"Pak, kita pamit ya, pak.." Ujar kami sambil bersalaman dengan si Bapak penjaga basecamp Baderan. Saat itu kami naik bertepatan dengan hari Senin, kebayang deh sepinya ni gunung kayak apa. Hari libur aja sepi, apalagi hari kerja. Tapi beruntung ada dua tim dari Jakarta yang sudah naik duluan. Saya merasa tertampar ketika melihat adik-adik berseragam merah putih ini dengan semangatnya baris-berbaris mengikuti upacara. Sementara saya malah bolos kerja.
Kalau sudah besar jangan kayak kakak-kakak ini ya, dik. |
Kami berjalan dengan membawa botol minum yang lupa diisi ulang dan sebotol sprite doang. Udah gitu pas ketemu warung terakhir, dengan sotoynya Aki Nana bilang kalau sumber air nggak jauh. Bang Cehu senyam-senyum aja. Dia mah santai, nggak minum juga kuat asalkan masih ada rokok. Lah apakabar si Agit yang tiap lima menit berhenti buat minum?
"Yakin nggak mau beli minum dulu?" Tanya Bang Cehu lagi.
"Nggak usah. Segini cukup kok. Sumber airnya deket kan?" Aki Nana sotoy.
Tiga puluh menit kemudian...
"Agiiiiit, minumnya jangan banyak-banyak. Sumber airnya belum keliatan ini. Etdah bocah." Aki Nana mulai panik.
"Itu di depan bentar lagi ada air, sekalian kita dzuhuran dulu di situ." Ujar Bang Cehu menenangkan.
Namun lebih dari setengah jam, kami belum juga sampai di sumber air yang biasa digunakan warga untuk berkebun. Jalur yang kami lalui ini tersusun oleh bebatuan yang bikin kaki nyeri-nyeri kalo sol bawahnya udah tipis. Nyiksaaaa. Tapi untungnya jalur ini cukup landai dan nggak nanjak-nanjak banget. Beberapa juga memiliki sisi berupa tanah yang dapat dilalui motor. Dan yang paling penting adalah, perkebunan warga yang keindahannya bisa dinikmati di sepanjang jalur nyiksa ini. So far so good lah~
Jalan kita masih panjang~ |
Ciyee.. ciyeee.. |
Sampai akhirnya kami mendengar gemericik air dan berlarian menuju sumbernya. Eh, ternyata ada bapak pulang berkebun yang lagi ambil air juga. Nuwun sewu, pak.
Sambil menunggu giliran ambil air (buset, ambil air di gunung aja ngantri) beberapa dari kami membuka bekal makanan. Sisanya siap-siap mau shalat. Setelah haha-hihi lama di sini dan siap melanjutkan perjalanan lagi, Bang Cehu menunjuk sebuah batu. Batu yang sedari tadi menemani candaan kami di tengah hari bolong. Pas kami hampiri, batu tersebut adalah nisan.
Sambil menunggu giliran ambil air (buset, ambil air di gunung aja ngantri) beberapa dari kami membuka bekal makanan. Sisanya siap-siap mau shalat. Setelah haha-hihi lama di sini dan siap melanjutkan perjalanan lagi, Bang Cehu menunjuk sebuah batu. Batu yang sedari tadi menemani candaan kami di tengah hari bolong. Pas kami hampiri, batu tersebut adalah nisan.
Kemudian kami jalan cepet-cepet sambil tetep sok cool.
Dalam hati mbatin, anjir Sehu, kenapa baru bilang sekarang.
***
Siang hari di Argopuro pada awal bulan Agustus benar-benar panas-sepanas-panasnya. Kami nggak dikasih kabut sama sekali. Syukurlah, jalur bebatuan sudah berganti menjadi tanah kering berdebu namun teduh oleh pohon-pohon besar. Kami terus berjalan, berhenti, jalan lagi, ngemil-ngemil, haha-hihi, jalan lagi. Sampai akhirnya ponsel Acrut melantunkan suara adzan yang begitu merdu.
"Bang, udah ashar. Ini serius masih jauh?" Tanya Acrut dengan tampang datarnya.
"Kita shalat dulu, deh." Jawab Bang Cehu santai.
"Yah, tadi Acrut di jama' shalatnya."
