Beberapa kali aku menerima ajakan seperti ini...
"Get, naek gunung yuk.." Ajak Oci, teman kampusku.
"Iya, kapan-kapan ya. Males gue." Jawabku ngasal.
Atau ini...
"Anterin gue ke bukit apa kek, gue pengen ngeliat bintaaang sama langiiiiit." Ajak Tiwi, sepupu sekaligus partner kerjaku.
"Iya, kapan-kapan ya. Males gue."
Berkali-kali aku ditagih dua orang ini untuk menemani mereka naik gunung. Entah apa yang menjadi alasan utama mereka tiba-tiba terlihat begitu ngebet naik gunung setelah aku turun Rinjani. Awalnya mereka tak mengenal satu sama lain, namun aku sengaja memperkenalkan mereka berdua agar berkoordinasi sendiri untuk rencana naik gunung perdananya. Jika mereka berdua telah siap secara fisik, mental dan kebutuhan lainnya, aku baru mau jalan.
Perjalanan ini terjadi seminggu lalu, ketika tiga perempuan kecil dan labil kebingungan mengisi hari liburnya. Kebetulan mereka jomblo sehingga tak ada pacar yang melarang dalam perjalanan nekat ini (mereka? iya mereka jomblo. aku sih engga.). Kami memilih untuk menjamah Gunung Gede karena gunung inilah yang terdekat dengan kota kami. Kami juga memutuskan untuk naik gunung dalam sehari saja tanpa berkemah. Ayah Riffat lah yang menjadi pacuan kami mengapa berani untuk tektok di gunung ini. Ia dan suhu-suhu lainnya biasa naik pukul sembilan pagi dan sudah turun dan sampai basecamp pukul empat sore. Mereka hanya membutuhkan waktu tujuh jam untuk naik-turun gunung ini.
***
Sabtu, 5 Oktober 2013
Aku meninggalkan Bekasi lebih dahulu. Sebelumnya aku harus ke Taman Menteng untuk
technical meeting dengan kawan-kawan
Eks-Semeru 2013 yang akan merayakan reunian di Merbabu (tunggu ceritanya, ya!). Sementara Tiwi masih bekerja di kliniknya sampai pukul sembilan malam, dan Oci kebagian tugas untuk menjemput Tiwi.
Mereka akhirnya meninggalkan Bekasi sekitar pukul sepuluh malam. Oci adalah perempuan bertubuh mungil yang bawelnya luar biasa, sementara Tiwi adalah sosok wanita dengan postur tubuh besar dan suaranya yang menggelegar. Mereka berdua bagaikan..... *isi sendiri* Kebayang gak, mereka berdua naik bis sampe Pasar Rebo dan menungguku sampai dua jam? Apa saja ya, yang mereka bicarakan sepanjang jalan?
Aku ngaret. Transjakarta yang begitu langka karena adanya Pasar Malam di Monas membuatku kesulitan untuk menuju Pasar Rebo. Untunglah mereka berdua setia menungguku. Pukul setengah dua belas malam, kami bertemu. Tak lupa untuk saling berpelukan.
Setelah membeli pisang dan sekiranya logistik lengkap, kami memutuskan untuk menaiki Bus Marita tujuan Cianjur. Tarif bus ini duapuluh ribu rupiah. Kami duduk di tangga depan dikarenakan semua kursi telah terisi penuh.
"Te, gue laper..." Keluh Tiwi. Iya, disini aku dipanggil Gete, bukan Agit.
"Yaudah, makanlah. Tadi mbungkus nasi goreng kan dari Bekasi?" Tanyaku pelan, takut mengganggu penumpang lain yang sedang tidur.
"Iya, tapi sendoknya gak adaaa." Ujar Tiwi dengan suaranya yang besar. Penumpang mulai ber-sstttt-ria. Aku mengambilkan sendok dari dalam tasku. Kemudian kami makan sebungkus nasi goreng bertiga dengan lahapnya.
Setelah makan, kami mencoba untuk tidur atau sekedar memejamkan mata. Henfonku mati sehingga tak bisa melakukan apa-apa selain memandangi jalanan. Sebuah jalan yang tak pernah terasa asing. Sebuah jalan yang dulu sering kita lalui bersama dengan roda-duamu. Ah, sudahlah.
