Sunday, 8 September 2013

Menutup Senja di Pelawangan



Cerita sebelumnya >>> Klik disini :)



Selasa, 13 Agustus 2013

Selamat Tanggal TigaBelas :)

Pukul setengah enam pagi, aku terbangun karena dingin. Segera ku buka tenda dan meloncat keluar.

“Bang Fadliiiiiiiiiiiiiiiiii, banguuuuuuuuun.. Ayoo kita hunting sunrise” Teriakku lemah.

“Lhoooh, Bang Fadly udah bangun daritadi. Tuh diatas sana.” Sahut Mas-mas. Aku segera memakai sendal dan merapikan sarungku. Iya, aku memang paling senang jalan-jalan di gunung pakai sarung. Hehehe :D

Aku berjalan sambil beberapa kali merinding karena dingin. Sebenarnya udara sudah mulai menghangat karena matahari, namun angin gunung masih saja membuat bulu kuduk berdiri.

“Abang jahat, ndak bangunkan Agit..” Teriakku ketika menemukan sesosok pria berotot diatas bukit.

“Agit diem disitu, Git. Abang foto ni ya.” Ujar Bang Fadly. Aku yang masih setengah mengantuk dan kedinginan hanya diam dan menurutinya.


“Kok Agit udah bangun?” Tanyanya sambil sibuk membidik.

“Udah.. Kedinginan. Hehe” Jawabku sambil cengar-cengir dan memasang pose dua jari.

“Agit tau darimana kalo Abang disini?” Tanyanya lagi.

“Dikasih tau mas itu.. lupa mas siapa.”

“Untung Agit kesini..” Ujarnya.

“Loh, emang kenapa?” Tanyaku bingung.

“Daritadi abang foto sunrise doang, gak ada yang fotoin abang. Sini, Git.. Fotoin gantian!” Gubrak -_-

Bang Fadly menyerahkan kamera Canonnya padaku. Tanganku gemetar memegangya. Bukan, bukan karena aku tak pernah memegang Kamera dSLR, namun tanganku gemetar karena dingin. Tak adakah yang mau menghangatkanku? *sodorin kompor*

Selesai foto-foto sunrise, kami kembali ke tenda dan ikut mengganggu yang sedang masak-masak.

“Agit, masak git..” Ujar Saib.

“Mana, sinii.. mau diapain?” Tantangku sambil cengar-cengir. Namun tetap saja aku tak diberi kesempatan untuk menunjukkan bakatku. Aku hanya kebagian menuang meses di pancake, nyemplungin kerupuk ke minyak sama motongin apa gitu, lupa.

Sarapan pagi ini begitu sehat dan mengenyangkan :)



Tak lama kami packing dan berdoa bersama untuk melanjutkan perjalanan. Yel-yel kami telah berubah menjadi “Rinjaniiii.. Aselole Icik-icik Eheeeeeemm!!”

Mas Bagus jalan paling depan, kemudian aku, Mas Ewok dan Saib. Selanjutnya aku tak ingat siapa yang dibelakang. Memang tak baik kalau sering ingat-ingat yang di belakang. Ayo Move On! #Lhooooooh?!! Ini apa sih??  *digetok trekking pole*

Treknya sudah mulai menanjak, padang savana pun telah berubah menjadi bukit batu dan pasir. Batuk-batukku kambuh. Nafasku megap-megap, namun aku harus terus melanjutkan perjalanan yang telah menghabiskan banyak uang ini hingga titik darah penghabisan! Harus! #abaikan

Entah kekuatan macam apa yang mendorongku, aku berjalan cukup cepat. Mengekor pada Saib atau Mas Ardi secara bergantian. Intinya, aku hanya mengikuti orang-orang yang membawa minuman. Hehehehe. Berkali-kali ku temukan Mas Bagus beristirahat hingga tertidur karena terlalu lama menunggu kami.

“Mimik, ta, Git?” Tawar Mas Bagus kepadaku.

“Air apa ini, Mas?” Tanyaku bingung melihat air yang disodorkannya berwarna keruh. Beda dengan air yang ku minta kemarin, padahal botolnya sama.

“Air madu..” Jawabnya kalem. Aku meminumnya seteguk.

“Agit suka air manis..” Gumamku pelan, nyaris tak terdengar.

“Udah, Mas.. Makasih..” Aku menyerahkan botol minumnya. Kemudian menunggu yang lainnya datang dan beristirahat sejenak.

