Monday, 16 June 2014

Keliling Belitung Timur dalam Sehari

Cerita sebelumnya klik ini ~> Menuju Jauh ke Belitung :D


Rabu, 28 Mei 2014

Pagi ini saya terbangun karena air conditioner yang terasa semakin dingin. Setelah mematikannya, saya membuka jendela dan menghirup udara dalam-dalam. Saking dinginnya, hembusan napas saya terlihat seperti gumpalan asap rokok. Bila biasanya saya mendengar kokok ayam sebagai penyambut pagi, kali ini kicauan burung walet bersahut-sahutan tiada henti. Entah dari mana asalnya.

Selepas menunaikan ibadah subuh yang kesiangan, saya melahap sarapan milik Nauvel yang tersedia di atas meja.

"Ih, emang kamu nggak dapet sarapan?" Tanya Nauvel protes.

"Nggak tau." Jawab saya sambil mengupas kulit telur rebus.

"Iiiih, sarapan aku." Nauvel merengek. Saya cekikikan. Kemudian mengajaknya berkeliling, sekaligus membeli spirtus dan minyak goreng yang lupa saya bawa dari rumah. Ciah dan Papih belum bangun sehingga kami tidak mengajaknya.

Beruntunglah kami mendapatkan penginapan yang berada di pusat kota, hanya perlu berjalan kaki lima menit untuk bisa sampai ke pasar.

"Suara burungnya kok semaleman ya? Asalnya dari mana, sih?" Tanya saya bingung karena suara cicit cuit khas burung walet terdengar banyak sekali dan tak henti-henti.

"Kayaknya ada yang melihara, deh." Jawab Nauvel sok tahu.

"Terus burungnya nggak bobo gitu semaleman cicit cuit aja?" Tanya saya lagi. Nauvel hanya mengangkat bahu, menyerah untuk menjawab pertanyaan ngawur saya. Kemudian ia berlari-lari kecil menuju gapura Pasar Ikan.

Pasar Ikan Gang Kim Ting

Pasar Ikan bernuansa Pecinan ini sama seperti pasar-pasar pada umunya. Tak hanya ikan yang dijual, ada juga yang jualan buah, bumbu dapur, perabotan memasak sampai tukang sandal. Saya pribadi menyempatkan diri beli sendal jepit karena khawatir sendal jepit yang saya gunakan sebentar lagi putus :|

Kebanyakan penjual dan pembelinya yaitu Cina Melayu. Beberapa saya temukan logat Jawa mewarnai percakapan di pasar. Oh, iya... Kalau biasanya saya akan pusing berlama-lama di pasar karena banyak lalat dan bau sampah, kali ini lain cerita. Ikan yang dijual di pasar ini segar-segar sekali! Seperti baru ditangkap dari laut. Lalat dan sampah busuk pun jarang. Ikan kecil-kecil sampai yang besarnya se-balita juga ada. Ikannya juga tidak amis, tapi segar!

ada lalatnya nggak? mana coba?

"Eh, itu ada warung kopi. Mau ngopi?" Tawar Nauvel. Saya hanya mengangguk setuju. Kami memesan dua gelas kopi susu. Sang penjual dengan cekatan menuang kopi tubruk yang sudah direbus ke dalam gelas dengan disaring terlebih dahulu. Sekilas penampakannya sama seperti kopi pada umumnya, tapi rasanya... kemanisan! Iya, padahal takaran kopi dan susunya sudah pas. Pahitnya kopi benar-benar sedap di lidah. Tapi kok ya kenapa si bapaknya malah nambahin gula... Kan sudah pakai susu :(

Cinta dalam Gelas

Ngopi. Adalah budaya masyarakat Belitung terutama yang asli Melayu. Mereka bisa menghabiskan hari-harinya di warung kopi sambil bermain catur. Itu sih Melayu edisi lampau. Awalnya saya kira itu hanya ada di buku Andrea Hirata, tapi setelah ditanya ke Bang Kiray, ternyata benar begitu adanya.

Setelah ngopi-ngopi selesai, kami lanjut mencari minyak goreng, saos botol dan spirtus. Iya, mau kemanapun destinasinya, saya tetap membawa kompor dan nesting untuk memasak. Sementara itu, Nauvel pun membawa tenda dan matras. Dia mah udah ketauan, kalau ongkos buat bayar penginapan kurang, kan bisa lanjut bangun tenda dimana aja. Muahahaha X)) *dikeplak Nauvel*

"Pak, saos ABC satu botol."

