Saya merasakan tidur sangat pulas setelah muncak semalam. Sampai
nggak bangun-bangun dan tau-tau udah pagi aja. Malas mengingat kejadian ambruk
semalam, akhirnya saya duduk di sebelah Hanis yang sudah bangun duluan.
“Selamat dua puluh tahun, Acita.” Ujarnya sambil menggenggam
tangan saya. Iya, di rumah, saya dipanggil Acita.
“Makasih..”
“Semoga makin dewasa, nggak kayak bocah lagi, nurut sama
ibu, cepet lulus kuliah, dapet kerjaan yang enak, bahagia terus...” Tanpa
terasa air mata saya telah menggenang. Mendadak kangen ibu. Saya langsung
memeluk Hanis yang masih sibuk ngoceh mendoakan saya dengan pesan-pesan baik
dan kata-kata mutiara. “Kok nangis...” Lanjutnya.
“Kangen ibu. Huhuhu.” Jawab saya terisak.
“Lagian sih, ulang tahun malah kabur.”
“Iya tahun depan nggak kabur lagi...” Saya mengatakan janji
palsu.
“Heeeh, ini ngapa anak orang lu bikin nangis?” Acrut
tiba-tiba bangun dan teriak-teriak. Nggak rela kalo saya dibikin nangis sama
Hanis. Kami sontak cengengesan menatap Acrut yang kerudungnya berantakan.
“Gue kan ultah, Crut.. Hehehe.”
“Waaa, selamat ulang tahun, bocaaaah.”
Pagi yang damai di Cisentor. Ditemani gemercik aliran sungai
dan kicauan burung yang saling bersahutan, angin menyampaikan doa ibu untuk
saya; yang membuat saya ingin pulang segera.
***
“Pagi ini kita makan nasi terakhir, yaaa.” Ujar saya
membangunkan tenda sebelah. Dasar sekumpulan pendaki malas.
“Acrut mau bikin terong balado!” Timpal Acrut tak mau kalah.
“Agit bikin cah kol, ya. Ini kolnya masih sisa dikit.
Telurnya masih ada?”
“Banyaaak.”
“Eh, ini kok sampah kita semalem bikin mie pada kemana, ya?
Kok bersih?” Tanya Bang Cehu yang merasakan ada perubahan di sekitar tenda.
“Kayaknya dicolong babi hutan, deh.” Jawab saya ngasal.
“Tapi kok sop buah yang kita bikin semalem nggak dicolong
juga?” Tanya Bang Cehu lagi.
“Sop buahnya kan diamankan di dalem tenda.”
Sambil terus ngoceh tentang babi hutan, kami memasak dengan
santai. Tanpa terasa, cah kol yang saya buat telah matang. Nasi pun telah
mengepul harum. Tinggal terong balado Acrut yang keliatannya lebih mirip sambal
terong dan menggugah selera sebentar lagi siap dihidangkan. Seketika lidah kami
berdecak, tanda lapar.
Dan yak, sesuai ekspektasi. Saya dan Acrut sangat cocok
dalam berkolaborasi memasak. Cah kol saya yang gurih ditambah sambal terong
Acrut yang pedes mampus bikin kami semua kalap makan dan berakhir dengan boker
massal. Hahaha. Untunglah, ada sop buah sebagai pemanis yang seger banget
karena sudah kami dinginkan dari semalam. Ah, alam memang selalu menyediakan
apa yang kita butuhkan.
Setelah urusan perut selesai, kami berkemas untuk meninggalkan
Cisentor segera. Menuju taman hidup yang mistis nan romantis lewat jalur yang
jarang dilalui orang, yaitu Aing Kenek. Pukul sebelas siang kami berangkat
dengan tangan menggenggam golok untuk menebas jalur. Kali ini perjalanan
dipimpin oleh Bang Cehu dan Aki Nana si Kang Jagal Ayam.
