Cerita sebelumnya >>> Klik disini :)
Selasa, 13 Agustus 2013
Selamat Tanggal TigaBelas :)
Pukul setengah enam pagi, aku
terbangun karena dingin. Segera ku buka tenda dan meloncat keluar.
“Bang Fadliiiiiiiiiiiiiiiiii,
banguuuuuuuuun.. Ayoo kita hunting sunrise”
Teriakku lemah.
“Lhoooh, Bang Fadly udah bangun
daritadi. Tuh diatas sana.” Sahut Mas-mas. Aku segera memakai sendal dan
merapikan sarungku. Iya, aku memang paling senang jalan-jalan di gunung pakai
sarung. Hehehe :D
Aku berjalan sambil beberapa kali
merinding karena dingin. Sebenarnya udara sudah mulai menghangat karena
matahari, namun angin gunung masih saja membuat bulu kuduk berdiri.
“Abang jahat, ndak bangunkan Agit..” Teriakku ketika menemukan sesosok pria berotot
diatas bukit.
“Agit diem disitu, Git. Abang foto
ni ya.” Ujar Bang Fadly. Aku yang masih setengah mengantuk dan kedinginan hanya
diam dan menurutinya.
“Kok Agit udah bangun?” Tanyanya
sambil sibuk membidik.
“Udah.. Kedinginan. Hehe” Jawabku
sambil cengar-cengir dan memasang pose dua jari.
“Agit tau darimana kalo Abang
disini?” Tanyanya lagi.
“Dikasih tau mas itu.. lupa mas
siapa.”
“Untung Agit kesini..” Ujarnya.
“Loh, emang kenapa?” Tanyaku
bingung.
“Daritadi abang foto sunrise doang,
gak ada yang fotoin abang. Sini, Git.. Fotoin gantian!” Gubrak -_-
Bang Fadly menyerahkan kamera
Canonnya padaku. Tanganku gemetar memegangya. Bukan, bukan karena aku tak
pernah memegang Kamera dSLR, namun tanganku gemetar karena dingin. Tak adakah
yang mau menghangatkanku? *sodorin kompor*
Selesai foto-foto sunrise, kami
kembali ke tenda dan ikut mengganggu yang sedang masak-masak.
“Agit, masak git..” Ujar Saib.
“Mana, sinii.. mau diapain?”
Tantangku sambil cengar-cengir. Namun tetap saja aku tak diberi kesempatan
untuk menunjukkan bakatku. Aku hanya kebagian menuang meses di pancake,
nyemplungin kerupuk ke minyak sama motongin apa gitu, lupa.
Sarapan pagi ini begitu sehat dan
mengenyangkan :)
Tak lama kami packing dan berdoa bersama untuk melanjutkan perjalanan. Yel-yel
kami telah berubah menjadi “Rinjaniiii.. Aselole Icik-icik Eheeeeeemm!!”
Mas Bagus jalan paling depan,
kemudian aku, Mas Ewok dan Saib. Selanjutnya aku tak ingat siapa yang
dibelakang. Memang tak baik kalau sering ingat-ingat yang di belakang. Ayo Move
On! #Lhooooooh?!! Ini apa sih?? *digetok
trekking pole*
Treknya sudah mulai menanjak, padang
savana pun telah berubah menjadi bukit batu dan pasir. Batuk-batukku kambuh.
Nafasku megap-megap, namun aku harus terus melanjutkan perjalanan yang telah
menghabiskan banyak uang ini hingga titik darah penghabisan! Harus! #abaikan
Entah kekuatan macam apa yang
mendorongku, aku berjalan cukup cepat. Mengekor pada Saib atau Mas Ardi secara
bergantian. Intinya, aku hanya mengikuti orang-orang yang membawa minuman.
Hehehehe. Berkali-kali ku temukan Mas Bagus beristirahat hingga tertidur karena
terlalu lama menunggu kami.
