Awal November lalu bertepatan dengan gajian pertama saya di kantor baru. Alih-alih merayakan gaji pertama dengan makan-makan, saya justru langsung mengepack peralatan mendaki dan kamera. Saat itu peralatan seperti tenda, kompor dan nesting sedang tersebar di teman-teman yang mungkin lupa mengembalikan. Beruntung saya memiliki teman seorang rental gear, jadilah saya meminjam kepadanya.
Satu buah tenda kapasitas two person, kompor gas dan nesting telah terpacking rapi di carrier milik Hanis. Malam itu, ia sedang tidak enak badan. Namun tidak tega melihat saya yang kebelet naik gunung. Harusnya ada seorang teman lagi yang menemani kami, namun ternyata teman kami ini pemberi harapan palsu. Huft. Cedih.
Logistik yang kami beli pun seadanya. Hanya roti tawar, kornet, bakso, mie telor dan puding. Berikut sambal terasi dan bumbu dapur lainnya. Kami sengaja tidak membawa beras karena tak ada satupun dari kami yang bisa memasak nasi. Biasanya, kalau tidak jadi bubur, ya jadi rengginang.
Waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam. Bus ke Garut dari Bekasi sudah pasti tidak ada. Berangkat dari terminal Kampung Rambutan pun rasanya tak mungkin dikarenakan sudah tidak ada lagi Mayasari Bhakti dari Bekasi yang berangkat selarut itu. Akhirnya, dengan diantar seorang teman si rental gear tadi, kami tiba di Cibitung pukul sebelas malam, dengan niatan ke Garut menggunakan truk sayur.
What? Truk sayur?
Iya. Saya pikir, kami hanya berdua. Ternyata banyak sekali yang berangkat ke Garut dengan menggunakan truk sayur. Ada tiga truk yang berjejer dengan tujuan ke Guntur, Cikuray maupun Papandayan. Sesuai apa maunya para pendaki. Ah, truk saja bisa pengertian. Masa kamu nggak tau apa maunya aku~
Truk berangkat setelah berisi duapuluh orang. Hanya dengan duapuluh lima ribu, kami bisa tidur selonjoran sampai Garut. Berbeda dengan bus antar kota yang mahal tapi duduknya sempit. Udah gitu ke Garut bisa tiga sampai empat jam. Duh, betapa tersiksanya kalau naik bus. Tapi jangan lupa mengenakan jaket selama di truk sayur, anginnya kuenceng!
Bertepatan dengan adzan subuh, kami tiba di pertigaan antara Cisurupan dan Cikajang. Lantas kami segera ke warung makan terdekat dan menunaikan ibadah serta sarapan pagi. Saat itu sudah terlihat kelompok pendaki-pendaki masa kini. Yo'i banget gayanya. Bersih-bersih. Yang perempuan juga kinclong-kinclong pisan. Saya yang saat itu masih menggunakan jeans dan seragam pulang kantor jadi merasa aneh sendiri. Udah kumel, dekil, bau lagi.
"Kita start jam berapa?" Tanya Hanis membuyarkan lamunan saya yang sedang menilai pendaki-pendaki ini.
"Sekarang, yuk. Pengen tidur di Saladah. Ngantuk." Jawab saya. Dengan sigap, Hanis meletakkan carrier dan daypack kami berdua pada sebuah pick-up. Kemudian saya segera naik pick up dan menundukkan kepala, melanjutkan tidur. Namun sesaat kemudian, terdengar bunyi grabag-grubug pendaki menaiki mobil yang sama dengan saya.
"Duh, treknya gimana, ya? Gue deg-degan, nih." Ucap seorang pendaki berkerudung.
"Tenang aja, katanya sih gampang." Jawab lawan bicaranya. Saya menaikkan buff sampai di atas hidung, demi menutupi bibir yang sudah senyam-senyum geli.
"Bro, kira-kira berapa lama ngedaki Papandayan?" Tanya seorang pendaki kekar yang sepagi itu sudah mengenakan kaos singlet. Padahal udaranya masih sangat dingin.
"Nggak tahu, bro. Gue juga baru pertama kali. Elo?" Salah satu dari mereka menyahut pertanyaan si pendaki kekar bersinglet.
"Gue udah pernah ke Dieng sama Bromo." Jawabnya sengak. Saya memeluk lutut dan menyembunyikan kepala. Ngikik sejadi-jadinya sambil nendang-nendang Hanis. Pelajaran penting dari kejadian barusan adalah, jangan sombong dimanapun kamu berada. Karena kamu nggak akan pernah tahu kalau ada orang yang pengalamannya jauh di atas kamu. Ingat, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Tak mau melewatkan pemandangan Cikuray di pagi hari, saya kembali mendongakkan kepala. Menikmati lukisan Tuhan yang tepat berada di hadapan. Sampai akhirnya saya bertabrakkan mata dengan si pendaki kekar bersinglet. Ia lantas tersenyum dan menarik napas seperti orang hendak bertanya.
