Skip to main content

Bandung itu Kamu



Foto : Pidi-Baiq.tumblr.com

Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah Wilayah belaka, lebih jauh dari itu melibatkan Perasaan, yang bersamaku ketika sunyi. Mungkin saja ada tempat yang lainnya, ketika kuberada di sana, akan tetapi Perasaanku sepenuhnya ada di Bandung, yang bersamaku ketika rindu. - Pidi Baiq.


Sabtu, 25 Januari 2013.

Kereta Argo Parahyangan mulai bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Bekasi. Bunyi peluit petugas Stasiun menjerit panjang disambut dengan suara klakson kereta yang memekakkan telinga. Tapi bebunyian se-berisik itu seolah terasa kalah oleh gemuruh yang meletup-letup di dada.

Lagi, Bandung selalu menjadi kota yang benar-benar  tanpa rencana. Aku mendadak memutuskan ke Bandung bersamaan ketika Nauvel hendak pergi ke Jogja. Tujuannya sederhana, melepas rindu setelah hampir setengah tahun tak bertemu. Tapi aku beralasan lain, yaitu berpura-pura mengembalikan jaket sekaligus mengambil buku yang dipinjam olehnya. Itung-itung sekalian nge-trip karena terakhir jalan-jalan sekitar bulan November. Itu pun hanya ke Papandayan.

Sepanjang perjalanan, aku tak dapat memejamkan mata. Padahal rasa kantuk bergelayut manja di mata hingga kepala. Semalaman suntuk aku mengerjakan hadiah untuk Nauvel. Iya, ia akan berulang tahun esok hari. Dua puluh tiga umurnya di tahun ini. Rencananya ia hendak merayakannya seorang diri di Jogja. Namun aku menahannya agar tak pergi kemana-mana.

Dan Kereta Argo Parahyangan begitu cepat mengantar rindu ini segera sampai ke kota tujuan. Jarak tempuh Bekasi-Bandung yang mencapai sekitar 120km hanya memakan waktu dua setengah jam.

Kereta tiba di Stasiun Bandung ketika matahari mulai menepi ke arah Barat. Nauvel telah menunggu di pintu stasiun. Ketika bertemu kembali, kami hanya bersalaman dingin. Potongan rambut Nauvel nampak berubah dengan sisiran ke samping, tak ada lagi jambul menghiasi ubun-ubunnya.

"Kita mau kemana?" Tanyaku ragu.

"Ke parkiran. Nanti kita ke tempat kost temen aku dulu aja, yah. Kamu taruh tas dulu, habis maghrib baru jalan-jalan. Ke Dago Pakar aja nanti. Setelahnya ya muter-muter Bandung aja." Ujar Nauvel menjelaskan. Aku mengangguk-angguk sambil mengikuti langkahnya menuju tempat dimana motornya diparkir.

Setelah keluar parkiran dan mengisi bensin, kami menuju daerah Sekeloa. Ia pernah berjanji membelikanku Mochilok jika berkunjung ke Bandung. Dan kini, ia menepati janjinya. Mochilok adalah sebuah kedai yang menjual aneka Mochi dan Chilok. Mochi-nya tak sekedar berisi kacang seperti yang dijual di puncak Bogor, tapi berisi eskrim! Sementara Chilok-nya juga tak sekedar aci dicolok, tapi juga dibakar dengan saus dan kecap! Nyam!!


Sumber: Google Search

Sumber: twitter @Mochilok


Kami memesan Mochi rasa eskrim durian, tiramissu, stoberi dan teh hijau. Juga 3 tusuk Chilok BBQ untuk aku, Nauvel dan Deasy. Iya, nantinya aku akan menginap di tempat Deasy, teman Nauvel.

Setelah pesanan siap, kami meluncur ke daerah Dipati Ukur, menuju kost Deasy. Tuan rumah begitu ramah dan berisik. Suka ngomong dan ketawa sendiri. Tapi sekilas penampakan si Deasy ini mirip denganku :|



Mirip gak? Enggak? Yaudah!

