Cerita Sebelumnya >>> klik disini :)
Aku berkenalan dengan teman-teman
Mbak Niza, yang akhirnya kini jadi temanku juga. Ada Mas Bagus, Mas Edwin, Mas Galih,
Mas Rizki, Mas Ardi, Mas Andi, Mas Yuli dan Saib. Semuanya ku panggil
dengan sebutan Mas kecuali Saib. Dari ke delapan pria itu hanya Saib yang ku kenal cukup
akrab, itupun lewat twitter. Namun pandanganku terpaku pada seseorang diantara
mereka, entah, seperti dejavu
rasanya.
Carrier kami
diletakkan menjadi satu diatas mobil elf yang telah disewa. Tujuan pertama kami
pasar dan Indomaret, untuk belanja logistik.
“Ada yang hapenya bisa buat dengar
musik, kah? Sini, dicolok kesini,
dengar lagu pakai speaker saja.” Kata
Pak Sopir di sebelahku. Iya, kebetulan yang duduk di bangku depan yaitu aku dan
Mbak Niza.
“Ini, Pak..” Sahutku dan Mbak Niza
bersamaan. Namun akhirnya ponselku lah yang digunakan menjadi mp3 darurat.
Now Playing : Dewa 19 - Kangen
Pikiranku terlempar jauh ke beberapa
bulan lalu, saat dimana pertama kalinya aku memberanikan diri keluar kota
sendirian, saat dimana pertama kalinya aku berangkat naik gunung sendiri dari
kota ku dan bertemu dengan teman-teman baru.
Pikiranku melayang jauh ke setahun
lalu, saat dimana aku merayakan 18 tahunku di kos-kosan sendirian. Atau dua
tahun lalu, saat dimana aku merayakan 17 tahunku di Puncak Bogor sendirian.
Hidupku terlalu manis untuk dijalani
sendirian.
“Git, kamu tuh aslinya mana ta? Kok
bisa bahasa Jawa?” Tanya Mas Galih dengan logat Jawa yang khas, membuyarkan
lamunanku.
“Bapak Ibuku asale Wonogiri, Mas.”
Jawabku.
“Jawa Tengah ya?” Tanyanya lagi.
“Iya, antara Solo dan Pacitan.”
Jawabku lagi.
“Ngerti
opo kowe, Mo?” Celetuk yang lainnya, diiringi tawa.
“Ooo, aku tauu. Itu kan, Waduk Gajah
Mungkur kan?” Tanyanya penuh keyakinan.
“Iyaaaaa.. Kok tau?” Tanyaku
antusias.
“Gughling
dong, Gughling” gubrak.
Akhirnya kami sampai di sebuah
pasar. Lupa nama pasarnya apa, yang ku ingat hanya letaknya, yaitu persis di
depan tempat wisata Narmada. Aku tersenyum kecil melihatnya. Teringat seseorang
yang pernah bilang ingin sekali kesana.
Ini namanya pasar |
Kalo ini Alfamart |
Perjalanan terhenti berkali-kali, ke
Indomaret, ke Alfamart, ke Indomaret lagi, ke ATM, ke Indomaret lagi, ke ATM
lagi. Aku mengantuk, namun mataku tak kunjung memejam. Sistem sarafku hanya
memerintah, “Jangan tidur, mari nikmati perjalanan ini.”
Now Playing : Oasis – Stand By Me
“Aaaaaaaaaa… Iki lagu paporit ket jaman mbiyeeen.” Pekik Mbak Niza. Kami
bernyanyi bersama. Beberapa yang lainnya juga ikut bersenandung. Jalanan
berkelok-kelok, naik-turun bukit serta pemandangan yang meneduhkan mata.
Terlihat jelas puncak Anjani dari desa Sembalun, kami berdecak kagum
memandangnya.
Mobil sempat berhenti untuk diisi
air karena mesin mulai panas. Beberapa di antara kami membeli jagung, Bang
Fadly sibuk membidik, sementara aku mencoba membaur dengan semuanya.
Keluarga Baru :) |
Pukul tiga sore menjelang Ashar
akhirnya kami tiba di basecamp Sembalun. Setelah mengurus registrasi dan
tawar-menawar harga dengan Porter, kami memutuskan untuk menyewa homestay disana. Dua kamar untuk
ber-duabelas. Untuk perempuan dan laki-laki dipisah tentunya. Trekking akan
kami mulai esok pagi-pagi sekali. Jadi malam ini kami habiskan untuk re-packing dan mengakrabkan diri satu
sama lain.
“Git, mana jerseyku? Lihat dong..”
Ujar Saib. Aku segera mengambil Jersey Chelsea bertuliskan Rin 37 miliknya.
Iya, kami sepakat membuat jersey Rin 37 dan Jani 26 untuk dipakai di puncak
Anjani nanti.