"Mbaknya sendirian?" Tuh kan bener, dia nanya.
"Berdua sama mas ini." Jawab saya sopan seraya memperkenalkan Hanis.
"Baru pertama kali juga ke Papandayan?" Tanyanya kemudian.
"Sebelumnya udah pernah."
"Iya? Udah berapa kali, mbak? Treknya susah nggak? Sampai camp berapa jam?" Seketika saat itu saya menjadi pusat perhatian satu pick up. Beta pikir, ngana pendaki pro semua. Batin saya.
"Udah sering. Treknya batu kapur. Aku sih awal-awal empat jam, sekarang udah bisa satu setengah jam, paling lama dua jam. Hehe." Jawab saya cengengesan.
"Udah pernah naik gunung mana aja, mbak?" Yang lainnya kini ikut-ikutan bertanya. Saya mendadak pusing seketika.
"Belum pernah kemana-mana." Jawab saya basa-basi.
"Ah, bohong. Semeru udah, mbak?"
"Hehe. Udah."
"Rinjani?"
"Hehehehe. Udah juga."
"Kerinci?"
"Alhamdulillah belum." Jawaban saya kali ini membuat mereka tak bersemangat lagi untuk lanjut bertanya. Saya tak mengerti, apa yang harus dibanggakan dari sebuah perjalanan meraih puncak gunung bilamana kesombongan dalam diri masih saja menguasai hati? Ah, sudahlah. Tak usah ladeni pertanyaan mereka. Nikmati saja Cikuray di hadapan mata yang siap melongsori segenap keangkuhanmu kapan saja.
Kami tiba di Camp David pukul tujuh pagi. Namun baru saja ditinggal sebentar mengurus simaksi, eh si Kang pick up udah ngilang aja. Ternyata eh ternyata, barusan itu kami naik pick up yang telah dicharter untuk pendakian massal. Kami dikira peserta penmas. Padahal mah bukan. Wahaha, harusnya Bekasi - Rambutan - Guntur - Cisurupan - Camp David tuh bisa sampai delapan puluh ribuan. Lha, ini kami dari semalam baru bayar dua puluh lima ribu saja. Alhamdulillah, rejeki anak sholeh.~
Saya segera berganti pakaian trekking yang serba pink-pink dari baju quickdry sampai sepatu trail running women series. Btw, di Zalora lagi banyak koleksi Women sport running, loh. Biar naik gunung nggak keliatan dekil-dekil amat.
Sebelum memulai perjalanan, kami memanjatkan doa dan menyeret langkah menuju Pondok Saladah. Saya berjalan sambil sakit perut, Hanis berjalan sambil mengantuk. Di depan kami ada si pendaki kekar bersinglet yang baru saja berjalan dua puluh meter, sudah nge-rest dan megangin lutut. Kami melintasinya sambil tetap menyemangati. Biar bagaimana, pendaki sehebat apapun tentu pernah berada di posisi dia ketika awal-awal mengenal dunia pergunungan. Posisi lugu dan polos tapi tengil. Hihihi.
Hanis berjalan dengan tempo yang teratur, sementara saya yang keberatan perut kondisinya nggak jauh beda dengan si pendaki kekar bersinglet. Engab. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di Lawang Angin. Jajan pisang goreng di warung-warung yang kini semakin ramai memadati.
Kami tiba di Pondok Saladah pukul sembilan pagi. Saat itu area camp masih sepi sekali. Kami lantas mendirikan tenda. Karena perut masih kenyang atas sarapan tadi pagi, kami yang masih mengantuk akhirnya melanjutkan tidur. Kemudian terbangun di pukul sembilan pagi keesokan harinya. Balas dendam dengan tidur 24 jam karena semenjak kerja kantoran, saya jadi kurang tidur. Tertidur 24 jam, karena kangen gunung. Tertidur 24 jam, karena gunung yang lagi saya kangenin ternyata ramai pengunjung.
Oh, Tuhan... Aku rindu jadi orang santai.
Bertepatan dengan adzan subuh, kami tiba di pertigaan antara Cisurupan dan Cikajang. Lantas kami segera ke warung makan terdekat dan menunaikan ibadah serta sarapan pagi. Saat itu sudah terlihat kelompok pendaki-pendaki masa kini. Yo'i banget gayanya. Bersih-bersih. Yang perempuan juga kinclong-kinclong pisan. Saya yang saat itu masih menggunakan jeans dan seragam pulang kantor jadi merasa aneh sendiri. Udah kumel, dekil, bau lagi.