“Mimik, ta, Git?” Tawar Mas Bagus
kepadaku.
“Air apa ini, Mas?” Tanyaku bingung
melihat air yang disodorkannya berwarna keruh. Beda dengan air yang ku minta
kemarin, padahal botolnya sama.
“Air madu..” Jawabnya kalem. Aku
meminumnya seteguk.
“Agit suka air manis..” Gumamku
pelan, nyaris tak terdengar.
“Udah, Mas.. Makasih..” Aku
menyerahkan botol minumnya. Kemudian menunggu yang lainnya datang dan
beristirahat sejenak.
Selama enam bukit penyiksaan dan
satu bukit penyesalan, aku berjalan diantara Mas Ardi dan Saib, sementara Mas
Bagus jauh di depan dan yang lainnya jauh di belakang. Entah faktor makanan
atau faktor apa yang membuatku tak merasa lelah sama sekali. Paling hanya
kehausan, minum seteguk, lalu jalan lagi satu bukit. Begitu seterusnya.
Aku bertukar cerita dengan Mas Ardi
tentang kuliah dan gunung. Juga bercerita tentang Ibunya yang melarang ia naik
gunung, sementara aku, Ayahku lah yang tak setuju dengan dunia pergunungan ini.
Sempat juga ia bercerita tentang mengapa ia muntah kemarin sore. Sampai
akhirnya jarum jam telah menunjuk angka dua belas, dan alarm di perutku sudah
mulai berdering.
“Ngeliiiiiiiiiihhh..” Teriakku.
“Ngelih iku opo?” Tanya Saib atau
Mas Ardi ya? Lupa.
“Luweee..” Jawabku lemas. Sambil
terseok-seok menapaki bukit dengan memegangi perut.
Pada istirahat ke sekian, Mas Ardi
menyodorkanku biskuit kelapa. Aku memakannya berselang-seling dengan minum,
biar cepet kenyang. Rombongan yang paling belakang akhirnya menghampiri kami
dan meminta break.
“Agiiiit, aku tuker tas boleeeh?”
Tanya Teh Farah lembut.
“Oh, boleh..” Aku melepaskan tas
milik mas Yuli, kemudian mencoba menyesuaikan carrier milik Teh Farah dengan
badanku. Namun berkali-kali talinya lepas dan melorot.
“Yah, Teh, melorot.. Gimana ya?”
Tanyaku bingung.
“Pake punyaku po? Aku yang bawa
keril Farah, Agit bawa kerilku. Coba enteng mana?” Ujar Paklek Andi. Aku manut.
Segera ku sesuaikan settingan carriernya dengan badanku. Ah, rasanya surga
sekali pakai deuter *evil smile*
“Mau seberat apapun kalo
settingannya pas di pinggang mah enak, Pak..” Jawabku sambil melesat pergi,
melanjutkan trekking sambil mengejar Mas Bagus. Mas Ardi mengikutiku dari
belakang. Saib masih sibuk rokokan dan telfonan.
“Abang, Agit duluaaaan!” Teriakku
pada BF setelah mengenyot air dari selang waterbagnya.
“Mau kemana sih, Git? Santai aja,
sih..” Ujar BF, aku nyengir.
Menurut cerita teman-teman, banyak sekali
yang frustasi bahkan menangis ketika melintasi tujuh bukit ini. Aku sudah
mempersiapkan diri bila harus menangis. Namun tak ada satu tetes pun air mata
yang menitik di pelupuk mataku. Mas Galih menyebut bukit ini sebagai tujuh bukit minta balik. Kenapa minta
balik? Iya, selama menaikinya, bikin kita semua pengen pulang, minta balik.
Hahaha. Aku terus melangkah dan melangkah. Sambil makan biskuit dan minta minum
orang. Sampai akhirnya aku dan Mas Ardi tiba di Pelawangan Sembalun dan menemukan
Mas Bagus yang sedang tertidur (lagi).