“Nih, Ib. Bayar lhoo ya. Gak
gratis!” Ujarku diselingi tawa. Ia menyerahkan uang sesuai kesepakatan.
“Horeee.. Dapet duit lagiiii..” Aku
girang.
“Lhoo, mestinya aku nggak mbayar,
kan kamu ulang tahun.” Celetuk Saib. Yang lain mendengarnya. Aku mati kutu.
“Horeeee… Selamat Tahuun Agiiiitt..”
Teriak Mbak Niza, disusul Bang Fadly dan yang lainnya.
“Ayam Taliwang..” Celetuk Mas Bagus.
“Kadonya dulu mana?” Bantahku sambil
menjulurkan lidah :p
“Eh, Git.. Arvita baru sampe
kayaknya.” Ujar Saib meningatkanku. Arvita adalah member dari Bekasi Summiter,
sama sepertiku, namun bedanya Saib naksir dia. Kiw kiw :3
“Yuk, Ib, cari yuk yang mana
anaknya.” Ajakku pada Saib. Tak lama kami menemukan Arvita yang entah sedang
apa.
“Arvita Novialita Zebuaaa..” Ujarku
seraya mengulurkan tangan.
“Aaagiiiit, gak nyangka ketemu
disiniii..” Ia menjabat tanganku.
“Nih, Ta, Mas Saibnya..” Kataku
sambil melirik Saib. Saib terlihat lebih pucat, seperti menahan sesuatu. Kentut
mungkin?
“Waah, kalian trekking bareng ya?
Enak ya..” Suara Arvita perempuan sekali.
“Iyaa, ini juga baru ketemu tadi
kok.. Lo total berapa orang, Ta?” Tanyaku.
“Limapuluhan, Git. Kalian total
berapa?” Tanyanya balik.
“Duabelas pas, Ta..”
“Langsung nanjak sekarang juga?”
Tanya Saib kemudian.
“Iyaaa, ngejar waktu juga soalnya.
Udah out of schedule banget ini..”
Jelas Arvita, suaranya terdengar perempuan sekali. Jauh berbeda bila
dibandingkan dengan suara bass
rusakku ini.
“Buset, night trekking, dong?” Tanyaku lagi.
“Iyaa, kalian start kapan?”
“Besok pagi, Ta. Ini masih re-packing sama nyari porter.” Saib
tiba-tiba pergi meninggalkan aku dan Arvita. Dan tak lama membawa sebuah kamera
yang entah ia pinjam darimana.
“Oh iyaa, foto dulu Ta. Kita pamer
ke grup watsap Bekasi Summiter.” Ajakku sambil cengengesan. Kupercayakan pada
Saib untuk membidik kami berdua. Untungnya aku tahu diri, ku persilahkan agar
Saib foto berdua dengan Arvita.
Tak lama Arvita pamit agar
mempersiapkan segala tetek-bengeknya. Sementara kami berdua kembali ke
homestay. Saib mesam-mesem.
“Darimana, Ib?” Tanya Mas Ewok.
“Abis ketemuan sama cewek. Ihirrrr”
Celetukku.
“Ndi? Ndelok fotone.” (Mana? lihat fotonya) Saib menyerahkan
kameranya sambil tersenyum manis. Wkwkwkwk
“Cantik, Git. Tapi sayang udah punya
cowok.” Gumam Saib.
“Iya? Pepet terus, Iiiiib..” Teriakku
menyemangati.
Hari semakin malam, desa Sembalun
semakin dingin. Aku telah mandi dan mengacak-acak isi carrierku. Logistik pun berserakan di luar carrier. Sama, yang lainnya juga begitu, berantakan.
Kebetulan tanggal pendakian kami
berbarengan dengan beberapa pendakian masal sehingga menyebabkan jarangnya
porter-porter yang stay di basecamp.
Beberapa nomor telfon porter yang direferensikan oleh Om Lovie pun tak banyak
membantu. Nasib kami tentang jasa porter masih digantung.
“Piye mbak, portere?” Tanyaku.
“Gak tau ni, belum ada kepastian.
Kamu ada nomor XL ta? Ini porter-porter nomere XL semua.” Ah, beruntung aku
beli XL di Mataram. Aku memberikan ponselku. Mbak Niza sibuk menelfon porter.
Aku sibuk memandangi langit.
Andai kita bisa melihat langit yang sama, Ibu..
Disini banyak bintang..
“Mas Bagus kemana sih? Aku tanya Mas
Bagus dulu deh maunya porter yang mana, terus sewa berapa.” Ujar Mbak Niza
kepada kami yang sedang duduk-duduk di teras.
“Mas Bagus lagi shalat sama Bang
Fadly, sama Mas Ewok, di Mushollaaa..” Jawab Mas Galih lembut.
