timur. Tubuhku
gemetar melihatnya.
Ibu, andai kita dapat melihat pagi
yang sama
Disini indah, Ibu
Bahkan rasanya hanya menilai dengan
kata indah pun tak cukup
Ibu, andai kita dapat menunaikan
subuh di tempat yang sama
Disini dingin, Ibu
Namun rasanya,
Dengan mencium tanganmu saja
Sudah dapat menghangatkan jari
jemari yang membeku
Tuhan, di tempat yang sedekat ini..
Bolehkah ku meminta?
Beri aku pagi yang cerah
Beri aku siang yang teduh
Beri aku senja yang oranye
Beri aku malam yang hangat dan
berbintang
Cukup untuk hari ini saja
Ijinkan aku bermain dengan langit
Ijinkan aku menyentuh awan-awanMu
Tuhan, di tempat setinggi ini..
Bolehkah ku bertanya?
Dimana dapat ku temukan lelaki yang
pasti?
Yang hitam atau putih
Yang merah atau biru
Bukan abu-abu, apalagi ungu
Sembilan belas tahun lebih lima hari
Sudah terlalu jauh ku bawa kaki ini
melangkah
Tanpa alasan, tanpa tujuan
Berbekal perasaan dan rasa penasaran
Apa yang selama ini ku cari?
Apa yang selama ini telah
kuhasilkan?
Anjani,
Sesaat lagi aku sampai singgasanamu,
Tak usah repot-repot menjamuku,
Cukup bimbing aku menjadi wanita
sesederhana dirimu.
Pandanganku terpaku pada matahari
yang mulai bergerak lebih tinggi. Bulir-bulir air mata meleleh di pipiku.
Selesai shubuh tadi, nampaknya aku tertinggal rombongan. Aku segera
melangkahkan kaki dengan pasti, walau hanya seorang diri.
Aku muncak sendirian lagi.
Dan aku sudah terbiasa seperti ini.
Karena dengan melangkah sendiri, aku
baru sadar, siapa aku ini.
Mentari semakin meninggi. Mas Bagus
sudah tak terlihat lagi. Aku melahap bekal sarapan cokelat dan fitbarku.
Berjalan santai dan tiba-tiba ku temukan Saib yang tertidur. Ternyata rombongan
kami masih di belakang. Aku berjalan di belakang Saib walaupun itu tak
berlangsung lama, Ia berjalan lebih cepat dariku dan aku sukses ditinggal
olehnya. Tak lama Mas Ardi melintas, aku mengekornya lagi namun sama saja, aku
ketinggalan lagi. Tiba-tiba Mas Yuli berjalan ke arahku.
“Lha kok kamu jadi di belakang,
Git?” Tanyanya sambil tertawa.
“Ngantuk, Mas.” Jawabku ngasal. Dan
aku di-overlap lagi. Namun tepat di
belakangku ada Mas Kiki, Mas Ewok dan Mas Ais. Mereka bertiga-tigaan terus. Aku
tak mau berjalan di belakang mereka. Tak mau dibalap lagi pokoknya!
“Alon-alon, Cah Gendriiiing..”
Teriak Mas Ewok. Aku nyengir. Sudah banyak pendaki yang mulai turun, apalagi
bule-bule yang memiliki kaki panjang. Tentu mudah untuknya berjalan di trek
sesulit ini. Ku mantapkan hati untuk terus menatap kebawah, aku tak mau
lihat-lihat puncak yang bikin hopeless.
Namun tetap saja tak bisa. Jalan lagi, duduk lagi, makan lagi, jalan lagi. Ya,
begitulah aku.
“Gagaaaaa….” Teriakku menemukan
sosok Nganga yang terseok-seok di belakangku.
“Agiiiiit.. Ayooo semangaaat.” Kata
seseorang yang melintas dihadapanku.
“Hah? Siapa sih?” Aku mengamatinya.
“Siapa lagi, Git, kalo bukan Sumar.”
Sahut Nganga tiba-tiba mendahuluiku.
“Ayok, mau ditarik ga?” Tawar Sumar.
Aku mengangguk pelan. Trekking pole ku berpindah ke tangannya.
“Lima langkah istirahat, lima langkah
istirahat ya.” Ujar Sumar memberi instruksi, kemudian ia menggenggam tanganku
dan melangkah. Aku berasa ditarik.
