Saya merasakan tidur sangat pulas setelah muncak semalam. Sampai
nggak bangun-bangun dan tau-tau udah pagi aja. Malas mengingat kejadian ambruk
semalam, akhirnya saya duduk di sebelah Hanis yang sudah bangun duluan.
“Selamat dua puluh tahun, Acita.” Ujarnya sambil menggenggam
tangan saya. Iya, di rumah, saya dipanggil Acita.
“Makasih..”
“Semoga makin dewasa, nggak kayak bocah lagi, nurut sama
ibu, cepet lulus kuliah, dapet kerjaan yang enak, bahagia terus...” Tanpa
terasa air mata saya telah menggenang. Mendadak kangen ibu. Saya langsung
memeluk Hanis yang masih sibuk ngoceh mendoakan saya dengan pesan-pesan baik
dan kata-kata mutiara. “Kok nangis...” Lanjutnya.
“Kangen ibu. Huhuhu.” Jawab saya terisak.
“Lagian sih, ulang tahun malah kabur.”
“Iya tahun depan nggak kabur lagi...” Saya mengatakan janji
palsu.
“Heeeh, ini ngapa anak orang lu bikin nangis?” Acrut
tiba-tiba bangun dan teriak-teriak. Nggak rela kalo saya dibikin nangis sama
Hanis. Kami sontak cengengesan menatap Acrut yang kerudungnya berantakan.
“Gue kan ultah, Crut.. Hehehe.”
“Waaa, selamat ulang tahun, bocaaaah.”
Pagi yang damai di Cisentor. Ditemani gemercik aliran sungai
dan kicauan burung yang saling bersahutan, angin menyampaikan doa ibu untuk
saya; yang membuat saya ingin pulang segera.