"Iiiih, kenapa nggak Nasional aja!" Potong saya sambil mengangkat botol saos bermerek Nasional.

"Iiiiih, enakan ABC!" Nauvel nggak mau kalah.

"Iiiiiiih, tapi Nasional dapet gelaaaas!" Jiwa emak-emak saya keluar. Penjual hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami berdua.

"Terus gimana bawa gelasnya coba? Beling gitu!" Nauvel ngedumel. Saya garuk-garuk kepala. Iya juga, sih. Akhirnya saya pasrah dan mengiyakannya.

Setelah semua yang dibutuhkan lengkap, kami kembali ke penginapan dan berkemas. Saat berjalan, saya merasa ada batu kecil nunclep ke kaki. Ternyata itu pecahan karang yang bersemayam di telapak kaki saya dari kemarin sore karena main di pantai tanpa beralas kaki. Jadilah si Nauvel mengoperasi kaki saya dengan bantuan jarum, korek dan gunting kuku. Serius deh, nyeuri :(

Ciah dan Papih sudah bangun. Mereka ikut saja dengan rencana kami hari ini. Nauvel memberi usul agar perjalanan hari ini ke Belitung Timur dengan menyewa mobil saja karena cuaca tidak bisa ditebak. Kadang hujan, kadang cerah. Lagi-lagi Pak Maulidi yang menjadi andalan kami. Bang Kiray juga ikut sebagai tour guide kami.

Sambil menunggu kedatangan Pak Maulidi dan Bang Kiray, saya bertindak semena-mena di kamar. Iya, yang dijadikan basecamp penitipan barang-barang ada di kamar saya. Sementara kamar Nauvel bersih dan kosong. Kalau kamar Ciah dan Papih, yaaa tau sendiri lah yang lagi hanimun :))

Masak-masak untuk bekal ke Belitung Timur ~~~\o/

Mungkin kalau yang punya hotel tau apa yang kami lakukan di salah satu kamar, ia akan mengusir kami saat itu juga :|

Friday, 13 June 2014

Menuju Jauh ke Belitung


"Papih, Ciah ngidam nii.. Mau ke Belitung."

"Yang bener aja, ngidam ke Belitung."

"Beneran. Dedeknya mau liat laut sama naik-naik ke batu!"

"Git, cariin tiket buat kakak lu. Sekalian sama lu juga. Akhir Mei berangkat ke Belitung."

Percakapan di atas terjadi ketika saya sedang asyik menatap laptop di teras rumah, ditemani secangkir cokelat panas dan rintik hujan. Kakak saya, Ciah, yang baru saja menikah dan langsung 'isi' tiba-tiba ngidam ke Belitung. Suaminya, si Papih, mau tak mau menuruti permintaan istrinya. Sementara saya jadi bingung sendiri. Saya telah memiliki tiket PP Jakarta - Malang karena berencana ke Semeru dengan Imam, Om Pulung dan Dek Danang. Ceritanya nebus hutang karena gagal Lawu. Eh tapi mendadak diajak ke Belitung gratisan. Aku kudu piye?

Jadilah sore itu juga saya memesan tiket penerbangan Jakarta - Tanjung Pandan untuk libur panjang akhir Mei tanpa tahu harus menginap dimana dan akan kemana saja. Saya langsung memberi kabar kepada The Homblo Group bahwa saya gagal ke Semeru. Layaknya ditinggal seorang kekasih tanpa alasan, mereka kecewa kepada saya. Kecewa sedalam-dalamnya. #lho #kokjadicurhat

***

Selasa, 27 Mei 2014

Pagi hari, kami yang tinggal serumah diantar ke bandara oleh Ayah. Tapi di tengah perjalanan, mobil mengeluarkan asap. Entah apa yang rusak. Akhirnya dengan sigap kami bertiga segera memberhentikan taksi yang kebetulan lewat. Saat itu sudah pukul tujuh pagi, dan kami masih di Tol Bekasi Timur. Sementara penerbangan pesawat yang kami pesan yaitu setengah sembilan.

Masih satu setengah jam lagi.