"Kalau gue, selama di gunung masih bisa buat shalat, sekalipun harus tayamum, gak akan gue jama' shalatnya. Kecuali di kendaraan. Ini kan kita bisa shalat dimana aja." Jelas Cehu panjang lebar. Kami hanya mengangguk-angguk, kemudian bersiap untuk shalat. Sementara saya yang hari itu sedang berhalangan, memilih diam sambil duduk selonjor di tanah dan mengamati pohon-pohon rindang.
Deg. Perasaan gue nggak enak nih.
Baru ini mau ke pos pertama aja jauhnya naudzubillah.
"Crut! gue tembus!" Teriak saya panik ketika berdiri dan nepok-nepok bokong yang udah penuh darah. Dahi saya mengernyit bingung. Tembus di gunung adalah hal yang paling nggak banget. Biasanya setelah itu ada yang ngikutin. Aaaaaak! Pikiran saya udah kemana-kemana. Saya nggak mau hilang di gunung :(
"Udah, Agit ganti aja dulu. Ini biar kita yang ngurusin." Kemudian saya ganti ditemani Acrut. Sementara si cowok-cowok santri pada nyiram tanah yang saya tembusin pakai air dan menutupnya lagi dengan tanah. Untung saya naik gunung bareng santri. Nebeng do'a boleh kan yah? Hehe.
Selanjutnya trek yang kami lalui adalah tanjakan tanah liat yang nggak licin-licin amat, tapi beban saya bertambah berat. Hanis menyadari pergerakan kaki saya yang melambat dan tidak sengebut sebelumnya.
"Kamu capek?" Tanyanya iba.
"Perut aku sakit."
"Mau aku bawain tasnya?" #eaaaaak. Hanis modus.
"Nggak usah, aku minum obat aja." Ujar saya dan meminta break lagi. Perjalanan jadi semakin lama karena saya yang dikit-dikit kesakitan di perut.
"Git, plis, jangan lama-lama. Lu nggak mau kan maghrib di jalur? Nanti malah makin banyak yang ngikutin." Ujar Acrut mengingatkan. Saya semakin pucat dan mencoba mempercepat langkah. Namun apa daya, perut semakin melilit tak karuan.
Hanis dan Sehu bergantian menyeret dan mendorong saya.
"Uuuuuuwak!" Teriak Sehu, berharap ada yang membalas, sebagai tanda bahwa ada orang lain selain kami.
"Auuuuuu" Jawab seseorang dari kejauhan.
"Yeee! Sampe Pos Mata Air Satu!"
"Menu kita malam ini apa sodara-sodara?" Tanya saya lega setelah tenda dibangun. Sementara hari semakin malam bertabur bintang.
"Bikin sayur bakso sawi aja. Sama orek tempe yang gue bawa." Usul Acrut segera diterima oleh pria-pria kelaparan ini.
"Eh, kan masih ada bekal tadi sebelum kita jalan. Basi nggak?" Tanya saya lagi.
"Masih ada nih. Buat gue, ya?" Tanya Opin si kurus kering tapi makannya banyak.
"Opin nggak mau suapin Acrut?" #eaaak, Acrut mulai~
"Sini, aku suapin..."
"Aaaaa..."
"Tai lu pada." Aki Nana marah. Wkwkwkwk
Sambil memotong-motong sayur, Acrut disuapi Opin. Sementara saya sibuk mengaduk kuah bakso sambil jeprat-jepret.
"Crut, asap makanannya di kamera gue kok ngebul amat, ya?" Tanya saya.
"Itu asep rokok anak-anak kali, Git." Jawab Acrut santai.
"Hehe. Asepnya lucu, ya." Saya yang penasaran malah nge-zoom lagi. Eh, tapi kok... Bentuknya jadi kayak bayangan putih. Mata saya membelalak kaget. "Crut..." Panggil saya lagi.
"Apa sih, Git."
"Crut, ada yang ikutan kita masak. Ini bukan asep." Acrut melihat foto yang telah saya zoom, "Ini.. cewek.. crut." Lanjut saya terbata, kami berdua bengong tatap-tatapan.
"Anjrit."
"Gue apus ya, Crut?"
"I... Iyah, apus aja."
"Udah, Agit ganti aja dulu. Ini biar kita yang ngurusin." Kemudian saya ganti ditemani Acrut. Sementara si cowok-cowok santri pada nyiram tanah yang saya tembusin pakai air dan menutupnya lagi dengan tanah. Untung saya naik gunung bareng santri. Nebeng do'a boleh kan yah? Hehe.