Pada lima langkah yang ke-tujuh
kalinya, aku menyerah.
“Udahaaaaan. Bang Aten duluan
ajaaaaaa. Agit capeeeeeeek. Hahahaha” Teriakku. Dia tertawa.
“Yaudah, ditunggu di atas ya, Git!”
Ia mendahuluiku. Tiba-tiba Mas Galih berlari kencang. Mas Kiki juga sudah jauh
di depan. Ah, puncak sebentar lagi!
Sampai akhirnya aku menemukan
bebatuan besar. Aku bersandar pada salah satunya. Andai yang kusandarkan saat
ini adalah dada bidangmu, pasti aku tak mau beranjak pergi. Halah! Woy, bangun
Git!!!!
Seorang pria tiba-tiba menyodorkan
botol minumnya padaku, seorang lainnya memberiku cokelat dan biskuit. Lagi-lagi
rejeki di gunung datang menghampiriku. Kami ternyata sama-sama berasal dari
Bekasi. Oke, sejauh ini kabur dari peradaban ternyata ketemu orang Bekasi
lagi???!!!
“Semangat, Mbak. Itu udah puncak.
Paling lima menit.” Ujar mereka, kemudian turun. Aku menemukan Mas Galih yang
bersandar di salah satu bebatuan. Nampaknya ia begitu kelelahan setelah
berlari.
“Ayooo, Mas Aiiiiis..” Teriakku
meng-overlapnya.
“Hooooy, anak mudaaaa!! Lama sekali
kamu! Ayah disini dari Subuuuuuh!! Buruan, dong. Dingin nih!” Teriak sesosok
Om-om yang pea, sabar dan bersahaja dari jarak lima belas meter. Oke, aku yang
masih muda dan bertenaga, resmi dikalahkan oleh Om-om dengan resiko asam urat
lebih tinggi. Oke.
“Aaaaaaaaaakk! Agit ndak terimaaaa!” Teriakku sambil berlari
tergopoh-gopoh. Ayah terlihat bahagia karena telah membuatku ‘panas’. Tiba-tiba
Mas Bagus muncul dengan kameranya, kemudian membidik kearahku.
Aku berhenti berlari, juga berhenti
bergerak. Rasanya jantungku tak berdetak untuk beberapa detik. Aku teringat
do’a isengku yang diAamiinkan teman-teman tadi pagi. Atau pertanyaanku pada
Tuhan selesai shalat shubuh tadi. Inikah jawabannya?
KLIK
Oke, Git. Fokus. Tarik nafas, buang.
Control your emotion, Git. Ini cuma
imajinasi. Oke? Fokus ya, Git? Iya.
“Aaaagiiiiiiiiiiiiiiittt..” Teriak
Nganga sambil menyalamiku.
“Nganga gamau peluk Agit?” Tanyaku
dengan mata berkaca-kaca.
“Nganga kemana-mana sama Agiiit,
tapi di Semeru Nganga ditinggal sama Agiiit.. Selamat ya, Git. Akhirnya kita
sampe siniii bareng-bareng.” Ujar Nganga sambil memelukku.
“Sayang ya Nga, gak ada Imam..”
Ujarku sambil melepas pelukannya.
“Iyaaa, sedih ya.. Imam oyoy sih.
Ohiya ni, Git. Temen-temen Nganga..” Ujar Nganga meperkenalkan. Aku hanya
mengangguk sambil tersenyum.
“Ini Agit, gua kemana-mana ama dia.
Biasanya jalannya keong, minumnya banyak kaya onta, tapi tadi summit sendirian.” Iya, Nganga orangnya
emang suka ngejelek-jelekin.
“Salaman dulu dong, Git, sama Bang
Sumar” Celetuk Bang Sumar sambil mengulurkan tangan.
“Aaaaaaaa.. Makasih Bang Aten.. eh,
Sumar. Hahaha” Aku mencium tangannya. Ia sibuk mencoret-coret tulisan. Aku
teringat tulisan-tulisanku yang masuk ke dalam tasnya Bang Fadly. Dia dimana
ya?
