Cerita sebelumnya >>> Klik disini :)
Kami terus berjalan beriringan. Bang
Fadly membuka jalan, aku di tengah dan Kak Za di belakang. Kami merasakan
adanya keanehan pada jalur yang kami lalui. Disini jarang terdapat sampah dan
jejak kaki. Ternyata, sekedar bungkus permen pun cukup berguna sebagai tanda
adanya manusia yang pernah melewati jalur ini. Jalurnya pun terus memanjat
tebing dan bebatuan yang berbatasan dengan jurang. Beberapa kali juga kami
melintasi semak belukar yang membentang.
Kayaknya nggak ada yang lewat sini deh, Bang. Ujarku dalam hati. Kami hanya berjalan dalam diam. Aku mulai
membayangkan yang aneh-aneh kalau-kalau nanti di media massa terdapat headline
besar-besaran; Tiga Remaja dari Jakarta Tersesat di Merbabu. Aku terus-terusan
berdzikir, menghilangkan segala pikiran yang aneh-aneh.
“Kayaknya ini kerjaannya Mapala buka
jalur, deh.” Ujar Kak Za tiba-tiba.
“Soalnya Vaza pernah ke Pangrango
buka jalur dari Cisarua.” Sambungnya lagi. Aku mengangguk-angguk paham.
Matahari mulai meninggi, saat ini
posisiku di belakang. Beberapa kali aku ditarik Bang Fadly karena tak bisa
memanjat. Tekstur tanah yang kami pijak sangat rapuh sehingga seringkali aku
terperosot. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah bukit dengan posisi vertikal
yang mengharuskan kami merayap untuk bisa tiba di atas.
Iya! Merayap ke atas seperti cicak!
Bukan lagi lutut bertemu mulut, tapi merayap! Sementara pegangan dan pijakan
kami adalah tanah dan bebatuan kapur yang sangat rapuh. Salah-salah bisa jatuh!
Dan disinilah aku baru merasakan
yang namanya tertimpa batu-batuan dari yang kecil sampai yang besar. Posisiku
paling bawah, sehingga tiap kali Kak Za dan Bang Fadly menginjakkan kakinya,
reruntuhan batu mengenai kepala dan mukaku. Film 5 Cm ternyata baru ku rasakan
di Merbabu, bukan di Semeru.
Tiba-tiba sebuah batu seukuran
kepala menggelinding ke arahku.
“BANG!!!” Teriakku kencang.
Batu mengenai tanganku. Tanah yang
kupegang seketika rapuh. Kakiku merosot kebawah. Aku terus mencengkram apapun
didekatku. Bang Fadly menoleh.
“Agit merosot, Bang!” Badanku
merosot lagi ke bawah. Kakiku mulai merasa menggantung dan tak ada pijakan. Aku
merasa ngeri luar biasa. Disini bukan jalur normal, kalau nanti aku jatuh pasti
susah di evakuasinya.
Bang Fadly turun perlahan dan
mengulurkan tangan. Ia meraihku dan sekuat tenaga menarikku. Aku tak jadi
jatuh.
Trek berubah menjadi tanah lembab
dan rerumputan. Kak Vaza sudah tak terlihat. Sampailah kami di Puncak Janagiri.
“Kok puncaknya sepi, ya, Git?” Tanya
Bang Fadly.
“Puncak Janagiri? Agit taunya di
Merbabu itu ada Puncak Syarif, Kentheng Songo sama Triangulasi, Bang.” Ujarku
pelan sambil melahap fitbar yang ku rampas dari tas Bang Fadly.
“Ooooh, Mungkin Puncak Janagiri itu
puncak buatannya Mapala!” Seru Kak Vaza. Iya
juga sih.
"Sedih, Bang.. Ndak ketemu Mas Bagus di puncak.." Ujarku pelan. Bang Fadly tersenyum sabar.
“Ke Kentheng Songo, yuk!” Ajak Bang
Fadly. Kebetulan saat itu masih pukul enam pagi. Kami melanjutkan perjalanan.
Bukit demi bukit terus kami lalui.
Jalur terus menanjak dengan tekstur bebatuan kapur. Aku mulai kelelahan dan
berjarak cukup jauh dengan Bang Fadly dan Kak Vaza. Perutku juga mulai mulas.
Aku menghentikan langkahku. Dan duduk menghadap ke arah mereka yang semakin
menjauh.
Aku memutuskan untuk summit
sendirian.
