Saturday, 30 November 2013

Solo Traveling atau Traveling ke Solo? Dua-duanya Bisa!


Hai, Traveler yang budiman :)
Menurut kalian, kota mana sih yang paling berkesan dari segi wisata, sejarah, kuliner dan memiliki kenangan tersendiri? Pasti rata-rata menjawab Yogyakarta dan Bandung! Iya, Yogyakarta dan Bandung memang paling unggul dalam segi wisata, sejarah dan kuliner. Terlebih lagi kedua kota tersebut memiliki kesan romantis sehingga pastinya memiliki kenangan tersendiri bagi teman-teman traveler. Yogyakarta dan Bandung lebih asik bila dijelajahi bersama pasangan, bukan? Kalau Solo traveling cocoknya kemana, yah?

Jangan bingung! Solo juga punya semuanya!
Kadang kita melupakan sebuah kota kecil yang terletak di Provinsi Jawa Tengah ini. Kota yang pernah diperintah oleh Pak Jokowi ini ternyata diam-diam memiliki potensi yang tak kalah hebat dengan Yogyakarta dan Bandung. Slogan Kota Solo sendiri yaitu "Solo : The Spirit Of Java" yang berarti jiwanya Jawa. Serta memiliki semboyan "Berseri" yang merupakan singkatan dari Bersih, Sehat, Rapi dan Indah. Kebayang, kan gimana nyamannya Kota Solo?


Berkas:Solo Collage.jpg
Sumber : Wikipedia


Kota Solo cukup aman untuk Solo Traveling. Akses menuju kesana pun mudah. Bisa dengan menggunakan pesawat, kereta, bus atau kendaraan pribadi. Untuk pesawat, teman-teman traveler bisa mencari penerbangan dengan tujuan Bandara Internasional Adi Sumarmo dengan kode (SOC). Untuk kereta, Kota Solo memiliki tiga stasiun utama yaitu Stasiun Solo Jebres, Stasiun Purwosari dan Stasiun Solo Balapan. Terlebih lagi dengan Bus, jangan takut bila tiba di Terminal Tirtonadi. Tak akan kalian temukan calo' atau preman seperti di kota-kota lainnya. Penduduk Solo yang ramah membuat kota ini semakin nyaman untuk dikunjungi. Sementara, bila datang ke Solo dengan menggunakan kendaraan pribadi pun tak sulit. Letaknya tak begitu jauh dari Yogyakarta. Papan penunjuk jalan juga terpampang dengan jelas. Nggak akan nyasar deh pokoknya! Kalau mau keliling-keliling Solo sendirian tapi tidak punya kendaraan, bisa naik Batik Solo Trans seharga tigaribu rupiah. Atau bila butuh sopir pribadi, Bapak Tukang Becak siap mengantar kemanapun teman-teman traveler pergi.

Tuesday, 26 November 2013

Apa Tujuan dan Alasanmu Naik Gunung?

Mungkin banyak dari teman-teman yang masih bingung, untuk apa tujuan kalian naik gunung? 
Beberapa biasa menjawab seperti ini :
  1. Mensyukuri nikmat Tuhan bahwa Alam Indonesia indah
  2. Menikmati ketinggian
  3. Bermain dengan awan
  4. Melihat pemandangan yang nggak bisa dilihat di kota
  5. Memaknai arti kehidupan yang sebenarnya
  6. Merasakan kesenangan tersendiri ketika sampai puncak
  7. Mengartikan apa itu kebersamaan
  8. Menghilang dari peradaban
  9. Bosan dengan rutinitas
  10. Olahraga
  11. Mencari jodoh
  12. Passion 
  13. Hobi
  14. Lifestyle
  15. Ikut-ikutan
Atau ada tujuan lain dari naik gunung? Silakan diisi di kolom komentar :)

Saya sendiri bingung ketika orang tua bertanya, "Untuk apa naik gunung? Sudah melelahkan, beresiko pula. Bagaimana kalau hilang? Dimakan binatang? Meninggal karena kedinginan?" Saya hanya bungkam dan berteriak dalam batin saya sendiri, bahwa takdir-Nya telah tertulis rapi di Lauhul Mahfudz. Setidaknya, saya selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan apapun.

