Cerita Sebelumnya >>> Klik Disini :)
Setelah berpamitan dengan Nganga,
akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju Segara Anak pukul empat sore.
Sementara Nganga akan pulang melalui jalur Sembalun lagi. Cutinya terbatas
sehingga tak menyempatkan ia mengunjungi Segara Anak.
Trek menuju Segara Anak ini
batu-batuan terjal, berasa rock-climbing.
Aku yang hobinya memanjat, dengan lincah menghadapi bebatuan ini. Tak peduli
celanaku yang satu ini akhirnya ikutan sobek juga. Ayah jalan cepat sekali.
Dibelakang Ayah ada Mbak Niza, kemudian aku dan Saib. Kaki-kaki kami terasa
lemas dan lutut mulai gemetar. Beberapa kali aku bertukar posisi dengan Mbak
Niza. Aku terus mengejar Ayah karena satu tujuan, minta minum. Iya, Ayah selalu
membawa minum di waterbagnya, namun jarang ia minum.
Bang Fadly kali ini membawa carrier depan-belakang. Persis seperti
Nauvel saat menjaga Teh Farah di Semeru. Yah.. Bang Fadly pasti kuat kok. Apa
guna Otot Abang kalau ndak kuat?
*kemudian dijitak*
Aku berjalan sambil terus mengumpat
dalam hati. Yang benar saja, dari sebelum berangkat summit aku belum makan sama sekali. Sempat makan mie, sih. Tapi.. lapaaaaar
:’( Berkali-kali juga aku mendengar Saib misuh
karena harus night trekking.
“Kalo kata Mas Ais, ini permennya
pendaki. Nih, cobain.” Ayah mengulurkan sebungkus permen Tamarin ke arahku. Aku
tersenyum tipis sambil membukanya. Saat itu aku tak banyak omong. Aku lelah
sekali dan perutku masih saja merasa lapar yang berbarengan dengan mulas.
Berkali-kali aku jalan sambil kelepasan kentut. Saib tak mau kalah, setiap ia
berjalan didepanku, ia balas melepas kentut.
Pukul delapan malam, kami baru tiba
di Camp Segara Anak. Suasana begitu ramai dan aku segera masuk kedalam tenda
yang telah didirikan porter. Aku kedinginan dan segera berganti pakaian. Malam
itu kami (cewek-cewek keceh) memutuskan untuk tidur di tenda dengan kapasitas
lima orang. Tujuannya agar lebih lega. Namun ternyata ada dua orang tamu tak
diundang masuk ke tenda kami. Sebut saja Ayah Riffat dan Bang Otot (Bukan nama
sebenarnya) Hahaha. Mereka menunggu cukup lama di luar tenda. Menunggu tiga
bidadari ganti baju. Padahal, asal kalian tau, yang ganti baju cuma Agit
seorang. Mbak Niza sibuk telfon Imam, Teh Farah sibuk sama dunianya sendiri :D
“Ayah setenda sama Agit?” Tanyaku
pada Ayah sambil mengenakan sarung diluar tenda.
“Iyaa.. Ayah gak akan membiarkan
Bang Fadly cowok sendirian di tenda kalian.” Jawab Ayah.
“Ayah gak sama temennya?” Tanyaku
lagi.
“Enggak ah, Ayah mau bobo disebelah
Niza aja.” Ayah jongkok di sebelah Bang Fadly. Mereka saling berbagi kehangatan
satu sama lain. Merasa mual dengan pemandangan seperti itu, aku berkunjung ke
tenda Mas-mas.
“Kalian lagi apa? Ada yang
anget-anget gak?” Tanyaku iseng.
“Sini, Git, duduk didalam, hangat..”
Jawab Mas Galih sambil kedip-kedip. Mas-mas lainnya tertawa. Aku merasa ngeri.
Ku hampiri porter yang sedang menyiapkan makanan dan minuman hangat untuk kami.
“Nih, mbak, tehnya sudah matang.”
Ujar Pak Porter yang baru ku ketahui bahwa namanya Idil. Iya, Mang Idil. Untung
pake huruf ‘D’ ya :D wkwkwkwk
Aku meraih poci berisi air teh.
Kemudian menuangnya kedalam beberapa gelas. Ku bagikan ke Ayah dan BF, serta
Mas-mas didalam tenda. Aku mondar-mandir.
“Mules, Yah..” Celetukku.
“Yuk, boker pup sebelahan.