Sore di Bandung kami habiskan dengan melahap Mochilok sambil menonton televisi. Aku mulai glundang-glundung di kasur Deasy dan rasanya enggan untuk mandi. Nauvel sudah sangat maklum dengan kebiasaan burukku ini [--,]>

Selepas maghrib, Nauvel mengajakku ke Dago Pakar. Sementara Deasy menunggu kekasihnya yang akan datang dari Semarang. Bandung terasa begitu dingin ditambah suasana hubungan kami yang masih kaku seperti ini. Aku bingung kenapa tiba-tiba Nauvel diemin aku kayak gini. Aku juga bingung kenapa aku jadi se-pendiam ini :(

Surprise! Nauvel membawaku ke resto bernama Lisung untuk dinner. Yang ku tahu, Lisung Resto termasuk tempat makan paling hit di Bandung via Detik Travel. Mereka menawarkan makan dalam suasana tenang dengan alunan musik Jazz. Bangunannya terdiri dari tiga lantai dan panorama Bandung terlihat jelas di hadapan kami. Sampai kapanpun, aku selalu jatuh cinta pada panorama citylight.

Dan setelanku saat itu hanyalah jeans, jaket dan sendal jepit. Sementara pengunjung lainnya nampak formal sekali. Tapi Nauvel bersikap biasa saja. Ia memang selalu bisa membuatku tenang bahkan dalam keadaan sepanik apapun.

Kami memesan makanan. Kemudian senyap dalam isi piring masing-masing.

"Suka nggak?" Tanya Nauvel ragu.

"Suka. Tapi, kenapa ajak aku kesini?" Tanyaku heran.

"Mumpung momentnya spesial." Jawabnya mantap.

"Spesial?" Alisku mengerut.

"Iya. Besok kan aku ulang tahun." 

"Oh ya? Kok aku nggak tau?" Sahutku polos.

Hening. 
Mungkin ia sedih karena aku tak mengingat ulangtahunnya. Siapa bilang?

***

Selepas dinner dan menyeruput secangkir cokelat yang begitu cepat dingin karena udara, kami tak segera pulang. Nauvel mengendarai motornya menuju Braga Culinary Night. Disana kami berjalan sambil berdesak-desakkan berburu makanan. Namun perut masih terasa kenyang sehingga kami hanya membeli es potong rasa durian. Sepotong untuk berdua. So sweet, kan? Apah? Bukan soswit tapi irit? Sebenarnya sih, bukan sepotong berdua. Nauvel cuma makan segigit, aku yang habiskan semuanya. Iya, katanya dia masih kenyang -_-

Rasanya pusing melihat orang berdesak-desakan sebanyak itu. Namun tiba-tiba Nauvel menangkap bayangan Arjul yang berjalan tergesa. Inget Arjul kan? Waktu itu ketemu di Pangrango. Hihihi. Kami menguntitnya dan ternyata BPI Bandung sedang kopdar terselubung~

Nauvel mengenalkanku dengan teman-teman backpacker Bandung. Beberapa dari mereka ber-ciye-ciye sementara ada pula yang dengan polosnya berkata, "Ooooh, ini toh yang namanya Agit." He? Kalian kenal aku darimana? --"

Dan Arjul dengan songongnya bertanya, "Kok Agit makin enduuut? Ada acara apa di Bandung?"

"Sial. Gak ada acara apa-apa."

Ketika Nauvel lengah, aku mendekati Arjul dan berbisik bahwa esok Nauvel berulangtahun. Arjul dengan cepat menyebarkan ke semuanya. Teman-teman BPI Bandung terus mengulur-ulur waktu hingga tengah malam. Dari yang nongkrong di Kang Nasgor sampai pindah ke McD BIP. Aku belum mau pulang walaupun Nauvel berkali-kali mengajak pulang.

"Aku tuh muleees. Ayuk pulang ajah." Kasihan ya Nauvel.

Menuju pukul duabelas malam, aku berpura-pura menerima telfon dan menjauh dari Nauvel. Arjul telah menungguku di Alfamart terdekat. Tak ada kue yang sempat ku siapkan malam itu karena koneksi di Bandung terlalu sedikit. Tadinya sempat mau minta tolong Selly tapi ternyata ia sedang pulang ke Bekasi. Jadi, ya sudah. Seadanya.

Niat awalnya ingin membelikan Biskuat Bolu atau Oreo Soft Cake untuk disusun menjadi kue ulangtahun. Namun apa daya, segala macam kue hingga beng-beng pun tak ada. Lilin ulang tahun sampai lilin mati lampu juga tak ada! Hih! Alfamart macam apa ini?!! *dituntut Alfamart*

"Gimana dong, Jul?" Tanyaku bingung.