Dan sepanjang jalan kenangan, motor-motor Vespa berjejeran.
Yak! Ternyata komunitas Vespa (entah regional Jabodetabek atau Jawa atau Indonesia) sedang melaksanakan sebuah acara di kawasan Cibodas. Supir Bus terlihat kesal karena motor mereka berjalan lamban, bahkan tak jarang tiba-tiba mati di tengah jalan. Kami hanya tertawa melihatnya. Begitu pula dengan Komunitas Motor Gede yang dengan seenak jidatnya salip sana-sini atau memotong jalan. Bagaikan monyet sok gagah yang tak tahu aturan. Cih!
Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di Masjid At-Ta'awuun. Masjid ini merupakan tempatku biasa menghilang dari peradaban sebelum mengenal dunia pergunungan. Iya, aku sudah biasa menghabiskan Sabtu-Mingguku di masjid ini. Jadi tak heran jika mereka ku ajak kesini untuk sekedar membersihkan badan, mengisi perut-perut lapar atau bahkan tidur sebentar. Tapi yang terjadi malah cekikikan sepanjang malam sambil berfoto-foto ria.
|
Ini Namanya Oci |
|
Ini Tiwi. Iya, kakinya emang gitu. Hahaha :D |
Pukul empat pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Cibodas dengan menggunakan bus Doa Ibu yang kebetulan lewat. Kami menyempatkan diri untuk tidur beberapa menit. Sesampainya di pertigaan Cibodas, Pak Kondektur membangunkan kami dan kami bergegas turun.
Kami segera berlarian ke Alfamart untuk melengkapi belanjaan yang kurang. Kemudian memutuskan untuk berjalan kaki sampai basecamp Indonesian Green Ranger. Namun hal itu tak berjalan lama, tiba-tiba dua buah vespa melintas dan berhenti di hadapan kami. Kami ketakutan.
"Mau kemana, mbak? Pagi-pagi gini udah jalan bertiga gelap-gelapan." Tanya salah seorang diantara mereka.
"Ke Cibodas, Bang." Jawabku ramah.
"Ayo, bareng aja. Kita juga mau kesana. Lagi ada event di Cibodas." Sahut yang satunya. Kami bertatap-tatapan bingung. Ragu.
Setelah melakukan perundingan panjang, akhirnya kami menuruti mereka. Tiwi menaiki vespa berukuran dua orang sementara aku dan Oci berboncengan di vespa yang lebih besar. Kami bertukar cerita sepanjang jalan. Ternyata mas-mas ini berasal dari Karawang dan dari kami sampai di bawah tadi, mereka sudah berniatan memberi tumpangan. Ah, memang susah memiliki tampang ketje seperti ini. *kibas jilbab*
Sesampainya di Cibodas, vespa-vespa ramai terparkir di sepanjang jalan dan pasar. Aroma subuh seolah-olah berdamai dengan wangi alkohol dan ganja. Kami turun dan mengucapkan terimakasih kepada mas-mas Karawang ini. Ingin rasanya segera kabur jauh-jauh dari mereka. Namun mereka menahan kami dengan pertanyaan basa-basi lengkap dengan permintaan nomor telefon. Kami bertiga kompak menjawab "Lupa", sehingga mau tak mau aku yang mengorbankan diri untuk memberikan ID Facebookku..
Kami segera mencari warung, melaksanakan shalat Subuh dan membungkus nasi sebagai bekal perjalanan. Setelah berdoa dan semuanya dirasa lengkap, kami memulai perjalanan pukul setengah enam pagi.
|
Emang sengaja dibikin blur muka orangnya :D |
Kami segera melapor ke perizinan dan membeli tiket wisata ke Curug Cibeureum. Iya, kami tak mengaku kepada petugas bahwa kami memiliki niat terselubung untuk mendaki Gunung Gede dalam sehari. Agak was-was sebenarnya. Namun ya sudahlah, toh niat kami tak jahat.