Selama enam bukit penyiksaan dan satu bukit penyesalan, aku berjalan diantara Mas Ardi dan Saib, sementara Mas Bagus jauh di depan dan yang lainnya jauh di belakang. Entah faktor makanan atau faktor apa yang membuatku tak merasa lelah sama sekali. Paling hanya kehausan, minum seteguk, lalu jalan lagi satu bukit. Begitu seterusnya.

Aku bertukar cerita dengan Mas Ardi tentang kuliah dan gunung. Juga bercerita tentang Ibunya yang melarang ia naik gunung, sementara aku, Ayahku lah yang tak setuju dengan dunia pergunungan ini. Sempat juga ia bercerita tentang mengapa ia muntah kemarin sore. Sampai akhirnya jarum jam telah menunjuk angka dua belas, dan alarm di perutku sudah mulai berdering.

“Ngeliiiiiiiiiihhh..” Teriakku.

“Ngelih iku opo?” Tanya Saib atau Mas Ardi ya? Lupa.

“Luweee..” Jawabku lemas. Sambil terseok-seok menapaki bukit dengan memegangi perut.

Pada istirahat ke sekian, Mas Ardi menyodorkanku biskuit kelapa. Aku memakannya berselang-seling dengan minum, biar cepet kenyang. Rombongan yang paling belakang akhirnya menghampiri kami dan meminta break.

“Agiiiit, aku tuker tas boleeeh?” Tanya Teh Farah lembut.

“Oh, boleh..” Aku melepaskan tas milik mas Yuli, kemudian mencoba menyesuaikan carrier milik Teh Farah dengan badanku. Namun berkali-kali talinya lepas dan melorot.

“Yah, Teh, melorot.. Gimana ya?” Tanyaku bingung.

“Pake punyaku po? Aku yang bawa keril Farah, Agit bawa kerilku. Coba enteng mana?” Ujar Paklek Andi. Aku manut. Segera ku sesuaikan settingan carriernya dengan badanku. Ah, rasanya surga sekali pakai deuter *evil smile*

“Mau seberat apapun kalo settingannya pas di pinggang mah enak, Pak..” Jawabku sambil melesat pergi, melanjutkan trekking sambil mengejar Mas Bagus. Mas Ardi mengikutiku dari belakang. Saib masih sibuk rokokan dan telfonan.

“Abang, Agit duluaaaan!” Teriakku pada BF setelah mengenyot air dari selang waterbagnya.

“Mau kemana sih, Git? Santai aja, sih..” Ujar BF, aku nyengir.

Menurut cerita teman-teman, banyak sekali yang frustasi bahkan menangis ketika melintasi tujuh bukit ini. Aku sudah mempersiapkan diri bila harus menangis. Namun tak ada satu tetes pun air mata yang menitik di pelupuk mataku. Mas Galih menyebut bukit ini sebagai tujuh bukit minta balik. Kenapa minta balik? Iya, selama menaikinya, bikin kita semua pengen pulang, minta balik. Hahaha. Aku terus melangkah dan melangkah. Sambil makan biskuit dan minta minum orang. Sampai akhirnya aku dan Mas Ardi tiba di Pelawangan Sembalun dan menemukan Mas Bagus yang sedang tertidur (lagi).

“Udah berapa jam, mas, disini?” Tanyaku iseng.

“Udah satu jam-an.”Jawabnya kalem.

“Mau, Mas, air manisnya..” Tanpa babibu ia segera menyerahkan botol minumnya. Mas Ardi entah kemana.

“Udah Mas.. Makasih yaaa..” Ia meraih botol dari genggamanku. Kemudian mengeluarkan kameranya.

“Heuheu.. Mas Apik..” Gumamku pelan sambil tertawa sendiri.

“He? Siapa?” Sahutnya. Ternyata ia mendengar ocehanku. Padahal aku sedang ber-monolog K

“Eh.. Itu.. Mas Bagus orangnya apikan.” Jawabku ngasal dan.. ehm.. salah tingkah.

“Maksudnya gimana?” Ia menatapku dengan satu alisnya terangkat, namun kedua tangannya masih mengutak-atik kamera.

“Mas orangnya Bagus, sama kayak namanya.. Bagus.. Apik.” Jelasku sambil melahap biskuit yang sudah tidak jelas bentuknya.

“Aku manggilnya Mas Apik aja ya?” Sambungku kemudian. Ia hanya tersenyum tipis.

Angin Pelawangan Sembalun sangat dingin, juga kencang. Kabut pun telah turun seolah-olah menyamarkan kegersangan di hatiku. #eaaaak . Tak lama rombongan kami yang lainnya sampai dan mulai berfoto-foto ria.




