Saturday, 7 September 2013

Keluarga Baru dari Sembalun



Cerita Sebelumnya >>> klik disini :)


Aku berkenalan dengan teman-teman Mbak Niza, yang akhirnya kini jadi temanku juga. Ada Mas Bagus, Mas Edwin, Mas Galih, Mas Rizki, Mas Ardi, Mas Andi, Mas Yuli dan Saib. Semuanya ku panggil dengan sebutan Mas kecuali Saib. Dari ke delapan pria itu hanya Saib yang ku kenal cukup akrab, itupun lewat twitter. Namun pandanganku terpaku pada seseorang diantara mereka, entah, seperti dejavu rasanya.

Carrier kami diletakkan menjadi satu diatas mobil elf yang telah disewa. Tujuan pertama kami pasar dan Indomaret, untuk belanja logistik.

“Ada yang hapenya bisa buat dengar musik, kah? Sini, dicolok kesini, dengar lagu pakai speaker saja.” Kata Pak Sopir di sebelahku. Iya, kebetulan yang duduk di bangku depan yaitu aku dan Mbak Niza.

“Ini, Pak..” Sahutku dan Mbak Niza bersamaan. Namun akhirnya ponselku lah yang digunakan menjadi mp3 darurat.

Now Playing : Dewa 19 - Kangen

Pikiranku terlempar jauh ke beberapa bulan lalu, saat dimana pertama kalinya aku memberanikan diri keluar kota sendirian, saat dimana pertama kalinya aku berangkat naik gunung sendiri dari kota ku dan bertemu dengan teman-teman baru.

Pikiranku melayang jauh ke setahun lalu, saat dimana aku merayakan 18 tahunku di kos-kosan sendirian. Atau dua tahun lalu, saat dimana aku merayakan 17 tahunku di Puncak Bogor sendirian.

Hidupku terlalu manis untuk dijalani sendirian.
                                           
“Git, kamu tuh aslinya mana ta? Kok bisa bahasa Jawa?” Tanya Mas Galih dengan logat Jawa yang khas, membuyarkan lamunanku.

“Bapak Ibuku asale Wonogiri, Mas.” Jawabku.

“Jawa Tengah ya?” Tanyanya lagi.

“Iya, antara Solo dan Pacitan.” Jawabku lagi.

Ngerti opo kowe, Mo?” Celetuk yang lainnya, diiringi tawa.

“Ooo, aku tauu. Itu kan, Waduk Gajah Mungkur kan?” Tanyanya penuh keyakinan.

“Iyaaaaa.. Kok tau?” Tanyaku antusias.

Gughling dong, Gughling” gubrak.

Akhirnya kami sampai di sebuah pasar. Lupa nama pasarnya apa, yang ku ingat hanya letaknya, yaitu persis di depan tempat wisata Narmada. Aku tersenyum kecil melihatnya. Teringat seseorang yang pernah bilang ingin sekali kesana.

Ini namanya pasar

Kalo ini Alfamart


Perjalanan terhenti berkali-kali, ke Indomaret, ke Alfamart, ke Indomaret lagi, ke ATM, ke Indomaret lagi, ke ATM lagi. Aku mengantuk, namun mataku tak kunjung memejam. Sistem sarafku hanya memerintah, “Jangan tidur, mari nikmati perjalanan ini.”

Now Playing : Oasis – Stand By Me

“Aaaaaaaaaa… Iki lagu paporit ket jaman mbiyeeen.” Pekik Mbak Niza. Kami bernyanyi bersama. Beberapa yang lainnya juga ikut bersenandung. Jalanan berkelok-kelok, naik-turun bukit serta pemandangan yang meneduhkan mata. Terlihat jelas puncak Anjani dari desa Sembalun, kami berdecak kagum memandangnya.

Mobil sempat berhenti untuk diisi air karena mesin mulai panas. Beberapa di antara kami membeli jagung, Bang Fadly sibuk membidik, sementara aku mencoba membaur dengan semuanya.

Keluarga Baru :)

Pukul tiga sore menjelang Ashar akhirnya kami tiba di basecamp Sembalun. Setelah mengurus registrasi dan tawar-menawar harga dengan Porter, kami memutuskan untuk menyewa homestay disana. Dua kamar untuk ber-duabelas. Untuk perempuan dan laki-laki dipisah tentunya. Trekking akan kami mulai esok pagi-pagi sekali. Jadi malam ini kami habiskan untuk re-packing dan mengakrabkan diri satu sama lain.

“Git, mana jerseyku? Lihat dong..” Ujar Saib. Aku segera mengambil Jersey Chelsea bertuliskan Rin 37 miliknya. Iya, kami sepakat membuat jersey Rin 37 dan Jani 26 untuk dipakai di puncak Anjani nanti.