Mungkin beberapa teman pun menganggap saya aneh atas kegiatan ini. Saya mahfum benar, sebagai anak yang lebih sering menghabiskan waktunya dengan membaca buku berjam-jam atau mengetik sesuatu di laptopnya seharian penuh ternyata diam-diam memiliki hobi naik gunung. Sebetulnya bukan hobi, sih. Namun lebih tepat dikatakan sebagai candu.

Ya, saya kecanduan naik gunung.
Saya ketagihan bagaimana rasanya berada di atas awan, bercengkrama dalam hangatnya kebersamaan, dan lain-lain yang telah saya sebutkan di atas. Saya juga merasa memiliki hutang tiap kali turun gunung dan tak menulisnya ulang di blog ini. Semakin sering saya naik gunung, semakin banyak tulisan yang saya hasilkan.

Berjalanlah keluar, kamu akan memiliki satu sampai dua dongeng saat kembali.

Quote diatas yang selalu meyakinkan saya, bahwa sebuah perjalanan tak akan ada yang sia-sia. Seburuk apapun perjalanan yang kita tempuh, pasti menghasilkan cerita, bukan? Cerita buruk atau menyenangkan, yang penting kita memiliki oleh-oleh, sebuah dongeng.

Dan hal itu pula yang menjadi tujuan sekaligus alasan saya naik gunung...

"Semua ini demi cerita ke anak-cucuku nanti. Bukan hanya cerita Cinderella dan sepatu kacanya, tapi juga aku dan sepatu gunungku."


Saya selalu membayangkan bagaimana anak-cucu saya nanti, dengan mata mereka yang berbinar mendengarkan ibu/neneknya bercerita tentang gunung-gunung yang tinggi, pucuk-pucuk yang tak terjangkau, maut yang begitu dekat, hingga bagaimana memaknai arti hidup sebenarnya. Saya tak pernah mendengar dongeng seperti itu dari orang tua saya sendiri. Saya ingin anak-cucu saya nanti memiliki wawasan yang luas, yang membuat mereka bisa menjalani hidup layaknya orang naik gunung; "Tetap menunduk ketika naik dan tetap tegak ketika turun." Yang memiliki arti seperti ini, kita harus tetap merendah ketika sedang berada di puncak kehidupan, dan berusaha tetap tegar ketika hidup sedang di bawah. Roda benar-benar berputar, bukan?

Jadi, apa tujuan dan alasanmu naik gunung?
Apa tujuan kita sama?
Kayak mereka-mereka ini, tiba-tiba posting foto kayak gini...








:)

Monday, 4 November 2013

Dari Merbabu, Kepada Merapi



Cerita sebelumnya >>> Klik disini :)


Kami terus berjalan beriringan. Bang Fadly membuka jalan, aku di tengah dan Kak Za di belakang. Kami merasakan adanya keanehan pada jalur yang kami lalui. Disini jarang terdapat sampah dan jejak kaki. Ternyata, sekedar bungkus permen pun cukup berguna sebagai tanda adanya manusia yang pernah melewati jalur ini. Jalurnya pun terus memanjat tebing dan bebatuan yang berbatasan dengan jurang. Beberapa kali juga kami melintasi semak belukar yang membentang.

Kayaknya nggak ada yang lewat sini deh, Bang. Ujarku dalam hati. Kami hanya berjalan dalam diam. Aku mulai membayangkan yang aneh-aneh kalau-kalau nanti di media massa terdapat headline besar-besaran; Tiga Remaja dari Jakarta Tersesat di Merbabu. Aku terus-terusan berdzikir, menghilangkan segala pikiran yang aneh-aneh.

“Kayaknya ini kerjaannya Mapala buka jalur, deh.” Ujar Kak Za tiba-tiba.