Jalur yang tertutup |
Kami terus berjalan sampai tiba-tiba jalur yang kami lalui benar-benar tertutup rapat. Hampir tak bisa ditebas. Tumbuhan dengan batang berduri tajam hingga daun jancukan siap menyerang siapa saja yang berusaha untuk melaluinya. Seketika belasan monyet datang menghampiri kami. Mereka menggoyang-goyangkan pepohonan tinggi yang berada di sekitar kami dan berlompatan kesana kemari. Menakutkan sekali. Mereka berteriak-teriak seperti mengusir kami. Aki Nana yang kesal malah semakin bablas menebas jalur.
"Kita berhenti dulu, deh." Ujar Bang Cehu menenangkan yang lain. Sontak kami mencari tempat untuk duduk. Mengelap keringat kemudian minum secukupnya. Melelahkan sekali perjalanan di gunung dengan trek terpanjang se-Jawa ini.
"Terus gimana, ini? Masa mau balik lagi?" Aki Nana mulai bersuara. Golok di genggamannya membuat suasana semakin mencekam. Sementara di sisi lain, monyet-monyet semakin berisik.
"Kayaknya bukan ke sini, deh. Itu monyetnya pada marah-marah gitu." Bisik saya ke Acrut. Yang dibisiki hanya mengangguk-angguk diam. Saya tahu betul kalau saat itu Acrut takut tidak bisa pulang. Sementara lusa ia harus sudah sampai Jakarta demi ujian di kampusnya.
"Na, elu nebas lurus, deh. Gue ke kanan. Jalurnya ketutup parah!" Perintah Bang Cehu kemudian. Kami yang tidak membawa golok hanya mampu mengamati pergerakkan mereka. Yang aneh adalah, semakin Aki Nana bergerak maju untuk menebas, semakin monyet-monyet itu gaduh dan memberontak.
"Na! Stop, Na! Jalurnya ke sini! Jangan diterusin, Na!" Dengan tergopoh-gopoh, Bang Cehu menghampiri kami. Kami langsung bergerak meninggalkan monyet-monyet tersebut, menuju jalur yang sebenarnya. Dari peristiwa tersebut, saya semakin sadar bahwa alam selalu mengingatkan kita tentang hal apapun. Alam selalu memberi petunjuk, mana yang benar dan mana yang salah. Namun kadang kita sering lalai dan asal membuat keputusan. Itulah guna akal, untuk berpikir tentang apa yang telah ditunjukkan oleh alam.
Suara monyet-monyet pun seketika hilang dari pendengaran. Mereka sudah kembali ke rumah dengan tenang. Sementara kami masih bergelut di dalam labirin raksasa untuk menemukan jalan pulang.
Kami terus berjalan melalui jalan setapak yang sama sekali tidak kelihatan terdapat tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Malah seperti sedang berada di alam lain karena nggak ada manusia lagi selain kami. Hawa dingin membuat nyali kami semakin ciut. Merasa tidak yakin bahwa Argopuro ini ada ujungnya atau tidak.
"Guys, break dulu. Kabut parah."
"Serius berhenti di sini? Banyak jejak kaki sama eek meong!"
"Nggak papa. Asal jangan berisik."
jejak kaki meong gede |
kabut (lagi) |
"Siang parno macan, malem parno setan." Kata Acrut lirih. Ia merasa frustasi dengan perjalanan panjang kali ini. Saya pribadi sangat takut tidak bisa pulang, namun perasaan jelek seperti itu harus dijauhi karena membuat mental semakin lembek saja.
Kami harus pulang.
"Ayo, jalan lagi. Agak rapet, ya. Jangan ada yang bengong, jangan jauh-jauh." Ujar Bang Cehu kemudian. Kami lantas bergerak dengan langkah yang berdekatan. Berjalan dengan langkah yang semakin malas dan membosankan. Kemudian tak lama, langit turun hujan.
***
"Kita mau sampai kapan di sini terus. Hujannya nggak berhenti-berhenti." Saya mulai mengeluh sambil memegangi kayu sebagai penopang flysheet.