Kemudian aku duduk dan makan biskuit
orang. Hehehe. Tak lupa juga saling mengucapkan selamat kepada teman-teman satu
timku ini. Kami duduk-duduk sambil menunggu yang lainnya. Puncak Anjani begitu
ramai, untuk foto di tiang bertuliskan 3726 mdpl dengan bendera diatasnya saja
mesti mengantri. Ayah masih mengompori orang-orang yang ada dibawah. Bang Fadly
terlihat sedang menuntun Teh Farah sambil mengalungkan sarung. Ayah menghampiri
mereka dan membawakan tas milik Teh Farah.
“Abaaaaaaaaaang.. Semangaaaat!!!”
Teriakku. Ia tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Aaaaaaaaaaaakkkk. Hahahahaha” Bang
Fadly mengangkat tubuhku, menggendongku. Kemudian memutar-mutarku ke langit dan
melemparku ke Segara Anak. Oke, ini lebay. Hahaha
Kami membuka jaket. Bang Fadly hanya
mengenakan kaos tanpa lengan sementara aku mengenakan jersey couple dengan
Saib.
Kami memutuskan turun pukul sepuluh,
atau sebelas? Aku lupa. Ayah sudah turun duluan. Aku turun bareng Saib dan Mas
Ardi.
“Itu siapa, Ib, yang di webbing?”
Tanyaku pada Saib ketika melihat sesosok wanita yang ditarik-tarik menggunakan
tali. Saib segera menghampirinya.
“Arvita, Git.” Teriak Saib kemudian.
“Ayooo, Taaa.. Semangaaat. Puncak
udah dekeeet” Teriakku menyemangati.
“Ada air, gak, Git?” Tanyanya. Oh
iya aku lupa tak mengisi ulang termosku. Aku menjawab dengan cengiran yang
artinya ‘yah.. abis, Ta’
“Apaan sih, lo, diwebbing segala.. Manja dah. Hahahaha”
Aku mengejeknya.
“Gak kuat gue, Git.” Ia mengeluh
pelan.
“Semeru kuat, Ciremai kuat. Udah
buruan sono muncak, keburu kabut. Semangat, Ta!” Ujarku seraya berpamitan.
Perjalanan turun begitu menyedihkan.
Iya, sedih. Kakiku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda rematiknya. Ditambah
lagi jarak antara aku, Saib dan Mas Ardi terlalu jauh dan kejar-kejaran terus.
Tak punya air pula. Namun aku senang melihat hari yang cerah ini, awan yang menggumpal
seperti kapas-kapas, juga panorama Segara Anak dibawah sana yang membuatku
tersenyum kecil bila melihatnya.
Aku menghela nafas panjang, kemudian
mengoceh sendiri.
Kapan lagi, ya, kesini?
Berasa deket banget sama Tuhan, daritadi semua harapan diijabah.
Baru ini muncak gak ditemenin kabut. Baru ini juga gak dihujanin. Tuhan baik
banget ya. Anjani juga baik, Agit dibolehin main sampe puncak. Anjani, makasih
jamuannya, rumahmu indah.. Kapan-kapan undang aku kesini lagi ya J
“Agiiiiiiiiiiitt.. Sarung tanganmu
terbaaaang!” Teriak Saib membuyarkan lamunanku.
“Hah? Kok bisaaaa?” Jawabku
berteriak.
“Iyaaa, lagi tak lepas, aku mau
nyalain rokok. Eh, terbang. Hehehe” Ujar Saib sambil cengengesan.
“Yaaaah, sarung tangan nemu di lab
ituuuu.” Aku panik, takut Tiwi ngomel karena sarung tangan Lab hilang. Iya,
Tiwi partner kerjaku di Lab.
“Nanti tak ganti, Git.” Ujar Saib
santai. Aku melengos.
Saib berjalan terburu-buru. Katanya
sih kebelet pup. Aku sibuk jalan dan ngoceh sendiri lagi sampai akhirnya
bertemu Mas Ardi yang sengaja menungguku. Jalannya agak bercabang dan ia
sengaja menunggu karena takut aku tersesat. Mas Ardi baik ya :’) *kedip-kedip*
Aku membuntutinya. Dari jauh sudah
kelihatan tenda warna-warni yang berdiri kokoh. Tak jarang juga kami berlari
ketika turunan. Tak lama, kami tiba di Camp Pelawangan Sembalun. Namun
sayangnya, tenda kami masih jauh.
“Git, mandi Giiiit..” Ujar Mas Bagus
melintas dihadapanku. Ia hendak mandi bersama Mas Kiki. Arek iki wes rajin, apikan, resikkan pisan. Aku menggumam dalam
hati.
