Jum'at, 28 Desember 2012
"Ndhuk, udah bangun? Ayah berangkat kerja
dulu. Salim untuk terakhir kalinya.." Seru Ayah dibalik pintu kamarku. Aku
tersontak kaget mendengar kata 'terakhir' keluar dari mulutnya. Memangnya aku
mau kemana?
Aku bangun lebih pagi dari biasanya setelah
melalui tidur yang tak nyenyak semalam suntuk. Melanjutkan packing yang belum
kelar karena over-muatan, memantau Timeline peserta Memorable Trekking Semeru
2013 yang bikin tambah deg-degan, dan tak lupa menunaikan sarapan yan
benar-benar tak berselera pagi itu. Kepalaku pusing, seperti demam panggung.
Keringat dingin bercucuran. Tak lama kuputuskan untuk mandi pagi. Namun pada
guyuran pertama, aku muntah.
Entah masuk angin atau kelelahan karena seminggu
sebelumnya benar-benar dihajar olah fisik yang lebih berat dari biasanya. Aku
takut sakit. Takut sekali. Sempat terpikir untuk membatalkan semua rencana gila
ini, takut semua orang merasa direpotkan oleh kondisi fisikku yang tidak stabil
ini. Namun sudahlah, Life must go on.
Pukul sembilan pagi, aku siap berangkat. Carrier
Eiger 55L milik Bang Koko menempel kokoh dipunggungku. Ibu menatapku cemas
melihat anaknya yang pemalas dan lemah ini menggendong beban seberat itu.
"Kamu yakin kuat, Ndhuk? Itu berat, Ibu aja
nggak kuat. Keluarin aja sebagian, nanti sisanya beli disana. Di Tumpang ada
Indomaret kan?" Tanya Ibu.
"Kuat, Bu. Udah ya, Cita pamit."
Jawabku segera mencium tangannya. Kemudian kucium tangan nenek dan kakakku.
Beberapa detik sempat kutatap bayi mungil yang merupakan adik bungsuku, usianya
baru lima bulan kala itu. Kuusap-usap pipinya seraya berkata, " Cita pamit
ya dek, nanti kalau sudah besar kayak cita ya.. Suka jalan-jalan."
Aku menaikki angkot 19a menuju Terminal Bekasi,
kemudian dilanjut angkot yang melewati Stasiun Bekasi. Sedikit terbersit rasa
bangga ketika melihat mata orang-orang yang menatapku menggendong tas sebesar
itu. Untuk menuju Stasiun Pasar Senen, aku harus transit di Stasiun Jatinegara.
Beberapa kali disapa orang, "Mau ndaki kemana, mbak?" dan entah
mengapa selalu kujawab, "Mau pulang kampung" disertai anggukan dan
senyum ramahku. Seketika aku berpikir, kenapa aku jawab seperti itu? Apa benar
ini tanda-tanda aku akan 'pulang'?
Aku tiba di Stasiun Pasar Senen pukul sepuluh
lewat sekian. Ketika baru saja melintasi pintu keluar, aku menemukan sosok
Riries dihadapanku.
"Ri!!!" Seketika ia menoleh dan
menatapku bingung.
"Cita? Tasnya gede baaaangeeet." Ia
terbata. Mulutnya menganga.
"Tuh, banyak yang bawa tas gede tuh Ri, mau
kesana juga paling." Lanjutku sambil memberi 'kode mata' ke Riries.
"Wah iya, ya." Riries bengong.
"Duduk dulu yuk" Aku menyeretnya duduk.
Carrier bang Koko kusandarkan ke tembok.
"Nih Cita buat elu, gue bawain bekel."
Katanya sambil cengengesan. Mataku berkaca-kaca.
"Kukuh mana? Nggak nganter?" Tanyanya
kepadaku. Aku menggeleng lemah.
"Uuuuu.. kaciiiaaaaann.." Ia meledekku
lagi.
"Gaktau lah Ri, gue bingung. Jutek banget
dia. Bilangnya sih kerja. Yaudahlah biarin aja, lagi gakmau gue ganggu juga
kali." Jelasku. Ia sibuk melahap puding yang baru saja dibelinya.
"Cita mau? Enak lho." Ia menawarkanku.
Aku meraih sendoknya.
Dan saling bertukarceritalah dua sahabat itu
sambil cekikikan belepotan puding dan beng-beng. Sampai kelaparan dan memesan
hokben. Dua jam telah berlalu sampai akhirnya Ken Rangga datang dengan Carrier
yang tak kalah besar dan menggenggam kantong plastik berukuran raksasa yang
katanya berisi baju peserta Trekking, beliau adalah ketua kelompok II (Oro-oro
Ombo Team) yang merupakan kelompokku juga.
