Thursday 20 March 2014

Giraffe Journey 1; Hutan, Air Terjun dan Puncak


Kenapa Giraffe Journey? Iya. Karena perjalanan ini melibatkan Jerapah! Ha!! Gimana caranya jalan-jalan sama Jerapah? Pasti ke kebun binatang? Tidaaak! Pasti ke Taman Safari? Tidak tidaaak!! Pasti jalan-jalan naik jerapah? Tidaaak!! Gendong jerapah? Bisa jadi!!

Abaikan -______-

Jadi gini, beberapa minggu lalu seorang teman mengajak saya untuk jalan-jalan dalam sehari. Istilah kerennya One day trip. Kalau jalan-jalan ke kota ya bisa-bisa aja. Tapi dia maunya jalan-jalan ke gunung. Sementara hampir semua gunung masih tutup. Terus aku kudu piye :(

Dengan pemikiran yang setengah matang, akhirnya saya mengusulkan untuk naik Gunung Gede saja. Karena sebelumnya saya juga pernah mendaki gunung ini dalam sehari (baca disini: Mendadak Gede 2958 mdpl). Dan kembali ke pertanyaan awal, mengapa Giraffe Journey? Karena teman saya yang bernama Asti ini akan mengajak boneka jerapah kesayangannya jalan-jalan! Ha!!


Minggu, 23 Februari 2014

Awalnya kami sepakat untuk naik bus ke kawasan Cibodas via Kampung Rambutan. Namun ternyata ban motor saya bermasalah (wis biyasaaa) sehingga menyebabkan tugas wajib menjemput Asti gagal. Akhirnya kami janjian di Stasiun Manggarai dan memutuskan untuk menaiki Commuter Line sampai Bogor.


Kami tiba di Stasiun Bogor masih pagi, kurang lebih pukul delapan. Kemudian segera naik angkot sampai entah dimana. Yang pastinya kami turun hanya karena butuh ke ATM. Lalu dilanjut dengan menggunakan bus dan minta turun lagi hanya karena satu alasan; mual. Daripada memuntahi penumpang lainnya, jadi lebih baik turun saja. Dan kendaraan yang terakhir membawa kami sampai pertigaan Cibodas adalah angkot yang ada warna pink-nya itu.

Sesampainya di pertigaan Cibodas, kami membeli jajanan dan melanjutkan perjalanan hingga pintu masuk Cibodas. Pak penjaga pintu tersenyum ramah kepada saya dan memberi harga limaribu untuk berdua, padahal seharusnya per-orang dikenakan biaya tigaribu limaratus. Mungkin beliau kenal saya? Iya, dong! Saya kan terkenal! Muahahaha. *pasang kacamata*

Kami memulai pendakian pukul sepuluh pagi, dengan perkiraan waktu pukul dua belas siang sudah sampai di Air Terjun Cibeureum. Harusnya sih bisa kurang dari itu. Tapi, mengingat badan saya yang semakin buntal dan mudah lelah, jadi pasti akan lama sampainya.

Seperti yang sudah kita tahu, jalur Cibodas ini teduh banget dan saya tetap memakai jaket selama trekking. Saya juga jadi teringat Ihsan di sepanjang jalan kenangan. Ihsan? Siapa lagi, Git? (Pada belum tahu Ihsan? Makanya, buruan beli buku "Rumah adalah di Mana Pun"!! Udah ada di Gramedia setempat, kok! *tetep promo*)

Asti galau. Ternyata diam-diam ia juga sedang memikirkan seseorang di sepanjang jalan sialan kenangan. Tapi bedanya, ketika galau, ia bisa berjalan lebih cepat. Sementara saya? Saya jalan sambil nendang-nendang batu :(



Dedek Jerapah Galau
Duo Buntal

Kami lebih banyak gosip-gosip unyu di sepanjang perjalanan. Yah, namanya juga cewek. Sesampainya di air terjun, kami juga tidak berendam atau main air. Kami hanya bengong, makan dan minum. Ini bener-bener jalan paling random buat saya. Cuma dateng, jalan, terus pulang -__-

Tapi ada enaknya juga, sih. Saya bisa jadi sekalian latihan fisik. Jadi besok-besok kalau kangen gunung, mungkin saya akan kesini saja. Terus juga saya baru tahu kalau ternyata ada tiga curug di Cibodas. Buahahaha. Iya, dari dulu tiap naik kesini nggak pernah sempat mampir ke curugnya. Eh, bukan nggak sempat mampir, tapi nggak ada yang ngajak :(



Jerapah Makan Lontong

Jerapah Minum Pocari

"Jerapah memiliki kaki kaki panjang dan dia bisa menjangkau manapun. Saya berniat membawanya kemanapun petualangan kabur saya berjalan. So that I will feel safe, always." - Asti.