Aku jalan santai sekali. Saat itu
pun aku tak bawa minum sama sekali. Dari kejauhan ku lihat rombongan kami yang
jalan duluan jam dua tadi. Aku menghampiri mereka.
“Kak Key..” Sapaku lemah.
“Eh, Dek Agit.. Itu BF sama Vaza ke
Kentheng Songo. Agit mau nyusul mereka?” Tanya Kak Key.
“Kalian ke Syarif atau Kentheng
Songo?” Aku balik bertanya.
“Kita ke Syarif. Kalo Syarif udah
deket, lima belas menitan lagi lah. Kalo Kentheng Songo masih jauuuh. Nanti
abis bukit ini Dek Agit kalo mau ke Syarif ambil yang kiri, kalo ke Kentheng
Songo ke kanan.” Tutur Kak Key. Aku mengangguk-angguk.
“Dek Agit ndak bawa minum?” Tanya
Kak Key lagi. Aku nyengir.
“Minumnya di Kakak BF” Jawabku
bodoh. Hehehe kebiasaan terburukku adalah jarang bawa minum tapi selalu minta
minum orang. Jangan ditiru yah :D
Kak Key mengeluarkan botol minumnya
dari balik jaket dan menyerahkannya padaku. Ia dan rombongan melanjutkan
perjalanan.
“Semangat, Git!” Ujar Kak Rizki yang
juga sudah turun.
“Eh, air lu tinggal segitu?”
Tanyanya sambil memerhatikan botol minum yang ku genggam, itupun pemberian dari
Kak Key.
“Nih, gue tambahin minum lu. Gue tau
kok lu onta.” Ujarnya lagi sambil menuangkan air kedalam botol minumku.
“Baek-baek lu bocah.” Kak Rizki
berlalu. Aku tersenyum penuh haru. Kawan-kawanku ini memang paling mengerti
diriku. Huhuhu :’(
Sepi.
Aku jalan sendirian lagi.
Kira-kira Mas Bagus dimana, yah?
Aku menepuk jidatku. Merasa sangat
bodoh karena lupa akan bertemu dengan Mas Bagus di puncak yang mana. Kami tak
janjian sama sekali. Sementara saat ini aku sudah berada di antara Puncak
Syarif dan Kentheng Songo. Aku harus kemana? Ke Kiri atau Kanan?
Ke Puncak Syarif aja dulu kali, yah? Kalo nggak ada, baru
deh ke Kentheng Songo?
Tapi Kentheng Songo jauh.
Bang Fadly sama Kak Vaza pada ngapain sih jauh-jauh kesana.
Nanti kalo Agit kesana, mereka udah turun lagi.
Agit udah ndak kuat.
Tapi Puncak Syarif tanjakannya keliatan tinggi banget.
Agit capeeeeek.
Aaaaaaaaak, naek gunung ndak enaaaaak!!!
“Mbak, jangan ngelamun mbak.” Ujar
seorang mas-mas membuyarkan lamunanku. Jadi se-daritadi aku hanya duduk di sebuah
batu besar dengan tatapan kosong menghadap Kentheng Songo. Aku nyengir bodoh.
“Mbaknya mau kemana?” Tanya Mas yang
lainnya. Nampaknya mereka serombongan. Setelah ku hitung, kurang lebih mereka
berjumlah tujuh orang.
“Gak tau, Mas. Saya bingung. Enakan
Syarif atau Kentheng Songo yah?” Tanyaku polos.
“Kalo Syarif tinggal ke kiri dikit.
Kalo Kentheng Songo masih jauh di balik bukit itu, Mbak.” Aku hanya diam tak
bergeming.
“Mbaknya sendirian?” Tanya mereka
heran. Aku menjawab dengan cengiran bodoh (lagi).
“Loh, ke Merbabu sama siapa?” Tanya
mereka lagi. Aku masih cengar-cengir.
“Ceritanya ke Merbabu reunian, ada
lebih dua puluh orang. Rombongan pertama tadi udah summit ke Syarif berangkat
jam dua pagi. Saya summit cuma bertiga berangkat setengah empat, tapi saya
ketinggalan. Hehehe. Yang barengan saya sih pada ke Kentheng Songo.” Jawabku
perlahan.
“Reunian darimana, Mbak?” Tanya
mereka antusias.
“Dari mana-mana. Jakarta, Bandung,
Bekasi, Solo, Surabaya, Semarang. Temen-temen Backpackeran aja. Waktu itu
ketemu di Semeru sama Rinjani.”