Beberapa peserta lainnya mulai hadir. Riries
meminta izin untuk pulang tanpa melihatku masuk kedalam kereta. Sedih sekali
kala itu. Dan sepasang sahabat, akhirnya berpisah kota.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul dua siang,
penumpang KA Matarmaja telah diperbolehkan memasuki peron. Para peserta dan
penumpang lainnya secara tertib mengantre. Sebelumnya kami telah berkenalan dan
bercerita satu sama lain. Dari sanalah sebuah keluarga baru tercipta. Kemudian
KA Matarmaja bergerak pelan, sebuah perjalanan akan segera dimulai.
Aku kebagian tempat duduk di sebelah Mbak
Kunthi,
mahasiswi asal Bogor yang sedang melanjutkan kuliahnya di Binus. Dihadapan kami
berada Kak
Lidya, seorang calon dokter yang berdomisili di antara Medan -
Pekanbaru - Padang. Beliau berangkat pagi dari Sumatera naik pesawat, lalu naik
Damri sampai Gambir dan lanjut ke St. Senen. Saluuut!! Kami bertiga bertukar
cerita sepanjang perjalanan, tak lupa pula saling bertukar makanan B-)
Kemudian beberapa kali berseliweran tokoh-tokoh
lain didalam kereta, yang hanya sekedar mampir atau numpang makan, kebetulan
ada satu bangku kosong disebelah kak Lid :-D
Beberapa menit menjelang maghrib, kereta tiba di
Stasiun Cirebon. Aku memutuskan untuk turun sambil melemaskan otot-otot kakiku.
Bertegur sapa dengan beberapa pendaki lain yang satu kereta dan sedang
duduk-duduk diluar. Aku membeli sebungkus nasi, dengan lauk sayur tahu dan
tumis udang. Kemudian menyempatkan diri ke toilet untuk buang air kecil.
Aku menatap sekeliling stasiun dengan pandangan
nanar, perjalanan kali ini terasa begitu aneh, lain sekali dari biasanya.
Entahlah, aku sendiri sulit mendeskripsikannya. Aku menaiki kereta dan kembali
ke tempat dudukku semula. Nafsu makanku hilang seketika. Kunyalakan ponselku
yang sebelumnya kubiarkan mati, namun lagi-lagi amarah kekasihku tak kunjung
reda. Sudahlah, tak usah diladeni. Kemudian kumatikan lagi.
Aku memakan nasi bungkusku ketika hari mulai
malam. Kemudian bertukar cerita dengan penumpang di kursi seberang. Ternyata
mereka juga orang Bekasi dengan tujuan yang sama, Mahameru. Kami bahkan tak
berkenalan atau sekedar bertukar nama, namun perbincangan malam itu mengalir
begitu hangat layaknya saudara yang lama tak bertemu. Saling tertawa. Mbak
Kunthi entah kemana waktu itu, hanya ada aku dan Kak Lid. Kami saling bertukar
permen karet Big Bubble dan bermain tebak-tebakkan dari bungkusnya. Sampai
akhirnya pegawai KA yang menjual makanan ikut nimbrung dalam acara kami.
Ia duduk dihadapanku sambil memeluk nampannya.
Beliau, entah siapa juga namanya - kami
menyebutnya Bapak AL (Angkatan Ludruk). Seragamnya Biru-biru seperti Angkatan
Laut namun tak ada lencana-lencana di bajunya. Beliau bercerita bahwa hari itu
adalah hari terakhirnya bekerja. Beliau akan pensiun dan beternak belut. Namun
beliau menceritakannya tidak dengan sedih-sedihan, beliau membuat kami tertawa
sepanjang malam. Sempat aku bertanya,
"Bapak kerja di kereta? Pulang pergi Jakarta
- Malang?"
"Ho'oh."
"Anak istri di kampung?"
"Lhoo, istri saya dirumah, anak saya di
panti asuhan." Seketika kami semua tertawa. Entah dimana yang lucu, namun
beliau menceritakannya dengan logat jawa yang khas.
"Kok di panti asuhan, Pak?" Tanyaku
lagi.
"Enak toh, kita gak usah ngurus. Yang
ngurusin panti. hehehe" Ooooh, jadi itu maksudnya.
Beberapa kali beliau memanggil tukang pop mie,
tukang baju batik, dan semua tukang yang lewat. Hanya memanggil tanpa bermaksud
untuk membeli. Ajaib sekali kelakuannya -_-
Dan beberapa cerita lain yang sekarang tinggal
kenangan, si Bapak telah pensiun dan menikmati masa tuanya :)
Si Bapak pamit ketika melihat muka-muka kami
mulai mengantuk. Entah pukul berapa kala itu, kami tertidur pulas di kursi
masing-masing.
(Bersambung ke cerita selanjutnya, bisa
Klik Disini)