Monday, 10 February 2014

Napak Tilas Solo - Jogja



Cerita Sebelumnya Klik >> di sini :)


Jum'at, 31 Jnuari 2014
 
Sesampainya di penginapan, kami melaksanakan shalat shubuh dan tidur sampai siang. Imam tak juga memberi kabar. Takutnya, ia kabur seperti beberapa hari sebelumnya. Imam pernah berjanji ingin ke Bekasi namun ketika saya menunggu bahkan hingga tengah malam, ia tak kunjung datang dan benar-benar tanpa kabar. Padahal hari itu hujan dan ia membiarkan saya kedinginan sendirian di tempat yang telah dijanjikan. Tega sekali, bukan? Pantas saja kekasihnya tega meninggalkan ia tanpa kabar. Wong dia sendiri kayak gitu.

“Jogja aja, yuk!” Celetuk Ayah tiba-tiba.

“Yuk! Kayaknya lagi rame, ya? Tadi Nganga, Cesa, Om Ardi, Opel update status di Jogja. Mbak Ang juga besok ke Jogja!” Sambutku antusias. Sementara Danang hanya mengikuti kemanapun kami pergi. Saya dan Danang segera membeli tiket kereta tujuan Yogyakarta pukul lima sore.

Solo hujan deras. Ada baiknya perjalanan ke Lawu kami batalkan. Saib dan Arvita memberi kabar bahwa Lawu badai dan mereka tak bisa bergerak. Terbersit rasa terimakasih kepada Imam sebagai porter yang ketinggalan rombongan. Namun tetap saja, kami masih kesal dengan Imam yang tak berkabar.

“Git, nanti kalau Imam dateng biasa aja, ya. Jangan tunjukin kalau kita kesal. Tapi kita bales pelan-pelan. Kita siksa dia di sepanjang perjalanan sampai pulang! Hahahahaha.” Ujar Ayah memprovokasi. Saya dan Danang tertawa ala penjahat. Setelah berkemas, kami kembali ke Stasiun Solo Jebres pukul empat sore.

Rasanya dejavu melihat sudut-sudut kota Solo. Kenangan bersama mantan terakhir terlintas dan berkelibetan di kepala hingga ruwet. Dulu, waktu masih bersamanya, jalanan ini saya lalui bukan dengan jalan kaki. Tapi naik motor ber-Plat AD. Namun sudahlah, tak baik mengingat yang sudah-sudah.

Tiba-tiba sebuah becak mendahului saya dan berhenti mendadak. Seorang pria dengan tas sebesar kulkas turun dari becak. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang teramat sangat sehingga sedikitpun senyum tak nampak dari wajahnya. Akhirnya Imam sampai walau satupun dari kami sudah tak lagi mengharapkan kedatangannya.

“Om, maafin gue ya om.” Ujar Imam sambil mencium tangan Ayah Riffat. Ayah tak mengeplak kepala Imam seperti ia mengeplak saya atau Danang. Ia malah tersenyum bijak layaknya seorang Ayah yang telah memiliki anak satu. Heuheuheu.

“Udah makan? Makan dulu, yuk.” Ajak Ayah kemudian. Kami segera menyambangi warung makan tedekat. Modelnya seperti angkringan. Saya hanya melahap pisang goreng dan segelas susu jahe. Hujan turun lagi namun mendung sudah tak menyelimuti wajah Imam. Ia seperti orang yang sudah setahun tak makan. Kurus kering layaknya orang patah hati. Kami mengamati ia makan dengan tatapan prihatin.

“Tadi tas gue kebawa sama anak-anak yang mau ke Merapi. Gue turun di Boyolali ngejar ini tas. Mana gede banget. Jadi kondekturnya ngira kalau ini tas mereka, jadi main diturunin aja. Untung tasnya di belakang, nggak ditaruh bagasi. Gue iseng ngecek ternyata bener kebawa turun...” Imam menghentikan makannya, memberi jeda dengan menenggak susu jahe saya.

“.... Terus supirnya nyuruh gue turun, dia bilang nungguin gue. Gue lari ke kerumunan anak-anak yang ke Merapi. Mereka pada bengong aja ngeliatin kerir gue ditengah-tengah. Akhirnya gue masuk, gue ambil tasnya, terus gue pake. Dengan santainya gue jalan tanpa basa-basi ke mereka. Keren kan gue?”

“NGAAK! LO LEMBEK! HAHAHAHAHA”


***


Kereta tujuan Yogyakarta datang terlambat, juga berhenti berkali-kali di sepanjang perjalanan. Opel tampak gelisah menunggu kedatangan saya. Padahal janjinya pukul enam sore saya sudah tiba disana. Namun hingga pukul delapan, kereta masih saja berhenti entah menunggu apa. Kesialan Imam sudah mulai menular kepada kereta; sama-sama lamban.