“Yaudah, Mbak. Ikut kami aja ke
Kentheng Songo!” Ajak mereka.
“Mas nya nge-camp dimana?” Tanyaku
ragu.
“Di pos dua, Mbak.”
“Sama, saya juga di pos dua. Nanti
kalo saya nggak ketemu temen-temen saya, saya ikut kalian ya, Mas. Ngeri juga
saya daritadi sendirian. Hehehe”
Aku berjalan di antara Mas-mas ini.
Ternyata mereka adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dua orang
diantara mereka berasal dari Bengkulu, ada juga yang berasal dari Tasikmalaya. Kami
membicarakan apapun untuk menghilangkan rasa lelah. Sesekali kami berlari-lari
ketika melintasi turunan. Juga tak lupa berfoto-foto di sepanjang perjalanan.
Iya, salah satu dari mereka memegang kamera dslr. Beruntung sekali yah aku.
Berasa kayak lagi di negerinya Para Hobbit :') |
Hap hap hap
Langkah demi langkah, pijakan demi
pijakan, bukit demi bukit
Akhirnya terlewati
Pada gundukkan batu besar terakhir,
aku ditarik
Hap
Aku sampai di Kentheng Songo!!
Segera ku teriakkan nama Bang Fadly
dan Kak Vaza, namun entah dimana mereka berada. Pandanganku terpaku pada
seseorang yang sedang memegang kamera dan membidik gunung yang berada persis di
hadapanku, Gunung Merapi.
Sosok yang sangat aku kenal.
Sosok yang tak pernah aku bayangkan
bisa bertemu disini
Ada banyak puncak di Merbabu, namun
ternyata ia memilih puncak yang sama
Kentheng Songo…
Karena kita tak pernah tau, bagaimana cara Tuhan mempertemukan.
Dan kita juga tak akan pernah tau, bagaimana cara Tuhan memisahkan...
Karena kita tak pernah tau, bagaimana cara Tuhan mempertemukan.
Dan kita juga tak akan pernah tau, bagaimana cara Tuhan memisahkan...
“Mas..” Ujarku lemah. Ia menoleh ke
arahku. Secercah senyum mengembang dari bibirnya. Bang Fadly, Kak Vaza dan Inus
menghampiriku. Memberikan selamat bahwa aku telah tiba di Kentheng Songo. Mas
Bagus memberikanku sebotol minuman yang berisi air madunya.
“Mereka berdua kok bisa ada disini,
Bang?” Tanyaku heran. Padahal mereka jalan belakangan, tapi kenapa bisa sampai
duluan?
“Gak tau, Git. Abang juga kaget pas
ngeliat Mas Bagus sama Inus disini. Hahaha.” Ujar Bang Fadly terlihat bahagia.
“Kok gak ketemu di jalur?” Aku masih
bingung.
“Iya, Git. Kan tadi kita salah
jalur!” Seru Kak Vaza. Iya juga sih.
“Terus kenapa kalian ke Kentheng
Songo? Kenapa nggak ke Syarif?” Tanyaku gemas kepada Mas Bagus yang daritadi
hanya cengar-cengir melihatku.
“Dari awal ke Merbabu emang
tujuannya kesini, sih. Agit kenapa ndak ke Syarif?” Mas Bagus balik bertanya
kepadaku.
“Kalo ndak ada mas-mas itu, mungkin
Agit ke Syarif..” Ujarku lemah sambil menunjuk teman-teman baruku yang sedang
sibuk berfoto-foto.
“Abang kan tadi udah kasih pesan
berantai kalo Abang sama Vaza ke Kentheng Songo. Disampein kan?” Ujar Bang
Fadly.
“Iyah, disampein kok. Tapi tadi Agit
sempat labil mau ke puncak yang mana. Terus gimana ceritanya ya Bang kalo Agit
ke Syarif?” Tanyaku iseng.
“Abang yakin Agit kesini kok.” Ujar
Bang Fadly mantap.
“Bagaimana bisa?” Tanyaku lagi.
“Agit… Rinjani sama Semeru aja
dijabanin, masa Kentheng Songo enggak.” Tambah Bang Fadly lagi. Aku merasa
haru.
“Agit cuma takut ketika Agit naik,
kalian udah turun..” Ujarku sedih mengingat Mak Jun dan Donny yang
meninggalkanku di Semeru.
“Walaupun Agit jalannya lamban sampe
tidur-tiduran di bawah, Abang yakin Agit sampe puncak.”