“Nih, Ib. Bayar lhoo ya. Gak gratis!” Ujarku diselingi tawa. Ia menyerahkan uang sesuai kesepakatan.

“Horeee.. Dapet duit lagiiii..” Aku girang.

“Lhoo, mestinya aku nggak mbayar, kan kamu ulang tahun.” Celetuk Saib. Yang lain mendengarnya. Aku mati kutu.

“Horeeee… Selamat Tahuun Agiiiitt..” Teriak Mbak Niza, disusul Bang Fadly dan yang lainnya.

“Ayam Taliwang..” Celetuk Mas Bagus.

“Kadonya dulu mana?” Bantahku sambil menjulurkan lidah :p

“Eh, Git.. Arvita baru sampe kayaknya.” Ujar Saib meningatkanku. Arvita adalah member dari Bekasi Summiter, sama sepertiku, namun bedanya Saib naksir dia. Kiw kiw :3

“Yuk, Ib, cari yuk yang mana anaknya.” Ajakku pada Saib. Tak lama kami menemukan Arvita yang entah sedang apa.

“Arvita Novialita Zebuaaa..” Ujarku seraya mengulurkan tangan.

“Aaagiiiit, gak nyangka ketemu disiniii..” Ia menjabat tanganku.

“Nih, Ta, Mas Saibnya..” Kataku sambil melirik Saib. Saib terlihat lebih pucat, seperti menahan sesuatu. Kentut mungkin?

“Waah, kalian trekking bareng ya? Enak ya..” Suara Arvita perempuan sekali.

“Iyaa, ini juga baru ketemu tadi kok.. Lo total berapa orang, Ta?” Tanyaku.

“Limapuluhan, Git. Kalian total berapa?” Tanyanya balik.

“Duabelas pas, Ta..”

“Langsung nanjak sekarang juga?” Tanya Saib kemudian.

“Iyaaa, ngejar waktu juga soalnya. Udah out of schedule banget ini..” Jelas Arvita, suaranya terdengar perempuan sekali. Jauh berbeda bila dibandingkan dengan suara bass rusakku ini.

“Buset, night trekking, dong?” Tanyaku lagi.

“Iyaa, kalian start kapan?”

“Besok pagi, Ta. Ini masih re-packing sama nyari porter.” Saib tiba-tiba pergi meninggalkan aku dan Arvita. Dan tak lama membawa sebuah kamera yang entah ia pinjam darimana.

“Oh iyaa, foto dulu Ta. Kita pamer ke grup watsap Bekasi Summiter.” Ajakku sambil cengengesan. Kupercayakan pada Saib untuk membidik kami berdua. Untungnya aku tahu diri, ku persilahkan agar Saib foto berdua dengan Arvita.

Tak lama Arvita pamit agar mempersiapkan segala tetek-bengeknya. Sementara kami berdua kembali ke homestay. Saib mesam-mesem.

“Darimana, Ib?” Tanya Mas Ewok.

“Abis ketemuan sama cewek. Ihirrrr” Celetukku.

“Ndi? Ndelok fotone.” (Mana? lihat fotonya) Saib menyerahkan kameranya sambil tersenyum manis. Wkwkwkwk
Saib nahan kentut


“Cantik, Git. Tapi sayang udah punya cowok.” Gumam Saib.

“Iya? Pepet terus, Iiiiib..” Teriakku menyemangati.

Hari semakin malam, desa Sembalun semakin dingin. Aku telah mandi dan mengacak-acak isi carrierku. Logistik pun berserakan di luar carrier. Sama, yang lainnya juga begitu, berantakan.

Kebetulan tanggal pendakian kami berbarengan dengan beberapa pendakian masal sehingga menyebabkan jarangnya porter-porter yang stay di basecamp. Beberapa nomor telfon porter yang direferensikan oleh Om Lovie pun tak banyak membantu. Nasib kami tentang jasa porter masih digantung.

“Piye mbak, portere?” Tanyaku.

“Gak tau ni, belum ada kepastian. Kamu ada nomor XL ta? Ini porter-porter nomere XL semua.” Ah, beruntung aku beli XL di Mataram. Aku memberikan ponselku. Mbak Niza sibuk menelfon porter. Aku sibuk memandangi langit.

Andai kita bisa melihat langit yang sama, Ibu..
Disini banyak bintang..

“Mas Bagus kemana sih? Aku tanya Mas Bagus dulu deh maunya porter yang mana, terus sewa berapa.” Ujar Mbak Niza kepada kami yang sedang duduk-duduk di teras.

