Monday, 10 February 2014

Ceritanya Silent Trip



SILENT TRIP, adalah sebuah perjalanan rahasia yang dilakukan secara diam-diam. Perjalanan ini disponsori oleh Ayah Riffat dan didukung oleh Bang Imam. Dek Danang, seorang murid SMAN 9 Semarang juga turut serta dan berperan sebagai yang termuda. Sementara saya hanya bertugas merekam kekonyolan dan kelakuan mereka yang pe’a ini.

Bermula dari Ayah Riffat yang merasa ‘gatel’ ketika melihat tanggalan akhir Januari yang berwarna merah dari Jum’at sampai Minggu, akhirnya mengajak Bang Imam halan-halan. Awalnya tujuan mereka ke Merapi, namun saya merengek agar membelokkannya ke Gunung Lawu. Tanggal sudah pasti, tujuan sudah jelas. Akhirnya saya membelikan mereka tiket kereta ekonomi tujuan Solo Jebres. Kereta Api Matarmaja Tambahan pukul lima sore keberangkatan dari Pasar Senen. Sementara Dek Danang menyusul dari Semarang dengan kereta yang sama pukul duabelas malam. Saya yang menyetting tempat duduk agar posisi kami berdekatan.


Kamis, 30 Januari 2014

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Saya terburu-buru mengendarai motor sepulang bekerja menuju Stasiun Bekasi. Sebelumnya saya sempat membeli nasi padang sebanyak dua bungkus dengan lauk ayam gulai. Entah mengapa hanya dua bungkus yang saya beli, padahal jelas-jelas nanti saya pergi bertiga. Bukan karena uang saya kurang, namun Uda penjual nasi padangnya budeg. Saya bilang tiga malah dibungkusin dua. Mau pesan lagi tapi terlanjur buru-buru. Akhirnya perjalanan selama di Commuter Line saya lalui dengan gelisah. Terlebih lagi kereta tujuan Pasar Senen yang tak kunjung datang. Sepuluh menit sebelum keberangkatan, saya baru tiba di sana.

Dengan tergesa-gesa, saya naik turun tangga. Mengejar kereta api Matarmaja Tambahan yang sudah siap untuk berangkat. Dari kejauhan, saya melihat sosok yang tak asing. Seorang Om-om berumuran 36 tahun dengan Jaket Kuning Salomon dan Carrier Osprey seri Tallon 44 berwarna biru terlihat mencolok diantara kerumunan orang. Saya pura-pura tak mengenalnya, namun ia lebih dulu menangkap sosok saya. Sebuah keplakan sadis mendarat di kepala saya. Saya resmi ditoyor Ayah Riffat.



“Agit pea!” Ujarnya sambil cengar-cengir. Saya hanya garuk-garuk kepala, bingung. Sementara panggilan kepada penumpang kereta yang akan saya tumpangi sudah terdengar sejak tadi.

“Imam mana?” Tanyanya lagi. Sambil berkali-kali mencoba menghubungi Imam yang entah dimana. Kami memutuskan untuk masuk duluan. Imam ketinggalan kereta. Tujuh menit sebelum kereta berangkat, ia masih berada di Stasiun Jatinegara. Kami hanya cekikikan menertawakan kebodohan Imam dan menjulukinya dengan sebutan Si Lamban yang Lembek. Imam segera memutar motornya ke Terminal Kampung Rambutan dan menyusul kami dengan menggunakan Bis Ayam.



Sengaja kami menyebutnya Bis Ayam, yaitu bus yang tidak memiliki agen resmi dan menjual tiket ke penumpangnya dengan harga berbeda-beda. Bus seperti ini akan berhenti di setiap terminal dan tidak memberi makan kepada penumpangnya. Entah kapan Imam akan tiba di Solo, silent trip kami terancam gagal. Mengingat segala macam sparepart dan onderdil masuk ke dalam carrier Imam. Tenda kapasitas empat orang, dua buah sleeping bag, flysheet, matras, bahkan sepatu gunung saya juga ikut dibawa Imam. Imam tak menjawab pertanyaan khawatir kami di aplikasi whatsapp. Kami pun hanya pasrah. Imam tega menelantarkan kami, pantas saja kini ia ditelantarkan oleh pujaan hatinya.

