Saturday 11 April 2015

Perjalanan Panjang Menuju Cikasur

Cerita sebelumnya klik di ~> sini :)


Pagi hari di Pos Mata Air Satu sukses bikin saya nahan pipis sampai agak terang. Semacam ngeri ada yang ngikutin lagi, sampai-sampai saya ngelepehin bawang putih yang habis saya kunyah di tanah bekas saya pipis. Iya, segitunya. Tapi kan, lebih baik mencegah daripada 'ketemu' lagi.

Untunglah si Acrut orangnya rajin, ia mengajak saya menyiapkan sarapan. Segala jenis ketakutan akan setan segera sirna seiring datangnya mentari. Menu sarapan pagi itu berupa sosis goreng dan sayur sop. Sementara bakwan jagung kami siapkan untuk bekal di perjalanan menuju Cikasur.

"Bro, tembakau mana bro?" Tanya Bang Nana sambil mondar-mandir bawa golok. Gayanya udah kayak mandor tanah.

"Ni, bro. Ngelinting sendiri, ya." Ujar Sehu sambil melemparkan bungkusan tembakau. Yang cowok-cowok sibuk ngerokok sambil nunggu masakan matang. Itu juga disambi packing karena rombongan lain sudah mulai jalan.

Masakan matang. Usai sarapan, kami berkemas dan lagi-lagi menjadi pendaki terakhir yang meninggalkan camp.

Dan saya berdoa agar tidak bertemu 'apa-apa' lagi.


***

Baru saja lima belas menit meninggalkan Mata Air Satu, saya dan Hanis yang berjalan paling depan dikejutkan oleh plang ini...

Pintu hutan.

"Anjrit! Sehuuuu, kita udah nge-camp semaleman tapi baru masuk pintu hutan?" Saya emosik.

"Hehehe. Ngeselin ya?" Ledek Bang Cehu.

"Iyaaaa!"

Kemudian seketika motor melintas, dan kami lemas-selemas-lemasnya.

"Disini bisa ngojek?" Tanya salah satu dari kami.

"Bisa. Sehari langsung sampe Cikasur, dua ratus ribu." Jelas Bang Cehu.

"Horang kayaaaah." Celetuk saya. Setelah tim berkumpul, kami melanjutkan perjalanan. Saya dan Acrut kompak jalan paling depan karena merasa jalan kami paling lamban, sementara yang cowok-cowok pada ngerokok di belakang sambil haha-hihi. Acrut paham kalau selama perjalanan saya banyak diamnya. Dikit-dikit dia pasti nanya, "Git, nggak pa-pa?" atau sekedar mengingatkan "Git, jangan bengong!"

Setelah masuk pintu hutan, jalan yang kami lalui berupa tanah ngebul yang terus menanjak tak habis-habis. Setiap kali bertemu gundukan datar, kami selonjoran sambil menunggu Aki Nana dan Bang Cehu yang kompak jadi sweeper. Tapi tiap kali kepala mereka mulai nongol dari kejauhan, kami akan buru-buru beranjak dari gundukan tersebut. Nggak ada istilah nge-rest lama sebelum sampai di Sabana.

Bukit demi bukit kami lalui. Ini kayaknya lebih-lebih dari bukit penyiksaan atau bukit penyesalannya Rinjani. Kalau di Rinjani mah kan jelas ya, ada tujuh gitu bukitnya. Lah ini? Ora sudah-sudah. Sampai akhirnya alarm adzan dzuhur terdengar dari ponsel Acrut dan kami memutuskan untuk beristirahat di bukit yang entah ke-berapa.

Sambil menunaikan ibadah dzuhur bergantian, kami membuka bekal bakwan jagung dan cokelat cha-cha yang saya bawa.  Si cowok-cowok ini pada buka baju kegerahan. Saya sibuk mengabadikan momen kebersamaan yang kocak ini. Sampai akhirnya tanpa sadar saya menjepret foto ini...


"Aki-aki mirip Mahabarata!" Teriak saya sambil tergelak. Yang lainnya tertawa terbahak-bahak.

"Ett, orang lagi kegerahan dipoto. Apus ah apus. Malu! Mana pentilnya keliatan. Apus, Git!"

"Mmaaarrrraaaaahh.." Seru yang lainnya. Kami semakin ngakak ngeliat kelakuan aki-aki satu ini.

Usai shalat, kami lanjut berjalan ke bukit ke-sekian yang merupakan tempat dimana pos mata air dua berada. Aki Nana sibuk mengambil air sama siapa gitu, sementara yang lainnya membuka bekal bakwan jagung dan terus-terusan mengunyah sampai habis. Lupa nggak disisain. Alhasil Aki Nana ngambek sampe Cikasur :(

Selanjutnya saya dan Acrut terus berjalan mendahului si cowok-cowok. Saya ngebut sampai Acrut kewalahan. Maklum, hari kedua kaki saya sudah bisa diajak jalan cepat. Hanis juga sampai ngambek karena ditinggal sama saya. Huh, harusnya mereka bersyukur, kalau saya lamban kan mereka juga yang repot.