"Jam dua kita move." Ujar Bang Cehu sambil masih berusaha mencari jalur dan mengingat-ingat. Akhirnya, setelah hujan tinggal tersisa rintiknya, kami berjalan menanjak ke atas. Menembus sebuah bukit yang lagi-lagi-entah dimana ujungnya. Bukit penuh tumbuhan yang sangat rapat dan daun jancukan yang siap membuat gatal siapapun yang menyentuhnya. Bukit yang banyak pohon tumbang dan ketika saya menginjak pohon tersebut sebagai bantuan, malah terpeleset. Saya berulang kali terperosok ke dalam daun jancukan dan misuh-misuh setelahnya. Jangankan manusia, hewan pun sepertinya tak ada yang berani lewat sini.
nyusruk |
"Kayaknya kita salah jalur, deh." Ujar Aki Nana yang sudah kelihatan lelah sekali karena menebas jalur.
"Bener, cuma kita motong kompas. Sampe ke atas, nanti ketemu jalan gede." Bantah Bang Cehu.
"Nggak ada jalur normal aja, apa? Gue udah nggak kuat." Suara Acrut terdengar semakin lirih. Sesaat kemudian ia terisak. "Gue pengen pulang.. Gue nggak mau nyasar. Gue mau ujian! Huhuhu."
Sadar bahwa ada sesuatu yang salah, akhirnya kami semua memilih diam. Sudah tidak tahu lagi harus lewat mana.
"Udah, balik aja ke tempat tadi. Ngikutin jalur aja. Ini juga udah mau gelap. Kalo masih ngeraba gini mau sampai kapan nyampe di Taman Hidup!" Ujar Aki Nana kemudian. Bang Cehu hanya diam. Sementara saya dan yang lainnya telah bersiap mengambil langkah untuk balik kanan.
Kami berjalan melalui jalur setapak sambil terus merasa was-was. Sebentar lagi maghrib, kami memutuskan untuk istirahat Ashar yang dari tadi tertunda. Dan akhirnya, ketemu orang! Iya, dia dari Bremi mau ke Baderan. Ternyata kami lewat jalur yang benar. Alhamdulillah, rasanya sudah ada tanda-tanda kehidupan.
Tak lama setelah Ashar, jam di tangan telah menunjukkan waktu Maghrib. Usai menunaikan ibadah Maghrib, kami berdoa agar diberi keselamatan selama trekking malam dan tiba di Taman Hidup secepatnya. Kami berdoa, agar hutan lumut tidak marah kepada kami yang berani-beraninya lewat sana pada malam hari.
Lagi, kami bertemu segerombolan pendaki dari Solo. Mereka nampak menunggu temannya yang habis muncak gitu. Kami mulai memasuki hutan lumut bersama mereka. Namun entah apa yang terjadi, mungkin langkah kami terlalu cepat hingga mereka tak bisa menyamakan. Alhasil, di pertengahan jalan, kami kembali bertujuh.
"Banyak-banyak berdo'a, ya. Lo tau kan Hutan Lumut kayak gimana. Masuk ke hutan lumut siang aja serem, apalagi malem." Ujar Cehu membuat saya semakin ciut. Sayup-sayup terdengar suara murottal dari ponsel Acrut. Saya hanya berjalan sambil menunduk. Tidak mau menoleh ke kanan atau kiri, apalagi ke atas.
petok.. petok.. petok.
Ah, suara ayam hutan. Awas aja kalo tau-tau ada penampakan. Gue nggak suka kalo kayak gini caranya. Batin saya. Dan suara ayam hutan terus menemani kami di sepanjang hutan lumut. Kami berjalan dengan langkah yang sangat cepat. Saya sendiri heran kenapa langkah saya juga jadi ikut-ikutan cepat. Fyi, saya ini keong betul alias lamban.
Brukkkkk
"ALLAHU AKBAR KABIROOOO!" Acrut berteriak.