“Mas Bagus lagi shalat sama Bang Fadly, sama Mas Ewok, di Mushollaaa..” Jawab Mas Galih lembut.

Kok suwi temen sih?” Tanya Mbak Niza lagi.

“Iyaaa.. Habis shalat kan Mas Ewok kultum duluu, habis Mas Ewok kelar kultum ya gentian Mas Bagus yang kultum. Habis Mas Bagus kultum eh Mas Fadly mau kultum, tapi udahan semua, bubaaaar.” Mas Galih menjelaskan sambil mempraktekkannya.

“Hahahahahaahahaha..” Kami semua tertawa.

Tak lama mereka datang. Aku tak fokus dengan pembicaraannya. Mataku sibuk menatap ponsel dan pikiranku masih tak nyaman dengan suasana ini.

Ya, ku akui, aku memang sulit sekali mendapat feel pada suatu perjalanan. Kadang aku suka tempatnya, namun aku tak dapat bergabung dengan orang-orang di sekitarku. Entahlah, malam itu aku merasa aneh. Atau memang aku yang menghindar?

Sempat ku dengar bahwa porter yang akan kami sewa tak bisa datang karena esok hari ia akan menikahi seorang gadis sasak. Sempat juga ku dengar porter lain memasang tarif yang lebih mahal, dan lain-lain, dan lain-lain.

Aku bosan.

Yang lain tertawa-tawa, namun aku malah sibuk bercengkrama dengan ponselku. Nauvel menelefonku, menanyakan apakah aku telah mendapat ide untuk menulis. Aku menjawab dengan datar, “Belum dapet feelnya, nih. Susah kalo jalannya gak bareng Ulet, Serigala atau Unyu.”

Iya..
Ulet, Serigala atau Unyu adalah nama-nama dari kelompok backpackerku. Agak sulit memang mengganti keberadaan mereka dengan yang lain.

“Git, kopi nih..” Tawar Bang Fadly membuyarkan lamunanku.

“Cakep, gak, Bang?” Tanyaku.

“Cakep, Git. Udah anget kok.” Ia mengulurkan cangkir alumunium yang isinya tinggal setengah. Aku menghirupnya perlahan, kemudian menyesapnya.

“Cakep, Bang.” Gumamku.

“Habisin aja, Git.”

Sebenarnya banyak yang kami bicarakan dan tertawakan malam itu. Namun aku tak bisa fokus memahami pembicaraan mereka. Aku memikirkan sesuatu yang lain, entah apa.

Pukul Sembilan malam, aku memutuskan untuk tidur.



Senin, 12 Agustus 2013

Aku bangun paling pertama, batuk-batuk semalaman membuatku lelah. Ku putuskan untuk mandi sebelum shalat subuh. Airnya dingin, sedingin pembicaraan antara aku dan kamu malam tadi.#halah

Pagi ini masih sama seperti semalam, makan nasi bungkus, re-packing, nego porter, ngopi-ngopi, dan begitu-begitu saja. Namun aku, bang Fadly dan Teh Farah menyempatkan diri untuk berjemur dan menghangatkan badan. Sambil beberapa kali melakukan gerakan pemanasan.

Anjani, sudah pantaskah aku bertamu ke kediamanmu?

Aku membayangkan jalanku yang lambat, kemudian ditinggal oleh teman-teman dari Surabaya yang kelihatannya senior semua ini. Aku membayangkan jalan di belakang sendirian, lalu dikit-dikit minta minum Bang Fadly. Ah, lemah sekali sih aku.

“Nanti jalannya jangan tinggalin Agit, ya, Bang.. Abang kan tau Agit Keong..” keluhku.

“Iya, nanti kalo capek, Agit tukeran aja bawa daypacknya Mas Yuli, biar Mas Yuli yang bawa carrier Agit. Carriernya Mas Yuli dipake porter soalnya, jadi dia cuma bawa daypack.” Ujar Bang Fadly sabar.

Pukul delapan lewat sekian, kami menaiki mobil bak terbuka sampai batas yang tak dapat dilalui kendaraan lagi. Lumayan jauh jaraknya dari basecamp. Tak terbayang jika kami berjalan kaki sampai sana akan menghabiskan waktu berapa jam. Walaupun aslinya banyak juga yang memulai pendakian dari basecamp. Setidaknya dengan seperti ini kami telah menghemat waktu barang satu jam.

Sebelum memulai pendakian, kami berdoa bersama dan meneriakkan yel-yel..

“Selamat Sembilan Belas Tahun, Agiiiiiiiiit!!!” Teriakku.

“Ayam Taliwaaaaaang..” Celetuk Mas Bagus, disambut tawa yang lainnya.