Udah? Gitu doang jalan-jalannya?

Beluuuum!!!

Kami segera turun, takut hujan. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Puncak Paralayang. Nah, disitu saya kumat. Ternyata saya lupa penyakit yang ditimbulkan kalau saya keluar rumah tanpa sarapan. Saya mual dan jackpot ~~~\o/

Saat itu Puncak Paralayang berkabut. Jadi kami tak bisa berfoto-foto ria disana. Tapi saya punya stock foto yang lumayan banyak. Saya sudah sering ke Puncak Paralayang ini. Bukan untuk terjun bebas, tapi cuma untuk bengong dan kabur dari rutinitas. Nggak perlu trekking berjam-jam kesini tapi sudah bisa menikmati puncak dan panorama kota. Dulu, biasanya saya kesini malam minggu dan begadang sampai pagi. Cuma ngeliatin citylight sambil nunggu sunrise. Cukup geblek kan saya? :')

Nih, kalo mau tau Puncak Paralayang seperti apa :3


Tahun 2013

Tahun 2012

Tahun 2012

Tahun 2011

Tahun 2011


Akses ke Paralayang ini cukup gampang. Dari Terminal Kampung Rambutan tinggal naik bus sekali, terus sampai di pintu masuknya. Atau mau coba naik Commuter Line kayak saya tadi juga bisa. Bus yang paling keren yaitu Do'a Ibu, setelahnya ada Karunia Bhakti. Terus ada juga bus kecil kayak Marita atau Parung Indah yang bikin saya muntah selama di bus -_-

Totalnya, dari One day trip ini cuma menghabiskan waktu 10 - 12 jam. Saya berangkat pukul lima pagi dan telah tiba di Kampung Rambutan sekitar setengah lima sore. Asik ya :3
Nah, rencananya akan ada kelanjutannya yaitu Giraffe Journey 2!! Edisi One day trip juga! Ditunggu lanjutannya, ya :)

#GiraffeJourney 2 is Out! Check this link >> Kereta, Kuliner dan Keraton.

Sunday 16 March 2014

The Giraffe Journey

Tulisan di bawah ini saya kutip langsung dari blog perjalanan Kak @AstiDode. Dialah yang memulai dan mencetuskan The Giraffe Journey ini...
.....satu titik saya sadar ternyata ada satu orang yang paling saya takut kehilangan dan dia bukan jejak yang telah lalu. Saya terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan bahwa ada rasa itu di hati saya. Perjalanan ini saya lakukan untuk membuat saya yakin agar membuang rasa itu jauh-jauh dan membuka perspektif baru, perspektif yang lain, dan belajar memiliki hati seluas langit. Nanti tiba saatnya saya kembali, semoga pencerahan itu datang, saya bisa tersenyum untuk mengucapkan "Halo".
Melangkah Bersama Jerapah

Saya gak pernah berminat untuk membuat buku tentang perjalanan. Oleh karena itu hanya tulisan tentang perjalanan kaki-kaki jerapah inilah yang akan saya tulis. Kenapa jerapah? Saya menyukai corak dan kaki-kaki jenjang binatang ini, seolah dia mampu menjejakkan kaki kemana pun, coraknya seolah dia bisa beradaptasi dalam kelompok lain. 

Belum lama ini permintaan saya untuk memiliki boneka jerapah juga terkabul. Terima kasih, kamu.

Kami berdua sama. Melakukan perjalanan demi sebuah pelarian. Berlari untuk menghindari segala kegelisahan selama di kota. Perjalanan ini, adalah bentuk escaping dari kami berdua :')

Dan The Giraffe Journey akan dimulai. Bismillah...

Saturday 15 March 2014

[BUKU] Rumah adalah di Mana Pun


Sudah tau buku Rumah adalah di Manapun? Belum? Mari saya beri tahu apa saja yang ada di dalamnya!