Acrut jatuh di turunan. Dengan muka di tanah dan kaki masih nyangkut di atas. Istilah lainnya, ngejengkang. Gara-gara akar pohon super gede yang bikin dia kesandung. Sontak kami semua bengong dan nahan tawa.
"Toloooongin gueee." Suara Acrut terdengar seperti orang kumur-kumur. Bang Cehu langsung membantu Acrut berdiri. Saya mulai ngikik. Yang lainnya ikut-ikutan tertawa. Walhasil, dari yang tadinya hening dan sunyi senyap, sekarang jadi ngakak ngeliatin Acrut yang mulutnya penuh tanah.
"Makan tanah nggak enak." Keluh Acrut kemudian. Saya masih terus cekikikan sambil berjalan pelan. "Ett, pohon gede-gede banget sih." Ujar Acrut sambil melihat ke atas. Saya yang latah malah ikut-ikutan menengok ke atas. Dan ternyata daritadi di sekeliling kami tak hanya ada pohon-pohon besar. Namun juga...Mr. G, atau sebut saja, Om Wowo.
Saya seketika diam, dan kembali menunduk.
"Agit nggak papa?" Tanya Bang Cehu menyadari pergerakkan mata saya.
"Hehe. Nggak papa." Ujar saya sok tenang. Padahal bulu di sekujur tubuh sudah berdiri sejak tadi. Kami terus berjalan tak henti. Minum pun sudah amat jarang sekali.
"ASTAGHFIRULLOHAL'ADZIIIIM!" Bang Cehu berteriak kaget. Saya yang berada tepat di belakangnya langsung melongokkan kepala. Kepo akan apa yang dilihat Bang Cehu sehingga ia berteriak sekaget itu.
"Apaan, Bang?" Tanya kami kemudian.
"Itu ada orang." Bang Cehu memegangi dada.
"Orang apa setan?"
"Orang!"
"Lah, terus orangnya mana?"
"Gak tau, langsung pergi. Anjrit kaget gue."
"Kenapa sih?"
"Itu orang lagi muja. Gak tau nyembah batu atau pohon gitu. Gue panggilin malah kabur. Ada tiga orangnya. Mana nggak pada pake jaket atau bawa senter. Cuma sarungan doang. Kan gue kaget." Tutur Bang Cehu panjang lebar.
"Terus orangnya kemana?" Tanya saya lagi.
"Nggak tahu, dia juga kaget liat gue. Langsung pergi. Jalan cepet banget." Sambung Bang Cehu lagi.
"Terus gimana?"
"Ya udah kita lanjut jalan, deh. Takut semakin malem sampe Taman Hidup."
Akhirnya kami terus berjalan. Dari sana pikiran saya semakin menerawang kemana-mana. Kalau ada orang menyembah selain Tuhan, sudah pasti ia memuja setan. God please, jangan jadikan kami tumbal.
Jalan masih gelap. Purnama masih tampak menyeramkan. Sementara di jalur yang agak lapang, terlihat nyala api unggun, dengan tiga orang yang mengelilinginya.
"Mampir dulu, mas." Ujar salah satu dari mereka.
"Ke Taman Hidup masih lurus kan, ya, mas?" Tanya Bang Cehu mengalihkan pembicaraan.
"Iya. Lurus. Mampir dulu, mbak." Tawar mereka lagi. Kali ini sosok yang dari tadi diam, menatap ke arah saya. Kilatan matanya, seperti bukan milik manusia.
"Iya, makasih, Mas." Jawab saya terbata sambil terus menunduk. Rombongan saya meninggalkan mereka dan nyala api unggun yang tampak begitu hangat di tengah-tengah dinginnya Hutan Lumut yang tak lagi milik orang.
God please, jangan jadikan kami tumbal.
*
*
*Baca lanjutannya di >> Melepas Lelah di Danau Taman Hidup ^^
"Terus orangnya kemana?" Tanya saya lagi.
"Nggak tahu, dia juga kaget liat gue. Langsung pergi. Jalan cepet banget." Sambung Bang Cehu lagi.