“Aku lho, tadi udah mau turun sama
Mas Bagus. Eh tau-tau ada Bang Fadly sama Kak Vaza.” Ujar Inus.
“Iya, aku kira tadinya Bang Fadly
sama Agit, ndak taunya Mbak Vaza.” Sambung Mas Bagus terdengar sedih.
“Kalian udah lama yah disini? Maaf
ya Agit lama.” Ujarku sedih.
“Yaudah sih, Git. Yang penting kan
ketemu Mas Bagus di puncak. Ihiiirrrr.” Goda Bang Fadly. Aku mesem-mesem.
“Iyah!! Kenapa tadi nggak janjian
coba mau ketemu di puncak yang mana! Dudul ih!” Pekikku emosi.
“Mas Bagus, tadi ada yang ngomong
begini loh pas kita di Puncak Janagiri, ‘Sedih
ih nggak muncak bareng Mas Bagus’ Ciyeeee…” Ujar Bang Fadly bocor. Aku
hanya cengar-cengir.
“Adek mukanya cemong.” Ujar Mas
Bagus menahan tawa. Oh jadi ini yang menyebabkan Mas Bagus cengar-cengir melihatku sejak tadi.
“Iya, tadi nyusruk di tanah sama
debu-debu. Upil Agit aja hitam. Hehehe.” Aku terkekeh. Mas Bagus
mengeluarkan tissue basah. Aku mengambilnya untuk membersihkan tangan.
“Itu mukanya di bersihin jugaaa.”
Ujar Mas Bagus gemas. Aku nyengir.
“Lapin doooong…” Ujarku manja.
Dengan kikuk, ia membersihkan wajahku yang cemong. Aku cekikikan.
“Ayo buruan, kalian foto bareng!”
Perintah Bang Fadly. Aku cengengesan membelakangi Merapi. Mas Bagus berdiri
tegak disampingku.
“Mas Bagus yakin, ndakmmau
ngerangkul Agit?” Ujar Bang Fadly dengan tampang sangarnya. Mas Bagus
mendaratkan lengannya di bahuku. Nafasku terasa tak karuan.
KLIK
“Mas Bagus ndak mau gendong Agit?”
Tanyaku iseng.
“Gendong depan apa belakang?” Tanya
Mas Bagus.
“Belakang!!!” Jawabku antusias. Ia
segera berjongkok, aku menaikki punggungnya. Namun ketika ia mencoba berdiri,
badanya ambruk ke depan. Hahahaha Kami ngakak sepuasnya.
Namun ia tak menyerah, ia tetap
berusaha mengangkat badanku yang bobotnya limapuluhdua kilo ini.
JEPRET
Dan di hadapan Merapi, Ku serahkan rasa yang entah apa ini. |
Aku tak lupa memperkenalkan
teman-teman baruku kepada timku sendiri. Kami saling bertukar kontak untuk
mengirim foto-foto.
Cruiser Pea #Lovieisme \m/ |
Setelah puas berfoto-foto, akhirnya
kami turun.
“Abang, Agit mau foto di ilalang!”
Ujarku riang kepada Bang Fadly.
“Iya, abang juga mau!”
“Vaza juga!!”
Akhirnya kami berfoto-foto ria di
ilalang.
Bang Fadly dan Kak Vaza turun dengan
cepat. Sementara aku berada diantara Mas Bagus dan Inus. Sepanjang jalan, aku
berbalas kentut dengan Inus. Hahaha.
Perjalanan turun kian menyedihkan.
Seperti biasa, kakiku mendadak jompo bila dipakai di jalur tanah yang licin.
Mau berlari takut terpeleset, jalan pelan-pelan pun rasanya ngeri. Jadi aku
jalan asal-asalan -_-
“Fatiiiiiiiiin!! Nyanyi doooong!!!”
Ujar suara yang ku kenal. Aku melongok-longokkan kepala. Terlihat kepala-kepala
yang ku kenal. Pasti yang barusan itu suara Kibo. Aku menghampiri mereka.
“Ibooo..”
“Bang Faiiii..”
“Cesaaaaaaaa…”
“Ucuuuuup!!!” Aku menyalami mereka
satu per satu.
“Lo gak bawa minum ta?” Tanya Bang Ucup
heran melihatku hanya membawa tas kecil saja. Iya, botol minumku tersangkut di
tasnya Mas Bagus. Sementara Mas Bagus jalan duluan karena melihatku akan
berbincang lama dengan teman-temanku ini.