Suasana mulai mencair, bersamaan dengan teriknya matahari. Begitu pula hati dan pikiranku, mulai bisa sejajar melangkah dengan mereka. Trekking Rinjani kali ini melibatkan dua belas orang, yang akhirnya baru ku hapal nama-namanya. Karena tak kenal maka tak sayang dan yang kenal pun belum tentu sayang, mari kenalan satu per satu :



Wahyu Bagus B.



Mas dengan hidung mancung ini selalu jalan paling depan. Semacam pembuka jalur dan kelinci percobaan, jadi kalo dia belum jalan ya yang lain gak jalan. Orangnya pendiam dan murah senyum, rajin masak dan apikan. Aku aja sih yang awalnya manggil dia Mas Apik. Habis orang ini sesuai namanya, Bagus, Apik. Kalau yang lain memanggilnya dengan sebutan Jhony. Setiap break pasti posisinya lagi tidur. Suka foto-foto pake Ipin atau Kamera Nikonnya. Selalu pake topi rimba yang sukses bikin mukanya gak gosong kayak kita-kita.


Septian Galih Putra


Biasa dipanggil Galeh, Homi, Homo atau Maho. Entah memang dia yang gak suka perempuan atau dia yang sering disenengin laki-laki, aku gak ngerti. Bisa lihat sendiri dari fotonya, dia ini jenis lelaki yang suka apa. Intinya aku manggil Mas Galeh ini dengan sebutan Mas Ais. Iya, adekku di rumah kan namanya Galih juga dan dipanggil Mas Ais. Udah gitu mereka berdua juga suka makan apapun pake kecap. Hehehe. Jadi berasa bawa adek naek gunung. Mas Ais hobinya garuk-garuk dan uwil-uwil. Yang udah pernah mergokin pasti ngerti. Gaya bicaranya lucu, sambil ngomong pasti dipraktekkin. Jadi kayak orang ndalang. Untung ada satu orang kayak dia yang bisa nyatuin kita :’)


Rizkia Amr



Aku nggak tau nama lengkap Mas Kiki ini siapa. Mas-mas dari Surabaya manggil Mas Kiki dengan sebutan Gambles. Gambles itu kalo kata Mas Galih semacam bulu yang ada di pantat bokong. Dan gak ngerti juga kenapa orang ini dipanggil Gambles, mungkin ada bulu yang tumbuh di bokongnya? Coba di cek sendiri. Wkwkwk :D Pegangannya Mas Kiki juga Nikon, tapi dia spesialis Video Recording. Jadi dari awal perjalanan sampai pulang nanti akan dibuat dokumenter. So sweet ya :’) Mas Kiki orangnya kalo lagi bercanda sering ngomong bahasa JawaTimuran yang kasar. Sebagai keturunan Keraton Surakarta Hadiningrat, aku merasa terkontaminasi.



Edwin Permana


Panggilannya Mas Ewok, padahal brewoknya pun nggak jelas. Hahaha. Punya andeng-andeng atau semacam tahi lalat di hidung. Kacamatanya lucu kayak Ian Kasella vocalis Radja. Sering jalan di belakangku dan selalu manggil aku dengan sebutan “Cah Gendring”. Selalu nyeletuk, “Hmmm.. Es Teruuuuus..” tiap aku batuk. Apa lagi ya? Orangnya rajin shalat dan mengisi kultum. Pernah buang hajat di pasir pas mau summit Rinjani. Wkwkwk. Penampakannya kurus, tulangnya mudah rapuh dan rambutnya kriwil-kriwil unyu ^^v


Yulianto


Mas Yuli ini penyelamat, dialah yang bersedia bertukar tas denganku. Isi tasnya nggak jelas. Wkwkwk maaf ya, Mas, tak buka-buka :D Orangnya pendiem dan kalo ngomong selalu pakek Bahasa Jawa. Curiga nilai raport Bahasa Indonesianya pasti jelek nih orang. Rokoknya jalan terus, rambutnya juga jambulan terus. Pernah suatu malam dia nyari obat sakit perut. Kasihan yah :(



Rahardian R.

Mas Ardi ini sekolahnya seangkatan denganku. Tapi tetep mudaan aku dan kuliahnya duluan dia. Kami sama-sama pemeluk Sastra Inggris. Orangnya nggak banyak omong, tapi kalo udah diajak ngobrol ya ceriwis. Paling seneng kalo ketemu bule dan paling sering ngajak foto bareng bule walupun ujung-ujungnya ditolak ( ._.)\(`_`) *pukpuk* Beberapa kali aku jalan di belakang Mas Ardi. Setiap kecapekan suka melet-melet kayak guguk.