Kayak gue sama Lovie, lempar-lemparan tissue basah. Hahaha” Ayah bercerita
tentang pengalamannya bersama Om Lovie selama di Rinjani. Aku mendengarkan
sambil menunggu nasi goreng matang. Ku bagikan nasi goreng kedalam empat
piring. Satu piring untuk Mbak Niza dan Teh Farah, satu piring untung Ayah dan
BF, satu piring untuk Mas Ardi dan Paklek di tenda terpisah, dan sisanya satu
piring penuh untuk Mas-mas yang sedang ngguyon
didalam satu tenda berkapasitas lima orang. Ada Mas Galih ditengah-tengah
mereka, saat itu ia berakting menjadi dalang, sementara yang lainnya hanya
mendengarkan dan menimpali. Ku lihat Mas Bagus sedang memejamkan mata. Entah
tidur atau tidak.
Sementara yang lainnya sedang sibuk
mengunyah, aku menghampiri Mang Idil lagi. Ia sedang memasak martabak mie
campur telur yang katanya Perkedel. Kalau di Jawa, perkedel itu pakai kentang
ya?
Setelah perkedel matang, ku bagikan
lagi ke dalam tiap-tiap piring. Malam itu aku hanya bermodalkan sendok dan
menyuap dari piring-piring yang ada di hadapanku saja. Perutku rasanya tak
karuan. Selesai makan, aku segera beranjak tidur. Malam ini tak sedingin
biasanya. Malah bisa dikatakan sangat gerah :(
“Elu sama Farah gimana sih
ceritanya, Fad?” Tanya Ayah iseng.
“Gaktau Om. Kita gimana sih, Teh?”
Tanya BF menghadap Teh Farah yang sedang memijatinya. Teh Farah hanya tersenyum
tipis.
“Lah kalo lu ama Vaza gimana?” Ayah
mulai menginterogasi.
“UHUK!!” Aku dan Mbak Niza
ber-uhuk-uhuk-ria. BF salah tingkah.
“Lo sendiri gimana sama Fadly, Farah?
Kan kita semua disini udah sama-sama dewasa, mari sama-sama diluruskan..” Ayah
melempar pertanyaan secara frontal ke Teh Farah.
“Iiiiiih, aku teh nganggep BF tuh, kakak akuuuuh..” Ujar Teh Farah dengan logat
sundanya yang khas.
“Hahahahahaha.. KAKAK!!!!” Aku
ngakak sejadi-jadinya. Ayah dan Mbak Niza hanya cekikikan.
“Lo berkorban bawa kerir depan
belakang cuma dianggep kakak?
Fadliii… Fadli…” Ujar Ayah Pea, sombong dan bersahaja. Aku masih tertawa. BF
sewot.
“Kok Agit gak belain abang sih,
Git?”
“Enggak ah, Abang aja gak jagain
Agit dari start sampe summit. Huuu.. Hahahaha” Jawabku
diiringi tawa.
“Fadly emang gak bisa diandalkan,
Git. Berarti mulai sekarang kita manggil Fadly, Kakak BF, gimana Git? Fadly kan
adeknya banyak.” Ayah mulai mengomporiku.
“kikikikik Kakak Bang Fadly.
Hahahaha…”
“Udah Kakak, BF pula. Sial lu, Om.”
“Fadliiii… Fadliii… Orang tuh kayak
gua, banyak anak, disuruh-suruh pada nurut. Lu liat Asti, Keyko, Agit. Anak gua
mah banyak. Lah elu? Adek dibanyakin, yang ada elu yang nurutin mereka, malah
elu yang tekor, Kakak Be’eeeeef.”
“Hahahaha…”
“Udah ah, tidur ah, abis gua
lama-lama disini.” Bang Fadly menyerah.
“Lalu apa guna otot abang kalo sama
ayah aja abang nyerah?” Aku nyeletuk sambil cekikikan.
“Otot Abang gak guna Git buat
ngadepin aki-aki pea satu ini.” Ujar BF sambil melipir ke pojok tenda.
Kami menerapkan posisi tidur 1-3-1.
Coba pikir sendiri maksudnya apa. Haha. Aku berkeringat selama tidur,
sampai-sampai kehausan. Ku lepas sleepingbag
dan jaketku. Kuraba-raba hingga ke pojok-pojok tenda namun tak ada juga air
atau botol minum. Sekalinya kubuka termos Teh Farah, isinya malah susu basi :(
Tapi bukan Agit namanya kalau
menyerah. Aku menarik tas yang dijadikan bantal oleh Ayah. Kepala Ayah nggelundung. Hahaha . Segera ku sedot
air dari selang waterbagnya. Alhamdulillah.. Aku melanjutkan tidurku lagi
Kamis, 15 Agustus 2013
Tidurku tak nyenyak, kepanasan.
