Saturday, 18 April 2015

Pahit Manis Menuju Puncak Rengganis


Cerita sebelumnya klik di sini :)

Dari Cisentor menuju Puncak Argopuro
Menuju Cisentor

"Aaaah, rasanya berat ninggalin Cikasur." Saya mengerang sambil melintasi padang rumput yang entah di mana ujungnya.

"Sama. Kita nggak boleh semalem lagi, ya, di sana?" Sahut yang lainnya.

"Iiiish, lu mah pada nggak kasian sama gue. Kan gue mau ngejar ujian." Sanggah Acrut kemudian.

"Aaah, elu mah ujian mulu, Crut. Ujian hidup aja nggak kelar-kelar." Celetuk saya dengan suara agak keras. Yang lainnya tertawa. Kemudian berjalan dengan ritme masing-masing sambil menikmati semilir angin yang semakin sejuk. Namun tiba-tiba, seperti terdengar suara auman entah dari mana. Seketika rumput dan tanah di hadapan saya bergetar. Saya berhenti sejenak, kemudian Hanis memberi kode agar tidak panik dan tetap berjalan.

Itu pasti suara meong. Batin saya sambil sok tenang.


Beberapa detik setelahnya, tiba-tiba kabut turun. Menurut mitos, kalau teriak-teriak di Argopuro pasti nanti jadi kabut gitu. Padahal tadinya mah panas banget, eh tiba-tiba jadi begini ._.

Dari Cikasur menuju puncak Argopuro
Aki Nana jadi tambah item

Baru juga satu jam berjalan, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dari tempat yang agak jauh dari auman tadi. Sambil menunggu kabut turun, kami membuka bekal otak-otak dan nata de coco. Hanis membantu saya menyiapkan wadah dan sendok. 

"Di sini beneran masih banyak meong, ya, Bang?" Tanya salah satu dari kami kepada Bang Cehu selaku sesepuh.

"Iya, masih." Sahut Bang Cehu sambil terus mengunyah.

"Terus kalo ketemu gimana, Bang?"

"Ya, nggak gimana-gimana. Berhenti aja tunggu dia lewat. Jangan lari, nanti malah dikejar. Hahaha."

Kami berhenti cukup lama sampai akhirnya adzan Ashar berkumandang dari ponsel Acrut. Setelah shalat, Bang Cehu memberi kode agar segera melanjutkan perjalanan.

"Paling lambat kita sampai Cisentor jam enam, ya." Ujarnya.

Saya berjalan dengan langkah teratur di antara Bang Cehu dan Hanis, sementara Acrut semakin jauh tertinggal di belakang. Layaknya baterei, mungkin Acrut sudah mulai low dan perlu dicharger. Untunglah ada Opin yang setia menemani langkah Acrut. Sedangkan Aki Nana, tentu saja masih setia jalan berdua dengan si Ekki.

Savana mulai berganti dengan barisan pohon dan tebing-tebing tinggi. Tebing yang cocok sekali untuk rock climbing. Awalnya, saya pikir jalurnya memang naik ke atas tebing yang mirip dengan jalur Senaru di Rinjani ini. Namun ternyata kami terus berjalan melalui jalur setapak menuju suara gemercik air. Suara sungai!

"Udah deket, nih. Istirahat dulu di sini. Sambil foto-foto, deh. Bagus pemandangannya." Ujar Bang Cehu sambil duduk di batu besar. Kami turut mencari spot yang muat untuk duduk, kemudian melanjutkan foto-foto.

Tebing Cisentor
Cover Album Boyband
Jurang dan Sepatu yang udah dua kali diajak ke Argopuro
Cheers ^^v

Saya menikmati setiap inci dari keindahan di Argopuro ini. Hutannya, padang rumputnya, tebing-tebingnya, sungainya dan semua kenangannya. Argopuro, gunung yang dari awal menanjak sampai hari ketiga belum juga kelihatan puncaknya, apalagi ujungnya.

Sambil terus berjalan, tiba-tiba terlihat pos kecil di seberang sungai. Lantas kami menuruni tebing melalui jalan setapak dan berdebu, yang katanya kalau hujan bakalan jadi licin banget serta banyak cacing. Untunglah kami kesini di saat musim kemarau.