"Roti tawar aja gimana? Nanti ditumpuk-tumpuk sama eskrim." Usul Arjul ku terima dengan cepat karena memang benar-benar tak ada pilihan lain saat itu.

Kami membeli sebungkus roti tawar dan korek. Harapannya sih, di McD ada lilin. Tapi ternyata sama saja. Nihil. 

Aku deg-degan menyusun roti tawar dan eskrim di meja paling pojok BIP. Namun tiba-tiba Nauvel berjalan masuk kedalam McD (karena sebelumnya kami nongkrong di luar). Aku panik. Ketika ia masuk dan berjalan menjauhi pintu, aku segera keluar dan berpura-pura masuk lagi kedalam.

Entah drama macam apa ini, hampir saja ketahuan -____-

Teman-teman BPI Bandung kembali menyeret Nauvel untuk nongkrong di luar. Aku masuk lagi ke dalam dan menyelesaikan roti eskrim. Tak ada lilin, korek pun jadi. Dengan tenang, ku bawa nampan berisi roti eskrim dan korek yang menyala, ke hadapannya.

"Selamat ulang tahun, Aa...." Ujarku pelan. Ia kaget dan hanya bisa cengar-cengir. Ia memejamkan mata, kemudian api dari korek di genggamanku padam.

"Makasih yah.." Ujarnya sambil mengacak kerudungku. Dan mulai saat itu, gunung es diantara kami meleleh seperti roti eskrim yang tersedia di meja ini.

"Suapan pertama... Buat kamu."

Bandung tanpa bintang,
namun selalu tampak lebih terang.

Jika Muammar Emka berkata Cinta itu Kamu,
Kini biar aku yang berkata bahwa,
Bandung itu Kamu.

Bandung, 26 Januari 2014

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kebodohan di Situ Gunung

Posisi yang sudah di Bogor usai berbagi inspirasi ke adik-adik Smart Ekselensia tidak membuat saya dan Hanis langsung pulang ke Bekasi begitu saja. Kami lantas melanjutkan perjalanan ke Sukabumi dengan menggunakan Kereta Pangrango yang kebetulan hanya seharga duapuluh lima ribu rupiah. Pemandangan di sepanjang rel yang baru aktif kembali ini menyuguhkan hamparan sawah dan ladang hijau. Arus sungai yang amat deras juga menemani perjalanan yang memakan waktu dua jam ini.

5 Cm Vs Romeo+Rinjani

5 Cm Vs Romeo+Rinjani Ini kok judulnya malah jadi kayak rumus, ya? Hehehe. Jadi gini, beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film karya Fajar Bustomi, judulnya Romeo+Rinjani. Film yang posternya menampilkan pendaki perempuan dengan pakaian minim tersebut sukses menjadi bahan ejekan para pendaki yang berseliweran di dunia maya. Banyak yang bilang, film ini akan menjadi the next 5 cm yang mengakibatkan membludaknya gunung Rinjani setelah film tersebut ditayangkan. Yah, kita lihat saja nanti seberapa besar efek dari film tersebut di dunia pariwisata, khususnya pendakian. Kembali ke film, bukan maksudnya membanding-bandingkan. Tapi kok ya rasanya ada yang ngeganjel kalau film ini nggak di- share ke temen-temen. Berikut pendapat yang saya rasakan ketika menonton dua film tersebut;

Menyusuri Jejak Islam di Kampung Kauman

Kampung Kauman Free Walking Tour Namanya Kauman. Sebuah kampung yang seringkali dilupakan orang-orang ketika menyusuri Malioboro sampai ujung jalan dan kemudian terhipnotis dengan gagahnya pohon beringin di alun-alun serta suasana nyaman di dalam keraton. Kali ini saya lebih mendahulukan untuk bercerita tentang Kampung Kauman daripada sejarah Jogjakarta, keraton, benteng dan lain-lainnya. Sebuah kesempatan yang langka untuk bisa menjelajahi kampung Kauman bersama orang-orang baru lagi. Adalah Edu Hostel Jogjakarta yang memiliki program Walking Tour Kauman tiap hari Jum’at dan Sabtu. Pada hari Jum’at, biasanya Walking Tour ini akan dibawakan dengan Bahasa Inggris. Namun sayangnya, peserta yang berjumlah lebih dari 15 orang pada hari Jum’at itu tak ada satupun yang berasal dari luar negeri sehingga sepakatlah kami untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.