Kami terus melangkah dengan posisi Oci di depan, Tiwi di tengah dan aku di belakang. Oci berjalan cepat sekali dan Tiwi belum bisa menemukan ritme nafas beserta langkahnya, sehingga beberapa kali ia meminta
break. Sementara aku, aku menapak tilas jalur Cibodas ini (bisa dibaca >>>
disini). Jalur yang ku lalui bersama Imam dan Nauvael karena suntuknya pikiran dan jengahnya perasaan. Jalur yang kusebut dengan jalur curhat dan galau sepanjang jalan. Jalur yang meyakinkanku bahwa setelah turun dari sini, aku bisa menjalani hari-hariku tanpanya --- tanpa ia, yang setahun terakhir bersamaku.
Kami berjalan cukup cepat, hanya setengah jam waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke Telaga Biru. Aku segera sarapan sementara Tiwi dan Oci sibuk berfoto-foto. Setelah kriuk-kriuk di perut mulai hilang, kami melanjutkan perjalanan.
|
Lovieisme \m/ |
Kami tak banyak bercengkrama, hanya berbicara sekedarnya sambil bersenandung ria. Ku lihat muka stress terpancar dari wajah Tiwi, nampaknya ia telah merasakan penyesalan di awal. Iya, siapa bilang penyesalan selalu datang belakangan? Nyesel naik gunung itu datangnya di awal, tau! Puasnya belakangan :)
Di Pos Pencayangan, kami tak beristirahat. Saat itu pukul tujuh dan kami harus tiba di Kandang Badak sebelum Dzuhur. Kami terus berjalan sampai Pos Air Panas. Tiwi mulai ngebut dan aku masih terseok-seok di belakang. Payah -_-
Sesampainya di Kandang Batu, kami membuka nasi bungkus dan tidur sebentar. Lama kelamaan badan kami terasa dingin. Kami terus berjalan dan sebentar-sebentar beristirahat. Badan kami sudah terasa lemas dengan kantuk yang luar biasa karena tak tidur semalaman. Kami baru tiba di Kandang Badak pukul sebelas siang.
Setelah membuka termos berisi nata de coco plus floridina yang terasa dingin di tenggorokan, semangat kami kembali membuncah. Target kami sampai Tanjakan Setan tepat pukul dua belas siang. Namun rencana hanyalah rencana. Kami drop.
Kaki-kaki kami sudah mulai gemetaran. Nafas kami mulai terasa pendek. Beban di punggung kami seolah-olah bertambah dua kali lipat. Dan Tanjakan Setan tak juga terlihat. Berkali-kali kami disapa pendaki lain yang melintas dan meyakinkan kami bahwa puncak sudah dekat. Sampai pukul dua belas siang, kami tak juga sampai.
Kami kelelahan.
"Gue gak kuat, Te.. Ini udah jam berapa.. Kayaknya gak sanggup deh." Ujar Tiwi hopeless.
"Gimana, Ci?" Tanyaku pada Oci. Jujur, aku pun sudah pasrah dan ingin segera turun.
"Tanggung, Get.." Jawab Oci memelas. Kami semua diam menunduk.
"Gue takut kemaleman turunnya. Gelap di jalur." Ujar Tiwi lagi.
"Apalagi kita cuma bertiga.." Sambungku lemah.
"Gue juga udah lemes, Get. Tapi tanggung..." Tegas Oci.
"Lo naek deh, Ci.. Gue disini aja. Capek banget gue. Huaaaaa..." Mataku mulai berkaca-kaca. Begitu pula Tiwi. Sementara Oci terlihat pasrah.
"Yaudah deh, kita turun.." Ujar Oci tiba-tiba. Kami berpandang-pandangan sedih. Kami diam cukup lama.
hening
"Gue gak rela kalo kita nangis disini!! Udah ya, mendingan kita nangis diatas aja!!" Ujarku emosi. Sudah jauh-jauh kesini tapi nggak muncak itu rasanya percuma!
"Tiwi di depan, Oci tengah, gue belakang. Ci, lo pelan-pelan, sambil ngobrol aja sama Tiwi. Ikutin langkahnya. Gue mau jalan galau aja. Hahaha" Kami berangkulan dan melanjutkan perjalanan. Pukul satu kurang sekian, akhirnya kami tiba di Tanjakan Setan.