“Udah berapa jam, mas, disini?”
Tanyaku iseng.
“Udah satu jam-an.”Jawabnya kalem.
“Mau, Mas, air manisnya..” Tanpa
babibu ia segera menyerahkan botol minumnya. Mas Ardi entah kemana.
“Udah Mas.. Makasih yaaa..” Ia
meraih botol dari genggamanku. Kemudian mengeluarkan kameranya.
“Heuheu.. Mas Apik..” Gumamku pelan
sambil tertawa sendiri.
“He? Siapa?” Sahutnya. Ternyata ia
mendengar ocehanku. Padahal aku sedang ber-monolog K
“Eh.. Itu.. Mas Bagus orangnya apikan.” Jawabku ngasal dan.. ehm..
salah tingkah.
“Maksudnya gimana?” Ia menatapku
dengan satu alisnya terangkat, namun kedua tangannya masih mengutak-atik
kamera.
“Mas orangnya Bagus, sama kayak
namanya.. Bagus.. Apik.” Jelasku sambil melahap biskuit yang sudah tidak jelas
bentuknya.
“Aku manggilnya Mas Apik aja ya?”
Sambungku kemudian. Ia hanya tersenyum tipis.
Angin Pelawangan Sembalun sangat
dingin, juga kencang. Kabut pun telah turun seolah-olah menyamarkan kegersangan
di hatiku. #eaaaak . Tak lama rombongan kami yang lainnya sampai dan mulai
berfoto-foto ria.
“Tetanggaku ada lho, Git, yang mirip
kamu.. Persis.” Ujar Paklek Andi.
“Iyo ta? Mukaku emang pasaran, sih.”
Jawabku merendah.
“Iyaa.. Mantannya Mas Bagus. Iyo ta,
Gus? Dek Agit mirip Dek Kurin ya?” Paklek mancing-mancing. Mas Bagus
cengar-cengir. Aku manyun.
Aku tak bisa diam lebih lama, karena
badanku pasti akan kedinginan. Akhirnya aku mengikuti porter ke tempat dimana
tenda telah didirikan.
Aku segera melepas sepatuku,
menunaikan shalat di dalam tenda kemudian menjadi tim rusuh masak-masak. Aku
dan Saib menyeduh susu, kopi dan cokelat. Cokelat panasnya enaaaaaaaaak, sayang
cuma bawa dikit :’( Sore ini kami memasak bakso, tumis kacang plus sosis, tempe
goreng, nutrijel, dan bihun.
“Om Puluuuuuuunng..” Teriak Mbak
Niza ketika melihat sesosok Om-om dengan wajah segar dan tubuh yang masih
terlihat muda.
“Oh, ini yang namanya Om Pulung.”
Batinku. Aku mengulurkan tangan.
“Agit, Yah..” Selama ini aku hanya
mengenal Om Pulung dari twitter dan aplikasi chat saja. Kadang aku memanggilnya
Om Pulung, tak jarang juga ku sapa dengan sebutan Ayah Riffat.
“Oh.. Gaga mana? Belum
sampe?”Tanyanya kemudian.
“Belum, Yah.. Baru start pagi ini
kan dia?”
“Iya, tadi dia jalan duluan, tapi
kok nyampenya duluan gua yak?” Tak heran sudah, Ayah Riffat memang ‘suhu’ di
dunia pergunungan.
“Gatau, Om.. Sini lho Om maem
dulu..” Ajak Mbak Niza.
“Iya, Om.. Ngopi-ngopi duluu..”
Sahut Mas-mas lainnya. Saib segera membuatkan kopi dan teh untuk Ayah. Terserah
Ayah mau pilih yang mana.
“Gua gak bisa minum panas-panas.”
Tolaknya seraya menyalakan sebatang rokok. Namun tetap saja ketika gelasnya
sudah mulai dingin, ia meminumnya.