"Terus gimana?"
"Ya udah kita lanjut jalan, deh. Takut semakin malem sampe Taman Hidup."
Akhirnya kami terus berjalan. Dari sana pikiran saya semakin menerawang kemana-mana. Kalau ada orang menyembah selain Tuhan, sudah pasti ia memuja setan. God please, jangan jadikan kami tumbal.
Jalan masih gelap. Purnama masih tampak menyeramkan. Sementara di jalur yang agak lapang, terlihat nyala api unggun, dengan tiga orang yang mengelilinginya.
"Mampir dulu, mas." Ujar salah satu dari mereka.
"Ke Taman Hidup masih lurus kan, ya, mas?" Tanya Bang Cehu mengalihkan pembicaraan.
"Iya. Lurus. Mampir dulu, mbak." Tawar mereka lagi. Kali ini sosok yang dari tadi diam, menatap ke arah saya. Kilatan matanya, seperti bukan milik manusia.
"Iya, makasih, Mas." Jawab saya terbata sambil terus menunduk. Rombongan saya meninggalkan mereka dan nyala api unggun yang tampak begitu hangat di tengah-tengah dinginnya Hutan Lumut yang tak lagi milik orang.
God please, jangan jadikan kami tumbal.
*
*
*Baca lanjutannya di >> Melepas Lelah di Danau Taman Hidup ^^
wkwkk jd inget ekspresi acrut waktu lg nyungseb..kaki di atas pala dibawah huahaha kocak aseli...
ReplyDeletehey kamu..bersambungnya nanggung amat sih -,-
wkwkwk sabar ya qaqaaaaaa :p
DeleteMendaki gunung ternyata selalu menghadirkan kisah-kisah yang tak terduga dan banyak pelajaran berharga yang di jumpai juga.
ReplyDeleteyup. bener banget pak :)
Deleteluar biasa ceritanya .. saya jadi takut kalau mau muncak :(
ReplyDeleteSaya takutnya kalo nyasar, bukan kalo mau muncak :(
Deleteseru ya , hanya gersang ya
ReplyDeleteiya, tapi kalau musim hujan mah tanahnya licin parah. banyak cacing pula :(
Deleteudah lama tidak mendaki gunung, terakhir pas awal kuliah mbak :)
ReplyDeleteinget jaman muda ya, mas? :)
Deletekirain sop buah buat cebok masal. hahaha
ReplyDeletejadi pengen nanjak, ada sambungannya mbak? ditunggu ah.
cerita sebelum2nya dibaca juga dong :p
Deletecukup dua, kalo dibaca semuanya takut pengen kesana da :"
Deletetanggung kalo bacanya cuma dua. kagak seru da :p
Deletebikin ngiriiii nantinya :((
Deletemain-main lah teh ke tempat saya \m/
meluncur ke Lintas Senja :D
Deletenah, baru keren. haha
DeleteKamu masih inget semua dialognya ya Git?
ReplyDeletebeberapa malah udah lupa, mas. itu gambaran kecilnya aja :|
DeleteJadi Git, pas malem-malem ambruk itu lo liat apaan? *penasaran*
ReplyDeletecowok. item. jelek :(
DeleteOm om yang badannya besar itu, Git?
Deletebukan. kayak tentara. tp gak tau apaan. wkwkwk
DeleteTerlepas dari cerita selanjutnya bagaimana, menurut saya dari sekian bagian birthday hiking di Argopuro, bagian yang ini sukses bikin saya agak merinding bacanya. Berbagai ujian seperti tersesat, melihat jejak macan, monyet2 yang "terganggu", sampai kegiatan yang agak aneh di dalam hutan lumut malam2, benar-benar menguji mental. Saya setuju, berani banget kalian berjalan di Argopuro malam2, saya pas di Arjuno aja kalau udah ketemu magrib (kecuali ke puncak tengah malam), memilih berhenti/camp daripada jalan malam2 di dalam lali Jiwo hehehe.