“Tetanggaku ada lho, Git, yang mirip kamu.. Persis.” Ujar Paklek Andi.

“Iyo ta? Mukaku emang pasaran, sih.” Jawabku merendah.

“Iyaa.. Mantannya Mas Bagus. Iyo ta, Gus? Dek Agit mirip Dek Kurin ya?” Paklek mancing-mancing. Mas Bagus cengar-cengir. Aku manyun.

Aku tak bisa diam lebih lama, karena badanku pasti akan kedinginan. Akhirnya aku mengikuti porter ke tempat dimana tenda telah didirikan.

Aku segera melepas sepatuku, menunaikan shalat di dalam tenda kemudian menjadi tim rusuh masak-masak. Aku dan Saib menyeduh susu, kopi dan cokelat. Cokelat panasnya enaaaaaaaaak, sayang cuma bawa dikit :’( Sore ini kami memasak bakso, tumis kacang plus sosis, tempe goreng, nutrijel, dan bihun. 

“Om Puluuuuuuunng..” Teriak Mbak Niza ketika melihat sesosok Om-om dengan wajah segar dan tubuh yang masih terlihat muda.

“Oh, ini yang namanya Om Pulung.” Batinku. Aku mengulurkan tangan.

“Agit, Yah..” Selama ini aku hanya mengenal Om Pulung dari twitter dan aplikasi chat saja. Kadang aku memanggilnya Om Pulung, tak jarang juga ku sapa dengan sebutan Ayah Riffat.

“Oh.. Gaga mana? Belum sampe?”Tanyanya kemudian.

“Belum, Yah.. Baru start pagi ini kan dia?”

“Iya, tadi dia jalan duluan, tapi kok nyampenya duluan gua yak?” Tak heran sudah, Ayah Riffat memang ‘suhu’ di dunia pergunungan.

“Gatau, Om.. Sini lho Om maem dulu..” Ajak Mbak Niza.

“Iya, Om.. Ngopi-ngopi duluu..” Sahut Mas-mas lainnya. Saib segera membuatkan kopi dan teh untuk Ayah. Terserah Ayah mau pilih yang mana.

“Gua gak bisa minum panas-panas.” Tolaknya seraya menyalakan sebatang rokok. Namun tetap saja ketika gelasnya sudah mulai dingin, ia meminumnya.

Tak lama porter dan teman-teman Ayah melintas. Ayah berpamitan dan segera menyusul teman-temannya.

“Tuh, Git.. Pisang Git..” Kata Mas-mas sambil menunjuk pisang yang dibawa oleh porter Ayah.

“Ayaaaahh.. Mauuu pisangnyaaaa..” Teriakku dengan mata berbinar. Ayah memberiku isyarat yang dapat kuartikan seperti ini, ‘iya, nanti ya.’

Aku melanjutkan masak-masakku. Sambil sesekali menjilati bumbu racik tempe. Bumbu racik tempe ini enak ya?

Tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkk!!!!!” Teriakku sambil hendak menggigit lengan yang melingkar di leherku. Lengan yang begitu hitam dan gosong. Lengan yang sangat aku kenal.

“Ngangaaaaa!!” Aku memutar balik badanku. Kemudian mengeplaknya.

“Hahahahaha..” Kami tertawa bersamaan.

“Apaan sih lo peluk-peluk gue?” Tanyaku risih, merasa tak enak dengan Mas-mas Surabaya ini.

“Abis dari sekian banyak orang disini, cuma lo doang yang gue kenaaaal.” Jawabnya sambil cengar-cengir.

“Gaga, jago lu Ga..” Ledekku kemudian. Iya, ini Gaga atau Nganga, yang bisasanya sering nongol di catper-catper sebelumnya--- dan untuk catper Rinjani ini dia mengancam agar menulis namanya juga. Dia berhasil melangkah dari pos pendakian Sembalun hingga Pelawangan Sembalun selama kurang lebih delapan jam. Ya, Nganga sengaja ngebut agar lebih cepat bertemu denganku, biar cerita tentang Nganga di catper ini lebih banyak. Ya kan, Nga? Ngaku lo! *dikeplak*

“Temen-temen gua masih di bawah semua, Git. Ngebut gua di tujuh bukit itu.” Ujar Gaga, sombong.

“Jago lu Ga, jagooooooooooo..Hahaha” Ledekku lagi.

“Lu kata gua ayam, JAGO!”