Saya terus melangkah dan berlari menuruni bukit yang bisa bikin meleset kayak perosotan kalau nggak hati-hati. Sampai akhirnya di hadapan saya berupa rumput luas yang cocok buat guling-guling kayak film india.

gunung argopuro
Huaaaaa... Sabanaaaaa~~~
Snapshot
Hanis di Kejauhan
Saya menghela napas panjang sambil berbaring di rerumputan. Inilah yang dinamakan Sabana Kecil dengan sebuah pohon besar yang merupakan tempat berteduh para pendaki. Hanis datang-datang cemberut ke saya. Katanya cemburu saya jalan sama Bang Cehu mulu. Uwuwuwu :3

Tak lama-lama kami di sana karena harus mencapai Cikasur segera. Sepanjang jalan kenangan, yang kami lalui hanyalah lapangan rumput tak bertuan. Aki Nana yang kerjanya sehari-hari sebagai Dishub makelar tanah, bawaannya udah gatel aja kepingin ngurukin tanah di Argopuro ini. Yassalam, kelakuan.

"Ashar wey. Berhenti dulu, ya!" Ajak Acrut sambil meletakkan tasnya di dekat pohon. Kemudian segera tayamum dan mencari-cari tempat untuk shalat. Ternyata Acrut memilih tempat istirahat yang pas, Sabana Besar!

Gunung Argopuro
Sabana Besar
Namun tiba-tiba...

"Crut! Awas motor, crut!" Teriak Opin dengan suara paling kencang. Saya dan yang lainnya tidak mau kalah mengerjai Acrut yang sedang shalat. Si Acrut juga dodol, nyari tempat shalat malah di jalur.

"Crut! Ada motor crut! Buahahaha.." Seru kami bersahutan dengan suara motor yang semakin menderu-deru. Acrut yang sedang khusyu'-khusyunya shalat tiba-tiba kabur karena khawatir akan ditabrak. Lantas kami makin ngakak melihat kelakuan Acrut.

"Sialan lu pada. Gue jadi batal kan! Wakakakak" Acrut malah ikut-ikutan ketawa. Saya sendiri sampai kebelet pipis saking kocaknya.

"Lah elu pe'a. Si ojek juga ngerti kali ada orang shalat masa ditabrak. Hahahaha." Sahut Bang Cehu sambil nepok pala. Pala Opin.

"Ah, udeh ah jangan pada rese, Acrut mau shalat ni."

***

"Cikasur sebentar lagi deh kayaknya, itu tadi Kang Ojeknya udah pada balik." Ujar Bang Cehu membuat kami semakin semangat untuk sampai di lokasi tujuan. Perjalanan panjang ini harus segera diakhiri. Mau nerusin rasanya masih jauh banget, mau balik lagi juga sama aja.

Oh, Argopuro...

"Eh, ada merak!" Teriak Bang Cehu yang lantas membuat para merak kaget dan seketika hilang dari pandangan. Saya mendadak menyesal tidak membawa lensa tele. tele ayam.

Sabana tak habis-habis sampai adzan maghrib berkumandang dari ponsel Acrut. Saya kembali panik. Takut-takut ada yang ngikutin lagi. Setelah adzan maghrib selesai, saya kembali ngebut dan paling terdepan.

Brukkk

Acrut terjatuh. Kami ngakak. Setelah puas ngakak baru deh bantuin Acrut bangun. Wkwkwkwk jahat dah pada.

"Tuh udah keliatan tenda warna-warni, ayo buruan." Ujar Bang Cehu menyemangati kami lagi. Setelah mendaki bukit dan melewati lembah, akhirnya kami tiba di Cikasur bersamaan dengan langit yang mulai gelap.

"Git, lapaknya penuh. Kalau maksa ngediriin tenda di sini, nanti kita kena angin. Bakalan dingin banget. Kalau mau, kita ngediriin di dekat pohon Afrika aja biar anget." Tawar Bang Cehu kepada saya. Saya menatap tajam ke arah pohon Afrika, satu-satunya pohon di Cikasur yang kelihatan serem banget. Seketika bayangan-bayangan yang tidak saya kenal bermunculan di depan mata. Saya menggeleng keras.

"Gimana?"

"Nggak mau. Disini aja, dekat pendaki yang lain. Rame-rame." Jawab saya tegas. Saya menatap ke sekeliling. Sepasang kakek nenek tersenyum kepada saya. Saya membalas senyumnya, kemudian sibuk membuat minuman hangat untuk yang sedang mendirikan tenda.

"Crut, shalat buru." Saya mengingatkan Acrut agar segera shalat. Sementara si kakek dan nenek tiba-tiba hilang dari pandangan.
***

"Malam ini kita masak sarden sama capcay, yaaa!" Teriak saya kepada anak-anak setelah memilih bahan makanan yang harus buru-buru dimasak agar tidak busuk.

"Iya, bundaaa." Sahut Aki Nana. "Mmmaaarrraaaah." Lanjutnya kemudian.

"Ett, pea lu." Dumel saya.

"Malem ini dessertnya pizza yaaa!" Teriak Bang Cehu tak mau kalah.