"Kita start jam berapa?" Tanya Hanis membuyarkan lamunan saya yang sedang menilai pendaki-pendaki ini.
"Sekarang, yuk. Pengen tidur di Saladah. Ngantuk." Jawab saya. Dengan sigap, Hanis meletakkan carrier dan daypack kami berdua pada sebuah pick-up. Kemudian saya segera naik pick up dan menundukkan kepala, melanjutkan tidur. Namun sesaat kemudian, terdengar bunyi grabag-grubug pendaki menaiki mobil yang sama dengan saya.
"Duh, treknya gimana, ya? Gue deg-degan, nih." Ucap seorang pendaki berkerudung.
"Tenang aja, katanya sih gampang." Jawab lawan bicaranya. Saya menaikkan buff sampai di atas hidung, demi menutupi bibir yang sudah senyam-senyum geli.
"Bro, kira-kira berapa lama ngedaki Papandayan?" Tanya seorang pendaki kekar yang sepagi itu sudah mengenakan kaos singlet. Padahal udaranya masih sangat dingin.
"Nggak tahu, bro. Gue juga baru pertama kali. Elo?" Salah satu dari mereka menyahut pertanyaan si pendaki kekar bersinglet.
"Gue udah pernah ke Dieng sama Bromo." Jawabnya sengak. Saya memeluk lutut dan menyembunyikan kepala. Ngikik sejadi-jadinya sambil nendang-nendang Hanis. Pelajaran penting dari kejadian barusan adalah, jangan sombong dimanapun kamu berada. Karena kamu nggak akan pernah tahu kalau ada orang yang pengalamannya jauh di atas kamu. Ingat, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Tak mau melewatkan pemandangan Cikuray di pagi hari, saya kembali mendongakkan kepala. Menikmati lukisan Tuhan yang tepat berada di hadapan. Sampai akhirnya saya bertabrakkan mata dengan si pendaki kekar bersinglet. Ia lantas tersenyum dan menarik napas seperti orang hendak bertanya.
"Mbaknya sendirian?" Tuh kan bener, dia nanya.
"Berdua sama mas ini." Jawab saya sopan seraya memperkenalkan Hanis.
"Baru pertama kali juga ke Papandayan?" Tanyanya kemudian.
"Sebelumnya udah pernah."
"Iya? Udah berapa kali, mbak? Treknya susah nggak? Sampai camp berapa jam?" Seketika saat itu saya menjadi pusat perhatian satu pick up. Beta pikir, ngana pendaki pro semua. Batin saya.
"Udah sering. Treknya batu kapur. Aku sih awal-awal empat jam, sekarang udah bisa satu setengah jam, paling lama dua jam. Hehe." Jawab saya cengengesan.
"Udah pernah naik gunung mana aja, mbak?" Yang lainnya kini ikut-ikutan bertanya. Saya mendadak pusing seketika.
"Belum pernah kemana-mana." Jawab saya basa-basi.
"Ah, bohong. Semeru udah, mbak?"
"Hehe. Udah."
"Rinjani?"
"Hehehehe. Udah juga."
"Kerinci?"
"Alhamdulillah belum." Jawaban saya kali ini membuat mereka tak bersemangat lagi untuk lanjut bertanya. Saya tak mengerti, apa yang harus dibanggakan dari sebuah perjalanan meraih puncak gunung bilamana kesombongan dalam diri masih saja menguasai hati? Ah, sudahlah. Tak usah ladeni pertanyaan mereka. Nikmati saja Cikuray di hadapan mata yang siap melongsori segenap keangkuhanmu kapan saja.
Hai.. Kamu... |
Kami tiba di Camp David pukul tujuh pagi. Namun baru saja ditinggal sebentar mengurus simaksi, eh si Kang pick up udah ngilang aja. Ternyata eh ternyata, barusan itu kami naik pick up yang telah dicharter untuk pendakian massal. Kami dikira peserta penmas. Padahal mah bukan. Wahaha, harusnya Bekasi - Rambutan - Guntur - Cisurupan - Camp David tuh bisa sampai delapan puluh ribuan. Lha, ini kami dari semalam baru bayar dua puluh lima ribu saja. Alhamdulillah, rejeki anak sholeh.~
Saya segera berganti pakaian trekking yang serba pink-pink dari baju quickdry sampai sepatu trail running women series. Btw, di Zalora lagi banyak koleksi Women sport running, loh. Biar naik gunung nggak keliatan dekil-dekil amat.