Saya menyeberangi sungai dibantu Hanis. Kemudian menyapa pendaki yang sudah mendirikan tenda di dekat pos. Sementara kami mengambil spot di atas. Dua tenda akan kami bangun di sana.

"Alhamdulillaaah, baru ini sampai camp tapi masih terang. Biasanya pas banget adzan Maghrib." Ujar Hanis seraya meletakkan carrier. Saya langsung sibuk mengeluarkan matras, nesting, kompor, jaket dan headlamp. Saya memperbanyak gerak karena merasa kedinginan sekali. Entah karena apa. Untunglah Acrut pengertian dan langsung membantu saya menyiapkan bahan untuk memasak. 

Tiga buah kompor yang lengkap dengan nestingnya telah disiapkan. Menu malam ini bakso kuah dan bihun goreng. Sementara satu kompor lagi dinyalakan untuk merebus air dan membuat cokelat panas. Saya membuat bakso kuah lada yang menghangatkan hidung serta tenggorokan. Sementara Acrut membuat bihun goreng sebagai tambahan karbohidrat karena persediaan beras sudah menipis.

Masakan matang bertepatan dengan adzan Maghrib. Usai shalat, Bang Cehu mengumpulkan kami di dalam satu tenda. Dengan membentuk lingkaran, kami meletakkan makanan di tengah. Kami bersyukur masih diberi kesempatan hidup dengan persediaan makanan yang melimpah dari hari pertama sampai sudah di pertengahan jalan ini. Setelah berdoa, kami makan bersama. Makan besar yang membuat semuanya kekenyangan. Renyah suara pilus sebagai pengganti kerupuk menemani makan malam kami.

"Besok kita muncak lewat mana, Bang?" Tanya Hanis membuka obrolan.

"Kita naik ke atas, lewat Rawa Embik." Jawab Bang Cehu.

"Kita bisa kan, ya, ngecamp di Rawa Mbek?" Tanya saya kemudian.

"Bisa, tapi masih agak jauh dari sini. Airnya juga masih bagusan Cisentor. Kasian Agit minumnya banyak."

Malam ini kami banyak bertukar cerita. Diawali dengan pertanyaan Bang Cehu tentang pengalaman pertama saat mendaki, semata-mata untuk melupakan kejadian dari perjalanan panjang selama dua hari lalu. Sampai akhirnya Bang Cehu tiba-tiba teringat Almarhumah Ibunya. "Mumpung malem Jum'at, gue minta doanya ya buat nyokap. Hari ini harusnya seratus harian."

"Terus lo nggak papa malah naik gunung?"

"Gakpapa. Yang penting do'anya. Al-Faatihah."

Dan seketika semua menundukkan kepala. Larut dalam keheningan malam yang sunyi, tanpa ada suara jangkrik maupun hewan lain. Hanya terdengar desir angin yang menyentuh tenda. Malam yang sangat mengharukan. Kami meninggalkan keluarga di rumah hanya untuk bertemu dengan keluarga sebagai teman seperjalanan. 

"Gue kangen Mak Embun." Ujar Acrut kemudian.

"Gue juga kangen nyokap sama Ghania." Sahut saya pelan.

"Apalagi gue, dari kecil udah rantau. Ortu di Jambi, sekolah di Bekasi, kuliah di Malang, lebaran nggak pulang." Tutur Opin panjang lebar tanpa disuruh.

"Iyah, gue juga kangen rumah." Ujar Hanis dan Ekki berbarengan. Sementara Aki Nana hanya diam.

"Kadang, kita perlu menuju jauh untuk merasa meridukan dan dirindukan." Ujar saya kemudian.

***

Pagi hari di Cisentor terasa begitu hangat. Baru kali ini pula si cowok-cowok bangun duluan dan beres-beres. Mereka bahkan sempat-sempatnya mencuci pakaian di sungai. Lumayan, sudah tiga hari baju trekking nggak ganti-ganti eh ada yang nyuciin. Terus yang ekstrem lagi, mereka bikin jemuran pakai tali yang diikat dari satu pohon ke pohon satunya. Jadinya tu jemuran berada pas banget di tengah jalur. Untunglah jarang ada yang lewat sini.