Selanjutnya trek yang kami lalui adalah tanjakan tanah liat yang nggak licin-licin amat, tapi beban saya bertambah berat. Hanis menyadari pergerakan kaki saya yang melambat dan tidak sengebut sebelumnya.
"Kamu capek?" Tanyanya iba.
"Perut aku sakit."
"Mau aku bawain tasnya?" #eaaaaak. Hanis modus.
"Nggak usah, aku minum obat aja." Ujar saya dan meminta break lagi. Perjalanan jadi semakin lama karena saya yang dikit-dikit kesakitan di perut.
"Git, plis, jangan lama-lama. Lu nggak mau kan maghrib di jalur? Nanti malah makin banyak yang ngikutin." Ujar Acrut mengingatkan. Saya semakin pucat dan mencoba mempercepat langkah. Namun apa daya, perut semakin melilit tak karuan.
Hanis dan Sehu bergantian menyeret dan mendorong saya.
"Uuuuuuwak!" Teriak Sehu, berharap ada yang membalas, sebagai tanda bahwa ada orang lain selain kami.
"Auuuuuu" Jawab seseorang dari kejauhan.
"Yeee! Sampe Pos Mata Air Satu!"
Langsung bangun tenda, kemudian masak-masak. |
"Menu kita malam ini apa sodara-sodara?" Tanya saya lega setelah tenda dibangun. Sementara hari semakin malam bertabur bintang.
"Bikin sayur bakso sawi aja. Sama orek tempe yang gue bawa." Usul Acrut segera diterima oleh pria-pria kelaparan ini.
"Eh, kan masih ada bekal tadi sebelum kita jalan. Basi nggak?" Tanya saya lagi.
"Masih ada nih. Buat gue, ya?" Tanya Opin si kurus kering tapi makannya banyak.
"Opin nggak mau suapin Acrut?" #eaaak, Acrut mulai~
"Sini, aku suapin..."
"Aaaaa..."
"Tai lu pada." Aki Nana marah. Wkwkwkwk
Sambil memotong-motong sayur, Acrut disuapi Opin. Sementara saya sibuk mengaduk kuah bakso sambil jeprat-jepret.
"Crut, asap makanannya di kamera gue kok ngebul amat, ya?" Tanya saya.
"Itu asep rokok anak-anak kali, Git." Jawab Acrut santai.
"Hehe. Asepnya lucu, ya." Saya yang penasaran malah nge-zoom lagi. Eh, tapi kok... Bentuknya jadi kayak bayangan putih. Mata saya membelalak kaget. "Crut..." Panggil saya lagi.
"Apa sih, Git."
"Crut, ada yang ikutan kita masak. Ini bukan asep." Acrut melihat foto yang telah saya zoom, "Ini.. cewek.. crut." Lanjut saya terbata, kami berdua bengong tatap-tatapan.
"Anjrit."
"Gue apus ya, Crut?"
"I... Iyah, apus aja."
***
Setelah puas makan, kami beranjak tidur. Baru saja mau pulas, tiba-tiba ada yang menyenggol kaki saya. Saya yang setengah sadar hanya berpikir bahwa itu carrier saya yang jatuh kesenggol. Tapi kok ada yang nyolek lagi. Dengan malas, akhirnya saya terbangun.
Mampus gue.
Kemudian napas saya tercekat.
Kepala saya masuk ke SB lagi.
Rapet serapet-rapetnya.
Mau tau apa yang saya lihat?
Iya....
Jadi......
"Crut..." Saya ndusel-nduselin Acrut agar ia bangun.
"Hmmm..."
"Cruuuut. Banguuuun." Suara saya gemetar. Iya, kami hanya berdua di tenda itu. Sementara si cowok-cowok di tenda yang satunya.
"Apa si Git.."
"Crut, yang 'tadi ikutan masak', ada di pojok tenda." Bisik saya pelan.
"Huaaaaaaa." Acrut merapatkan SB nya kemudian teriak dan menangis ketakutan.
"Crut, kok jadi elu yang berisik sih." Saya malah ketawa-ketawa geli sambil nahan nangis.
"Gue nggak mau liat. Huaaa, Mamaaaaa.." Suara Acrut semakin kencang. Sementara terdengar suara langkah kaki grabak-grubuk menuju tenda kami.