Andik Wahyudi


Bapak dengan usia 40-an dan beranak satu ini Pakleknya Mas Ardi. Baru pertama kali munggah gunung tinggi tapi udah bisa tembus puncak. Carriernya deuter yang bener-bener masih baru banget, masih bau toko. Paklek, tukar dong :3 Paling sering ngitung jumlah kelompok kami, paling rajin ngabsen anggotanya satu-satu, paling ke-bapak-an pokoknya. Jalannya perlahan tapi pasti. Semangatnya tak kunjung habis walau napas sudah senin-kamis. Satu kalimat yang selalu ku ingat dari beliau, “Enakan jalan di depan, istirahatnya bisa lama sambil nunggu yang di belakang.. Kalo jalan di belakang nanti ngejar yang depan terus, malah capek.” :)



Muchammad Saifuddin

Bener gak, Ib, tulisannya? Kalo salah gakpapa ya? Namamu susah sih.
Saib kalo ngomong nggak jelas soalnya rada cadel. Selalu bawa cadangan air yang lumayan banyak dan beberapa kali juga aku ngekor dia. Paling banyak bawa baju buat di Lombok. Yang bener aja, aku yang cewek aja cuma bawa tiga, eh dia bawa tujuh K Rokoknya lokomotif, minumnya juga kuat. Paling sering misuh dan sering kentut, pokoknya deket-deket dia gak baik untuk perkembangan otak. Wkwkwk. Paling sering kena bully, tapi ya anaknya lempeng-lempeng aja. Henfon Blackberry-nya rusak selama di gunung. Tapi dia punya henfon abal-abal yang selalu dia pake buat telfonan dimanapun dia berada. Bentar-bentar nyari sinyal, bentar-bentar ganti kartu. Riiib.. Sarib… eksis bener.



Niza Nurmalasari


Mbak Niza ini rocker asal Surabaya yang berhijab. Sebelumnya aku pernah cerita (disini). Kami kenal di Semeru, turun Semeru kami prosotan sampe celana bolong. Wkwkwk. Disini dia rajin masak, rajin foto pake panorama, rajin telfonan sama Mas Imam (Iyaaa, Mas Imam yang itu. Yang di Matarmaja sama Pangrango barengan. Dia gak jadi Rinjani coba. Nyebelin kan?) rajin apalagi ya? Jangan banyak-banyak ah nanti kegeeran -_-



Farah Sulistyaningtyas




Teh Farah orangnya suka asik dengan dunianya sendiri. Sering bengong, nggak nyambung, loadingnya lama dan sering ketauan cengar-cengir sendiri. Kalo ngomong pelaaaaaan banget, tapi sabaaaar banget. Jalannya lama kalo nanjak, tapi ngebut kalo turunan. Selama trekking sering ngeludah dan buang ingus sembarangan. Wkwkwk. Sleepingbagnya Teh Farah ini ukurannya paling gede sementara carriernya kecil. Bisa bayangin gak, ada sleepingbag seukuran carrier? Aku aja nggak kebayang. Wkwkwk. Di Rinjani ini, Teh Farah menemukan kakaknya yang telah lama hilang :’)



M. Fadly Kurniawan


 
Bang Fadly paling seneng pake singlet sama jersey Barca selama di gunung. Kalo makan selalu se-nesting berdua sama Agit. Dimana-mana selalu bareng Agit sampe urusan buang air besar atau kecil pun nemenin Agit. Kecuali saat trekking. Iya, kami selalu terpisah selama trekking. Padahal janjinya ke Ayah Agit, dia akan menjaga Agit selama di Lombok. Namun kenyataannya ia melangkah bersama wanita lain, sebut saja Teh Farah (bukan nama sebenarnya. Wkwkwk). Bang Fadly selalu jalan di belakang, katanya sih jadi sweeper. Tapi Agit ngerti kok, Bang. Makanya Agit kasih judul buat perjalanan Abang kali ini, “Bang Fadly Mengejar Cinta”.