Hanya butuh waktu tiga jam untuk jemuran tersebut kering sempurna. Menu sarapan kami pagi ini adalah pancake madu. Sementara untuk bekal muncak nanti berupa omelete mie dan dodol goreng. Tanpa nasi? Iya! Berasnya tinggal buat besok :(

Kami berkemas dengan cepat. Walaupun ujung-ujungnya kesiangan juga. Pukul sebelas, kami meninggalkan semua peralatan di Cisentor dan berdoa demi kelancaran menuju puncak Rengganis nanti. Syukur-syukur bisa ke puncak Argopuro.

Jalur terus menanjak. Target pertama kami adalah Rawa Embik. Saya lebih banyak diam. Yang lainnya masih bisa tertawa sementara saya tidak. Entah kenapa, saya jadi mendadak kaku kayak kanebo kering :(

ya kan? Muka saya nggak banget :(

Sesampainya di Rawa Embik, kami menunggu Aki Nana yang malah sempet-sempetnya pup lama banget. Padahal kami harus mengejar waktu dan rasanya bakalan aneh kalo harus muncak malem. 

"Aki-aki boker lama banget." Ujar kami serentak saat Aki Nana datang.

"Ettt, maraaaah." Jawabnya cuek.

Tujuan kami berikutnya adalah Savana Lonceng. Untuk menuju ke sana, kami harus melalui hutan edelweis dengan pepohonan tinggi. Iya, hutan edelweis! Bukan lagi lembah edelweis!

Hutan Edelweis

"Ini udah hari ke empat, kita belum juga ngeliat puncak!" Ujar saya geram. Bang Cehu terkekeh.

"Bentar lagi keliatan puncaknya kalo udah di Savana Lonceng. Makanya buruan jalannya."

Kami tiba di Savana Lonceng bertepatan dengan Adzan Ashar. Usai menunaikan shalat dan menghabiskan bekal, kami bersiap menuju Puncak Rengganis. Kurang dari tiga puluh menit, kami tiba di sini...

Lovieisme \m/
Untukmu...
Makasih, Jagoan...
Iya, gue tembem, iya...

Finally, Puncak Rengganis :')

"Selamat Ulang Tahun, Agit..."

"Ish, masih besok!" Bantah saya.

"Nggak papa, dirayain hari ini aja. Hahaha." Saya tersenyum haru. Akhirnya ulang tahun di gunung lagi. Akhirnya, masuk kepala dua. Akhirnya, bukan anak-anak lagi.

Kami menikmati puncak Rengganis sampai matahari terbenam. Garis sunset yang cantik membuat saya dan Hanis mendadak berpose ala-ala foto pre-wed. Ya doain aja, siapa tau 'wed' beneran, Hehehe. 

Kami tiba di Savana Lonceng beberapa menit sebelum Adzan Maghrib. Bang Cehu menawarkan untuk lanjut ke puncak Argopuro. Namun saya sudah menyerah duluan. Andai saya sedang bersih, pasti berani untuk lanjut. Sementara keadaan sangat tidak mendukung. Jadilah saya, Acrut, Opin dah Ekki menumpang di tenda rekan pendaki yang kebetulan ngecamp di Savana Lonceng. Sedangkan Bang Cehu, Hanis dan Aki Nana lanjut ke Puncak Argopuro.

"Nis, buka jalan buat gue." Ujar Bang Cehu kepada Hanis. Dan mereka meninggalkan kami.

***

Kami menunggu dengan cemas sambil melahap puding cokelat karena kelaparan. Betapa baiknya sang tuan rumah menghidangkan kami indomie rebus dengan nasi hangat. Akhirnya, ketemu nasi juga hari ini. Setelah satu jam, Bang Cehu, Hanis dan Aki Nana kembali dan tampak kelelahan. Kami segera bersiap untuk ke Cisentor lagi.

Usai berpamitan dan mengucapkan terimakasih, kami meninggalkan savana lonceng dengan perasaan tak tentu. Ini akan menjadi trekking malam kami yang pertama di Argopuro. Semilir angin terasa semakin menusuk tulang. Sepi. Hanya kami bertujuh yang berani-beraninya melintasi jalur Lonceng - Rawa Embik di malam itu. Tak ada satupun pendaki lain yang terlihat. Bahkan jangkrik pun tak bersuara.