Langit mulai gelap. Perut semakin lapar. Saya membuka nasi padang yang tadi saya beli sebelum berangkat. Balada nasi padang yang hanya tersedia dua bungkus menjawab keanehan perjalanan ini. Ternyata dua bungkus memang hanya untuk dua orang. Kami membayangkan betapa sedihnya Imam yang kelaparan di Bis Ayam dan tidak dapat makan malam. Duduk sendirian menatap nanar keluar jendela sambil kebingungan karena tak bisa mengabari kami. Henfonnya pasti sudah lowbatt.


Balada Nasi Padang Dua Bungkus.


Berbeda dengan saya dan Ayah Riffat yang melakukan segala kekonyolan di dalam kereta. Ayah Riffat ini senang jalan-jalan ke sambungan gerbong hanya dengan memakai kaos kakinya yang bolong tepat di telunjuk kanan-kiri. Hanya sekedar merokok dan pipis di pintu kereta. Wkwkwk lucu yak pipis sambil angin-anginan gitu? Hahahahaha. *dikeplak ayah*

Kereta tiba di Stasiun Cirebon, dan drama pun dimulai.

“Git, berhenti disini lama nggak?” Tanya Ayah sambil melongok-longok keluar. Saya hanya mengangguk mengiyakan. Ia segera turun dari kereta dan berlarian keluar stasiun hanya dengan mengenakan kaos kaki bolongnya. Entah apa yang ia lakukan, ia memang pe’a sejak lahir. Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya. Namun tak lama, kereta berjalan perlahan meninggalkan Stasiun Cirebon. Saya panik dan segera mengirim pesan kepada Ayah melalui aplikasi Line.

Agit    : “Ayah dimana? Keretanya udah jalan!”
Ayah    : “Iyah.. Keretanya nggak ada :(“
Agit    : “Lah, emang ayah kemana?”
Ayah    : “:(“
Agit    : “Kebanyakan tingkah sih, Ayah! Mana banda-nya banyak banget.”


Keretanya udah nggak ada :(

Beberapa penghuni di grup Line Cruiser terlihat bahagia melihat chat kami berdua. Bang Fadly dan yang lainnya menertawakan Ayah yang ketinggalan kereta. Bahkan mendukung saya untuk menjual segala gearnya yang mahal-mahal itu.

Agit    : “Kerir Osprey, Sepatu Merrel, Racepack Deuter, Drybag TNF, sama henfon Blackberry yang lagi di charger Agit jual nih, ya!”
Fadly    : “Bungkus, Git! Abang transfer sekarang. Barangnya dipaketin aja via JNE!”
Keyko    : “Ayah ketinggalan kereta? Hahaha. Banyak-banyak istighfar, Yah!”
Asti     : “Jual aja gearnya, Git! Jual buat jalan-jalan!”

Saya cekikikan. Bagaimana dunia turut berkonspirasi hingga Ayah dan Imam bernasib sama; ketinggalan kereta. Ayah mungkin sedang kebingungan dan berjalan menyusuri sepanjang rel dengan kaos kaki bolongnya itu. Sementara saya bengong melihat kursi yang harusnya diisi oleh enam orang, kini kosong melompong. Hanya saya seorang. Tiba-tiba kereta berhenti lagi. Cukup lama di Stasiun Cirebon Parujakan.

TOK TOK TOK

Jendela saya diketuk. Seketika saya menoleh dan menangkap bayangan seorang Om-om dengan kaos kaki bolongnya bersandar santai pada sebuah tiang sambil menikmati sebatang rokok. Saya benar-benar tak mengerti, mungkin ia berlari mengejar kereta ini. Namun drama terlanjur terjadi di Grup Line Cruiser, maka kami putuskan untuk melanjutkan drama ini. Berpura-pura kalau Ayah benar-benar ketinggalan kereta. Jangan salahkan kami bila semua adalah sandiwara. Salahkan Imam yang membuat kami stress seperti ini. Harusnya kan saat ini Imam menghibur kami sebagai objek yang dibully. Namun Imam malah pergi entah kemana. Mungkin ia takut melawan kami berdua, dasar Lembek.