“Itu, botol minumnya di tasnya
Mas..” Ujarku malu-malu.
“Ciyeee.. yang mana Ta?” Tanya Cesa.
Iya, Bang Ucup dan Cesa memanggilku Ta.
“Tuh, yang barusan lewat.” Ujarku
sambil memberi kode mata.
“Nih Ta, gue kasih minum. Utang gue
di Semeru lunas ya!” Ujar Bang Ucup sambil menyodorkan botol minum.
“Buahahahaha.. Hanjir lo Cup, masih
inget aja. Hahaha.” Aku meminumnya seteguk, kemudian mengembalikannya kepada
Bang Ucup.
“Budi manaaa?” Tanyaku mencari-cari
sosok Budi.
“Halo, Agiiit..” Ujar Budi
melambaikan tangan.
“Sumaaar?” Aku sibuk mengabsen.
Sumar juga melambaikan tangan.
“Hagiiii?”
“Hagi laper, Git…” Ujar Hagi dibalik
buff yang ia kenakan.
“Seru yah kaliaaan, personelnya
lengkap. Agit kangen trekking bareng kaliaaan. Huhuhu… Agit duluan yaaa..
Dadaaaah..” Ujarku sambil berlalu, tiba-tiba jalur mendadak macet karena kami
yang sibuk reunian. Hehehe ^^v
“Agiiiiiiiiitt..” Ujar Teh Farah
dari kejauhan.
“Teteeeeh.. Ngangaaa…” Teriakku
ketika melihat sosok Teh Farah dan Nganga yang berjalan beriringan.
“Agit udah turun?” Tanya Nganga. Aku
mengangguk.
“Hebat Agit sekarang udah bisa
dilepas.” Tambahnya lagi, aku nyengir.
“Nganga, kita belum foto
bareeeeng!!” Pekikku kemudian. Mengingat di gunung manapun, kami pasti memiliki
foto bersama.
Setelah berpamitan, akhirnya aku
melanjutkan perjalanan turun. Camp sudah dekat. Aku segera menuju tenda. Masuk
ke dalam tenda Bray yang tak berpenghuni kemudian melepas sepatu beserta
jaketku. Aku membersihkan kaki dan tanganku, juga muka. Kemudian makan masakan
Om Lovie semangkuk kecil. Di Merbabu, kami tak makan makanan semewah di
Rinjani. Entah memang aku yang tak kebagian atau memang tak ada yang memasak,
aku tak tau. Lagipula nafsu makanku juga sedang bermasalah akhir-akhir ini.
Bang Fadly minta dipijat, namun aku
tak menuruti kemauannya. Hehehehe. Aku malah tidur di tenda Bray selama entah
berapa jam, dan terbangun karena batuk-batu meraja lela. Setelah itu kami
packing dan bersiap-siap pulang.
Sempat terjadi perdebatan antara aku
dan Bray. Seperti biasa, kami berdua memang sama-sama batu, namun aku lebih
kalem. Ia menyuruhku mencuci peralatan makan dan masak, aku nurut. Ia menyuruhku
ambil air, aku nurut. Namun ia tak mau nurut ketika menyusun nesting. Sampai
botak pun ia tak bisa-bisa menyusun nesting berbentuk lingkaran milik Kak Hay.
Sudah ku bilang berkali-kali kalau tutupnya dibalik, pasti muat. Dan akhirnya
ia nyengir ketika menuruti kata-kataku. *Jitak Bray*
Setelah foto dan berdoa bersama, akhirnya kami memutuskan turun pukul dua siang. Tak semuanya turun. Sebagian dari kami ada yang lanjut ke Merapi, beberapa di antaranya pulang esok hari. Sementara aku dijemput Ayah di Jogja, yang lainnya pun berpisah tempat menginap.
Ah,
Terimakasih Merbabu, sampai jumpa lain waktu :)
Ah,
Terimakasih Merbabu, sampai jumpa lain waktu :)
Selesai :)
Makasih udah berbagi cerita mba...puncak JANAGIRI itu dibikin sama MAPALA JANAGIRI Univ.JANABADRA Yogyakarta...mapala kami tercinta....
ReplyDeletewaw, cool :)
ReplyDeletepas ketinggalan apa gak takut mbak di gunung sendiri.. hmm
ReplyDeletePuncak Janagiri itu punya kami mb Mapala JANAGIRI UNIVERSITAS JANABADRA YOGYAKARTA, terima kasih sudah mampir ya :)..Salam
ReplyDelete