Trek Tanjakan Setan ini persis seperti bebatuan di Senaru. Bedanya, disini disediakan tali untuk rock climbing. Oci yang memanjat paling pertama, kemudian disusul aku dan yang terakhir Tiwi. Jam tangan Tiwi jatuh di Tanjakan ini. Sabar ya, nduk, nanti minta dibeliin yang baru sama si Mas ya :)
|
Ciyeee, yang habis ngelewatin Tanjakan Setan :) |
"Get, kita gila nggak sih, Get... Ke Gede tektok gini?" Tanya Oci tiba-tiba.
"Emang kenapa, Ci?" Tanyaku bingung.
"Iya, temen gue bilang gini, 'lu gila ya ci, gunung gede tektok. yang ada mati lu ntar' Gitu Get!" aku tertawa kecil.
"Iya, temen gue juga bilang gitu Te. Katanya kalo ke Gede harus nge-camp. Gak bisa tektok." Sambung Tiwi. Iya, Oci memanggilku Get, sementara Tiwi memanggilku Te.
"Kata siapaaaa?" Ujarku bijak. Mereka menggidikkan bahu.
"Ayah Riffat yang urutan ke-sembilan Mount Rinjani Ultra aja yakin kita bisa. Temen lo itu siapaa? Bisa apa diaa? Mereka bilang mustahil karena mereka gak pernah nyoba." Sambungku perlahan.
"Kata temen lo apa, ci? Kalo tektok Gede nanti lo mati?" Tanyaku pada Oci. Oci hanya mengangguk.
"Nah, nanti sampe puncak, lo bikin tulisan gede-gede kalo lo masih idup. Oke?"
"Hahahaha..." Kami saling tertawa.
Tiba-tiba muncul tiga orang mas-mas dari Bekasi juga. Kami terus mengikuti mereka. Mereka pun sabar menunggu jalan kami yang mulai melamban dan tertatih-tatih. Jarum jam telah melewati angka satu dan lagi-lagi kami merasa hopeless. Ya memang selalu seperti itu perjalanan ke puncak, selalu bikin down.
"Ayo, mbak. Dikit lagi!! Ini batas vegetasinya udah mau abis nih!!" Ujar salah satu di antara mereka terus menyemangati kami. Kami pun heran mengapa mereka begitu baiknya menunggu kami, padahal berkenalan pun belum.
Kami berjalan terseret-seret..
Dengan mata berkaca-kaca..
Dan lutut yang semakin lemas..
Kami berpelukan...
Di ketinggian....
|
Makasih ya, Tim Floridina!! |
Iya, kami menamakan tim kami ini Floridina. Tau Floridina, gak? Itu loh, minuman bulir jeruk yang jadi saingannya Pulpy Orange. Aku sengaja membawa oplosan Floridina, madu dan nata de coco yang hanya boleh dibuka jika telah sampai di puncak. Dan akhirnya kami pesta Floridina di puncak! Tak lupa melahap telur dan roti sebagai makan siang. Nyam :D
"Gete, lo gak bikin tulisan buat Mas Apik?" Ujar Tiwi tiba-tiba. Aku memutar bola mata dan menggeleng mantap disertai senyum penuh makna. Tiwi menatapku bingung.
"Kenapa?" Ujarnya kepo.
"Nggak papa." Sahutku singkat. Iya, jika diingat-ingat, sepertinya aku hanya membuat tulisan di Rinjani saja, di gunung lainnya belum pernah. Itupun tulisanku di khususkan untuk keluarga. Bukan untuk pacar dan lain-lainnya. Lagipula aku lebih senang foto dengan boneka daripada secarik kertas. Ah, sudahlah :)
"Yaudah, bikinin gue tulisan dong." Ujar Tiwi seraya menyodorkan kertas dan spidol.
"Buat?"
"Buat Rindi yang ulang tahun, sama buat si Mas yang lagi di Timur." Ujar Tiwi malu-malu. Aku menjalankan perintahnya sementara Oci sibuk sendiri.
|
2958 woooy, bukan 2985!!! |
|
You're Rock Ci!!! \m/ |
|
Anggap saja ini Medina Kamil versi Syariah ;) |
|
Sabar ya, bentar lagi ganti :') |
|
Lovieisme lagi \m/ |
Setelah puas makan dan jeprat-jepret, akhirnya kami turun. Ketiga mas-mas asal Bekasi juga ikut turun. Setelah mengobrol panjang lebar ternyata masing-masing dari mereka bernama Eko, Eka dan Tile. Mas Eko sama sepertiku, yang meracuni teman-temannya untuk tektok gede. Sementara Mas Eka dan Tile sama seperti Oci dan Tiwi yang hanya ikut-ikut saja.