“Kok
suwi temen sih?” Tanya Mbak Niza lagi.
“Iyaaa.. Habis shalat kan Mas Ewok
kultum duluu, habis Mas Ewok kelar kultum ya gentian Mas Bagus yang kultum.
Habis Mas Bagus kultum eh Mas Fadly mau kultum, tapi udahan semua, bubaaaar.”
Mas Galih menjelaskan sambil mempraktekkannya.
“Hahahahahaahahaha..” Kami semua
tertawa.
Tak lama mereka datang. Aku tak
fokus dengan pembicaraannya. Mataku sibuk menatap ponsel dan pikiranku masih
tak nyaman dengan suasana ini.
Ya, ku akui, aku memang sulit sekali
mendapat feel pada suatu perjalanan.
Kadang aku suka tempatnya, namun aku tak dapat bergabung dengan orang-orang di
sekitarku. Entahlah, malam itu aku merasa aneh. Atau memang aku yang
menghindar?
Sempat ku dengar bahwa porter yang
akan kami sewa tak bisa datang karena esok hari ia akan menikahi seorang gadis
sasak. Sempat juga ku dengar porter lain memasang tarif yang lebih mahal, dan
lain-lain, dan lain-lain.
Aku bosan.
Yang lain tertawa-tawa, namun aku
malah sibuk bercengkrama dengan ponselku. Nauvel menelefonku, menanyakan apakah
aku telah mendapat ide untuk menulis. Aku menjawab dengan datar, “Belum dapet feelnya, nih. Susah kalo jalannya gak
bareng Ulet, Serigala atau Unyu.”
Iya..
Ulet, Serigala atau Unyu adalah nama-nama
dari kelompok backpackerku. Agak sulit memang mengganti keberadaan mereka
dengan yang lain.
“Git, kopi nih..” Tawar Bang Fadly
membuyarkan lamunanku.
“Cakep, gak, Bang?” Tanyaku.
“Cakep, Git. Udah anget kok.” Ia
mengulurkan cangkir alumunium yang isinya tinggal setengah. Aku menghirupnya
perlahan, kemudian menyesapnya.
“Cakep, Bang.” Gumamku.
“Habisin aja, Git.”
Sebenarnya banyak yang kami
bicarakan dan tertawakan malam itu. Namun aku tak bisa fokus memahami
pembicaraan mereka. Aku memikirkan sesuatu yang lain, entah apa.
Pukul Sembilan malam, aku memutuskan
untuk tidur.
Senin, 12 Agustus 2013
Aku bangun paling pertama,
batuk-batuk semalaman membuatku lelah. Ku putuskan untuk mandi sebelum shalat
subuh. Airnya dingin, sedingin pembicaraan antara aku dan kamu malam
tadi.#halah
Pagi ini masih sama seperti semalam,
makan nasi bungkus, re-packing, nego
porter, ngopi-ngopi, dan begitu-begitu saja. Namun aku, bang Fadly dan Teh
Farah menyempatkan diri untuk berjemur dan menghangatkan badan. Sambil beberapa
kali melakukan gerakan pemanasan.
Anjani, sudah pantaskah aku bertamu
ke kediamanmu?
Aku membayangkan jalanku yang
lambat, kemudian ditinggal oleh teman-teman dari Surabaya yang kelihatannya
senior semua ini. Aku membayangkan jalan di belakang sendirian, lalu
dikit-dikit minta minum Bang Fadly. Ah, lemah sekali sih aku.
“Nanti jalannya jangan tinggalin
Agit, ya, Bang.. Abang kan tau Agit Keong..” keluhku.
“Iya, nanti kalo capek, Agit tukeran
aja bawa daypacknya Mas Yuli, biar
Mas Yuli yang bawa carrier Agit. Carriernya Mas Yuli dipake porter
soalnya, jadi dia cuma bawa daypack.”
Ujar Bang Fadly sabar.
Pukul delapan lewat sekian, kami
menaiki mobil bak terbuka sampai batas yang tak dapat dilalui kendaraan lagi.
Lumayan jauh jaraknya dari basecamp. Tak terbayang jika kami berjalan kaki
sampai sana akan menghabiskan waktu berapa jam. Walaupun aslinya banyak juga
yang memulai pendakian dari basecamp. Setidaknya dengan seperti ini kami telah
menghemat waktu barang satu jam.
Sebelum memulai pendakian, kami
berdoa bersama dan meneriakkan yel-yel..
“Selamat Sembilan Belas Tahun,
Agiiiiiiiiit!!!” Teriakku.
“Ayam Taliwaaaaaang..” Celetuk Mas
Bagus, disambut tawa yang lainnya.