ReplyDeleteBtw, saya yg tidak punya indera keenam, sering banget punya pengalaman ndaki bareng teman2 yang bisa lihat "dunia lain", tetapi saya minta untuk mengerem/diam agar tidak bercerita lihat "gituan" selama pendakian, baru boleh cerita pas turun. hehe
hahaha iya mas, saya juga diem aja waktu di perjalanan. Lhaaa ini temen2 pada kaget pas saya cerita begini di blog. terus pada ngomel, "kenapa baru bilang sekarang?" hahahaha
Deletesama aja kok, saya juga nggak punya indera keenam. tapi biasanya suka liat aneh2 kalau pas lagi datang bulan. kan gak enak bangeeeet :(
btw, yaiyalah lali jiwo malem2, yang ada hilaaaaang. gak cuma hilang badan, tapi juga hilang ingatan :( :(
Deleteargh emank argopuro itu semuax keren gila ya git.. gw pas sebelum hutan lumut jg kesasar dan sempet bikin down.. loe pas dikerumuni monyet gak ketemu monyet yg warnax putih kan.? ada 2 loh.. trus di taman hidup loe juga gak ketemu ikan nila segede truck ye git.?
ReplyDeletemonyetnya item2 kayak lutung gituuu.
Deletenah, pas di taman hidup gw jauh2 gamau deket2. Ada mbak cantik di pos yang dekat danau. gak liat ikan gede jg, takut dicaplok :(
Selamat ulang tahuuuun.. Semoga selalu sehat dan bahagia.. :D
ReplyDeleteItu jejak kucing gembulnya gede banget yak! Hiks.. Rada semaput kalok gitu.. *lemah*
iyaaaak Beb. atut :(
DeleteKaga tau jadinya gua kalo maen kesono -___- bisa bisa rombongan nambah mulu wkwkw
ReplyDeletegak usah main kesono2. gak usah :(
Deletepengalaman yang kayak begini ... pasti akan selalu dikenang ....
ReplyDeletekombinasi yang menarik ; meong, setan dan pemuja berhala ...:)
banget, gan!!! gak lagi-lagi deh >,<
Delete:) ,,,, Siapa suruh main ke gunung ? :p. . Mmm ... kadang Argopuro ga se-serem itu qo, secara pengalaman di 2006 ga ada apa2 karna cuma ditempuh waktu lintas Baderan - Bermi via Cisinyal cuma 7mlm 8hari. Dan kembali mengenang jalur itu di 2010 masi ga se-serem itu juga qo, cuma sedikit kaos terkoyak akibat berkelahi sama babi hutan yg wajahnya setinggi wajah sendiri. Dan..... akhir 2014 pun balik kesana, hanya berdua pula. And nothing at all to be screamed, cuma kedinginan dan penuh amarah aja gata2 bekel keril segede gaban, ahahahaha. ********jangan pernah sesalin pendakian, jangan pernah marah2in gunung, jangan pernah membenci sesuatu yg udah menjadi namanya (nama gunung), dan jangan pernah membenci hutannya yg ada setan, karna disitu memang habitatnya******* . Wew
ReplyDeletekayaknya disitu nggak ada tulisan marah2 atau benci deh yaaa :)))))))
DeleteHutan lumut emang rada rawan neng :) minggu kemaren lewat sono pas masuk maghrib. Suasananya itu loh hehe
ReplyDeletehahaha akuhh muter2 disana enam jam kaaaaak sampai tengah malam baru sampaaaai
DeleteLooh kok bisa dirimu muter2 hihihi. jalurnya kan jelas, emang spooky bener dah di hutan lumut. denger cerita pak arifin aja ampe merinding...
Deletekebetulah kita lewat aing kenek yg jalurnya ketutup dan harus nebas dari cisentor. entah yaa
Deletehoror banget cerita mendakinya mbak, tapi mungkin itu bisa dijadikan pengalalaman..
ReplyDeleteWowww
ReplyDelete