Begitu memasuki jalan tol, kendaraan sudah terlihat merayap. Ada dua truk yang menggelinding ke bahu jalan sehingga menyebabkan kemacetan. Saya menepuk jidat dan membatin, bakalan lama deh ini. Raut cemas menghiasi wajah kami bertiga. Kan nggak asik kalau ketinggalan pesawat dan gagal libur panjang. Sementara tiket Semeru yang keberangkatannya esok hari, sudah saya berikan ke Keyko. Mereka napak tilas ke Semeru tanpa saya :(

Tapi Tuhan berkehendak lain, taksi yang kami tumpangi mampu mencapai Bandara Soetta hanya dalam waktu satu jam. Sesampainya di Terminal 1B, sesosok pria keturunan arab dengan carrier besar yang melekat di punggungnya, berjalan menghampiri saya sambil cengar-cengir. Saya shock. Nauvael juga ke Belitung :|

"Check in-nya barengan aja, biar duduknya sebelahan." Ujar Nauvael. Dasar modus. Pantas saja ia bertanya-tanya saya naik maskapai apa, tanggal berapa, keberangkatan pukul berapa. Ternyata ia tak tega meninggalkan saya sendiri untuk mengawal sepasang suami istri ini.

Sambil menunggu pesawat di boarding room, kami sibuk mengunyah bekal yang sengaja dibawa dari rumah. Sudah lewat setengah sembilan, tapi tak dipanggil-panggil. Ternyata pesawatnya delay dooooong -__- udah buru-buru dari rumah sampai mobil kebakar juga.

"Aku dong, berangkat dari Bandung jam empat pagi naik travel paling pertama." Ujar Nauvael sambil menutup wajahnya dengan jaket. Dan sejurus kemudian, ia tertidur pulas, begitu juga kami bertiga.

Waiting is a boring thing. Satu jam terasa begitu lama sekali. Akhirnya pesawat yang kami tunggu-tunggu tiba dan tak lama kemudian kami dipersilakan naik. Perjalanan menuju Bandara H.AS.Hanandjoeddin hanya memakan waktu satu jam. Andai saja tadi tidak delay, pasti kami sudah sampai dan leyeh-leyeh di penginapan.

Di udara, degradasi warna laut memberikan kesan sejuk di mata saya. Tidak ada barisan gunung seperti yang biasa kita lihat kalau ke Surabaya atau Bali. Tapi, di bawah sana terbentang luas laut biru dan gugusan pulau. Dari sini saya baru percaya bahwa Indonesia terdiri dari ribuan pulau. Iya, Geografi saya payah.


Ciyeee.. honeymoon... Ciyeee...

Sesampainya di tempat tujuan, Tanjung Pandan hujan deras. Nauvael segera mengontak Pak Maulidi yang akan mengantar kami ke penginapan. Tujuan kami Hotel Surya, sebuah penginapan yang berada di kawasan Pecinan dengan budget yang relatif murah. Lokasinya di Pusat Kota, sehingga memudahkan kami ke pasar, ATM, atau warung makan.

Hujan masih mengiringi perjalanan kami menuju penginapan. Kami sempat takjub melihat kondisi jalan yang benar-benar sepi dan tak semrawut. Kata Pak Maulidi, naik kendaraan di Belitung selama satu jam bisa sampai 90 km. Boro-boro di Jakarta, 1 jam paling baru 10 km, belum lagi kalau macet.

Sesampainya di Penginapan, kami langsung dijemput oleh Bang Kiray, seorang pecinta alam dari Belitung yang kebetulan direkomendasikan Keyko untuk menemani kami selama disana. Selepas Dzuhur, Bang Kiray mengajak kami ke Pantai Tanjung Kelayang bersama istri dan teman-temannya. Kami ikut mereka dengan motor sewaan yang disediakan hotel. Jadilah kami berasa anak genk motor yang touring dan menguasai jalanan. #halah

Perjalanan dari pusat kota sampai ke Tanjung Kelayang berkisar 45 menit sampai satu jam. Eh, kayaknya lebih cepat deh. Jalanan yang kami lalui sangat sepi sehingga membebaskan kami untuk kebut-kebutan. Di Tanjung Kelayang, kami disambut dengan tulisan ini...