Agita Violy


Haloo.. Anak kecil satu ini lucu banget, yah? Disini Agit gak mengejar cinta kayak bang Fadly. Agit lebih memaknai perjalanan ini sebagai “Perjuangan”. Kenapa berjuang? Iya, berjuang untuk bangkit dari sisa-sisa kenangan pahit beberapa bulan lalu, berjuang untuk menebus janji kepada Dewi Anjani untuk mensyukuri nikmat 19 tahun dari atas sana, juga berjuang untuk menemukan cerita dan rangkaian hidup yang baru. Disini Agit tetap yang termuda, yang terbanyak makan dan minum dan ter-rajin bersihin kuku. Ada satu hal yang berbeda dari perjalanan kali ini, Agit tak selambat biasanya :’)

Setelah ini akan ada banyak percakapan dengan menggunakan bahasa jawa, semoga ngerti ya :D


Perjalanan dimulai dengan melangkah dalam satu barisan. Melintasi padang rumput yang luas dan tak berujung (bukan judul lagu). Aku lupa urutannya, yang pasti Mas Bagus di depan dan Bang Fadly di belakang. Sementara aku nyempil di antara sebelas orang itu. Mungkin menurut sebagian orang, perjalanan menuju pos 1 ini begitu membosankan. Dengan panas matahari yang begitu terik dan pemandangan rumput yang itu-itu saja. Tapi tidak bagiku, melihat padang rumput seluas ini rasanya ingin sekali aku berlari-lari dan india-indiaan. Yang bikin sedih sih cuma satu, “SAMA SIAPA?!!”


Dari kejauhan terlihat jelas puncak Anjani, kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto ria disana. Tak lupa juga memotong semangka dan membagi-bagikannya kepada kaum-kaum musafir ini. Senyum-senyum kecil merekah.

“Ahh, melihat senyummu bagai melahap sepotong semangka di siang yang terik.. sama-sama menyegarkan.” Aku menggumam, pandanganku melayang-layang ke langit. Langit yang begitu biru, kontras dengan putihnya awan. Andai langit di kota-ku bisa sebiru ini, bukan kelabu… Kontras dan jelas, tak samar-samar.



Perjalanan menuju Pos 1 bisa dibilang begitu santai. Walau aku sendiri tak ingat pukul berapa kami tiba disana. Kami hanya istirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan. Oh iya, sebelumnya sempat diberikan tontonan gratis oleh bule-bule yang dengan liarnya berciuman di hadapan para jomblo-jomblo ini. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Berharap ada yang sedikit saja memberikan puk-puk gratis. Oke, abaikan.

Dari kejauhan juga terlihat jelas kebakaran yang berasal dari bukit penyiksaan.  Kabarnya kebakaran disebabkan oleh tabung gas yang meledak karena dibakar. Bodoh ya? :|

Perjalanan kami lanjutkan ke pos 2, suasananya masih sama.. Hanya ada aku, kamu, rumput dan ilalang. Sejenak di telingaku berputar-putar lagu dangdut berjudul Ilalang. 




“Ilalang.. Ilalaaaang.. Mengapa cintaku malaaang..” #salahlirik #malahjadicurhat

Alon-aloon, Cah Gendriiiing!!!” Teriak Mas Ewok.

“Cah Gendring itu apa, sih, Mas?” Tanyaku.

“Cah Gendring itu bocah yang jalannya cepet. Nggendring. Whuzzzz” Jelasnya. Aku cengar-cengir.

“Seorang Agit jadi Cah Gendring? Apa kabar kaki keongku?” Batinku dalam hati.

Sesampainya di pos dua, kami memutuskan untuk makan siang dan shalat Dzuhur yang dijama’ dengan Ashar. Terasa syahdu suasana siang itu. Terlebih lagi kabut dingin mulai turun menyelimuti tubuh kami. Setelah bertayamum, kami melaksanakan shalat berjama’ah.

Menu makan siang ini mie goreng saja. Aku makan dengan lahapnya. Tiba-tiba bang Fadly melempar kupluknya ke pahaku.

“Bolong tuh.” Gumamnya sambil memberikan kode mata.

“Hah? Masa?” Aku kaget. Bagaimana bisa?!

“Iya, untung abang yang lihat. Bukan mas-mas ini.” Ucap BF lagi.

“Kalo mas-mas ini juga lihat tapi ndak berani negur Agit, piye?” Tanyaku lagi.

“Udah buruan gantiii..” BF gemas.

“Nanti ah, maem duluuu.” Aku ngeyel.

“Iiiish, bau nanti kupluk abang.” BF kesal. Aku cengar-cengir.

“Iiiiiish, Cuma bawa celana satu doaaaang.” Aku beranjak dari dudukku, membongkar muatan kemudian mengenakan sarung dan menggengam sebuah celana ---yang niat awalnya hanya akan dijadikan celana tidur.

“Kemana, Git?” Tanya Mbak Niza.

“Pipis.” Jawabku ngasal. Aku segera berlari ke arah rerumputan yang tumbuh lebih panjang. Tak lama Mbak Niza dan Teh Farah menyusulku. Aku mengganti celanaku dengan cepat.

“Kapan sobeknya, ya?” Gumamku.

“Itu kali, pas tadi shalat. Waktu sujud kan merosoooot.” Mbak Niza menebak-nebak.