"Git, Agit! Acrut! Kenapa?" Ujar Sehu dan Hanis. Mereka mendapati kami yang sedang merengket kayak kepompong dempet-dempetan.
"Ada itu." Ujar saya pelan.
"Kalian nggak pa-pa? Agit belum nyuci pembalut ya?" Tanya Sehu.
"Kalian nggak pa-pa? Agit belum nyuci pembalut ya?" Tanya Sehu.
"Belum. Emang boleh? Nggak dibawa pulang aja? Nanti amisnya nyebar." Saya ragu-ragu.
"Cuci aja sekarang."
"Airnya dari mana? Ini udah malem."
"Tuh air masih banyak, besok ambil air lagi." Kemudian Hanis sibuk menggali tanah, Sehu menatap sekeliling sambil merapalkan do'a. Opin nyetel murotal.
Dan selanjutnya, saya tak dapat tidur sampai pagi.
*
*
*
Bersambung ke sini >> Perjalanan Panjang Menuju Cikasur ^^
*
*
*
Bersambung ke sini >> Perjalanan Panjang Menuju Cikasur ^^
Jadi inti dari cerita ini itu "Acrut ama Opin jadian gitu ????"
ReplyDelete#Kaburrrrr #DisambitTenda
belom kelar qaqaaaa... wkwkwk
Deletetapi doakan saja semoga jodoh. aamiin
terus kamu sama siapa? :p
hahhaha lagi asik dengerin lawakan mpok nori malah dibikin panik sama duo mbaeum..
ReplyDeletebilang aja agit minta ditemenin aku #ehh :D
bicik lau yang. wkwkwk
DeleteWaktu kesini belum nemu Cacing yg Ndok...?
ReplyDeleteagustus keriing beneeeer
Deletecacing disini emank ngerik ya bang dwi, gedenya sejempol gajah, sayang agit gak ketemu kerumunan tuh cacing.. bau bangkainya bisa bikin selera makan ilang..huek..
DeleteAMIT-AMIT! HIH!!
DeleteBukannya diajakin pake SB bareng, itu dia pasti kedinginan.
ReplyDeletetai lu don. wkwkwk
Deletehantu nya seperti apa bisa dijelaskan ?? penasaran nih hahaha...
ReplyDeletembak kunti, kak :(
DeleteWah berarti bener ya kalo naik pas lagi dapet emang rentan.. Hehe
ReplyDelete*nunggu lanjutan*
kapok aku, kak :|
Deleteserius, hantu??
ReplyDeletejiwa petualang banget nih...
keren deh perjalanannya.
ah, jangan gitu dong jev, gw emang keren kok *ngikik*
DeleteHeett...geblekk dah si agit... :( ngapah baru ngasih tau sekarang kalo ada yg ikut ke foto pas di pos satu :( kenapa pulak di apuss... Baahhh...cam mana kau ini nenk :(
ReplyDeleteatut baaaang :(
DeleteNah kaaaan.. Itu salah satunya aku ngga mau ndaki pas lagi dapet, soalnya kalok nembus bakalan ada yang ngikutin. Hiks.. Tapi syukurlah beneran ngga papa yah.. Bisa pulang dengan selamat.. :'D
ReplyDeletebelum selamat, kak. penderitaannya masih panjang (
DeleteWah, Argupuro. Jalur Track-nya parah ga tuh mba ? rumit y..saat beradventure tp tamu bulanan dateng
ReplyDeletegak parah-parah banget, sih. Tapi panjaaaaang~
DeleteWah seru banget kak ya kayaknya. Kapan2 kesana ah
ReplyDeletesegera, kak :D
Deletebaru tahu kalau naik gunung lebih baik tidak lagi dapet ...
ReplyDeletedianya mau nanya kali ....
ish, iseng banget nanya-nanya. diajak kenalan aja aku gakmau. wkwkwk
Deletenuhun sewu..
ReplyDeleteitu pembalutnya dicuci air gitu.? terus aliran darah nya kebawa air dong.? bukannya lebih rentan.?
kita gali tanah, pembalutnya dicuci air, airnya dikubur tanah lagi mas, pembalutnya dibawa turun :)
Deletemerinding banget ya, pas naik gunung malah dapet, rasanya itu pasti gak karuan terus deh, apalagi kalau malem..
ReplyDelete