Menuju Jauh ke Belitong :D

Saturday, 24 May 2014

[BUKU] 7 Divisi - Ayu Welirang

... 7 hari. 7 pribadi. 7 alasan. 7 kemampuan:
7 Divisi ...

Judul : 7 Divisi
Pengarang : Ayu Welirang
Penerbit : Grasindo
Tahun Terbit : Cet. 1; 2014
Tebal Buku : 202 hlm. ; 20 cm
Genre : Fiksi – Petualangan, Misteri
Novel 7 Divisi tulisan Ayu Welirang ini merupakan salah satu pemenang lomba PSA (Publisher Searching for Authors). Awalnya saya mengira bahwa novel ini terinspirasi dari 5 Cm, tentang lima orang sahabat yang mendadak naik gunung. Habis, judulnya sama-sama pakai angka. Covernya juga bergambar gunung dan arah mata angin. Namun saya teringat kalimat, "Don't judge a book from its cover", jadilah saya membeli dan membacanya dengan rekor tiga jam tanpa nafas saja.

Pembuka novel diawali dengan latar belakang masing-masing tokoh, kemudian satu per satu diundang oleh Lembaga misterius untuk melakukan ekspedisi di Gunung Arcawana, Jawa Timur. Mereka adalah Ichsan (Divisi Mountaineering), Gitta (Divisi Climbing), Tom (Divisi Penyeberangan), Ambar (Divisi Survival), Dom (Divisi Navigasi), Bima (Divisi Shelter) dan Salman (Divisi P3K). Kebayang nggak, kalau petualangan pendakian mereka ini safety procedure banget? Berbeda dengan saya dan pendaki kebanyakan (sebut saja Pendaki 5 Cm) yang naik gunung dengan perlengkapan seadanya. Yang penting bisa sampai puncak, foto-foto, haha-hihi, terus pulang. 7 Divisi membuat saya tersadar, semakin mereka terlatih dalam pendakian, justru semakin mementingkan keselamatan jiwa mereka.

Friday, 23 May 2014

Tabah Sampai Akhir

"Kak Agit udah sering naik gunung?"

"Ah, nggak. Biasa aja. Kamu?"

"Aku baru pertama kali naik gunung Papandayan. Itupun sempat berantem dulu sama Papa."

"Loh, emang kenapa mau naik gunung? Kan capek."

"Aku terinspirasi sama orang yang kakinya lumpuh tapi berhasil naik gunung Semeru sama Rinjani. Kalimat dia keren, kak. Tabah Sampai Akhir! Masa aku yang masih sempurna gini nggak bisa naik gunung."

"Kamu kenal dia dari mana?"

"Dari artikel di kompas. Pas aku cerita ke Papa, masa papa nggak percaya!"

"Bilang sama Papa kamu, orang itu bener ada. Dia teman kakak, namanya Irfan Ramdhani."

***

Buat saya, Tabah Sampai Akhir tak hanya sekedar kalimat, tapi juga memiliki makna yang cukup dalam. Tabah Sampai Akhir mengingatkan saya bagaimana seorang pegiat alam yang lumpuh akibat kecelakaan, dengan tabah mendaki gunung Rinjani dan Semeru berhari-hari. Hingga menggapai puncak. Hingga menemukan titik akhir dari sebuah perjalanan panjangnya.

Adalah Irfan Ramdhani, seorang teman, mentor, sekaligus sahabat yang mengajarkan saya banyak hal. Dari awal sampai akhir. Dari pendakian hingga dunia tulis menulis. Kami kenal baru setahun, namun sudah banyak ilmu yang ia bagikan secara gratis kepada saya. Ia adalah seorang blogger yang malas menulis di blognya, namun rajin mengisi draft naskahnya untuk dijadikan sebuah buku. Berbanding terbalik dengan saya, yang lebih senang cuap-cuap di blog ketimbang menyelesaikan naskah sendiri.
Kisah mengharukan Irfan Ramdhani yang diceritakan oleh adik seperjalanan saya di atas, bisa dibaca di link ini ~> Lumpuh Tak Halangi Irfan Mendaki Semeru dan Rinjani. Memang benar, ia termasuk orang nekat. Dan kenekatannya bertambah setelah putus cinta. Sabar ya, Bang. *Nahan ketawa*

Sumber: Travel Kompas (doc pribadi Irfan)

Irfan Ramdhani, yang lebih sering saya sebut dengan panggilan Bang Ipan, saat ini sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan kuliah yang entah sudah berapa tahun ia jalani. Ia juga sedang berjuang mati-matian demi kesembuhan kakinya dengan segala macam terapi. Disamping itu, ia masih berkutat dengan mimpi-mimpi yang satu per satu mulai terwujud. Menjadi penulis sekaligus pembicara. Terus berjuang, sampai akhir.