“Yaaahh.. Gak lucu dong lagi sujud malah sobek. Nanti tak jahit deh. Untung bawa jarum sama benang.” Jawabku kalem. Kemudian dilanjut pipis berjamaah dibalik rerumputan. Namun sepertinya dari jalan setapak yang berada di bukit diatas kami, orang-orang yang melintas dapat melihat aktivitas kami. Untung aku bawa payung, juga memakai sarung.

“Ganti kostum ta, Git?” Tanya Saib.

“Iyo, Ib. Kathokku sowek.” Jawabku pelan. Aku yakin pipiku saat itu telah berubah warna menjadi kemerahan.

“Celanamu bolong ta, Git?” Tanya Mas Bagus.

“Hah? Emang keliatan?” Mukaku terasa panas. Mengingat saat tadi makan mie, Mas Bagus duduk tepat didepanku.

“Ya kalo ndak bolong, ndak bisa masuk dong.” Jawabnya iseng. Aku garuk-garuk kepala. Kemudian memasukkan lagi barang-barangku ke dalam carrier. Kali ini carrierku dibawa Mas Yuli dan aku memakai daypacknya.

Kami baru sampai Pos 3 Sembalun pukul 3 sore hari, sempat terjadi perdebatan haruskah melanjutkan perjalanan ke Pelawangan Sembalun atau mendirikan tenda disini saja.

“Nge-camp disini, Mbak?” Tanyaku.

“Terserah, tapi enakkan di Pelawangan Sembalun. Jadi nanti kita night trekking. Terus besoknya istirahat seharian biar malamnya pas summit enak badannya.” Jawab Mbak Niza.

“Tapi kita ngelewatin tujuh bukit ya, Mbak?” Aku ngeri membayangkannya.

“Iya. Tujuh bukit rek, malem-malem. Berani gak? Pelan-pelan aja lah ya.”

“Yang lainnya gimana?”

“Sembarang..” Jawab yang lainnya. Yang artinya ‘bebas, ikut aja..’

Tak lama porter kami datang. Kemudian kami bertanya apakah cukup aman jika melanjutkan perjalanan menuju Pelawangan Sembalun dalam keadaan malam. Pak Porter tidak berani mengambil keputusan. Terlebih lagi ia tak memiliki headlamp. Jadi satu-satunya saran yang terbaik adalah mendirikan tenda dan bermalam disini, Pos 3 Sembalun. Dari beberapa informasi yang kami dapat, di Pelawangan Sembalun sudah penuh dan tidak ada space untuk mendirikan tenda. Oh, pasti dampak penmas.

“Git, lihat aku Git..” Ujar Mas Galih seraya berulah dengan sebuah pisau. Ia menunjukkan bakat debusnya dengan tujuan menakut-nakutiku. Matanya melotot, pisau ia usap-usapkan ke leher dan pinggang, namun ia tetap tak terlihat menyeramkan sama sekali.

“Hahahaha.. Mas Ais medeniiiiii..” Ujarku sambil bergidik pura-pura ngeri.

Namun entah apa yang ia lakukan selanjutnya, tutup pisau itu hilang. Padahal jelas-jelas tadi dipegangnya. Ia menyalahiku.

“Agit nii.. jadi hilang kan.” Ia sibuk meneliti rumput dan semak-semak. Beberapa teman ikut mencari.

“Kenapa, Mas?” Ujar Pak Porter.

“Tutupnya hilang, Pak. Ini lagi dicari.” Ujar Mas Galih dengan raut wajahnya yang terlihat panik. Iya, pisau itu milik pak Porter. Pak Porter turut mencari. Aku cekikikan.

“Mesti kamu nyumpahin aku kuwalat ini.” Mas Galih masih menyalahiku. Aku membantunya mencari sambil menahan tawa.

“Padahal tadi kan mbok pegang mas.. Kelempar kemana gitu, nggak?” Tanyaku.

“Udah, Mas.. Besok aja nyarinya. Kalau sekarang ndak akan ketemu..” Ujar Pak Porter kemudian. Mas Galih pantang menyerah.

Iyoo, Moo.. sesuk ae lho. Saiki wes kesel, istirahat sek.” (Iya, Mo. Besok aja. Sekarang udah capek, istirahat dulu)

“Tadi aku kesini, motongin rumput sama kayu, terus aku kesini, terus aku nakut-nakutin Agit, terus aku kesana..” Mas Galih mondar-mandir sambil ngomong sendiri. Cukup lama ia mencarinya. Beberapa teman mulai mengingatkan agar ia istirahat dan melanjutkannya esok pagi. Karena percuma kalau dicari sekarang pun, tubuh sudah lelah dan tak mudah untuk berkonsenterasi. Namun semangatnya tak kunjung padam. Ia menghilang kedalam semak-semak, dan keluar dengan wajah riang.