“Soalnya Vaza pernah ke Pangrango buka jalur dari Cisarua.” Sambungnya lagi. Aku mengangguk-angguk paham.

Matahari mulai meninggi, saat ini posisiku di belakang. Beberapa kali aku ditarik Bang Fadly karena tak bisa memanjat. Tekstur tanah yang kami pijak sangat rapuh sehingga seringkali aku terperosot. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah bukit dengan posisi vertikal yang mengharuskan kami merayap untuk bisa tiba di atas.

Iya! Merayap ke atas seperti cicak! Bukan lagi lutut bertemu mulut, tapi merayap! Sementara pegangan dan pijakan kami adalah tanah dan bebatuan kapur yang sangat rapuh. Salah-salah bisa jatuh!

Dan disinilah aku baru merasakan yang namanya tertimpa batu-batuan dari yang kecil sampai yang besar. Posisiku paling bawah, sehingga tiap kali Kak Za dan Bang Fadly menginjakkan kakinya, reruntuhan batu mengenai kepala dan mukaku. Film 5 Cm ternyata baru ku rasakan di Merbabu, bukan di Semeru.

Tiba-tiba sebuah batu seukuran kepala menggelinding ke arahku.

“BANG!!!” Teriakku kencang.

Batu mengenai tanganku. Tanah yang kupegang seketika rapuh. Kakiku merosot kebawah. Aku terus mencengkram apapun didekatku. Bang Fadly menoleh.

“Agit merosot, Bang!” Badanku merosot lagi ke bawah. Kakiku mulai merasa menggantung dan tak ada pijakan. Aku merasa ngeri luar biasa. Disini bukan jalur normal, kalau nanti aku jatuh pasti susah di evakuasinya.

Bang Fadly turun perlahan dan mengulurkan tangan. Ia meraihku dan sekuat tenaga menarikku. Aku tak jadi jatuh.

Trek berubah menjadi tanah lembab dan rerumputan. Kak Vaza sudah tak terlihat. Sampailah kami di Puncak Janagiri.

“Kok puncaknya sepi, ya, Git?” Tanya Bang Fadly.

“Puncak Janagiri? Agit taunya di Merbabu itu ada Puncak Syarif, Kentheng Songo sama Triangulasi, Bang.” Ujarku pelan sambil melahap fitbar yang ku rampas dari tas Bang Fadly.

“Ooooh, Mungkin Puncak Janagiri itu puncak buatannya Mapala!” Seru Kak Vaza. Iya juga sih.





"Sedih, Bang.. Ndak ketemu Mas Bagus di puncak.." Ujarku pelan. Bang Fadly tersenyum sabar.

“Ke Kentheng Songo, yuk!” Ajak Bang Fadly. Kebetulan saat itu masih pukul enam pagi. Kami melanjutkan perjalanan.

Bukit demi bukit terus kami lalui. Jalur terus menanjak dengan tekstur bebatuan kapur. Aku mulai kelelahan dan berjarak cukup jauh dengan Bang Fadly dan Kak Vaza. Perutku juga mulai mulas. Aku menghentikan langkahku. Dan duduk menghadap ke arah mereka yang semakin menjauh.

Aku memutuskan untuk summit sendirian.

Aku jalan santai sekali. Saat itu pun aku tak bawa minum sama sekali. Dari kejauhan ku lihat rombongan kami yang jalan duluan jam dua tadi. Aku menghampiri mereka.

“Kak Key..” Sapaku lemah.

“Eh, Dek Agit.. Itu BF sama Vaza ke Kentheng Songo. Agit mau nyusul mereka?” Tanya Kak Key.

“Kalian ke Syarif atau Kentheng Songo?” Aku balik bertanya.

“Kita ke Syarif. Kalo Syarif udah deket, lima belas menitan lagi lah. Kalo Kentheng Songo masih jauuuh. Nanti abis bukit ini Dek Agit kalo mau ke Syarif ambil yang kiri, kalo ke Kentheng Songo ke kanan.” Tutur Kak Key. Aku mengangguk-angguk.