Di tengah keheningan malam yang rasanya kian mencekam, saya semakin pusing. Kepala saya berat. Napas pun semakin tak teratur. Dengan digandeng Acrut, saya terus memohon perlindungan kepada Sang Pencipta. Saya nggak mau ketemu apa-apa lagi.

Terasa langkah kaki yang semakin lamban, akhirnya saya melepaskan genggaman Acrut. Acrut mendahului saya dan membiarkan saya ditemani Hanis. 

Saya membiarkan jarak yang cukup jauh dengan Acrut, karena ada sosok hitam yang mengikutinya.

Kemudian saya ambruk.

Jatuh tersungkur ke tanah.

Hanis menarik saya, dan sosok hitam tadi menyeringai ke saya.

Saya menatapnya tajam sambil mengumpat dalam hati.

***


22 comments:

  1. Enaknya bisa mendaki gunung dan menikmati pemandangan alam sekitar yang di suguhkan oleh alam.

    ReplyDelete
    Replies
    1. enak banget, bang.
      apalagi kalau sama pasangan :D

      Delete
  2. Sosok hitam apaan? Diiih horor terus euy! :(

    Btw, meong yang dimaksud tuh kucing hutan atau harimau? Rada serem jugak kalok ketemu.. :'

    ReplyDelete
  3. sungguh reportase yg menarik... kapan2 main ke sulawesi mbak. nanti mendaki sama2

    ReplyDelete
    Replies
    1. ingin sekali ke Bawakaraeng dan Latimojong. doakan sampai rejekinya ya, kak :D

      Delete
    2. aminnn...! semoga terkabul.
      kalau mau ke bawakaraeng bagus idul adha. spya bisa menyaksikan masyarakat yg meraykn shalat di puncaknya...

      Delete
    3. wah, nampaknya seru. semoga dapat kesempatan ke sana :D

      Delete
  4. Kayaknya kalo gua nanjak bareng lo, malah ngobrolin macem macem dan bikin lo selalu liat yang aneh wkwkw nasib sial bisa liat dan selalu ada yang ngikutin kalo wkwkw

    ReplyDelete
  5. andai dibolehin mendaki gitu

    huhuhu sayangnya gak dibolehin

    ReplyDelete
    Replies
    1. semangat kakaaaak.
      diajak aja ortunya biar tau kalau mendaki itu seru :D

      Delete
  6. Pengen banget mendaki gunung tapi apadaya tidak mpernah di izinin orang tua katanya sih takut nyasar ga bisa keluar gara2 berita mahasiswa hiking ke gunung ga balik2, kadang ortu lebay juga ye hahaa..
    nice post bytheway, nice to meet you :)

    http://litarachman.blogspot.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkwkwk ya namanya juga orangtua. dulu aku juga digituin kok. tapi lama2 boleh juga.
      salam kenal juga :)

      Delete
  7. wah, perjalanan terus lanjut. tantangannya sampe ketemu hewan buas gitu? buset deh :"))
    btw, kamera nya bagus.

    ReplyDelete
    Replies
    1. thakyou, Jev.
      Kan gue udah bilang dari awal. Ini gunung dengan trek terpanjang se-Jawa. Makanya panjang banget :(

      Delete
  8. ternyata rute yg kita ambil sama ye git, cuma beda puncak doank, klo gw berhubung udah gelap jadi ya cuma bisa ambil puncak argopuro doank, gak sempet kerengganis. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hiks, sedih ya :(
      elu ngapa ke Argopuro sik, ga ke Rengganis aja. Argopuro ketutup gitu juga wkwkwk

      Delete
  9. Baca dari part 1 sampe selesai rasanyaa pengen ke argopuro walaupun ada rasa takut juga hahaha. "Kadang, kita perlu menuju jauh untuk merasa meridukan dan dirindukan." Boleh mba saya comot kata2nya hehehe, salam kenal.
    fhilmim.blogspot.com

    ReplyDelete
  10. Wah ada macan nya yak. Apakah tutul atau loreng? Kira2 lebar tapak nya seberapa neng? Makasih

    ReplyDelete
  11. Wah ada macan nya yak. Apakah tutul atau loreng? Kira2 lebar tapak nya seberapa neng? Makasih

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...