Ceritanya Silent Trip



SILENT TRIP, adalah sebuah perjalanan rahasia yang dilakukan secara diam-diam. Perjalanan ini disponsori oleh Ayah Riffat dan didukung oleh Bang Imam. Dek Danang, seorang murid SMAN 9 Semarang juga turut serta dan berperan sebagai yang termuda. Sementara saya hanya bertugas merekam kekonyolan dan kelakuan mereka yang pe’a ini.

Bermula dari Ayah Riffat yang merasa ‘gatel’ ketika melihat tanggalan akhir Januari yang berwarna merah dari Jum’at sampai Minggu, akhirnya mengajak Bang Imam halan-halan. Awalnya tujuan mereka ke Merapi, namun saya merengek agar membelokkannya ke Gunung Lawu. Tanggal sudah pasti, tujuan sudah jelas. Akhirnya saya membelikan mereka tiket kereta ekonomi tujuan Solo Jebres. Kereta Api Matarmaja Tambahan pukul lima sore keberangkatan dari Pasar Senen. Sementara Dek Danang menyusul dari Semarang dengan kereta yang sama pukul duabelas malam. Saya yang menyetting tempat duduk agar posisi kami berdekatan.


Kamis, 30 Januari 2014

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Saya terburu-buru mengendarai motor sepulang bekerja menuju Stasiun Bekasi. Sebelumnya saya sempat membeli nasi padang sebanyak dua bungkus dengan lauk ayam gulai. Entah mengapa hanya dua bungkus yang saya beli, padahal jelas-jelas nanti saya pergi bertiga. Bukan karena uang saya kurang, namun Uda penjual nasi padangnya budeg. Saya bilang tiga malah dibungkusin dua. Mau pesan lagi tapi terlanjur buru-buru. Akhirnya perjalanan selama di Commuter Line saya lalui dengan gelisah. Terlebih lagi kereta tujuan Pasar Senen yang tak kunjung datang. Sepuluh menit sebelum keberangkatan, saya baru tiba di sana.

Dengan tergesa-gesa, saya naik turun tangga. Mengejar kereta api Matarmaja Tambahan yang sudah siap untuk berangkat. Dari kejauhan, saya melihat sosok yang tak asing. Seorang Om-om berumuran 36 tahun dengan Jaket Kuning Salomon dan Carrier Osprey seri Tallon 44 berwarna biru terlihat mencolok diantara kerumunan orang. Saya pura-pura tak mengenalnya, namun ia lebih dulu menangkap sosok saya. Sebuah keplakan sadis mendarat di kepala saya. Saya resmi ditoyor Ayah Riffat.



“Agit pea!” Ujarnya sambil cengar-cengir. Saya hanya garuk-garuk kepala, bingung. Sementara panggilan kepada penumpang kereta yang akan saya tumpangi sudah terdengar sejak tadi.

“Imam mana?” Tanyanya lagi. Sambil berkali-kali mencoba menghubungi Imam yang entah dimana. Kami memutuskan untuk masuk duluan. Imam ketinggalan kereta. Tujuh menit sebelum kereta berangkat, ia masih berada di Stasiun Jatinegara. Kami hanya cekikikan menertawakan kebodohan Imam dan menjulukinya dengan sebutan Si Lamban yang Lembek. Imam segera memutar motornya ke Terminal Kampung Rambutan dan menyusul kami dengan menggunakan Bis Ayam.

Wednesday, 29 January 2014

Antara Bandung dan Buku


Menurutku, Bandung pukul sepuluh pagi itu masih sama seperti Bandung pukul enam pagi. Dingin dan mendung. Rasanya malas bila harus segera pulang dari kota kembang penuh kenangan ini. Namun Nauvel memburu-buruku dengan alasan, "Kita harus ke Kineruku dan Palasari! Jajan buku!!"

Mendengar kata buku, akhirnya aku segera bangun dan bergegas untuk mandi. Mandi dengan guyuran air Bandung yang dingin menusuk tulang. Nauvel sering bercerita tentang Kineruku yang merupakan tempat asik untuk membaca dalam suasana tenang, sementara Palasari yaitu pusat buku murah di Bandung.

Setelah sarapan dengan Lontong Padang, Nauvel mengendarai motornya menuju Jalan Hegarmanah. Aku yang masih terkantuk-kantuk merasakan angin dingin menampar pipi. Kayaknya enak kalo bobo di pundak Opel. Uwuwuwuwu :3

Belum sempat aku tertidur, sampailah kami di Rumah Buku Kineruku; baca, dengar, tonton.