Suasana mulai mencair, bersamaan
dengan teriknya matahari. Begitu pula hati dan pikiranku, mulai bisa sejajar melangkah
dengan mereka. Trekking Rinjani kali ini melibatkan dua belas orang, yang
akhirnya baru ku hapal nama-namanya. Karena tak kenal maka tak sayang dan yang
kenal pun belum tentu sayang, mari kenalan satu per satu :
Wahyu Bagus B.
Mas dengan hidung mancung ini selalu
jalan paling depan. Semacam pembuka jalur dan kelinci percobaan, jadi kalo dia
belum jalan ya yang lain gak jalan. Orangnya pendiam dan murah senyum, rajin
masak dan apikan. Aku aja sih yang
awalnya manggil dia Mas Apik. Habis orang ini sesuai namanya, Bagus, Apik. Kalau
yang lain memanggilnya dengan sebutan Jhony. Setiap break pasti posisinya lagi tidur. Suka foto-foto pake Ipin atau
Kamera Nikonnya. Selalu pake topi rimba yang sukses bikin mukanya gak gosong
kayak kita-kita.
Septian Galih Putra
Biasa dipanggil Galeh, Homi, Homo
atau Maho. Entah memang dia yang gak suka perempuan atau dia yang sering
disenengin laki-laki, aku gak ngerti. Bisa lihat sendiri dari fotonya, dia ini jenis lelaki yang suka apa. Intinya aku manggil Mas Galeh ini dengan
sebutan Mas Ais. Iya, adekku di rumah kan namanya Galih juga dan dipanggil Mas
Ais. Udah gitu mereka berdua juga suka makan apapun pake kecap. Hehehe. Jadi
berasa bawa adek naek gunung. Mas Ais hobinya garuk-garuk dan uwil-uwil. Yang
udah pernah mergokin pasti ngerti. Gaya bicaranya lucu, sambil ngomong pasti
dipraktekkin. Jadi kayak orang ndalang.
Untung ada satu orang kayak dia yang bisa nyatuin kita :’)
Rizkia Amr
Aku nggak tau nama lengkap Mas Kiki
ini siapa. Mas-mas dari Surabaya manggil Mas Kiki dengan sebutan Gambles. Gambles
itu kalo kata Mas Galih semacam bulu yang ada di pantat bokong. Dan gak
ngerti juga kenapa orang ini dipanggil Gambles, mungkin ada bulu yang tumbuh di
bokongnya? Coba di cek sendiri. Wkwkwk :D Pegangannya Mas Kiki juga Nikon, tapi
dia spesialis Video Recording. Jadi dari awal perjalanan sampai pulang nanti
akan dibuat dokumenter. So sweet ya :’) Mas Kiki orangnya kalo lagi bercanda
sering ngomong bahasa JawaTimuran yang kasar. Sebagai keturunan Keraton
Surakarta Hadiningrat, aku merasa terkontaminasi.
Edwin Permana
Panggilannya Mas Ewok, padahal
brewoknya pun nggak jelas. Hahaha. Punya andeng-andeng atau semacam tahi lalat
di hidung. Kacamatanya lucu kayak Ian Kasella vocalis Radja. Sering jalan di
belakangku dan selalu manggil aku dengan sebutan “Cah Gendring”. Selalu
nyeletuk, “Hmmm.. Es Teruuuuus..” tiap aku batuk. Apa lagi ya? Orangnya rajin
shalat dan mengisi kultum. Pernah buang hajat di pasir pas mau summit Rinjani.
Wkwkwk. Penampakannya kurus, tulangnya mudah rapuh dan rambutnya kriwil-kriwil
unyu ^^v
Yulianto
Mas Yuli ini penyelamat, dialah yang
bersedia bertukar tas denganku. Isi tasnya nggak jelas. Wkwkwk maaf ya, Mas,
tak buka-buka :D Orangnya pendiem dan kalo ngomong selalu pakek Bahasa Jawa.
Curiga nilai raport Bahasa Indonesianya pasti jelek nih orang. Rokoknya jalan
terus, rambutnya juga jambulan terus. Pernah suatu malam dia nyari obat sakit
perut. Kasihan yah :(
Rahardian R.
Mas Ardi ini sekolahnya seangkatan
denganku. Tapi tetep mudaan aku dan kuliahnya duluan dia. Kami sama-sama
pemeluk Sastra Inggris. Orangnya nggak banyak omong, tapi kalo udah diajak
ngobrol ya ceriwis. Paling seneng kalo ketemu bule dan paling sering ngajak
foto bareng bule walupun ujung-ujungnya ditolak ( ._.)\(`_`) *pukpuk* Beberapa
kali aku jalan di belakang Mas Ardi. Setiap kecapekan suka melet-melet kayak
guguk.