keteknya basah :( |
edisi women series :D |
Sebelum memulai perjalanan, kami memanjatkan doa dan menyeret langkah menuju Pondok Saladah. Saya berjalan sambil sakit perut, Hanis berjalan sambil mengantuk. Di depan kami ada si pendaki kekar bersinglet yang baru saja berjalan dua puluh meter, sudah nge-rest dan megangin lutut. Kami melintasinya sambil tetap menyemangati. Biar bagaimana, pendaki sehebat apapun tentu pernah berada di posisi dia ketika awal-awal mengenal dunia pergunungan. Posisi lugu dan polos tapi tengil. Hihihi.
Hanis berjalan dengan tempo yang teratur, sementara saya yang keberatan perut kondisinya nggak jauh beda dengan si pendaki kekar bersinglet. Engab. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di Lawang Angin. Jajan pisang goreng di warung-warung yang kini semakin ramai memadati.
asapnya bagus, sih. tapi bau! |
rasanya ingin terbang |
tenda warna-warni |
Kami tiba di Pondok Saladah pukul sembilan pagi. Saat itu area camp masih sepi sekali. Kami lantas mendirikan tenda. Karena perut masih kenyang atas sarapan tadi pagi, kami yang masih mengantuk akhirnya melanjutkan tidur. Kemudian terbangun di pukul sembilan pagi keesokan harinya. Balas dendam dengan tidur 24 jam karena semenjak kerja kantoran, saya jadi kurang tidur. Tertidur 24 jam, karena kangen gunung. Tertidur 24 jam, karena gunung yang lagi saya kangenin ternyata ramai pengunjung.
Oh, Tuhan... Aku rindu jadi orang santai.
cekikikan baca percakapan di pick up.
ReplyDeletewww.riffatakhsan.com
wkwkwk pendaki kekar bersinglet :D
DeleteWah, enaknya mbak tidur seharian di gunung, saya mau tidur bentar aja susah saking dinginnya. Habis baca ini saya jadi ngaca "apa saya tengil ya waktu pertama naik gunung itu?" Maafkanlah saya..
ReplyDeleteBtw, salam kenal mbak :D
Hihihi aku jg ngerasa kayaknya dlu pernah seperti dia. Sudahlah, lupakan masa lalu kita hahaha
Deletesalam kenal juga, makasih dah mampir :))
hahaha namanya juga asap gunung, ya bau belerang mbak
ReplyDeleteIya sih...
DeleteGa kebayang menuju Garut dengan truk sayur :(
ReplyDeleteEnak kok, murah, bisa selonjoran lagi. Tapi ya gitu, anginnya kenceng banget!
DeletePict nya keren banget gitu, jadi makin betah dong disana :D
ReplyDeleteBetaaaah. Bikin Gamau pulaaaang :(
DeletePapandayan ini emang pendakian buat para entry-level mountaineer, terlalu mudah.
ReplyDeleteIkutan songong kayak percakapan di truk itu.
(((TERLALU MUDAH)))
Deletegit perjalanan lo unik unik bingit
ReplyDeletenaik truk sayur lah, ketemu mas mas bersinglet lah haha
hahaha, karena cuma naik gunung, ke puncak, kemudian turun... itu sudah terlalu mainstream :'D
Deletearep melu ra nang jogja 30 april? hhe
Deletehahaha pengalaman yang sangat menyenangkan :D keren~
ReplyDeleteSalam EnjoyBackpacker.blogspot.com
Yoi, Enjoy! :D
ReplyDeleteJadi sekarang sudah gajian yg keberapa ????? trus aku kapan di traktir makan2 ????
ReplyDeletekak cuuuum, jajan cilok yuks :p
Deletewah terlalu banyak yang naik papandayan..jadi kurang berasa heningnya..
ReplyDeletemakanya aku lebih pilih tidur daripada lanjut ke tegal alun. wkwkwk
Delete24 jam itu bukan tidur lagi namanya, tpi pingsan..
ReplyDeleteiya :(
DeleteTas lipet nya baguss...cocok sama merell nya.
ReplyDelete^,^
pingkiiii :D
DeleteApalah saya ini, baru trek tanjakan awal papadayan udah nafas senin kamis ahaha
ReplyDeleteHarusnya minggu ini ikut mbak Agit kesini lagi ya...tapi apa daya. Aku manut mbak Agit waeelah...hehehe. ready for another time...^^
ReplyDeletewahh tidur sampai 24 jam lamanya, saking kurang tidurnya ya mbak..
ReplyDelete