Disini, bisa baca buku sepuasnya dari pagi sampai malam. Bisa juga beli buku, nonton film, nyemil-nyemil kentang sampai ngopi-ngopi. Buku bacaan yang tersedia pun bermacam-macam dari mulai buku sastra, sosiologi, budaya, sejarah, arsitektur, seni, desain, filsafat hingga cerita wayang pun ada. Aku betah. Ditambah lagi suasananya benar-benar berasa sedang berada di rumah.

Aku dan Nauvel memilih sofa di halaman belakang. Nauvel membaca buku Rojak karya Fira Basuki sementara aku memilih Rectoverso milik Dee Lestari. Buku dengan cover berwarna hijau itu menarik perhatianku sejak melangkah masuk ke dalam Kineruku. Aku ingin membaca Firasat, Peluk dan Selamat Ulang Tahun. Entah mengapa. Kadang, kita tak perlu alasan untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan. Dan kadang, pilihan yang terbaik adalah menerima.

Ternyata, surga yang dimiliki Bandung tak hanya ada di Dago Pakar dengan kerlip lampu kota yang membinarkan mata. Disini, aku juga menemukan potongan surga.





"Nanti kapan-kapan kalau kesini lagi kita nonton film, ya. Sekarang baca buku dulu aja sambil bengong." Ujar Nauvel. Sebenarnya aku ini memang bawel dan banyak tingkah. Namun dihadapan Nauvel dan buku-buku sebanyak ini, aku bisa apa? :"

"Rasa hangat ketika kedua tubuh bertemu, rasa lengkap ketika dua jiwa mendekat, rasa rindu yang tuntas ketika kedua pasang mata menatap." - Rectoverso.

Kami menghabiskan waktu disana selama hampir tiga jam. Setelahnya aku merengek agar cepat pulang karena takut kemalaman sampai rumah. Mengingat saat itu Tol Cipularang masih amblas dan pasti akan macet sekali.

Masih ada potongan surga lainnya yang membuatku tak bisa apa-apa selain menunjukkan ekspresi wajah berbinar dan mendesis 'Waaahhh...'. Pernah melihat bagaimana ekspresiku bila melihat pisang? Ya, hal itu akan terjadi ketika aku melihat setumpuk buku.

Selanjutnya Palasari. Entah mengapa Bandung mendadak cerah bahkan bisa dikatakan panas. Padahal menurut Nauvel, hari-hari biasanya hujan lebat disertai suhu ekstrem yang membuat setiap detiknya seperti butuh pelukan. Kali ini lain, Bandung seolah menyambut kehadiranku. Hihihihi :D

Setibanya di Palasari, bayanganku terlempar ke Pusat Buku Pasar Senen. Kios-kios buku berjejeran dari buku bekas sampai buku baru. Nauvel melirikku heran ketika ku putuskan untuk membeli buku Dilema karya Alvi Syahrin. Iya, ia memang bukan penggemar teenlit. Sementara aku membeli buku ini hanya karena penasaran dengan gaya menulis Alvi. Beberapa waktu sebelumnya kami pernah bertemu dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Gagas Media dan Bukune.


Koridornya sempit sekali hingga badanku yang mungil namun lebar ini kerap kali menyenggol buku-buku yang tidak masuk ke dalam rak atau sekedar hanya ditumpuk di lantai. Setelah membayar dan Nauvel puas melihat-lihat, ia mengantarku ke terminal. Sebelum menaiki bis pulang, hadiah untuknya buru-buru kuserahkan. Coba tebak, aku kasih kado apa? Hihihi.

Selamat memasuki usia ke 23, travel-mate kesayangan.
Semoga kita bisa jalan-jalan lagi dan terus kembangin brand Menuju Jauh ini yaa ~~~\o/




**catatan: Bukannya nggak mau foto sendiri, tapi selama di Bandung aku merasa nggak butuh henfon. Jadi ya dimatiin aja henfonnya :)

Tuesday, 28 January 2014

Bandung itu Kamu



Foto : Pidi-Baiq.tumblr.com

Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah Wilayah belaka, lebih jauh dari itu melibatkan Perasaan, yang bersamaku ketika sunyi. Mungkin saja ada tempat yang lainnya, ketika kuberada di sana, akan tetapi Perasaanku sepenuhnya ada di Bandung, yang bersamaku ketika rindu. - Pidi Baiq.


Sabtu, 25 Januari 2013.

Kereta Argo Parahyangan mulai bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Bekasi. Bunyi peluit petugas Stasiun menjerit panjang disambut dengan suara klakson kereta yang memekakkan telinga. Tapi bebunyian se-berisik itu seolah terasa kalah oleh gemuruh yang meletup-letup di dada.