“Dek Agit ndak bawa minum?” Tanya Kak Key lagi. Aku nyengir.

“Minumnya di Kakak BF” Jawabku bodoh. Hehehe kebiasaan terburukku adalah jarang bawa minum tapi selalu minta minum orang. Jangan ditiru yah :D

Kak Key mengeluarkan botol minumnya dari balik jaket dan menyerahkannya padaku. Ia dan rombongan melanjutkan perjalanan.

“Semangat, Git!” Ujar Kak Rizki yang juga sudah turun.

“Eh, air lu tinggal segitu?” Tanyanya sambil memerhatikan botol minum yang ku genggam, itupun pemberian dari Kak Key.

“Nih, gue tambahin minum lu. Gue tau kok lu onta.” Ujarnya lagi sambil menuangkan air kedalam botol minumku.

“Baek-baek lu bocah.” Kak Rizki berlalu. Aku tersenyum penuh haru. Kawan-kawanku ini memang paling mengerti diriku. Huhuhu :’(


Sepi.

Aku jalan sendirian lagi.

Kira-kira Mas Bagus dimana, yah?

Aku menepuk jidatku. Merasa sangat bodoh karena lupa akan bertemu dengan Mas Bagus di puncak yang mana. Kami tak janjian sama sekali. Sementara saat ini aku sudah berada di antara Puncak Syarif dan Kentheng Songo. Aku harus kemana? Ke Kiri atau Kanan?

Ke Puncak Syarif aja dulu kali, yah? Kalo nggak ada, baru deh ke Kentheng Songo?

Tapi Kentheng Songo jauh.

Bang Fadly sama Kak Vaza pada ngapain sih jauh-jauh kesana.

Nanti kalo Agit kesana, mereka udah turun lagi.

Agit udah ndak kuat.

Tapi Puncak Syarif tanjakannya keliatan tinggi banget.

Agit capeeeeek.

Aaaaaaaaak, naek gunung ndak enaaaaak!!!

“Mbak, jangan ngelamun mbak.” Ujar seorang mas-mas membuyarkan lamunanku. Jadi se-daritadi aku hanya duduk di sebuah batu besar dengan tatapan kosong menghadap Kentheng Songo. Aku nyengir bodoh.

“Mbaknya mau kemana?” Tanya Mas yang lainnya. Nampaknya mereka serombongan. Setelah ku hitung, kurang lebih mereka berjumlah tujuh orang.

“Gak tau, Mas. Saya bingung. Enakan Syarif atau Kentheng Songo yah?” Tanyaku polos.

“Kalo Syarif tinggal ke kiri dikit. Kalo Kentheng Songo masih jauh di balik bukit itu, Mbak.” Aku hanya diam tak bergeming.

“Mbaknya sendirian?” Tanya mereka heran. Aku menjawab dengan cengiran bodoh (lagi).

“Loh, ke Merbabu sama siapa?” Tanya mereka lagi. Aku masih cengar-cengir.

“Ceritanya ke Merbabu reunian, ada lebih dua puluh orang. Rombongan pertama tadi udah summit ke Syarif berangkat jam dua pagi. Saya summit cuma bertiga berangkat setengah empat, tapi saya ketinggalan. Hehehe. Yang barengan saya sih pada ke Kentheng Songo.” Jawabku perlahan.

“Reunian darimana, Mbak?” Tanya mereka antusias.

“Dari mana-mana. Jakarta, Bandung, Bekasi, Solo, Surabaya, Semarang. Temen-temen Backpackeran aja. Waktu itu ketemu di Semeru sama Rinjani.”

“Yaudah, Mbak. Ikut kami aja ke Kentheng Songo!” Ajak mereka.

“Mas nya nge-camp dimana?” Tanyaku ragu.

“Di pos dua, Mbak.”