“Iya, duluan Mas..” Jawabku singkat.
Sesampainya di tenda, aku segera
melepas sepatu dan membersihkan kuku-kukuku. Semua aman, belum ada tanda-tanda
akan lepas atau cantengan seperti biasanya.
“Agiiiiiiiitt.. Siniiiii..” Teriak
Nganga yang entah darimana asalnya.
“Iyaaaa, bentaaaar.” Sahutku. Aku
segera merapikan peralatanku, membersihkan badan dan mengganti pakaian. kemudian
tak lupa memakai sarung. Iya, seperti biasa, aku memang suka jalan-jalan sambil
sarungan di gunung. Aku menghampiri tenda Nganga sambil menggenggam sebotol
sari kurma.
“Nganga mau sari kurmaaa?” Tawarku.
Nganga langsung melet-melet kayak guguk.
“Jangan belepotan!” Aku
mengingatkannya dengan galak. Nganga nurut. Ia mengambil sendok dan menakar
sari kurma, kemudian meminum dan menjilati sendoknya. Nganga cengar-cengir.
“Git, ada yang mau kenalan tuh ama
lu, Git.” Ujar Nganga sambil menunjuk seseorang didalam tenda dengan sendok
bekas sari kurmanya.
“Siapa? Sini kenalan ama gua.
Hahaha” Tantangku sambil tertawa.
“Agiiiiiiiiiiiiiiiitttt..” Teriak
seseorang dari tenda lainnya.
“Siapa sih? Budi ya? Apa Bang Aten?”
Tanyaku.
“Sumar itu, Budi lagi tepar. Elu
doang ya Git yang manggil Sumar pake sebutan Aten. Hahahaha…” Ujar Nganga.
“Hehehe.. Aten ya.. Asu Tenan.”
Gumamku sambil cekikikan.
“Itu temen gua mau kenalan.” Ujar
Nganga lagi. Aku mengulurkan tangan, namun lupa namanya siapa :|
“Git, bagi aer git. Aer gua abis.” Nganga
memasang muka melas. Dan dia tau, aku paling tak bisa meninggalkan ia dengan
posisi seperti itu.
“Ambil sih, disana ada sumber air..
Tuh temen-temen gue lagi pada mandi.” Jawabku.
“Dimana, Git? Capek Giiiit..”
Sekarang Nganga mulai manja.
“Sini gue pijetin kalo capek.”
“Eh, gue juga capek Giiiiit..” Sahut
temannya Nganga yang tadi kenalan.
“Gue jugaaaaaaaaaa.” Sahut Sumar.
“Hahahaha..” Kami tertawa. Aku
menghampiri tenda Sumar, kemudian mengacak-acak logistiknya, merampas beberapa
susu cokelat, mie dan botol kosong. Ku tinggal sebentar ke tendaku, Bang Fadly
membantu menuangkan air ke botol kosong yang ku bawa. Tak lama aku kembali ke
Nganga dengan membawa dua botol yang berisi air.
“Makasih Agiiiiiit..” Ujar Nganga
dan Sumar. Budi masih tidur. Suka nggak tega kalo ngeliat Budi :’(
Ayah mulai memburu-burui kami agar
segera berkemas. Barang-barangku sudah rapi sejak tadi. Saat Mbak Niza dan Teh
Farah sibuk berkemas, aku menyempatkan diri untuk tidur sekitar setengah jam
didalam tenda. Dan ketika tenda dibongkar, aku melanjutkan tidurku diluar
sambil memeluk carrier.
Sembalun dingin dan berkabut.
Namun perjalanan ini harus tetap berlanjut...
(Bersambung kesini >>> Gagal Move On di Segara Anak :) )
ReplyDelete“Hooooy, anak mudaaaa!! Lama sekali kamu! Ayah disini dari Subuuuuuh!! Buruan, dong. Dingin nih!” Teriak sesosok Om-om yang pea, sabar dan bersahaja dari jarak lima belas meter. Oke, aku yang masih muda dan bertenaga, resmi dikalahkan oleh Om-om dengan resiko asam urat lebih tinggi. Oke.
Semangat berkata buat kalian yg menyukai ketinggian yg kudapatkan belasan tahun lalu .... Nice to summit attack :)
Makasih ayaaaah :')
Delete