Andik Wahyudi
Bapak dengan usia 40-an dan beranak
satu ini Pakleknya Mas Ardi. Baru pertama kali munggah gunung tinggi tapi udah
bisa tembus puncak. Carriernya deuter yang bener-bener masih baru banget, masih
bau toko. Paklek, tukar dong :3 Paling sering ngitung jumlah kelompok kami,
paling rajin ngabsen anggotanya satu-satu, paling ke-bapak-an pokoknya.
Jalannya perlahan tapi pasti. Semangatnya tak kunjung habis walau napas sudah
senin-kamis. Satu kalimat yang selalu ku ingat dari beliau, “Enakan jalan di
depan, istirahatnya bisa lama sambil nunggu yang di belakang.. Kalo jalan di
belakang nanti ngejar yang depan terus, malah capek.” :)
Muchammad Saifuddin
Bener gak, Ib, tulisannya? Kalo
salah gakpapa ya? Namamu susah sih.
Saib kalo ngomong nggak jelas
soalnya rada cadel. Selalu bawa cadangan air yang lumayan banyak dan beberapa
kali juga aku ngekor dia. Paling banyak bawa baju buat di Lombok. Yang bener
aja, aku yang cewek aja cuma bawa tiga, eh dia bawa tujuh K Rokoknya lokomotif, minumnya juga kuat. Paling sering misuh
dan sering kentut, pokoknya deket-deket dia gak baik untuk perkembangan otak.
Wkwkwk. Paling sering kena bully, tapi ya anaknya lempeng-lempeng aja. Henfon
Blackberry-nya rusak selama di gunung. Tapi dia punya henfon abal-abal yang
selalu dia pake buat telfonan dimanapun dia berada. Bentar-bentar nyari sinyal,
bentar-bentar ganti kartu. Riiib.. Sarib… eksis bener.
Niza Nurmalasari
Mbak Niza ini rocker asal Surabaya
yang berhijab. Sebelumnya aku pernah cerita (disini). Kami kenal di Semeru,
turun Semeru kami prosotan sampe celana bolong. Wkwkwk. Disini dia rajin masak,
rajin foto pake panorama, rajin telfonan sama Mas Imam (Iyaaa, Mas Imam yang
itu. Yang di Matarmaja sama Pangrango barengan. Dia gak jadi Rinjani coba.
Nyebelin kan?) rajin apalagi ya? Jangan banyak-banyak ah nanti kegeeran -_-
Farah Sulistyaningtyas
Teh Farah orangnya suka asik dengan
dunianya sendiri. Sering bengong, nggak nyambung, loadingnya lama dan sering
ketauan cengar-cengir sendiri. Kalo ngomong pelaaaaaan banget, tapi sabaaaar
banget. Jalannya lama kalo nanjak, tapi ngebut kalo turunan. Selama trekking
sering ngeludah dan buang ingus sembarangan. Wkwkwk. Sleepingbagnya Teh Farah ini ukurannya paling gede sementara
carriernya kecil. Bisa bayangin gak, ada sleepingbag
seukuran carrier? Aku aja nggak kebayang. Wkwkwk. Di Rinjani ini, Teh Farah
menemukan kakaknya yang telah lama hilang :’)
M. Fadly Kurniawan
Bang Fadly paling seneng pake
singlet sama jersey Barca selama di gunung. Kalo makan selalu se-nesting berdua
sama Agit. Dimana-mana selalu bareng Agit sampe urusan buang air besar atau
kecil pun nemenin Agit. Kecuali saat trekking. Iya, kami selalu terpisah selama
trekking. Padahal janjinya ke Ayah Agit, dia akan menjaga Agit selama di
Lombok. Namun kenyataannya ia melangkah bersama wanita lain, sebut saja Teh
Farah (bukan nama sebenarnya. Wkwkwk). Bang Fadly selalu jalan di belakang,
katanya sih jadi sweeper. Tapi Agit
ngerti kok, Bang. Makanya Agit kasih judul buat perjalanan Abang kali ini,
“Bang Fadly Mengejar Cinta”.
Agita Violy
Haloo.. Anak kecil satu ini lucu
banget, yah? Disini Agit gak mengejar cinta kayak bang Fadly. Agit lebih
memaknai perjalanan ini sebagai “Perjuangan”. Kenapa berjuang? Iya, berjuang
untuk bangkit dari sisa-sisa kenangan pahit beberapa bulan lalu, berjuang untuk
menebus janji kepada Dewi Anjani untuk mensyukuri nikmat 19 tahun dari atas
sana, juga berjuang untuk menemukan cerita dan rangkaian hidup yang baru. Disini
Agit tetap yang termuda, yang terbanyak makan dan minum dan ter-rajin bersihin
kuku. Ada satu hal yang berbeda dari perjalanan kali ini, Agit tak selambat
biasanya :’)
Setelah ini akan ada banyak
percakapan dengan menggunakan bahasa jawa, semoga ngerti ya :D
Perjalanan dimulai dengan melangkah
dalam satu barisan. Melintasi padang rumput yang luas dan tak berujung (bukan
judul lagu). Aku lupa urutannya, yang pasti Mas Bagus di depan dan Bang Fadly
di belakang. Sementara aku nyempil di antara sebelas orang itu. Mungkin menurut
sebagian orang, perjalanan menuju pos 1 ini begitu membosankan. Dengan panas
matahari yang begitu terik dan pemandangan rumput yang itu-itu saja. Tapi tidak
bagiku, melihat padang rumput seluas ini rasanya ingin sekali aku berlari-lari
dan india-indiaan. Yang bikin sedih sih cuma satu, “SAMA SIAPA?!!”
