Jum'at, 31 Jnuari 2014
Sesampainya di penginapan, kami melaksanakan shalat shubuh dan tidur sampai siang. Imam tak juga memberi kabar. Takutnya, ia kabur seperti beberapa hari sebelumnya. Imam pernah berjanji ingin ke Bekasi namun ketika saya menunggu bahkan hingga tengah malam, ia tak kunjung datang dan benar-benar tanpa kabar. Padahal hari itu hujan dan ia membiarkan saya kedinginan sendirian di tempat yang telah dijanjikan. Tega sekali, bukan? Pantas saja kekasihnya tega meninggalkan ia tanpa kabar. Wong dia sendiri kayak gitu.
“Jogja aja, yuk!” Celetuk Ayah tiba-tiba.
“Yuk! Kayaknya lagi rame, ya? Tadi Nganga, Cesa, Om Ardi, Opel update status di Jogja. Mbak Ang juga besok ke Jogja!” Sambutku antusias. Sementara Danang hanya mengikuti kemanapun kami pergi. Saya dan Danang segera membeli tiket kereta tujuan Yogyakarta pukul lima sore.
Solo hujan deras. Ada baiknya perjalanan ke Lawu kami batalkan. Saib dan Arvita memberi kabar bahwa Lawu badai dan mereka tak bisa bergerak. Terbersit rasa terimakasih kepada Imam sebagai porter yang ketinggalan rombongan. Namun tetap saja, kami masih kesal dengan Imam yang tak berkabar.
“Git, nanti kalau Imam dateng biasa aja, ya. Jangan tunjukin kalau kita kesal. Tapi kita bales pelan-pelan. Kita siksa dia di sepanjang perjalanan sampai pulang! Hahahahaha.” Ujar Ayah memprovokasi. Saya dan Danang tertawa ala penjahat. Setelah berkemas, kami kembali ke Stasiun Solo Jebres pukul empat sore.
Rasanya dejavu melihat sudut-sudut kota Solo. Kenangan bersama mantan terakhir terlintas dan berkelibetan di kepala hingga ruwet. Dulu, waktu masih bersamanya, jalanan ini saya lalui bukan dengan jalan kaki. Tapi naik motor ber-Plat AD. Namun sudahlah, tak baik mengingat yang sudah-sudah.
Tiba-tiba sebuah becak mendahului saya dan berhenti mendadak. Seorang pria dengan tas sebesar kulkas turun dari becak. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang teramat sangat sehingga sedikitpun senyum tak nampak dari wajahnya. Akhirnya Imam sampai walau satupun dari kami sudah tak lagi mengharapkan kedatangannya.
“Om, maafin gue ya om.” Ujar Imam sambil mencium tangan Ayah Riffat. Ayah tak mengeplak kepala Imam seperti ia mengeplak saya atau Danang. Ia malah tersenyum bijak layaknya seorang Ayah yang telah memiliki anak satu. Heuheuheu.
“Udah makan? Makan dulu, yuk.” Ajak Ayah kemudian. Kami segera menyambangi warung makan tedekat. Modelnya seperti angkringan. Saya hanya melahap pisang goreng dan segelas susu jahe. Hujan turun lagi namun mendung sudah tak menyelimuti wajah Imam. Ia seperti orang yang sudah setahun tak makan. Kurus kering layaknya orang patah hati. Kami mengamati ia makan dengan tatapan prihatin.
“Tadi tas gue kebawa sama anak-anak yang mau ke Merapi. Gue turun di Boyolali ngejar ini tas. Mana gede banget. Jadi kondekturnya ngira kalau ini tas mereka, jadi main diturunin aja. Untung tasnya di belakang, nggak ditaruh bagasi. Gue iseng ngecek ternyata bener kebawa turun...” Imam menghentikan makannya, memberi jeda dengan menenggak susu jahe saya.
“.... Terus supirnya nyuruh gue turun, dia bilang nungguin gue. Gue lari ke kerumunan anak-anak yang ke Merapi. Mereka pada bengong aja ngeliatin kerir gue ditengah-tengah. Akhirnya gue masuk, gue ambil tasnya, terus gue pake. Dengan santainya gue jalan tanpa basa-basi ke mereka. Keren kan gue?”