"Horeeee!" Koor yang lainnya. Masak-masak terasa semakin seru dengan keceriaan seperti ini. Saya dan Acrut sibuk membersihkan sayuran dan mengolahnya, Hanis dan Opin terlihat memotong-motong bahan makanan dan bumbu-bumbu. Bang Cehu menyiapkan bahan untuk membuat pizza. Eki menjaga beras agar tidak kelewat matang menjadi bubur. Sementara Aki Nana sibuk ngoceh dan berkomentar.

"Lu ngapa si, Na?" Ledek Eki kepada Bang Nana.

"Ngapa ge', suka-suka gua. Mmmarrraaaah!"

"Ett, aki-aki Cenggeyeng." Eki mulai sewot.

"Ett, cembletet! Mmaarrraaaah."

"Ya ampun, bahasa apalagi sih ini." Sebagai anak sastra, saya merasa gagal.

Sambil menunggu masakan kami matang, Bang Cehu mulai beratraksi. Ia menggenggam gagang teflon untuk memasak pizza. Setelah adonan mengembang dan topping telah diratakan, ia menyalakan pemantik tembak untuk membakar mozarella agar meleleh dan merekatkan topping berupa paprika, bakso, sosis dan bawang bombay. 

tsk

tsk

duaaarrrrrr

Gasnya ternyata bocor dan membakar si pemantik itu sendiri. Nyala api begitu besar sampai hampir mengenai flysheet kami. Untung saja Bang Cehu langsung membuangnya ke tanah lapang di dekat tenda kami. Kemudian memadamkannya perlahan.

"Yah, pemantiknya rusak." Ujar Bang Cehu sedih. Namun hasrat untuk membuat pizza mengalahkan kesedihannya. Ia mengulangi tahap membakar pizza, tetap dengan teflon yang sama, namun ketika adonan bawah mulai matang, ia membaliknya perlahan agar si mozarella meleleh.

Dan huwallaaa... this is it...

Pizza ukuran personal seketika lenyap dari genggaman. Iya, lenyap ke perut masing-masing. Belum juga puas makan pizza di gunung, tiba-tiba Bang Cehu menyudahi atraksinya. Katanya, besok-besok lagi makan pizzanya. Sekarang makan nasi, sarden dan capcay brokoli dulu. Saya makan se-nesting berdua dengan Hanis. Acrut se-nesting berdua dengan Opin. Aki Nana dengan Eki, sementara Bang Cehu sendirian.Ya, namanya juga #PacarOrang.

"Gue kan nggak doyan brokoli, tapi gue rela makan deh demi Acrut." Ujar Opin sambil melahap capcay brokoli.

"Gue juga nggak doyan sarden, tapi gue rela makan deh demi Opin. Eaaaaak." Timpal Acrut malu-malu. Kami sontak menyoraki kemesraan mereka di gunung. Ati-ati, Crut. Modus di gunung biasanya sementara. Hiks, curcol.

"Duh, behel gue gatel gara-gara makan ikaaaan!" Teriak Acrut beberapa menit setelah makan. Saya tersenyum sambil merapikan perlengkapan memasak. Malam itu Cikasur begitu dingin, sampai-sampai saya tidak berani keluar. Padahal milkyway sudah siap menemani malam yang tak kalah panjang dengan perjalanan seharian ini.

Puas kekenyangan, Aki Nana dan Eki merapatkan resleting tenda, mengingat angin di Cikasur sangat kencang. Maklum, dulunya Cikasur adalah bandara tertinggi pada jaman penjajahan. Bang Cehu masih keliling suasana Camp sambil ngomporin kami agar keluar karena langit malam itu penuh bintang. Tapi jujur, dingin banget. Sayup-sayup lantunan murotal terdengar dari ponsel Acrut. Opin mengikuti setiap lafadznya. Saya tersenyum melihat Hanis yang terlelap di pangkuan.

*
*
*
Bersambung ke sini >> Sepenggal Cerita dari Cikasur ^^

11 comments:

  1. Pentiiiiiillllllll....... >,< wahahhaha....


    Waaaahhh...ternyata andi cemburu yakk
    .. ?? :D duhhh...giitt...kapan kitak jalan berdua aja biar andi tambah cemburu ?? #eehh (--,)>

    ReplyDelete
    Replies
    1. eett cembletet...pengen banget apa lu bang ? wkwkwk :D

      Delete
    2. sudah-sudah, jangan bertengkar...

      Delete
    3. eett cembletet...pengen banget apa lu bang ? wkwkwk :D

      Delete
    4. Eeenngg..... Bikin orang cemburu itu seruu tauu ... :D

      Delete
  2. Seru banget ngikutin perjalanan kalian dari awal. Penuh kekocakan hehehe. Foto sabana2nya keren banget. Duh saya jadi kepengen segera ndaki argopuro yg udah lama terpendam dalam angan hahaha.

    Salam kenal yaa, salam pelangi :)

    ReplyDelete
  3. bagi resep pizzanya dong mba agit

    ReplyDelete
    Replies
    1. lahaciaaaa. wkwkwkwk itu bang cehu yang masak, pak :D

      Delete
  4. alhamdulillah ngakak baca nya.. 😂😂😂

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...