Dari kejauhan terlihat jelas puncak
Anjani, kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto ria disana. Tak lupa juga
memotong semangka dan membagi-bagikannya kepada kaum-kaum musafir ini.
Senyum-senyum kecil merekah.
“Ahh, melihat senyummu bagai melahap
sepotong semangka di siang yang terik.. sama-sama menyegarkan.” Aku menggumam,
pandanganku melayang-layang ke langit. Langit yang begitu biru, kontras dengan
putihnya awan. Andai langit di kota-ku bisa sebiru ini, bukan kelabu… Kontras
dan jelas, tak samar-samar.
Perjalanan menuju Pos 1 bisa
dibilang begitu santai. Walau aku sendiri tak ingat pukul berapa kami tiba
disana. Kami hanya istirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan. Oh iya,
sebelumnya sempat diberikan tontonan gratis oleh bule-bule yang dengan liarnya
berciuman di hadapan para jomblo-jomblo ini. Aku hanya menggeleng-gelengkan
kepalaku. Berharap ada yang sedikit saja memberikan puk-puk gratis. Oke,
abaikan.
Dari kejauhan juga terlihat jelas kebakaran
yang berasal dari bukit penyiksaan.
Kabarnya kebakaran disebabkan oleh tabung gas yang meledak karena
dibakar. Bodoh ya? :|
Perjalanan kami lanjutkan ke pos 2,
suasananya masih sama.. Hanya ada aku, kamu, rumput dan ilalang. Sejenak di
telingaku berputar-putar lagu dangdut berjudul Ilalang.
“Ilalang.. Ilalaaaang.. Mengapa
cintaku malaaang..” #salahlirik #malahjadicurhat
“Alon-aloon,
Cah Gendriiiing!!!” Teriak Mas Ewok.
“Cah Gendring itu apa, sih, Mas?”
Tanyaku.
“Cah Gendring itu bocah yang jalannya
cepet. Nggendring. Whuzzzz” Jelasnya. Aku cengar-cengir.
“Seorang Agit jadi Cah Gendring? Apa
kabar kaki keongku?” Batinku dalam hati.
Sesampainya di pos dua, kami
memutuskan untuk makan siang dan shalat Dzuhur yang dijama’ dengan Ashar.
Terasa syahdu suasana siang itu. Terlebih lagi kabut dingin mulai turun
menyelimuti tubuh kami. Setelah bertayamum, kami melaksanakan shalat
berjama’ah.
Menu makan siang ini mie goreng
saja. Aku makan dengan lahapnya. Tiba-tiba bang Fadly melempar kupluknya ke pahaku.
“Bolong tuh.” Gumamnya sambil
memberikan kode mata.
“Hah? Masa?” Aku kaget. Bagaimana
bisa?!
“Iya, untung abang yang lihat. Bukan
mas-mas ini.” Ucap BF lagi.
“Kalo mas-mas ini juga lihat tapi ndak berani negur Agit, piye?” Tanyaku lagi.
“Udah buruan gantiii..” BF gemas.
“Nanti ah, maem duluuu.” Aku ngeyel.
“Iiiish, bau nanti kupluk abang.” BF
kesal. Aku cengar-cengir.
“Iiiiiish, Cuma bawa celana satu
doaaaang.” Aku beranjak dari dudukku, membongkar muatan kemudian mengenakan
sarung dan menggengam sebuah celana ---yang niat awalnya hanya akan dijadikan
celana tidur.
“Kemana, Git?” Tanya Mbak Niza.
“Pipis.” Jawabku ngasal. Aku segera
berlari ke arah rerumputan yang tumbuh lebih panjang. Tak lama Mbak Niza dan
Teh Farah menyusulku. Aku mengganti celanaku dengan cepat.
“Kapan sobeknya, ya?” Gumamku.
“Itu kali, pas tadi shalat. Waktu
sujud kan merosoooot.” Mbak Niza menebak-nebak.