Rumah adalah di Mana Pun merupakan buku yang paling saya tunggu kehadirannya. Karena apa? Karena saya termasuk salah satu dari sembilan belas orang penulisnya! Oyaaa? Finallyyy! Agit bikin bukuuu! *tumpengan*

19 Orang? Siapa aja? Mereka adalah Sari Musdar (Penulis Cinderella in Paris), Ken Ariestyani (Penulis Mahameru Bersamamu), Silvani Habibah (Penulis Love Journey), Indri Juwono (Finalist Travel Blog Skyscanner), juga blogger-blogger ketje kayak Rembulan Soetrisno, Chlara Shinta, Dite Rosita, Lucia Widi, Gading Rinjani, Ester Aprillia, Citra Novitasari, Mehdia Nailufar, Diansari Korompot, Christine Natalia, Intan Deviana, Imie Imita, Qisty Aulia dan Keyko Cecilia! Eh kok cuma 18? Siapa yang belum kesebut? SIAPA? Oh, ternyata saya sendiri, Agita Violy [--,]>

Huaaahh, banyak yaaa? Dari sekian banyak orang itu, ada yang kamu kenal, nggak? Karena tak kenal maka tak sayang, maka silakan berkunjung ke http://langkahdewi.wordpress.com atau twitternya @LangkahDewi untuk mengintip 19 dewi-dewi ini mandi berjalan dan bercerita tentang cinta. Atau klik saja namanya diatas, langsung saya link ke twitter penulisnya deh ;)

Buku ini bercerita tentang bagaimana pejalan perempuan menguasai keresahan hatinya saat traveling. Ada yang mencari pelarian karena patah hati, gelisah karena menahan rindu, mengingat kasih sayang ibu, hingga jatuh cinta pada tempat yang baru saja mereka kunjungi. Jika ditarik benang merahnya, teteup ya, perjalanan ini adalah cara mereka memaknai arti cinta. *bold* *underline* *italic*

Sembilanbelas cerita di buku ini dikemas secara cantik (karena dikemas secara apik atau bagus sudah terlalu mainstream) oleh sang Editor, Mas Adinto Fajar. Dari Sabang hingga Raja Ampat tercatat rapi di dalamnya. Mulai dari bangunan bersejarah, kota, gunung, pantai, laut, hingga desa adat terasa menyatu bagai Bhinneka Tunggal Ika. Buku ini memang bukan dibuat sebagai panduan perjalanan, namun rasanya cukup lengkap sebagai pegangan jalan-jalan keliling Indonesia.

"Seringkali ketika baca naskah-naskah travel yang sampai ke meja, saya merasa sayang. Destinasinya sih keren, tapi gregetnya nol!" Sedikit curhat Mas Adint di status twitternya (@adintof), nah mungkin itu penyebab naskah saya ditolak terus, ya? Kurang nggreget :( *oke, abaikan* 

"Sembilanbelas cerita dalam buku Rumah adalah di Mana Pun ini sungguh-sungguh dialami oleh masing-masing penulis, dan dikemas dengan alur yang menarik." Lanjut Mas Adint di status Twitternya. Penasaran, kan? Kan? Kaaannn???

Tak hanya cinta, mereka  juga memaknai setiap tempat yang mereka kunjungi bukan hanya sebagai pelarian (atas dasar patah hati atau suntuk karena pekerjaan), pencarian jati diri, persahabatan, tapi juga sebagai 'rumah'. Rumah adalah di mana pun, right? Kalau rumahnya ada dimanapun berarti tajir banget, dong, Git? Bukan ituuu! Maksudnya, Rumah bisa jadi di mana pun, selama kamu menemukan rasa nyaman, rindu, dan merasa 'pulang'.

Let me go home
I'm just too far
From where you are
I wanna come home 

- Michael Buble, Home.