Saturday, 21 December 2013

Milad Bekasi Summiter yang Pertama




Ini diaaa... Wadah dari pecinta alam di Bekasi. Tak hanya berperan aktif dalam pendakian, tapi juga acara amal, sumbangsih, volunteer, kegiatan outdoor dan hal positif lainnya. Memasuki usianya yang pertama, Bekasi Summiter merencanakan untuk merayakannya di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat.

Hari demi hari, peminat acara ini semakin banyak. Panitia dibikin pusing karena jumlah pesanan T-Shirt yang terus bertambah juga pendataan transportasi dan konsumsi. Sementara saya disini hanyalah tim hore dan terima beres. Padahal saya pun yang belakangan bayar pendaftaran dan tetek-bengeknya. Hahaha maaf ya :)

Keberangkatan dibagi menjadi tiga tempat. Yang pertama dari alun-alun Kota Bekasi, sebanyak tiga puluh orang berangkat dengan menaikki tronton AL. Kemudian yang kedua berangkat dari Kampung Rambutan dengan bus tujuan Garut. Dan yang terakhir berangkat dari Cibitung dengan transportasi seadanya. Tarif kendaraan tentu berbeda, yah silakan dihitung sendiri ya. Atau tanyakan pada Bang Alfian selaku pemegang data keuangan. Hahaha.

Oh, iya! Saya tak akan memperkenalkan anggota Bekasi Summiter satu per satu, ya! Saya ndak rela kalau mereka mendadak tenar gara-gara namanya nongol di blog ini. Hahahaha nggak kok, nggak gitu. Anggota Bekasi Summiter terlalu banyak sehingga nggak akan muat juga. Kalau mau kenal, silakan merapat tiap ada kopdar. Jangan lupa untuk follow twitternya di @B_Summiter atau Join Group Facebooknya di B_Summiter (IG #ChapterBekasi) :)


Jum'at, 15 November 2013

Dalam rintik hujan dan jalanan aspal yang basah, saya berangkat menuju alun-alun Kota Bekasi. Orang yang paling pertama saya temui adalah Bang Idin dan seorang perempuan bernama Shella yang entah siapanya. Coba tebak, itu siapanya Bang Idin hayooo? Yang tebakannya betul, dapet tuh cewek! *dikeplak Bang Idin*


Berteduh

Kami segera berkumpul ke taman yang berada di dalam alun-alun. Sambil menunggu peserta yang lainnya, saya dan Oci menyempatkan diri untuk mengisi perut di nasi kucing terdekat. Panitia terlihat sibuk dan terus berkasak-kusuk. Peserta yang datang terakhir adalah Bang Alfian dan Kak Farah. Ya, begitulah orang jatuh cinta... Semuanya jadi serba lama. *nebar gosip*

Tepat pukul sebelas malam, tim Bekasi berangkat dengan tronton AL. Sementara Tim Kampung Rambutan dan Tim Cibitung saya tak tau kapan berangkatnya. Meeting point ditentukan di sebuah warung di Desa Cisurupan.

Selama di tronton, beberapa dari kami tertidur dengan pulasnya. Sampai tak sadar kepala sendiri jatuh ke pundak atau paha siapa. Hahaha tapi sebagian ada juga yang tak dapat tempat duduk. Kasihan yang tidur sambil berdiri. Kayak ikan teri dibikin pepes.


Sabtu, 16 November 2013

Perjalanan memakan waktu empat jam. Kami baru sampai di warung depan Pom Bensin (sebut saja warung Aa) bertepatan dengan adzan shubuh. Beberapa dari kami segera melaksanakan shalat shubuh. Kemudian dilanjut dengan sarapan dan menunggu Tim Cibitung karena ternyata Tim Kampung Rambutan malah sudah sampai Camp David paling pertama.



Monyet 1 telah sampai lokasi, ganti!


Setelah kenyang makan, minum, ngopi, ngeteh, bersih-bersih, dan seluruh tim berkumpul, kami melanjutkan perjalanan menuju Camp David. Nah dari Desa Cisurupan ini kendaraan umum yang boleh masuk hanya pick-up dan ojek. Tronton yang kami naiki tak boleh lanjut sampai atas. Katanya sih, takut nggak kuat nanjak. Sebagai warga Indonesia yang taat aturan, akhirnya kami sepakat berpindah kedalam dua buah pick-up, dan biaya transport jadi nambah 20ribu. #TolakPickUpMahal !!!


Dek Agit ini sempet-sempetnya pose ^^v

Jalanan menuju Camp David berliku-liku, terus menanjak dan banyak yang berlubang. Mungkin hal ini yang menyebabkan hanya pick-up dan ojek yang boleh naik. Sepanjang perjalanan, badan terasa diguncang-guncang. Perut rasanya seperti dikocok-kocok. Hati terasa di sayat-sayat. Ciiyeee yang punya kenangan di Papandayan. #Oke #OutOfTopic #Abaikan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...