Tak lama porter dan teman-teman Ayah
melintas. Ayah berpamitan dan segera menyusul teman-temannya.
“Tuh, Git.. Pisang Git..” Kata
Mas-mas sambil menunjuk pisang yang dibawa oleh porter Ayah.
“Ayaaaahh.. Mauuu pisangnyaaaa..”
Teriakku dengan mata berbinar. Ayah memberiku isyarat yang dapat kuartikan
seperti ini, ‘iya, nanti ya.’
Aku melanjutkan masak-masakku. Sambil
sesekali menjilati bumbu racik tempe. Bumbu racik tempe ini enak ya?
Tiba-tiba ada yang memelukku dari
belakang.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkk!!!!!”
Teriakku sambil hendak menggigit lengan yang melingkar di leherku. Lengan yang
begitu hitam dan gosong. Lengan yang sangat aku kenal.
“Ngangaaaaa!!” Aku memutar balik
badanku. Kemudian mengeplaknya.
“Hahahahaha..” Kami tertawa
bersamaan.
“Apaan sih lo peluk-peluk gue?”
Tanyaku risih, merasa tak enak dengan Mas-mas Surabaya ini.
“Abis dari sekian banyak orang
disini, cuma lo doang yang gue kenaaaal.” Jawabnya sambil cengar-cengir.
“Gaga, jago lu Ga..” Ledekku
kemudian. Iya, ini Gaga atau Nganga, yang bisasanya sering nongol di
catper-catper sebelumnya--- dan untuk catper Rinjani ini dia mengancam agar
menulis namanya juga. Dia berhasil melangkah dari pos pendakian Sembalun hingga
Pelawangan Sembalun selama kurang lebih delapan jam. Ya, Nganga sengaja ngebut
agar lebih cepat bertemu denganku, biar cerita tentang Nganga di catper ini
lebih banyak. Ya kan, Nga? Ngaku lo! *dikeplak*
“Temen-temen gua masih di bawah
semua, Git. Ngebut gua di tujuh bukit itu.” Ujar Gaga, sombong.
“Jago lu Ga, jagooooooooooo..Hahaha”
Ledekku lagi.
“Lu kata gua ayam, JAGO!”
“Budi sama Aten belum nyampe juga, Nga?”
Tanyaku kemudian. Budi pernah diceritakan (disini) sementara Bang Aten atau
Sumar pertama kali kutemui di Terminal Kampung Rambutan saat aku akan berangkat ke Cibodas sementara ia ke Slamet, ia temannya Nganga yang sering PHP kalo naek gunung.
“Belum.. Gimana tujuh bukit? Mantep
ya? Cikuray tuh!” Ujar Gaga lagi, sombong.
“Agit ngebut, Nga. Jalan paling
depan dia.” Celetuk Bang Fadly.
“Iya? Masa? Agit kan keong!” Gaga
tak percaya. Aku cengar-cengir saja.
“Gatau, Nga.. gue juga bingung.”
Jawabku kalem.
“Ada
yang gue kejar kali, Nga.. Makanya gue semangat.” Sambungku dalam hati.
“Nih, Nga.. Minum dulu.” Aku
menyodorkan minuman hangat.
“Om Pulung jago luh. Bete gua ama
dia. Udah gua yang start duluan, di pos satu disalip. Ya gua salip lagi pas dia
lagi makan. Eh pas di tujuh bukit, jalannya ngebut banget dia. Mana kerjaannya
ngecengin mulu dari atas. Temen-temen gua aja pada kesel. Hahahaha” Nganga
curhat.
“Udah tau dia mah bukan pendaki, di
gunung aja dia lari, Nga.. Besok abis turun Rinjani malah ikutan trail running katanya.” Ujar Mbak Niza.
“Buset dah.” Sahutku dan Nganga
berbarengan.
“Bagi lapak dong buat gua.” Ujar
Nganga sambil mondar-mandir.
“Paling satu doang, Nga. Mana
tendanya?” Sahutku sambil menunjuk lapak kosong.