“Budi sama Aten belum nyampe juga, Nga?” Tanyaku kemudian. Budi pernah diceritakan (disini) sementara Bang Aten atau Sumar pertama kali kutemui di Terminal Kampung Rambutan saat aku akan berangkat ke Cibodas sementara ia ke Slamet, ia temannya Nganga yang sering PHP kalo naek gunung.

“Belum.. Gimana tujuh bukit? Mantep ya? Cikuray tuh!” Ujar Gaga lagi, sombong.

“Agit ngebut, Nga. Jalan paling depan dia.” Celetuk Bang Fadly.

“Iya? Masa? Agit kan keong!” Gaga tak percaya. Aku cengar-cengir saja.

“Gatau, Nga.. gue juga bingung.” Jawabku kalem.

Ada yang gue kejar kali, Nga.. Makanya gue semangat.” Sambungku dalam hati.

“Nih, Nga.. Minum dulu.” Aku menyodorkan minuman hangat.

“Om Pulung jago luh. Bete gua ama dia. Udah gua yang start duluan, di pos satu disalip. Ya gua salip lagi pas dia lagi makan. Eh pas di tujuh bukit, jalannya ngebut banget dia. Mana kerjaannya ngecengin mulu dari atas. Temen-temen gua aja pada kesel. Hahahaha” Nganga curhat.

“Udah tau dia mah bukan pendaki, di gunung aja dia lari, Nga.. Besok abis turun Rinjani malah ikutan trail running katanya.” Ujar Mbak Niza.

“Buset dah.” Sahutku dan Nganga berbarengan.

“Bagi lapak dong buat gua.” Ujar Nganga sambil mondar-mandir.

“Paling satu doang, Nga. Mana tendanya?” Sahutku sambil menunjuk lapak kosong.

“Masih dibawah. Hehe.”

“Ya ampun Keeen.. Gak nyangka ih bisa ketemu Ken disini.” Ujar Teh Farah tiba-tiba. Nganga salting. Iya, Nganga baru bisa salting kalo disapa cewek cakep. Kalo ketemunya cewek macam aku biasanya kalo nggak njitak ya ngeplak. Baru tadi aja tuh sok-sokan meluk-meluk.

“Eh.. Iyaa.. Farah. Gimana tadi? Kuat?” Nganga cengar-cengir. Aku cekikikan.

“Kuat dooong.. Ayo Ken, foto-fotooo.” Ajak Teh Farah sambil mengutak-atik camdig nya.

Kuah bakso sudah mulai mendidih, gumpalan-gumpalan bakso pun telah menggenang dibagian atas. Aroma harum ciri khas bakso menyeruak di hidung kami. Glek. Aku menelan ludah. Tempe goreng pun telah matang, kepulan uapnya memanggil-manggil kami untuk segera mencicipinya. Aku dan Saib berebutan mencomot tempe goreng.

“Agit lhooo, nakaaal.” Gerutu Saib. Aku nyengir.

“Eh, dibikin itu nutrijel nyaaa.” Seru mbak Niza mengingatkan. Aku dan Saib mengubek-ubek kantong plastik berisi logistik, hendak mencari agar-agar cokelat. Kami akan membuat pudding cokelat beserta fla-nya. Hmmmm. Nyam nyam..

“Kok yang rasa cokelat nggak ada ya?” Tanyaku.

“Iya, perasaan tadi lihat.” Jawab Saib.

“Seadanya aja wes, buat dessert.” Ujar Mbak Niza. Aku segera menuang bungkusan agar-agar rasa stroberi kedalam wadah berisi air, kemudian mengaduknya hingga rata.

“Mas, gula mas.. Tolong.” Pintaku pada Mas Bagus.

“Gak usah dikasih gula udah manis bukan?” Tanyanya kemudian.

“Hah? Bukannya pake gula ya?” Gumamku sambil membolak-balik kemasannya, mencari petunjuk pembuatan.

“Iya, pakek!” Seru Mbak Niza. Kemudian Mas Bagus segera mengulurkan bungkusan gula kepadaku.

“Jangan banyak-banyak lho, ya, nanti kemanisan. Apalagi kalo sambil ngeliatin aku.” Ujarnya. Eh? Jadi daritadi ketauan kalo aku ngeliatin ya? Aku mesem-mesem kemudian menuang gula secara perlahan, mengaduknya dan mencicipinya.

“Agit iki lho, senengane icip-icip ae ketmau. Opo ae didilati” Gerutu Saib lagi. (Agit ini lho, sukanya nyicipin terus daritadi. Apa aja dijilatin). Aku nyengir. Kemudian menuang gula lagi, juga dengan sengaja ku tambahkan susu. Lalu ku cicipi lagi. Begitu terus berulang-ulang.
“Ayoooo.. Maem duluuuu.. Dah mataaaaang.” Ujar Mbak Niza. Bang Fadly mengambil makan untuk porsi tiga orang dalam satu nesting. Aku makan dengannya lagi.
 