Deu, jadi sendu gini. Mengingat di setiap perjalanan setahun terakhir, saya selalu nyanyi lagu ini dan kangen kamu, kangen pulang. Di buku ini juga saya menemukan quote-quote yang bikin cekikikan atau malah sebaliknya, jantung rasanya kayak ditujes-tujes (bahasamu, Git). Iya, seriusan! Coba deh baca pelan-pelan; 
  1. Mandalawangi : Mataku terasa panas ketika tiba di Mandalawangi. Seluruh badanku bagai mendapat relaksasi dari apa yang aku rasakan. Haru. Kabut tipis seolah memberi nuansa damai kepada bunga-bunga abadi.
  2. Tomini : Ini adalah terbang dikelilingi jutaan mahluk laut yang indah tiada banding. Dunia yang hening. Hanya ada letup dadaku yang begitu ingin berteriak keras tapi juga tidak ingin berkata-kata di saat yang sama. Surga apa ini?
  3. Wae Rebo : Setiap detik di sini adalah kekaguman, ketentraman, keindahan, keakraban, dan kehangatan. Saya sudah terpikat pada Wae Rebo.
  4. Bromo : Di sepanjang malam, saya merasakan cinta yang amat dalam pada Bromo. Tanpa terasa, saya meraba-raba hati saya, dan menemukan luka di sana yang sepertinya mulai pulih.
  5. Ijen : Di kawah Ijen, aku merasa tertampar. Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Adakalanya Tuhan dengan selera humornya memasukkan kejutan-kejutan kecil agar kita berinterasksi dengan manusia di sekitar.
  6. Derawan : Saking jernihnya air laut di pulau ini, sampai-sampai membuat boat kita seakan mengambang di atas permukaan airnya.Wow!
  7. Ranu Kumbolo : Aku menggerutu dan berjanji dalam hati, besok kalau naik gunung lagi, aku akan seperti cewek-cewek yang lain. Membawa perlengkapan cewek.
  8. Minangkabau : Aku ingin terus melestarikan lokalitas bangunan ini, mempopulerkannya sehingga menjadi kebanggaan dan tidak tergerus modernitas zaman.
  9. Belitung : Bila suatu saat saya menjejak kembali di Belitung, saya ingin itu dilakukan bersamanya. Agar ketika berlari, suara derap langkah kita seperti sedang bercerita. Agar ketika matahari sedang tinggi, bayangan kita saling menimpa. Agar sepi dapat rehat dari kewajiban melayani kita.
  10. Larantuka : Doa itu diikuti oleh seluruh peziarah termasuk saya, bahkan air laut serta hutan dari pulau seberang seolah ikut memantulkan lantunan doa, ikut serta merambatkan doa sampai ke langit.
  11. Toraja : Saya pun berlari ke tengah jalan, berdiri di antara rumah-rumah tongkonan dan lumbung padi, dengan seulas senyuman di bibir. 
  12. Sabang : Saya sudah jatuh cinta dengan pulau ini sejak pagi pertama sampai di pelabuhan Balohan. Atmosfer santai benar-benar terasa. 
  13. Lombok : Ini bukan hanya tentang songket dan tenun ikat khas Lombok serta rumah adat di dusun Sade, tapi ini adalah cerita tentang relasi yang indah. 
  14. Baluran : Tiba-tiba saya merasakan suhu hangat menghinggapi tangan kanan saya. Dia menyelipkan jemarinya, menggenggam tangan saya erat. 
  15. Bali :  Jimbaran tempat yang romantis. Meja makan dikasih lilin, beralaskan pasir pantai dan beratapkan langit.
  16. Raja Ampat : Beberapa tahun terakhir ini, kita sering mendengar pertikaian, perang antar suku maupun demo-demo di Papua. Tapi semua ketakutan serasa hilang, saat gunung yang gagah berdiri, indahnya Danau Sentani, dan senyum merekah dari anak-anak Papua menyapa saya.
  17. Mahameru : "Papa, Mama, aku sholat di puncak Mahameru..." Air mataku turun tak henti menikmati angin yang terasa seperti mengusirku, kini terasa lembut menyapa wajahku.
  18. Gua Jepang : Ternyata aku salah. Kupikir situs sejarah membosankan. Ternyata membuka mata hati kita, tanpa perjuangan mereka tak akan hidup nyaman seperti saat ini.
  19. Pulau Dewata : Hmmm.. Pulau Dewata? Pulau dewa-dewi bertahta? Mungkin.. Yang jelas, di sini surganya turis berwisata. Say yeah to the Bali Trip (again)! Yippiiie!

FYUUHH!!
Puas rasanya membaca tulisan blogger-blogger ketje ini dalam sebuah buku. Padahal dulu biasanya saya cuma mantau blog mereka aja dan mupeng sama tempat-tempat yang mereka ceritakan, tapi sekarang malah satu project, nongkrong bareng, galau bareng, curhat bareng, menye-menye bareng :(




Terimakasih banyak untuk akun @BackpackerStore yang telah menyaring blogger-blogger cantik ini. Juga @grasindo_id yang telah menerbitkannya. Dan kamu? Tunggu apalagi? Buruan ke Gramedia! Bawa duit 60ribu aja, nanti kembali seribu buat parkiran atau angkot pulang :)

Mari masing-masing dari kita bersikap layaknya rumah. Yang memberikan rasa nyaman dan hangat, yang menjadikan tempat berteduh kala dingin, yang mengacak-acak rindu seseorang ketika sedang menuju jauh. Karena Rumah, adalah di Mana Pun.