“Sama, saya juga di pos dua. Nanti kalo saya nggak ketemu temen-temen saya, saya ikut kalian ya, Mas. Ngeri juga saya daritadi sendirian. Hehehe”

Aku berjalan di antara Mas-mas ini. Ternyata mereka adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dua orang diantara mereka berasal dari Bengkulu, ada juga yang berasal dari Tasikmalaya. Kami membicarakan apapun untuk menghilangkan rasa lelah. Sesekali kami berlari-lari ketika melintasi turunan. Juga tak lupa berfoto-foto di sepanjang perjalanan. Iya, salah satu dari mereka memegang kamera dslr. Beruntung sekali yah aku.

Berasa kayak lagi di negerinya Para Hobbit :')


Hap hap hap

Langkah demi langkah, pijakan demi pijakan, bukit demi bukit

Akhirnya terlewati

Pada gundukkan batu besar terakhir, aku ditarik

Hap

Aku sampai di Kentheng Songo!!

Segera ku teriakkan nama Bang Fadly dan Kak Vaza, namun entah dimana mereka berada. Pandanganku terpaku pada seseorang yang sedang memegang kamera dan membidik gunung yang berada persis di hadapanku, Gunung Merapi.





Sosok yang sangat aku kenal.

Sosok yang tak pernah aku bayangkan bisa bertemu disini

Ada banyak puncak di Merbabu, namun ternyata ia memilih puncak yang sama

Kentheng Songo…

Karena kita tak pernah tau, bagaimana cara Tuhan mempertemukan.

Dan kita juga tak akan pernah tau, bagaimana cara Tuhan memisahkan... 



“Mas..” Ujarku lemah. Ia menoleh ke arahku. Secercah senyum mengembang dari bibirnya. Bang Fadly, Kak Vaza dan Inus menghampiriku. Memberikan selamat bahwa aku telah tiba di Kentheng Songo. Mas Bagus memberikanku sebotol minuman yang berisi air madunya.

“Mereka berdua kok bisa ada disini, Bang?” Tanyaku heran. Padahal mereka jalan belakangan, tapi kenapa bisa sampai duluan?

“Gak tau, Git. Abang juga kaget pas ngeliat Mas Bagus sama Inus disini. Hahaha.” Ujar Bang Fadly terlihat bahagia.

“Kok gak ketemu di jalur?” Aku masih bingung.

“Iya, Git. Kan tadi kita salah jalur!” Seru Kak Vaza. Iya juga sih.

“Terus kenapa kalian ke Kentheng Songo? Kenapa nggak ke Syarif?” Tanyaku gemas kepada Mas Bagus yang daritadi hanya cengar-cengir melihatku.

“Dari awal ke Merbabu emang tujuannya kesini, sih. Agit kenapa ndak ke Syarif?” Mas Bagus balik bertanya kepadaku.

“Kalo ndak ada mas-mas itu, mungkin Agit ke Syarif..” Ujarku lemah sambil menunjuk teman-teman baruku yang sedang sibuk berfoto-foto.

“Abang kan tadi udah kasih pesan berantai kalo Abang sama Vaza ke Kentheng Songo. Disampein kan?” Ujar Bang Fadly.

“Iyah, disampein kok. Tapi tadi Agit sempat labil mau ke puncak yang mana. Terus gimana ceritanya ya Bang kalo Agit ke Syarif?” Tanyaku iseng.

“Abang yakin Agit kesini kok.” Ujar Bang Fadly mantap.

“Bagaimana bisa?” Tanyaku lagi.

“Agit… Rinjani sama Semeru aja dijabanin, masa Kentheng Songo enggak.” Tambah Bang Fadly lagi. Aku merasa haru.

“Agit cuma takut ketika Agit naik, kalian udah turun..” Ujarku sedih mengingat Mak Jun dan Donny yang meninggalkanku di Semeru.

“Walaupun Agit jalannya lamban sampe tidur-tiduran di bawah, Abang yakin Agit sampe puncak.”

“Aku lho, tadi udah mau turun sama Mas Bagus. Eh tau-tau ada Bang Fadly sama Kak Vaza.” Ujar Inus.

“Iya, aku kira tadinya Bang Fadly sama Agit, ndak taunya Mbak Vaza.” Sambung Mas Bagus terdengar sedih.