“Gaa.. Makan dulu, Ga..” Ajakku. Selama ini aku selalu makan dengannya jika di gunung. Hiks :’(

“Nanti aja, Git. Gua nungguin temen-temen gua dulu.” Ujar Nganga sambil melesat pergi.

“Eh, sisain buat Om Pulung lhoo.. Harus maem disini dia.” Seru Mas Galih. Kemudian salah satu diantara kami mengambilkan satu porsi untuk Ayah.

“Kapan lagi, Bang.. Mbakso di gunung.” Gumamku pada BF.

“Iya, ya.. Git. Lahap bener ini Abang makannya.” Ujar BF sambil terus mengunyah. Aku makan tak cukup banyak sore itu. Perutku sudah terasa mulas.

“Bang, Agit mulas. Hehehe..”

“Iya, nanti Abang antar. Sekarang makan dulu.”

“Tapi nanti kalo udah dibuang, Agit pasti lapar lagi, Bang”

“Yaudah nanti makan lagi.”

“Faraaaaaaaaaaah, ini lhooo maem duluuuu.” Teriak Mbak Niza tiba-tiba.

“Iyaaaaaaa..” Teriak Teh Farah dari kejauhan.

“Nanti aja foto-fotonyaaaaaaaaa..” Ujar Mbak Niza lagi. Sudahlah Mbak, biarkan dia asik dengan dunianya sendiri. Hahaha. Tiba-tiba Om Pulung datang lagi dan kami makan bersama.

Hari semakin gelap, senja mulai menghiasi langit Pelawangan Sembalun. Kami menutup hari dengan berbagi keceriaan.




“Aku bersih-bersih dulu ya, Mas Apiiiiik..” Godaku pada Mas Bagus ketika melintas di hadapannya. Kemudian segera berlari ke tendaku untuk menyamarkan rona merah di pipi.

“Iyaaa.. Dek Kuriiiin..” Jawabnya sambil menggodaku. Oke, ini jawaban yang sangat tidak menyenangkan. Aku melengos.

“Lhooooo.. Kaaaan.. Keinget mantan kan.. Ihiiirrrr.” Sahut Mas Ewok dan Paklek Andi bergantian. Oh, jadi hanya karena aku mirip mantannya, oh..

Selesai bersih-bersih, berganti pakaian dan menunaikan ibadah shalat Maghrib, kami duduk-duduk di luar tenda sambil melingkar di api unggun. Saling berebut agar-agar dan pisang bakar. Mulasku semakin menjadi-jadi.

“Bang, antarkan..” Ujarku pelan sambil menenteng sarung dan payung.

“Yuk.” Bang Fadly beranjak dari duduknya, aku mengikutinya.

“Disitu aja ya?” Tawarnya, aku mengangguk.

*sensor*

*sensor*

*sensor terus sampe lima menit*

“Agiiiiiiiiiit, BAUUUUUUUUUUU!!!” Teriak BF.

“Hahahahaha.. Siapa suruh dekat-dekat. Sana! Yang jauh berdirinya!!!” Usirku.

Setelah urusan buang hajat selesai, baru beberapa kali melangkah aku sudah mengeluh, “Abang.. agit dah lapar lagi..” Kemudian dijitak BF.

Kami bercerita-cerita. Ternyata Mas-mas Surabaya ini sudah kenal dengan Ayah. Mereka pernah dipertemukan di Semeru. Ah, Semeru. Kau benar-benar menyatukan semua orang. Walaupun banyak cinta yang berujung kandas setelah pulang dari sana.

Aku menyempatkan diri berkunjung ke tenda Nganga. Nga, gak kangen setenda sama Agit? :D
Terlihat Bang Sumar dan Budi sedang sibuk merapikan barang-barangnya. Tak lama aku kembali dan melanjutkan sesi pengakraban diri dengan tim-ku. Ayah dan Mas Galih sebagai pembicara utamanya. Pikiranku tak fokus lagi. Aku hanya mengamati api dan berimajinasi sendiri. Sampai aku tak ingat apa-apa lagi.



(Bersambung kesini >>> Menebus Janji Dewi Anjani :) )

3 comments:

  1. Hehehe...salam kenal Dek Agit .... Sungkem buat suhu-suhu pendaki :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...