Skip to main content

Pada Suatu Sore di Singapura


Usai mendapatkan beberapa lembar kartu pos murah di Chinatown, saya berlari di sepanjang Eu Tong Sen Street dengan mata yang sangat awas mencari-cari dimana letak gedung People's Park Center. Menurut informasi dari Bapak penjual suvenir dimana tempat saya membeli kartu pos barusan, kantor pos yang terdekat berada di sana. Namun sampai lelah saya berlari, gedung kantor pos tak kunjung kelihatan. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, tandanya tiga puluh menit lagi kantor pos akan tutup. Sedangkan kalau harus menunggu besok rasanya tak mungkin. Karena besok sudah waktunya pulang ke Indonesia.

Bermodalkan bahasa inggris yang belepotan, saya bertanya kepada orang-orang di sekitar. Dari mulai Bapak Tukang Sapu, Ibu Penjual Makanan, hingga Security, tak ada yang tau dimana letak kantor pos. Bahkan beberapa di antara mereka pun tak mengerti bahasa Inggris.

Waktu tinggal lima belas menit.

Saya lelah berlari.

Saya pasrah, ingin pulang.


Tiba-tiba mata saya menangkap gedung People's Park Center. Saya berjalan dari ujung ke ujung namun lagi-lagi tak satu pun Kantor Pos terlihat. Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang wanita Malaysia yang sangat ramah dan memberi saya informasi se-detail mungkin tentang letak kantor pos yang saya cari-cari.

"Post Office di sini tak seperti di Indonesia, dia letaknya di dalam gedung ini, lalu you masuk, cari eskalator, then you turn right, lha. The Post office is very small, kecik nian lha." Ujar wanita Malaysia tersebut dengan campuran bahasa inggris dan melayu. Namun saya mengerti betul bagaimana maksudnya. 

Usai berterimakasih, saya berlari masuk ke dalam gedung People's Park Center, mencari-cari eskalator dan turun ke bawah dengan tergesa. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah kantor pos yang letaknya berdekatan dengan kantor-kantor travel tour. Dan ternyata, kantor pos yang saya cari-cari tidak sesuai dengan apa yang saya ekspektasikan dari tadi. Kantor pos di sini rupanya cuma sepetak kecil kayak konter pulsa gitu. Ya iyalah nggak ketemu-ketemu. Wong di Indonesia aja kantor posnya gede-gede banget. Minimal punya gedung sendiri lah ya, nggak masuk ke Park Center macam ini. Nggak sampe ke bawah dan mojok gini. Atau memang orang-orang jaman sekarang yang sudah terlalu canggih sampai-sampai kantor pos tak laku lagi? Atau malah, saya yang ketinggalan jaman? Ah, Entahlah.

Saya menghela napas panjang. Membeli beberapa perangko dan menempelkannya pada kartu pos yang barusan saya beli. Kemudian menulis beberapa kata dan alamat beberapa orang terdekat yang paling diingat.

Setelah selesai dengan segala urusan  kirim-mengirim surat, saya mengambil jalan New Bridge Road. Berjalan sambil memandangi langit. Rasa kesal dan kangen campur aduk jadi satu. Hari juga sudah mulai gelap. Saya memutuskan untuk lanjut ke Bugis Market dengan menggunakan MRT. Bukan untuk beli oleh-oleh, tapi untuk mencari makan. Siapa tahu ada makanan Indonesia di sana. Saya bosan makan kentang dan ayam goreng.

Burung di tepi jalan
Ranting dan Pencakar Langit
Mengintip Bulan

Tiba di Bugis Market, saya mencicipi aneka jajanan lucu-lucu sambil berkeliling dan melihat-lihat berbagai macam oleh-oleh murah. Saya tertarik membeli beberapa cokelat Merlion dengan varian rasa yang berbeda-beda. Sembilan kotak besar saya beli, walaupun saya tak tahu akan diletakkan di mana kotak-kotak cokelat ini, mengingat saya tidak membawa koper, melainkan carrier yang hanya bermuatan empat puluh liter. Rasanya ketika pulang esok hari, saya akan membawa dua tas depan belakang. Atau malah membawa tentengan kanan kiri?

Perut semakin keroncongan, saya kembali menyusuri Bugis Market samapai ke pusat makanan yang ternyata berbeda blok dengan pusat oleh-oleh. Mata saya mencari-cari makanan halal namun ternyata sudah habis karena laris manis. Ah, seharian ini kenapa rasa kangen sama Indonesia sulit sekali kesampaian.