Setelah shubuh aku baru bisa tidur lebih nyenyak. Namun tak lama kami
terbangun. Mbak Niza, Teh Farah dan Bang Fadly telah meluncur ke Segara Anak
sejak tadi. Mas Kiki terdengar marah-marah.
“Ya
opooo iki cuuuuk, tendane wes roboh kok isih iso turuuu..” Aku dan Ayah
cekikikan di dalam tenda. Aku memutuskan untuk keluar dan jalan-jalan. Ternyata
tenda Mas-mas ini sudah tak jelas bentuknya. Entah apa yang terjadi semalaman.
Aku merapikan sarungku, ayah melanjutkan tidurnya.
Selamat Pagi, Anjani..
Sapaku menghadap danau bernama
Segara Anakan. Kemudian membanding-bandingkannya dengan Ranu Kumbolo. Ku hirup
aromanya, namun yang kucium hanyalah wangi asap bekas kayu di bakar. Ku cicipi
airnya dengan berkumur, namun rasanya amis seperti air kolam. Huek. Aku gagal
menikmati pagiku.
Ku layangkan pandanganku ke langit. Awan-awan menari di kepalaku. Gumpalan putih
dengan latarnya yang biru membuatku terpaku cukup lama. Aku tersenyum tipis.
“Andai langit di kotaku sama seperti di kediamanmu, Anjani..”
Ku lihat Mas Bagus yang sedang
memancing dari kejauhan, juga Mbak Niza dan Teh Farah yang sedang mencuci muka
di pinggir danau. Aku menghampiri mereka dan turut membersihkan muka. Bang
Fadly sibuk memotret, Saib dan Mas Ewok sibuk mengganggu kami yang sedang cuci
muka. Mas Kiki dan Paklek Andi mandi di air panas. Mas Yuli, Mas Galih sama Mas
Ardi aku lupa ada dimana. Hehehe
Aku kembali ke tenda, berganti baju
dan re-packing. Sementara yang
lainnya mulai masak-masak. Pagi itu aku tak ikut merecoki mereka yang masak. Ayah
menyuruhku mencabuti ubannya.
“Git, cabutin uban ayah dong.” Aku
nurut. Ayah sepakat pada tarif seribu per helai. Cukup banyak uban Ayah, aku
berasa sedang di rumah. Hiks :’( kangen rumah T_T
“Kamu gak bisa masak, ta, Git?”
Tanya Mas Bagus ketika aku hendak mengambil makan pagiku.
“Bisa..” Jawabku kalem.
“Masak apa? Air? Apa mie?” Tanyanya
lagi.
“Masak apa aja bisa, dirumah aku
masak sendiri kok.”
“Kok disini gak masak?” Tanyanya
lagi.
“Gak kebagian kompor. Aku kalo gak
ada yang masak, baru mau masak.” Jawabku sambil berlalu dan menyodorkan nesting
pada Bang Fadly. Kami memakan ikan asin goreng, sambal terong, pete goreng dan
sayur bening dengan sangat lahap. Ditambah lagi pencuci mulut kali ini nata de
coco dengan potongan buah pear dan campuran nutrisari. Surgaaa sekali rasanya.
Beberapa dari kami ‘nambah’ dan kekenyangan, sampai-sampai mulas setelahnya.
“Baru ini, Git, abang pengen boker
pup di gunung.” Ujar Bang Fadly sambil mengambil sekop disamping kerirnya.
“Makanannya sehat sih, Bang.
Pencernaan lancar. Hahaha.” Jawabku sambil tertawa. Bang Fadly berjalan keluar
area camp. Beberapa Mas yang lainnya juga tak mau kalah. Begitu pula Mbak Niza
dan Teh Farah. Untung aku sudah duluan pagi tadi, disaat suasana belum seramai
ini.
“Ayuk, Git.. Berangkat duluan.” Ajak
Ayah.
“Nanti, Yah. Bareng-bareng sih..”
Ujarku. Ayah nurut. Ia duduk-duduk sambil rokokan, sementara aku masih
menenggak nutrisari nata de coco yang menyegarkan itu. Itung-itung menambah
cadangan air di tubuhku.
Mas Bagus tiba-tiba datang dengan
baju yang dipenuhi tumbuhan kecil-kecil. Tumbuhan tersebut menempel di bajunya.
Begitu pula mbak niza dan yang lainnya. Kalian habis nyusruk dimana sih?