Sepanjang jalur turun, aku berlari. Butuh waktu kurang dari satu jam yang kuhabiskan dari puncak sampai Kandang Badak, sementara saat naik tadi kami sampai tiga jam. Aku sampai lebih dulu di Kandang Badak dan memutuskan tidur cukup lama. Di jalur turun tadi Tiwi sempat jatuh, nampaknya kakinya mulai cidera---sebut saja kecetit.
|
without me :'( |
Aku tak tau kapan mereka sampai di Kandang Badak. Waktu telah menunjukkan setengah lima sore ketika kubuka mata. Aku tertidur dengan bersandar di sebuah pohon. Menurut informasi mas-mas yang kami ikuti, Tiwi dan Oci sedang mengambil air dan buang air. Bukan sambil menyelam minum air, ya. Bukan itu!
Kami melanjutkan perjalanan turun yang sudah pasti nantinya akan melalui night trekking. Bodohnya, aku lupa tak mengingatkan Tiwi agar membawa senter, sementara Oci hanya menerangi dirinya dengan lampu powerbank. Dan aku, aku lupa membawa batere cadangan untuk headlampku sehingga nyala lampunya terlihat redup. Untung ada mas-mas ini. Jadi sepanjang jalan turun pun kami mengikuti mereka.
Kami terus berjalan tanpa henti
Menembus kegelapan yang merasuki
Angin hutan tak lelah berbisik
Begitu pun suara jangkrik
Membangunkan bulu-bulu yang bergidik
Kunang-kunang menari-nari
Berkelap-kelip menerangi
Apakah benar hewan kecil nan indah ini
Terbuat dari kuku orang mati?
Mari segera pulang
Hutan tak lagi milik orang
Agita Violy - Ketakutan
Jalur Cibodas, 6 Oktober 2013
Kami tiba di Pos Pencayangan pukul tujuh malam. Tiwi bercerita bahwa ketika melintasi air panas tadi, dirinya hampir terpeleset karena licin. Untunglah ada mas-mas yang siap sedia menolongnya. Dan untung juga, ia memiliki kaki panjang sehingga kemungkinan ia terjatuh lebih rendah dibanding aku ataupun Oci yang kakinya lebih pendek. Oke, Abaikan.
Di pos Pencayangan ini, banyak pendaki yang beristirahat dan ngeriung. Kalo kata orang Jawa mah, njagong atau cangkruk. Aku tak kuasa menahan kantuk. Dengan beralaskan tas ransel avtech milik mas-mas, aku tertidur sambil ngiler. Maaf ya, mas. Aku khilaf ._. Oci dan Tiwi pun ikut tertidur sementara mas-mas sibuk ngopi dan merokok dengan pendaki lainnya.
Lama kelamaan badan kami semakin dingin. Akhirnya kami terus turun dan tiba di basecamp kurang dari jam delapan. Aku segera menyalakan henfon dan mengabari orang rumah bahwa aku pulang telat. Tak lupa juga memberi tau si Mas bahwa kami turun dengan selamat. Kami segera mengisi perut dan membeli minuman hangat. Kemudian bertukar cerita tentang pendakian.
Bogor gerimis. Mas-mas mengantar kami sampai pertigaan Cibodas. Kebetulan saat itu tersedia dua motor. Jadilah satu motor untuk mereka bertiga dan satunya lagi dipakai kami dengan Tiwi sebagai tukang ojeknya. Tak cukup lama kami menunggu bus menuju Jakarta. Setelah bertukar kontak, kami pulang.
Dan tak ada yang lebih menyenangkan, dari pengalaman dan teman-teman baru yang begitu beragam. Buatlah anak cucu kita bangga, bahwa ibu atau neneknya dulu adalah seorang pejalan yang tangguh. Salam pejalan...
Sekian :)