“Oooohh.. Kebuaaaang..” Ujarnya senang, kemudian menoleh ke arahku.

“Agit lhoooooo..” Ia melirik sinis. Aku tertawa.

“Hahahaha.. Kapuooook!! Kualat! Rasakno!!” Teriakku songong sambil menjulurkan lidah.

Tiga buah tenda didirikan. Dengan satu tambahan tenda untuk Pak Porter. Aku segera membereskan tenda, melepas sepatu, membersihkan badan dan berganti pakaian. Kemudian merecoki Mas-mas yang lagi masak-masakan. Menu makan malam kami yaitu sarden dan… Dan apa ya? Ada yang ingat? Yang ku ingat ya hanya nasi putih yang pulen dan harum, sarden dan mie goreng yang diremas-remas sebagai kriuknya.

Tiba-tiba Mas Ardi berlari keluar dari tendanya.

Ia muntah.

Paklek Andi menghampirinya, memberikan minyak penghangat. Mas Yuli membuatkan segelas teh manis panas. Tapi malah aku yang minum duluan. *digetok pake nesting*

Hari semakin malam, namun kami tak dapat melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ berjamaah. Sulit mencari tempat yang datar karena telah penuh sesak oleh tenda. Akhirnya kami shalat Maghrib di tenda masing-masing kemudian makan malam bersama.

Aku makan satu nesting dengan Bang Fadly, sementara Mbak Niza dengan Teh Farah. Kami saling berebut sarden. Sampai akhirnya tersisa potongan-potongan kecil sarden.

“Iki lhoooo, Mas Ardi belum kebagian sardennya..” Kata Mas Ewok sambil mengambil sarden, kemudian memakannya.

“Lho? Ardi? Kamu belum makan ta? Sini tak ambilin yaaa..” Sahut Mas Galih tak mau kalah, kemudian memindahkan sarden ke piringnya, dan melahapnya.

“Lho? Kalian ngambilin Ardi tapi kok dimakan sendiri? Ardi, kamu udah makan?” Tanya Mbak Niza kepada Mas Ardi, heran dengan tingkah kedua orang itu.

“Udah, Mbak..” Jawab Mas Ardi kalem.

“Lhooooooooooooo… nakaaaaal!!” Teriak kami kompak seraya menyoraki Mas Ewok dan Mas Galih yang mengambil sarden dengan mengatasnamakan Mas Ardi yang sakit. Ada-ada saja :D

Malam itu aku makan cukup banyak. Tak peduli dengan misi susut 8kg yang telah ku ikrarkan sebelumnya. Sesi keakraban kami mulai terasa ketika duduk melingkar di api unggun. Bercengkrama dengan pendaki lain yang merupakan penduduk lokal dari Lombok, atau bahkan dengan pendaki yang berasal dari Cibinong, Bogor.. (Andai ada Mas Imam…) Mataku mencuri-curi pandang kearahnya.. Arah langit, maksudku. *tutupmukapakesarung*

“Langitnya bagus yah, Git..” Gumam Bang Fadly di sebelahku.

“Iya, Bang.. Bagus..” Gumamku pelan. Pikiranku tak terfokus pada lawakan Mas Galih, sama seperti malam sebelumnya. Ketika mereka semua tertawa, aku hanya cengar-cengir. Entahlah, ada yang aneh dalam diriku.

Mas Galih dan Dedek Unyu yang katanya baru kelas tiga SMA saling bertukar bahasa. Mas Galih mengajarkan bahasa JawaTimuran, sementara Dedek Unyu itu mengajarkan bahasa Lombok dan Mataram. Para Porter juga asik ngerumpi bersama Mas Galih. Aku bosan, setelah kopi dicangkir Bang Fadly habis, aku mengajaknya buang air kecil.

“Pipis, yuk, Bang.” Ajakku ke BF disambut dengan anggukannya. Kemudian Mbak Niza dan Mas-mas mengikutiku. Aku lupa Mas siapa. Selesai buang air kecil, aku berpamitan tidur.

“Kalo bahasa Lomboknya tembem apa?” Tanya Bang Fadly.

“Tembem? Pipi tembem? Oooo, dangkem!” Sahut si dedek unyu.

“Met boboooo Adek Dangkeeeem!!!” Teriak Bang Fadly ke arahku. Aku tersenyum kecil.

Sampai jumpa.. Langit penuh bintang…
 


(Bersambung kesini >>> Menutup Senja di Pelawangan :) )

4 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...