Pukul Sepuluh pagi, akhirnya kami
melanjutkan perjalanan pulang melalui jalur Senaru. Kami berjalan di pinggiran
danau yang berbatu. Sampai pada pinggir danau yang terakhir, kami berhenti
sejenak, berfoto-foto dan berpamitan. Sampai jumpa lagi, Segara Anak.. :)
Jalur Senaru ini benar-benar wuah
sekali. Awalnya aku cukup lamban dalam menyamakan ritme ku dengan Ayah. Tentu
saja, dia kan pelari gunung, bukan pendaki. Ayah menyadari aku yang mulai
kewalahan megikutinya.
“Jalan galau aja, Git..” Ujar Ayah
dengan senyum penuh makna.
“Jalan galau?” Aku mengerutkan alis.
“Iya, jalan galau.. Pelan-pelan aja,
sambil nge-galau..” Tutur Ayah masih dengan senyum penuh makna.
“Tuh, yang lain masih jauh dibawah.
Mas Bagus juga masih foto-foto di bawah.” Sambungnya lagi. Aku terbelalak.
“Ayaaaah.. Agit tuh ke Rinjani mau
buang galau.. Bukan nambah galau-galau lainnya.” Ujarku setengah berteriak.
Emosiku terpancing. Aku mempercepat langkahku menyusul Ayah.
“Berhenti disitu, Git. Ayah fotoin.”
Aku berhenti dan mulai cengengesan, lengkap dengan dua jari yang mengarah ke
kamera.
“Nah, sekarang Agit sini, berdiri
deket Ayah..” Aku menghampirinya, kemudian membalikkan badan dan menatap apa
yang ada di belakangku.
“Kebayang, gak, cara bikinnya
gimana?” Gumam Ayah pelan, namun begitu terekam di otakku.
“Ayah udah yang ke sepuluh kalinya
kesini, Git. Tapi gak pernah bosen liat ini. Setiap mau pulang dan ngelewatin
jalur ini, Ayah pasti gak rela ninggalinnya.” Ayah tak bergeming. Pandangan
mata Ayah kali ini begitu teduh menghadap Segara Anak.
“Kebayang, gak, gimana cara bikin
awannya, gunungnya, danaunya, hutannya.. Air danaunya aja beda-beda gitu, kan?
Sebelah sana kuning, sebelah sini kehijauan, tengahnya biru..”
“Kayak lukisan, Yah..” Gumamku pelan
“Kebayang gak, bikinnya?” Tanyanya
untuk yang ketiga kali. Aku menggeleng.
“Agit jalan duluan, gih, Ayah masih
gak rela ninggalin tempat ini. Ayah disini dulu sambil nunggu yang lainnya.
Sekalian Ayah mau candid Bang Otot
sama si Farah lagi gandengan tangan. Ihirrrr” Aku menurutinya. Kemudian jalan
dengan Saib. Sementara yang lainnya masih dibawah. Treknya terus menanjak,
namun aku memiliki keyakinan yang pasti untuk melaluinya.
“Ib..” Panggilku pada Saib.
“Opo?”
“Kita kan tim keong ya, Ib? Kok
saiki malah nang ngarep dewe?” Tanyaku iseng. Iya, sebelumnya aku dan Saib
telah sepakat kalau nantinya kami tak dapat berjalan se-cepat Mas-mas Surabaya
lainnya. Tapi ternyata malah kami berdua yang paling di depan.
“Hehehe.. Iya, ya Git. Pelan-pelan
aja, Git. Sambil nunggu yang lainnya.” Ujar Saib. Berkali-kali kami istirahat
sampai akhirnya personel lengkap dan Ayah jalan paling depan lagi.
Bersambung kesini >>> Senaru... Aku Padamu!
“Ayah udah yang ke sepuluh kalinya kesini, Git. Tapi gak pernah bosen liat ini. Setiap mau pulang dan ngelewatin jalur ini, Ayah pasti gak rela ninggalinnya.” Ayah tak bergeming. Pandangan mata Ayah kali ini begitu teduh menghadap Segara Anak.
ReplyDelete“Kebayang, gak, gimana cara bikin awannya, gunungnya, danaunya, hutannya.. Air danaunya aja beda-beda gitu, kan? Sebelah sana kuning, sebelah sini kehijauan, tengahnya biru..”
aaaaaaakkkk sediiiiiiiiihhhhhh :'''''''(
DeleteSaya belum ke sini. Semoga bisa terwujud suatu saat.
ReplyDeleteaamiin. Saya juga nggak nolak kalo kesini lagi :')
Delete