“Kalian udah lama yah disini? Maaf ya Agit lama.” Ujarku sedih.

“Yaudah sih, Git. Yang penting kan ketemu Mas Bagus di puncak. Ihiiirrrr.” Goda Bang Fadly. Aku mesem-mesem.

“Iyah!! Kenapa tadi nggak janjian coba mau ketemu di puncak yang mana! Dudul ih!” Pekikku emosi.

“Mas Bagus, tadi ada yang ngomong begini loh pas kita di Puncak Janagiri, ‘Sedih ih nggak muncak bareng Mas Bagus’ Ciyeeee…” Ujar Bang Fadly bocor. Aku hanya cengar-cengir.

“Adek mukanya cemong.” Ujar Mas Bagus menahan tawa. Oh jadi ini yang menyebabkan Mas Bagus cengar-cengir melihatku sejak tadi.

“Iya, tadi nyusruk di tanah sama debu-debu. Upil Agit aja hitam. Hehehe.” Aku terkekeh. Mas Bagus mengeluarkan tissue basah. Aku mengambilnya untuk membersihkan tangan.

“Itu mukanya di bersihin jugaaa.” Ujar Mas Bagus gemas. Aku nyengir.

“Lapin doooong…” Ujarku manja. Dengan kikuk, ia membersihkan wajahku yang cemong. Aku cekikikan.

“Ayo buruan, kalian foto bareng!” Perintah Bang Fadly. Aku cengengesan membelakangi Merapi. Mas Bagus berdiri tegak disampingku.

“Mas Bagus yakin, ndakmmau ngerangkul Agit?” Ujar Bang Fadly dengan tampang sangarnya. Mas Bagus mendaratkan lengannya di bahuku. Nafasku terasa tak karuan.

KLIK





“Mas Bagus ndak mau gendong Agit?” Tanyaku iseng.

“Gendong depan apa belakang?” Tanya Mas Bagus.

“Belakang!!!” Jawabku antusias. Ia segera berjongkok, aku menaikki punggungnya. Namun ketika ia mencoba berdiri, badanya ambruk ke depan. Hahahaha Kami ngakak sepuasnya.

Namun ia tak menyerah, ia tetap berusaha mengangkat badanku yang bobotnya limapuluhdua kilo ini.

JEPRET

Dan di hadapan Merapi, Ku serahkan rasa yang entah apa ini.


Aku tak lupa memperkenalkan teman-teman baruku kepada timku sendiri. Kami saling bertukar kontak untuk mengirim foto-foto.

 
Agit dan Teman Barunya

Cruiser Pea #Lovieisme \m/



Setelah puas berfoto-foto, akhirnya kami turun.

“Abang, Agit mau foto di ilalang!” Ujarku riang kepada Bang Fadly.

“Iya, abang juga mau!”

“Vaza juga!!”

Akhirnya kami berfoto-foto ria di ilalang.







Bang Fadly dan Kak Vaza turun dengan cepat. Sementara aku berada diantara Mas Bagus dan Inus. Sepanjang jalan, aku berbalas kentut dengan Inus. Hahaha.

Perjalanan turun kian menyedihkan. Seperti biasa, kakiku mendadak jompo bila dipakai di jalur tanah yang licin. Mau berlari takut terpeleset, jalan pelan-pelan pun rasanya ngeri. Jadi aku jalan asal-asalan -_-

“Fatiiiiiiiiin!! Nyanyi doooong!!!” Ujar suara yang ku kenal. Aku melongok-longokkan kepala. Terlihat kepala-kepala yang ku kenal. Pasti yang barusan itu suara Kibo. Aku menghampiri mereka.

“Ibooo..”

“Bang Faiiii..”

“Cesaaaaaaaa…”

“Ucuuuuup!!!” Aku menyalami mereka satu per satu.

“Lo gak bawa minum ta?” Tanya Bang Ucup heran melihatku hanya membawa tas kecil saja. Iya, botol minumku tersangkut di tasnya Mas Bagus. Sementara Mas Bagus jalan duluan karena melihatku akan berbincang lama dengan teman-temanku ini.