“Yaaahh.. Gak lucu dong lagi sujud
malah sobek. Nanti tak jahit deh. Untung bawa jarum sama benang.” Jawabku
kalem. Kemudian dilanjut pipis berjamaah dibalik rerumputan. Namun sepertinya
dari jalan setapak yang berada di bukit diatas kami, orang-orang yang melintas
dapat melihat aktivitas kami. Untung aku bawa payung, juga memakai sarung.
“Ganti kostum ta, Git?” Tanya Saib.
“Iyo, Ib. Kathokku sowek.” Jawabku
pelan. Aku yakin pipiku saat itu telah berubah warna menjadi kemerahan.
“Celanamu bolong ta, Git?” Tanya Mas
Bagus.
“Hah? Emang keliatan?” Mukaku terasa
panas. Mengingat saat tadi makan mie, Mas Bagus duduk tepat didepanku.
“Ya kalo ndak bolong, ndak bisa
masuk dong.” Jawabnya iseng. Aku garuk-garuk kepala. Kemudian memasukkan lagi
barang-barangku ke dalam carrier.
Kali ini carrierku dibawa Mas Yuli
dan aku memakai daypacknya.
Kami baru sampai Pos 3 Sembalun pukul
3 sore hari, sempat terjadi perdebatan haruskah melanjutkan perjalanan ke
Pelawangan Sembalun atau mendirikan tenda disini saja.
“Nge-camp disini, Mbak?” Tanyaku.
“Terserah, tapi enakkan di
Pelawangan Sembalun. Jadi nanti kita night
trekking. Terus besoknya istirahat seharian biar malamnya pas summit enak badannya.” Jawab Mbak Niza.
“Tapi kita ngelewatin tujuh bukit
ya, Mbak?” Aku ngeri membayangkannya.
“Iya. Tujuh bukit rek, malem-malem. Berani gak?
Pelan-pelan aja lah ya.”
“Yang lainnya gimana?”
“Sembarang..” Jawab yang lainnya.
Yang artinya ‘bebas, ikut aja..’
Tak lama porter kami datang.
Kemudian kami bertanya apakah cukup aman jika melanjutkan perjalanan menuju
Pelawangan Sembalun dalam keadaan malam. Pak Porter tidak berani mengambil
keputusan. Terlebih lagi ia tak memiliki headlamp.
Jadi satu-satunya saran yang terbaik adalah mendirikan tenda dan bermalam
disini, Pos 3 Sembalun. Dari beberapa informasi yang kami dapat, di Pelawangan
Sembalun sudah penuh dan tidak ada space
untuk mendirikan tenda. Oh, pasti dampak penmas.
“Git, lihat aku Git..” Ujar Mas
Galih seraya berulah dengan sebuah pisau. Ia menunjukkan bakat debusnya dengan
tujuan menakut-nakutiku. Matanya melotot, pisau ia usap-usapkan ke leher dan
pinggang, namun ia tetap tak terlihat menyeramkan sama sekali.
“Hahahaha.. Mas Ais medeniiiiii..” Ujarku sambil bergidik
pura-pura ngeri.
Namun entah apa yang ia lakukan
selanjutnya, tutup pisau itu hilang. Padahal jelas-jelas tadi dipegangnya. Ia
menyalahiku.
“Agit nii.. jadi hilang kan.” Ia
sibuk meneliti rumput dan semak-semak. Beberapa teman ikut mencari.
“Kenapa, Mas?” Ujar Pak Porter.
“Tutupnya hilang, Pak. Ini lagi
dicari.” Ujar Mas Galih dengan raut wajahnya yang terlihat panik. Iya, pisau
itu milik pak Porter. Pak Porter turut mencari. Aku cekikikan.
“Mesti kamu nyumpahin aku kuwalat
ini.” Mas Galih masih menyalahiku. Aku membantunya mencari sambil menahan tawa.
“Padahal tadi kan mbok pegang mas.. Kelempar kemana gitu,
nggak?” Tanyaku.
“Udah, Mas.. Besok aja nyarinya.
Kalau sekarang ndak akan ketemu..”
Ujar Pak Porter kemudian. Mas Galih pantang menyerah.
“Iyoo,
Moo.. sesuk ae lho. Saiki wes kesel, istirahat sek.” (Iya, Mo. Besok aja.
Sekarang udah capek, istirahat dulu)
“Tadi aku kesini, motongin rumput
sama kayu, terus aku kesini, terus aku nakut-nakutin Agit, terus aku kesana..” Mas
Galih mondar-mandir sambil ngomong sendiri. Cukup lama ia mencarinya. Beberapa
teman mulai mengingatkan agar ia istirahat dan melanjutkannya esok pagi. Karena
percuma kalau dicari sekarang pun, tubuh sudah lelah dan tak mudah untuk
berkonsenterasi. Namun semangatnya tak kunjung padam. Ia menghilang kedalam
semak-semak, dan keluar dengan wajah riang.