Kereta berjalan lagi, Ayah duduk kembali di hadapan saya. Kami membicarakan Imam dan segala kelembekannya. Perut pun kembali lapar dan kami sempat membeli dua buah jagung rebus. Saat itu saya masih chat dengan Cruiser dan Nauvel. Inget Nauvel kan? Iya, yang di Pangrango sama Papandayan. Saat ini posisi Nauvel sedang di Jogja. Biar nggak ribet, ganti panggilannya jadi Opel aja, ya. Jadi ceritanya, Opel itu travel-mate saya yang paling posesif. Entah ada angin apa, tiba-tiba dia nelfon. Mungkin ia khawatir dengan keadaan saya yang (pura-pura) sendirian karena ayah ketinggalan kereta.


Nggak bisa angkat telfon, lagi makan :)


“Ayah, Opel telfon nih. Agit mesti nyaut apa?” Tanya saya bingung sambil terus menggerogoti jagung rebus. Tanpa dikomando, Ayah segera merebut ponsel dari genggaman saya.

“Halooo....” Ujar Ayah pelan dengan suara dimirip-miripkan perempuan. Saya menahan tawa agar butiran jagung tak menyembur keluar dari mulut. Ayah berpura-pura kalau henfon saya terbawa olehnya. Entah drama macam apa lagi ini. Intinya, saya mau klarifikasi semuanya disini. Iya, perjalanan ini penuh drama dan semua hanya rekayasa. Sekali lagi, jangan salahkan kami bila membohongi kalian. Salahkan saja Imam. Semua ini gara-gara Imam! *Padahal Imamnya nggak tau apa-apa* ._.

Pembicaraan mereka ditelfon usai, dan saya masih sempat mengerjainya dengan mengirim chat seperti ini...
Agit    : “Met bobo, Opel. Uwuwuwuwu :*”
Opel    : “Hih, ogah dicium cowok!”

Ternyata ia benar-benar menyangka bahwa henfon saya dibawa Ayah Riffat.

Kami tak tidur semalaman sampai akhirnya tiba di Stasiun Semarang Poncol. Dek Danang datang membawa dua bungkus nasi goreng, sementara Ayah bersembunyi entah dimana. Saya masih berpura-pura menjelaskan bahwa Ayah ketinggalan kereta. Setelah kode bersambut, Ayah datang mengeplak Danang. Danang menatap Ayah bingung.

“Lho, aku kira petugas kereta. Kok dateng-dateng ngeplak!” Seru Danang protes. Saya hanya cekikikan.

“Lho, Ayah bukannya ketinggalan kereta?” Tanyanya lagi. Saya hanya menggeleng sambil terus tertawa. Ternyata semua orang percaya bila Ayah benar-benar tertinggal kereta. Betapa ajaibnya socmed, drama pun dianggap serius. Kadang malah serius dianggap bercanda. Maka dari itu, jangan pernah percaya socmed. Apalagi pacaran di socmed! Pasti bo’ong! (Agit curhat, ya Git?)

Kereta tiba di Stasiun Solo Jebres pukul empat pagi. Saya sempat bertemu Arvita yang ternyata juga ingin munggah Lawu bersama Saib. Ciyaaa ciyaaa :D Mereka mengajak saya gabung, namun hati ini tak kuasa meninggalkan Imam sendirian yang sekarang entah berada dimana. Bisa saja sih, saya ikut mereka. Ayah dan Danang juga bisa nge-trail naik turun Lawu dalam sehari saja. Namun apalah arti meraih puncak tanpa seorang teman yang sedang berjuang di Bis Ayam menuju kesini.

Adzan Shubuh berkumandang. Ayah semakin gelisah. Setelah nyusu dan ngeteh di warung terdekat, akhirnya kami memutuskan untuk menyewa penginapan. Kami membuat kesepakatan untuk menunggu Imam sampai jam sembilan pagi. Jika ia tak juga tiba, maka perjalanan ini resmi dibatalkan.


Bersambung ke >>> Napak Tilas Solo - Jogja :)

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...