Wednesday, 22 April 2015

Argopuro: Siang Parno Macan, Malam Parno Setan

Cerita sebelumnya klik di sini :)


Pendakian Gunung Argopuro
Berkemas

Saya merasakan tidur sangat pulas setelah muncak semalam. Sampai nggak bangun-bangun dan tau-tau udah pagi aja. Malas mengingat kejadian ambruk semalam, akhirnya saya duduk di sebelah Hanis yang sudah bangun duluan. 

“Selamat dua puluh tahun, Acita.” Ujarnya sambil menggenggam tangan saya. Iya, di rumah, saya dipanggil Acita.

“Makasih..” 

“Semoga makin dewasa, nggak kayak bocah lagi, nurut sama ibu, cepet lulus kuliah, dapet kerjaan yang enak, bahagia terus...” Tanpa terasa air mata saya telah menggenang. Mendadak kangen ibu. Saya langsung memeluk Hanis yang masih sibuk ngoceh mendoakan saya dengan pesan-pesan baik dan kata-kata mutiara. “Kok nangis...” Lanjutnya.

“Kangen ibu. Huhuhu.” Jawab saya terisak. 

“Lagian sih, ulang tahun malah kabur.”

“Iya tahun depan nggak kabur lagi...” Saya mengatakan janji palsu. 

“Heeeh, ini ngapa anak orang lu bikin nangis?” Acrut tiba-tiba bangun dan teriak-teriak. Nggak rela kalo saya dibikin nangis sama Hanis. Kami sontak cengengesan menatap Acrut yang kerudungnya berantakan.

“Gue kan ultah, Crut.. Hehehe.” 

“Waaa, selamat ulang tahun, bocaaaah.”

Pagi yang damai di Cisentor. Ditemani gemercik aliran sungai dan kicauan burung yang saling bersahutan, angin menyampaikan doa ibu untuk saya; yang membuat saya ingin pulang segera.

Saturday, 18 April 2015

Pahit Manis Menuju Puncak Rengganis


Cerita sebelumnya klik di sini :)

Dari Cisentor menuju Puncak Argopuro
Menuju Cisentor

"Aaaah, rasanya berat ninggalin Cikasur." Saya mengerang sambil melintasi padang rumput yang entah di mana ujungnya.

"Sama. Kita nggak boleh semalem lagi, ya, di sana?" Sahut yang lainnya.

"Iiiish, lu mah pada nggak kasian sama gue. Kan gue mau ngejar ujian." Sanggah Acrut kemudian.

"Aaah, elu mah ujian mulu, Crut. Ujian hidup aja nggak kelar-kelar." Celetuk saya dengan suara agak keras. Yang lainnya tertawa. Kemudian berjalan dengan ritme masing-masing sambil menikmati semilir angin yang semakin sejuk. Namun tiba-tiba, seperti terdengar suara auman entah dari mana. Seketika rumput dan tanah di hadapan saya bergetar. Saya berhenti sejenak, kemudian Hanis memberi kode agar tidak panik dan tetap berjalan.

Itu pasti suara meong. Batin saya sambil sok tenang.

Wednesday, 15 April 2015

Sepenggal Cerita dari Cikasur

Cerita sebelumnya klik di sini :)

Catatan pendakian Argopuro
Pohon Afrika dan Ojek Cikasur

Saya terbangun karena bunyi alarm Hanis yang semakin kencang. Sementara yang lainnya belum ada yang bergerak, masih pada mengkerut di sleeping bag masing-masing. Setelah ngulet dan membunyikan semua tulang, saya menyadari kalau semalaman saya tidur mepet ke Hanis. Hanis sampai bikin tendanya doyong. Begitu pula dengan Opin di sisi pojok satunya, tidur mepet tenda sampai-sampai inner tenda menempel dengan outernya.

Saya duduk, Hanis juga duduk. Opin yang latah juga ikut-ikutan duduk sambil menggaruk kepala. Pandangan kami tertuju pada orang yang tidurnya kayak huruf Wau dalam Hijaiyah. Sadar akan terlalu lama dipandang, Acrut akhirnya terbangun.

"Lu ngapain pada ngeliatin gue?" Tanya dia bingung sambil membetulkan kerudung."

Saturday, 11 April 2015

Perjalanan Panjang Menuju Cikasur

Cerita sebelumnya klik di ~> sini :)


Pagi hari di Pos Mata Air Satu sukses bikin saya nahan pipis sampai agak terang. Semacam ngeri ada yang ngikutin lagi, sampai-sampai saya ngelepehin bawang putih yang habis saya kunyah di tanah bekas saya pipis. Iya, segitunya. Tapi kan, lebih baik mencegah daripada 'ketemu' lagi.

Untunglah si Acrut orangnya rajin, ia mengajak saya menyiapkan sarapan. Segala jenis ketakutan akan setan segera sirna seiring datangnya mentari. Menu sarapan pagi itu berupa sosis goreng dan sayur sop. Sementara bakwan jagung kami siapkan untuk bekal di perjalanan menuju Cikasur.

"Bro, tembakau mana bro?" Tanya Bang Nana sambil mondar-mandir bawa golok. Gayanya udah kayak mandor tanah.

"Ni, bro. Ngelinting sendiri, ya." Ujar Sehu sambil melemparkan bungkusan tembakau. Yang cowok-cowok sibuk ngerokok sambil nunggu masakan matang. Itu juga disambi packing karena rombongan lain sudah mulai jalan.

Masakan matang. Usai sarapan, kami berkemas dan lagi-lagi menjadi pendaki terakhir yang meninggalkan camp.

Dan saya berdoa agar tidak bertemu 'apa-apa' lagi.

Wednesday, 8 April 2015

Pos Mata Air Satu yang Mencekam

Cerita sebelumnya klik di ~> sini :)

Lovieisme \m/


"Pak, kita pamit ya, pak.." Ujar kami sambil bersalaman dengan si Bapak penjaga basecamp Baderan. Saat itu kami naik bertepatan dengan hari Senin, kebayang deh sepinya ni gunung kayak apa. Hari libur aja sepi, apalagi hari kerja. Tapi beruntung ada dua tim dari Jakarta yang sudah naik duluan. Saya merasa tertampar ketika melihat adik-adik berseragam merah putih ini dengan semangatnya baris-berbaris mengikuti upacara. Sementara saya malah bolos kerja.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...