Saturday, 17 May 2014

Mengenal Sisi Lain Bekasi Lewat Muara Gembong


Ada satu pertanyaan yang paling saya hindari ketika traveling ke suatu tempat dan bertemu dengan orang baru. Yaitu pertanyaan, "Asalnya dari mana, Mbak?"

Bukan saya tak bangga dengan kota yang tertulis di Kartu Tanda Penduduk sekaligus Akta Kelahiran ini. Namun biasanya ketika saya menjawab Kota Bekasi sebagai tempat saya berasal, Si Penanya justru akan bertanya lagi dengan tatapan heran, "Bekasi? Di mana?"

Maka saya akan menghela napas panjang sambil menjawab pelan, "Dekat Jakarta."

Kalau sudah begitu, saya akan menghindari pertanyaan seputar makanan khas Bekasi dan tempat wisatanya. Tetapi, semakin sering saya traveling, semakin sering pula pertanyaan itu terlontar dan mengacak-acak isi kepala. Dua puluh tahun saya tinggal di Bekasi, masa iya tidak tahu apa-apa selain mall dan cluster yang kian marak dibangun dan memadati kota?

Wilayah Bekasi terbagi menjadi dua, yaitu Kota dan Kabupaten. Letaknya di antara Karawang dan Jakarta dengan aliran sungai Kalimalang yang melintang dan menjadi sumber air utama. Bekasi juga dikenal sebagai Kota Patriot karena dulunya merupakan tempat berjuang para patriot pembela tanah air. Mayoritas penduduk Kota Bekasi yaitu Betawi dan Sunda, sementara saya termasuk ke dalam suku Jawa. Maklum, pendatang. Oleh karena itu, jika ditanya apa makanan khas dari Bekasi, sudah tentu saya tidak bisa menjawab apapun. Tapi kalau ditanya tempat wisata di Bekasi? Hmm.. Belum. Saya belum bisa menjawabnya. Bagi saya, Bekasi adalah tempat yang cocok untuk wisata belanja dan kuliner, hal ini dikarenakan banyaknya mall dan rumah makan yang telah/sedang dibangun.

Bekasi juga cocok untuk wisata sabar, karena cuacanya yang panas, sering banjir, macet, sekaligus sebagai tempat pembuangan sampah (iya, Bantargebang masih bagian dari Bekasi). Bekasi juga tidak memiliki Universitas Negeri, padahal wilayahnya lumayan besar dan cukup produktif. Dan yang paling menyedihkan, ketika mencari destinasi wisata Bekasi di website resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (www.indonesia.travel/id) jawabannya seperti ini...

no data that matches with keyword you enter : bekasi

Dear, Pak Menteri.
Jawa Barat tak hanya sekedar Bandung dan Bogor, Pak.
Bekasi juga bagian di dalamnya. 
Walau tak ada destinasi wisata, namun potensi daerah Bekasi cukup tinggi, Pak.
Bagaimana kalau kita eksplor satu saja tempat keren di Bekasi?
Mari kita mulai perjalanan dari bagian Bekasi paling tak terurus.
Paling terpencil, paling tertinggal, paling sulit dijangkau.
Paling sering banjir dan paling ujung.
Muara Gembong.


Menurut wikipedia, Muara Gembong merupakan kecamatan paling ujung di wilayah Kabupaten Bekasi. Lokasinya berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Teluk Jakarta di sebelah barat, Kabupatan Karawang di sebelah timur dan Kecamatan Babelan di sebelah selatan. Membayangkan betapa jauhnya tempat ini sudah membuat kening saya berkerut duluan.

Namun sebagai persembahan tanda cinta kepada kota yang membesarkan saya selama 20 tahun, sekaligus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar Bekasi, saya rela mencari sejarah nenek moyang hingga ke pelosok dan membuktikannya kepada orang-orang bahwa; Bekasi ini indah, kawan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...