“Masih dibawah. Hehe.”
“Ya ampun Keeen.. Gak nyangka ih
bisa ketemu Ken disini.” Ujar Teh Farah tiba-tiba. Nganga salting. Iya, Nganga
baru bisa salting kalo disapa cewek cakep. Kalo ketemunya cewek macam aku
biasanya kalo nggak njitak ya ngeplak. Baru tadi aja tuh sok-sokan
meluk-meluk.
“Eh.. Iyaa.. Farah. Gimana tadi?
Kuat?” Nganga cengar-cengir. Aku cekikikan.
“Kuat dooong.. Ayo Ken,
foto-fotooo.” Ajak Teh Farah sambil mengutak-atik camdig nya.
Kuah bakso sudah mulai mendidih,
gumpalan-gumpalan bakso pun telah menggenang dibagian atas. Aroma harum ciri
khas bakso menyeruak di hidung kami. Glek. Aku menelan ludah. Tempe goreng pun
telah matang, kepulan uapnya memanggil-manggil kami untuk segera mencicipinya.
Aku dan Saib berebutan mencomot tempe goreng.
“Agit lhooo, nakaaal.” Gerutu Saib.
Aku nyengir.
“Eh, dibikin itu nutrijel nyaaa.”
Seru mbak Niza mengingatkan. Aku dan Saib mengubek-ubek kantong plastik berisi
logistik, hendak mencari agar-agar cokelat. Kami akan membuat pudding cokelat
beserta fla-nya. Hmmmm. Nyam nyam..
“Kok yang rasa cokelat nggak ada
ya?” Tanyaku.
“Iya, perasaan tadi lihat.” Jawab
Saib.
“Seadanya aja wes, buat dessert.” Ujar Mbak Niza. Aku segera
menuang bungkusan agar-agar rasa stroberi kedalam wadah berisi air, kemudian
mengaduknya hingga rata.
“Mas, gula mas.. Tolong.” Pintaku
pada Mas Bagus.
“Gak usah dikasih gula udah manis
bukan?” Tanyanya kemudian.
“Hah? Bukannya pake gula ya?”
Gumamku sambil membolak-balik kemasannya, mencari petunjuk pembuatan.
“Iya, pakek!” Seru Mbak Niza. Kemudian
Mas Bagus segera mengulurkan bungkusan gula kepadaku.
“Jangan banyak-banyak lho, ya, nanti
kemanisan. Apalagi kalo sambil ngeliatin aku.” Ujarnya. Eh? Jadi daritadi
ketauan kalo aku ngeliatin ya? Aku mesem-mesem kemudian menuang gula secara
perlahan, mengaduknya dan mencicipinya.
“Agit iki lho, senengane icip-icip
ae ketmau. Opo ae didilati” Gerutu Saib lagi. (Agit ini lho, sukanya nyicipin terus daritadi. Apa aja dijilatin).
Aku nyengir. Kemudian menuang gula lagi, juga dengan sengaja ku tambahkan susu.
Lalu ku cicipi lagi. Begitu terus berulang-ulang.
“Ayoooo.. Maem duluuuu.. Dah
mataaaaang.” Ujar Mbak Niza. Bang Fadly mengambil makan untuk porsi tiga orang
dalam satu nesting. Aku makan dengannya lagi.
“Gaa.. Makan dulu, Ga..” Ajakku.
Selama ini aku selalu makan dengannya jika di gunung. Hiks :’(
“Nanti aja, Git. Gua nungguin
temen-temen gua dulu.” Ujar Nganga sambil melesat pergi.
“Eh, sisain buat Om Pulung lhoo..
Harus maem disini dia.” Seru Mas Galih. Kemudian salah satu diantara kami
mengambilkan satu porsi untuk Ayah.
“Kapan lagi, Bang.. Mbakso di
gunung.” Gumamku pada BF.