“Itu, botol minumnya di tasnya Mas..” Ujarku malu-malu.

“Ciyeee.. yang mana Ta?” Tanya Cesa. Iya, Bang Ucup dan Cesa memanggilku Ta.

“Tuh, yang barusan lewat.” Ujarku sambil memberi kode mata.

“Nih Ta, gue kasih minum. Utang gue di Semeru lunas ya!” Ujar Bang Ucup sambil menyodorkan botol minum.

“Buahahahaha.. Hanjir lo Cup, masih inget aja. Hahaha.” Aku meminumnya seteguk, kemudian mengembalikannya kepada Bang Ucup.

“Budi manaaa?” Tanyaku mencari-cari sosok Budi.

“Halo, Agiiit..” Ujar Budi melambaikan tangan.

“Sumaaar?” Aku sibuk mengabsen. Sumar juga melambaikan tangan.

“Hagiiii?”

“Hagi laper, Git…” Ujar Hagi dibalik buff yang ia kenakan.

“Seru yah kaliaaan, personelnya lengkap. Agit kangen trekking bareng kaliaaan. Huhuhu… Agit duluan yaaa.. Dadaaaah..” Ujarku sambil berlalu, tiba-tiba jalur mendadak macet karena kami yang sibuk reunian. Hehehe ^^v

“Agiiiiiiiiitt..” Ujar Teh Farah dari kejauhan.

“Teteeeeh.. Ngangaaa…” Teriakku ketika melihat sosok Teh Farah dan Nganga yang berjalan beriringan.

“Agit udah turun?” Tanya Nganga. Aku mengangguk.

“Hebat Agit sekarang udah bisa dilepas.” Tambahnya lagi, aku nyengir.

“Nganga, kita belum foto bareeeeng!!” Pekikku kemudian. Mengingat di gunung manapun, kami pasti memiliki foto bersama.

“Farah tolong fotoin dong.” Ujar Nganga kepada Teteh.


Setelah berpamitan, akhirnya aku melanjutkan perjalanan turun. Camp sudah dekat. Aku segera menuju tenda. Masuk ke dalam tenda Bray yang tak berpenghuni kemudian melepas sepatu beserta jaketku. Aku membersihkan kaki dan tanganku, juga muka. Kemudian makan masakan Om Lovie semangkuk kecil. Di Merbabu, kami tak makan makanan semewah di Rinjani. Entah memang aku yang tak kebagian atau memang tak ada yang memasak, aku tak tau. Lagipula nafsu makanku juga sedang bermasalah akhir-akhir ini.

Bang Fadly minta dipijat, namun aku tak menuruti kemauannya. Hehehehe. Aku malah tidur di tenda Bray selama entah berapa jam, dan terbangun karena batuk-batu meraja lela. Setelah itu kami packing dan bersiap-siap pulang.

Sempat terjadi perdebatan antara aku dan Bray. Seperti biasa, kami berdua memang sama-sama batu, namun aku lebih kalem. Ia menyuruhku mencuci peralatan makan dan masak, aku nurut. Ia menyuruhku ambil air, aku nurut. Namun ia tak mau nurut ketika menyusun nesting. Sampai botak pun ia tak bisa-bisa menyusun nesting berbentuk lingkaran milik Kak Hay. Sudah ku bilang berkali-kali kalau tutupnya dibalik, pasti muat. Dan akhirnya ia nyengir ketika menuruti kata-kataku. *Jitak Bray*

Setelah foto dan berdoa bersama, akhirnya kami memutuskan turun pukul dua siang. Tak semuanya turun. Sebagian dari kami ada yang lanjut ke Merapi, beberapa di antaranya pulang esok hari. Sementara aku dijemput Ayah di Jogja, yang lainnya pun berpisah tempat menginap.

Ah,
Terimakasih Merbabu, sampai jumpa lain waktu :) 







Selesai :)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...