“Oooohh.. Kebuaaaang..” Ujarnya
senang, kemudian menoleh ke arahku.
“Agit lhoooooo..” Ia melirik sinis.
Aku tertawa.
“Hahahaha.. Kapuooook!! Kualat! Rasakno!!” Teriakku songong sambil menjulurkan
lidah.
Tiga buah tenda didirikan. Dengan
satu tambahan tenda untuk Pak Porter. Aku segera membereskan tenda, melepas
sepatu, membersihkan badan dan berganti pakaian. Kemudian merecoki Mas-mas yang
lagi masak-masakan. Menu makan malam kami yaitu sarden dan… Dan apa ya? Ada
yang ingat? Yang ku ingat ya hanya nasi putih yang pulen dan harum, sarden dan
mie goreng yang diremas-remas sebagai kriuknya.
Tiba-tiba Mas Ardi berlari keluar
dari tendanya.
Ia muntah.
Paklek Andi menghampirinya,
memberikan minyak penghangat. Mas Yuli membuatkan segelas teh manis panas. Tapi
malah aku yang minum duluan. *digetok pake nesting*
Hari semakin malam, namun kami tak
dapat melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ berjamaah. Sulit mencari tempat yang
datar karena telah penuh sesak oleh tenda. Akhirnya kami shalat Maghrib di
tenda masing-masing kemudian makan malam bersama.
Aku makan satu nesting dengan Bang
Fadly, sementara Mbak Niza dengan Teh Farah. Kami saling berebut sarden. Sampai
akhirnya tersisa potongan-potongan kecil sarden.
“Iki lhoooo, Mas Ardi belum kebagian
sardennya..” Kata Mas Ewok sambil mengambil sarden, kemudian memakannya.
“Lho? Ardi? Kamu belum makan ta?
Sini tak ambilin yaaa..” Sahut Mas Galih tak mau kalah, kemudian memindahkan
sarden ke piringnya, dan melahapnya.
“Lho? Kalian ngambilin Ardi tapi kok
dimakan sendiri? Ardi, kamu udah makan?” Tanya Mbak Niza kepada Mas Ardi, heran
dengan tingkah kedua orang itu.
“Udah, Mbak..” Jawab Mas Ardi kalem.
“Lhooooooooooooo… nakaaaaal!!”
Teriak kami kompak seraya menyoraki Mas Ewok dan Mas Galih yang mengambil
sarden dengan mengatasnamakan Mas Ardi yang sakit. Ada-ada saja :D
Malam itu aku makan cukup banyak.
Tak peduli dengan misi susut 8kg yang telah ku ikrarkan sebelumnya. Sesi keakraban
kami mulai terasa ketika duduk melingkar di api unggun. Bercengkrama dengan
pendaki lain yang merupakan penduduk lokal dari Lombok, atau bahkan dengan
pendaki yang berasal dari Cibinong, Bogor.. (Andai ada Mas Imam…) Mataku
mencuri-curi pandang kearahnya.. Arah langit, maksudku. *tutupmukapakesarung*
“Langitnya bagus yah, Git..” Gumam
Bang Fadly di sebelahku.
“Iya, Bang.. Bagus..” Gumamku pelan.
Pikiranku tak terfokus pada lawakan Mas Galih, sama seperti malam sebelumnya.
Ketika mereka semua tertawa, aku hanya cengar-cengir. Entahlah, ada yang aneh
dalam diriku.
Mas Galih dan Dedek Unyu yang
katanya baru kelas tiga SMA saling bertukar bahasa. Mas Galih mengajarkan
bahasa JawaTimuran, sementara Dedek Unyu itu mengajarkan bahasa Lombok dan
Mataram. Para Porter juga asik ngerumpi
bersama Mas Galih. Aku bosan, setelah kopi dicangkir Bang Fadly habis, aku
mengajaknya buang air kecil.
“Pipis, yuk, Bang.” Ajakku ke BF
disambut dengan anggukannya. Kemudian Mbak Niza dan Mas-mas mengikutiku. Aku
lupa Mas siapa. Selesai buang air kecil, aku berpamitan tidur.
“Kalo bahasa Lomboknya tembem apa?”
Tanya Bang Fadly.
“Tembem? Pipi tembem? Oooo,
dangkem!” Sahut si dedek unyu.
“Met boboooo Adek Dangkeeeem!!!”
Teriak Bang Fadly ke arahku. Aku tersenyum kecil.
Sampai jumpa.. Langit penuh bintang…
(Bersambung kesini >>> Menutup Senja di Pelawangan :) )
keren
ReplyDeletemakasih :)
DeleteAh ternyata banyak travel blogger yang keren di alam tak nyata ini. Izin berguru, Sensei...
ReplyDeletehalo halo salam kenaaaaal ^^
Delete