Salam Pisang,


Agita Violy  

Wednesday 12 March 2014

Nasi Pedas Bu Andika


"Di Bali susah cari makanan halal. Biar aman cari warung nasi Padang aja lah." Ujar Nauvel ketika saya sedang transit di Bali dan menunggu pesawat ke Lombok empat jam kemudian. Namun saya yang hanya bermodalkan motor sewaan tentu tak mudah menemukan warung nasi padang selain yang terdekat dengan bandara. Sementara sebagian besar dari warung-warung tersebut masih tutup karena dalam kondisi libur lebaran.

Saat itu saya berdua dengan seorang teman, sebut saja Bang Fadly. Ia mereferensikan Nasi Pedas Bu Andika sebagai menu wajib ketika berkunjung ke Bali. Ah, membayangkannya saja saya sudah ketakutan sendiri. Sebagai orang Jawa yang biasa makan manis, saya hanya bisa pasrah dan menyiapkan air minum yang banyak.

Warung Nasi Pedas Bu Andika terletak di Jl. Raya Kuta, tepat di depan Pasar Joger. Saya memilih menu ayam dan sayur rebung sementara Bang Fadly memesan ini...



Dari bentuknya sih biasa saja. Konsep mereka sama seperti warung nasi dengan etalase kaca dan kita bisa memilih sesukanya. Lauknya beranekaragam dari mulai teri kacang, ayam, telur, mie goreng, semur daging sapi, perkedel, sate, kulit ayam, urap, sayur daun singkong, sayur rebung dan masih banyak lagi. Saya kira awalnya nasinya yang pedas, ternyata hanya memakai nasi putih biasa. Nah, yang pedas ini sambalnya. Serius. Bagi penggemar pedas-pedasan wajib coba ini! Nasi Pedas Bu Andika sukses membuat muka saya melas seperti ini.




Untuk harga, tergantung lauk dan suka-suka pegawainya, sih. Kisarannya Rp 11.000-23.000an. Cukup bikin perut kenyang dan dijamin halal! ^^


*Catatan: Barusan setelah googling, ternyata warung nasi ini buka 24 jam! Wow :o

Thursday 6 March 2014

Mari Lari



Saya bukan pelari yang ingin bercuap-cuap tentang lari...

Akhir-akhir ini, hampir setiap pagi dan malam Path dan twitter saya dipenuhi oleh postingan Nike+ yang menunjukan jarak dan waktu tempuh teman-teman saya berlari. Mereka berlomba-lomba menambah jarak dan mempercepat waktu tempuh larinya. Tak jarang juga yang mem-posting banner untuk lomba-lomba lari mendatang. Seolah-olah lari adalah olahraga yang paling eksis saat ini. Mengapa?

Lari merupakan olahraga paling simpel. Tak perlu keluar uang banyak seperti olahraga lainnya dan bisa dilakukan dimana saja. Berlari pagi mengitari kompleks perumahan dengan kaos oblong dan kolor bekas tidur semalaman bisa saja dilakukan. Gratis dan mudah sekali. Tapi, lain halnya dengan lari yang berkelas, ya. Pakai sepatu lari, compressport, jam dan gadget canggih, kaos dan celana quickdry, atau tas dari jenis spibelt hingga hydropack. (Loh, kok saya jadi jualan?!)

Oke, lanjut..
Jadi, kenapa harus lari? 


Lari, bagi saya adalah media untuk menghalau galau (halah). Semacam quality time bersama diri sendirilah. Dan ini tipikal olahraga yang saya banget (baca: egois). Hahahahahaaa kenapa? Karena ga perlu nunggu ada orang yang mau lari. Kapanpun saya mau dan butuh, saya tinggal melakukannya. - @KeykoCecilia.


Bagi sebagian orang, mereka berlari demi menjaga kesehatan. Pola makan yang tidak teratur ditambah tingkat stress pekerjaan membuat mereka harus berlari layaknya menekan F5 pada keyboard, butuh di-refresh. Bagi sebagian lainnya, lari hanyalah demi sebuah eksistensi. Mengingat akhir-akhir ini event lari dari Marathon hingga Trail Running bertebaran dimana-mana. Lumayan, dong. Koleksi medali finisher, syukur-syukur naik podium!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...