Akhirnya saya masuk ke warung fastfood yang paling tersohor untuk menumpang makan malam sekaligus mengemis wi-fi gratisan. Usai meletakkan makanan di atas meja, saya membuka laptop dan me-refresh twitter yang merupakan sosial media terasyik untuk memantau berita indonesia, itung-itung jadi obat kangen. Dari segelintir postingan di beranda twitter, saya bisa langsung tahu beberapa berita indonesia yang paling up to date dalam sekaligus. Sungguh praktis. Tapi jadi sulit juga membedakan mana berita yang akurat dengan yang tidak. Maka saya memilih Sindonews sebagai sumber infomasi nasional yang paling terpercaya.

Tanpa terasa, malam semakin larut. Kentang dan ayam goreng sudah habis. Tambahan maple pie juga sudah ludes. Saya lantas membeli sebungkus burger untuk sarapan esok pagi. Sudah saatnya kembali ke penginapan dan berkemas.

Sudah saatnya kembali, ke hati yang telah lama menunggu.


ketika rindu
menggebu-gebu
kita menunggu
jatuh cinta itu biasa saja
~
E.R.K


Comments

  1. wah comel ni singapur. ingin rasanya nak pergi kesana dan cari2 kantor pos juga sepertinya jadi petak umpet yang menarik hehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. asal jangan saat cari-cari kantor pos, perut dalam keadaan lapar. hehehe

      Delete
  2. Foto-fotonya keren banget kak :)

    ReplyDelete
  3. Akhirnya rasa kesal saat pencarian kantor pos terobati oleh pemandangan yang indah dan beberapa cokelat. Menarik sekali ulasannya.

    ReplyDelete
  4. Mencari kantor pos yang nyempil hahaaa, fotonya ciamik banget, apalagi yang buru dara :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahh, berasa capek dan panik banget waktu itu :(
      btw, makasih :D

      Delete
  5. Wah, nyempil gitu ternyata yaaa.. :D
    Mampir ke heydeerahma.wordpress.com juga ya kak ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyah, nyebelin :(
      oke meluncur~

      Delete
    2. Makasi kak Agita udah mampir ke blog aku dan leave a comment.. :D

      Delete
  6. kantor posnya nyempil gitu, pantesan tanya kemana mana pada nggak tau :))

    ReplyDelete
  7. sampai susah ya nyari kantor pos disana..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kebodohan di Situ Gunung

Posisi yang sudah di Bogor usai berbagi inspirasi ke adik-adik Smart Ekselensia tidak membuat saya dan Hanis langsung pulang ke Bekasi begitu saja. Kami lantas melanjutkan perjalanan ke Sukabumi dengan menggunakan Kereta Pangrango yang kebetulan hanya seharga duapuluh lima ribu rupiah. Pemandangan di sepanjang rel yang baru aktif kembali ini menyuguhkan hamparan sawah dan ladang hijau. Arus sungai yang amat deras juga menemani perjalanan yang memakan waktu dua jam ini.

5 Cm Vs Romeo+Rinjani

5 Cm Vs Romeo+Rinjani Ini kok judulnya malah jadi kayak rumus, ya? Hehehe. Jadi gini, beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film karya Fajar Bustomi, judulnya Romeo+Rinjani. Film yang posternya menampilkan pendaki perempuan dengan pakaian minim tersebut sukses menjadi bahan ejekan para pendaki yang berseliweran di dunia maya. Banyak yang bilang, film ini akan menjadi the next 5 cm yang mengakibatkan membludaknya gunung Rinjani setelah film tersebut ditayangkan. Yah, kita lihat saja nanti seberapa besar efek dari film tersebut di dunia pariwisata, khususnya pendakian. Kembali ke film, bukan maksudnya membanding-bandingkan. Tapi kok ya rasanya ada yang ngeganjel kalau film ini nggak di- share ke temen-temen. Berikut pendapat yang saya rasakan ketika menonton dua film tersebut;

Menyusuri Jejak Islam di Kampung Kauman

Kampung Kauman Free Walking Tour Namanya Kauman. Sebuah kampung yang seringkali dilupakan orang-orang ketika menyusuri Malioboro sampai ujung jalan dan kemudian terhipnotis dengan gagahnya pohon beringin di alun-alun serta suasana nyaman di dalam keraton. Kali ini saya lebih mendahulukan untuk bercerita tentang Kampung Kauman daripada sejarah Jogjakarta, keraton, benteng dan lain-lainnya. Sebuah kesempatan yang langka untuk bisa menjelajahi kampung Kauman bersama orang-orang baru lagi. Adalah Edu Hostel Jogjakarta yang memiliki program Walking Tour Kauman tiap hari Jum’at dan Sabtu. Pada hari Jum’at, biasanya Walking Tour ini akan dibawakan dengan Bahasa Inggris. Namun sayangnya, peserta yang berjumlah lebih dari 15 orang pada hari Jum’at itu tak ada satupun yang berasal dari luar negeri sehingga sepakatlah kami untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.