“Iya, ya.. Git. Lahap bener ini
Abang makannya.” Ujar BF sambil terus mengunyah. Aku makan tak cukup banyak
sore itu. Perutku sudah terasa mulas.
“Bang, Agit mulas. Hehehe..”
“Iya, nanti Abang antar. Sekarang
makan dulu.”
“Tapi nanti kalo udah dibuang, Agit
pasti lapar lagi, Bang”
“Yaudah nanti makan lagi.”
“Faraaaaaaaaaaah, ini lhooo maem
duluuuu.” Teriak Mbak Niza tiba-tiba.
“Iyaaaaaaa..” Teriak Teh Farah dari
kejauhan.
“Nanti aja foto-fotonyaaaaaaaaa..”
Ujar Mbak Niza lagi. Sudahlah Mbak, biarkan dia asik dengan dunianya sendiri.
Hahaha. Tiba-tiba Om Pulung datang lagi dan kami makan bersama.
Hari semakin gelap, senja mulai
menghiasi langit Pelawangan Sembalun. Kami menutup hari dengan berbagi
keceriaan.
“Aku bersih-bersih dulu ya, Mas
Apiiiiik..” Godaku pada Mas Bagus ketika melintas di hadapannya. Kemudian
segera berlari ke tendaku untuk menyamarkan rona merah di pipi.
“Iyaaa.. Dek Kuriiiin..” Jawabnya
sambil menggodaku. Oke, ini jawaban yang sangat tidak menyenangkan. Aku
melengos.
“Lhooooo.. Kaaaan.. Keinget mantan
kan.. Ihiiirrrr.” Sahut Mas Ewok dan Paklek Andi bergantian. Oh, jadi hanya
karena aku mirip mantannya, oh..
Selesai bersih-bersih, berganti
pakaian dan menunaikan ibadah shalat Maghrib, kami duduk-duduk di luar tenda
sambil melingkar di api unggun. Saling berebut agar-agar dan pisang bakar.
Mulasku semakin menjadi-jadi.
“Bang, antarkan..” Ujarku pelan
sambil menenteng sarung dan payung.
“Yuk.” Bang Fadly beranjak dari
duduknya, aku mengikutinya.
“Disitu aja ya?” Tawarnya, aku
mengangguk.
*sensor*
*sensor*
*sensor terus sampe lima menit*
“Agiiiiiiiiiit, BAUUUUUUUUUUU!!!”
Teriak BF.
“Hahahahaha.. Siapa suruh
dekat-dekat. Sana! Yang jauh berdirinya!!!” Usirku.
Setelah urusan buang hajat selesai,
baru beberapa kali melangkah aku sudah mengeluh, “Abang.. agit dah lapar
lagi..” Kemudian dijitak BF.
Kami bercerita-cerita. Ternyata
Mas-mas Surabaya ini sudah kenal dengan Ayah. Mereka pernah dipertemukan di
Semeru. Ah, Semeru. Kau benar-benar menyatukan semua orang. Walaupun banyak
cinta yang berujung kandas setelah pulang dari sana.
Aku menyempatkan diri berkunjung ke
tenda Nganga. Nga, gak kangen setenda sama Agit? :D
Terlihat Bang Sumar dan Budi sedang
sibuk merapikan barang-barangnya. Tak lama aku kembali dan melanjutkan sesi
pengakraban diri dengan tim-ku. Ayah dan Mas Galih sebagai pembicara utamanya. Pikiranku
tak fokus lagi. Aku hanya mengamati api dan berimajinasi sendiri. Sampai aku
tak ingat apa-apa lagi.
(Bersambung kesini >>> Menebus Janji Dewi Anjani :) )
Hehehe...salam kenal Dek Agit .... Sungkem buat suhu-suhu pendaki :)
ReplyDeletesungkem pendaki singlet. wkwkwk
DeleteMbak Dokter sudah baca loh Dek Kurin :))
Delete