“NGAAK! LO LEMBEK! HAHAHAHAHA”
“Jogja aja, yuk!” Celetuk Ayah tiba-tiba.
“Yuk! Kayaknya lagi rame, ya? Tadi Nganga, Cesa, Om Ardi, Opel update status di Jogja. Mbak Ang juga besok ke Jogja!” Sambutku antusias. Sementara Danang hanya mengikuti kemanapun kami pergi. Saya dan Danang segera membeli tiket kereta tujuan Yogyakarta pukul lima sore.
Solo hujan deras. Ada baiknya perjalanan ke Lawu kami batalkan. Saib dan Arvita memberi kabar bahwa Lawu badai dan mereka tak bisa bergerak. Terbersit rasa terimakasih kepada Imam sebagai porter yang ketinggalan rombongan. Namun tetap saja, kami masih kesal dengan Imam yang tak berkabar.
“Git, nanti kalau Imam dateng biasa aja, ya. Jangan tunjukin kalau kita kesal. Tapi kita bales pelan-pelan. Kita siksa dia di sepanjang perjalanan sampai pulang! Hahahahaha.” Ujar Ayah memprovokasi. Saya dan Danang tertawa ala penjahat. Setelah berkemas, kami kembali ke Stasiun Solo Jebres pukul empat sore.
Rasanya dejavu melihat sudut-sudut kota Solo. Kenangan bersama mantan terakhir terlintas dan berkelibetan di kepala hingga ruwet. Dulu, waktu masih bersamanya, jalanan ini saya lalui bukan dengan jalan kaki. Tapi naik motor ber-Plat AD. Namun sudahlah, tak baik mengingat yang sudah-sudah.
Tiba-tiba sebuah becak mendahului saya dan berhenti mendadak. Seorang pria dengan tas sebesar kulkas turun dari becak. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang teramat sangat sehingga sedikitpun senyum tak nampak dari wajahnya. Akhirnya Imam sampai walau satupun dari kami sudah tak lagi mengharapkan kedatangannya.
“Om, maafin gue ya om.” Ujar Imam sambil mencium tangan Ayah Riffat. Ayah tak mengeplak kepala Imam seperti ia mengeplak saya atau Danang. Ia malah tersenyum bijak layaknya seorang Ayah yang telah memiliki anak satu. Heuheuheu.
“Udah makan? Makan dulu, yuk.” Ajak Ayah kemudian. Kami segera menyambangi warung makan tedekat. Modelnya seperti angkringan. Saya hanya melahap pisang goreng dan segelas susu jahe. Hujan turun lagi namun mendung sudah tak menyelimuti wajah Imam. Ia seperti orang yang sudah setahun tak makan. Kurus kering layaknya orang patah hati. Kami mengamati ia makan dengan tatapan prihatin.
“Tadi tas gue kebawa sama anak-anak yang mau ke Merapi. Gue turun di Boyolali ngejar ini tas. Mana gede banget. Jadi kondekturnya ngira kalau ini tas mereka, jadi main diturunin aja. Untung tasnya di belakang, nggak ditaruh bagasi. Gue iseng ngecek ternyata bener kebawa turun...” Imam menghentikan makannya, memberi jeda dengan menenggak susu jahe saya.
“.... Terus supirnya nyuruh gue turun, dia bilang nungguin gue. Gue lari ke kerumunan anak-anak yang ke Merapi. Mereka pada bengong aja ngeliatin kerir gue ditengah-tengah. Akhirnya gue masuk, gue ambil tasnya, terus gue pake. Dengan santainya gue jalan tanpa basa-basi ke mereka. Keren kan gue?”
“NGAAK! LO LEMBEK! HAHAHAHAHA”
***
Kereta tujuan Yogyakarta datang terlambat, juga berhenti berkali-kali di sepanjang perjalanan. Opel tampak gelisah menunggu kedatangan saya. Padahal janjinya pukul enam sore saya sudah tiba disana. Namun hingga pukul delapan, kereta masih saja berhenti entah menunggu apa. Kesialan Imam sudah mulai menular kepada kereta; sama-sama lamban.