Monday 4 November 2013

Antara ¾ Bulan yang Bersinar di Merbabu

Cerita Sebelumnya >>> Klik disini :)




Cruiser Pea #Lovieisme \m/


Awalnya, reunian dengan peserta lebih dari dua puluh orang ini terbagi menjadi dua kelompok. Namun pada kenyataannya kami berjalan sesuka kami. Aku di depan seperti biasa, kemudian di dekatku ada Kak Rizki. Papa Mei dan Kak Vaza juga di depan, gaya jalan mereka memang cepat sih. Kak Asti selalu bersama Kak Kunthi. Fachri bersama teman-temannya, Mbak Al pun bersama rombongannya. Sementara Mbak Ang bersama Kak Key, Om Lovie dan Om Andri. Kak Hay selalu bersama Bray, dan Ebie diantara mereka. Kak Dina bersama Mas Gemak. Mas Kiki sama Inus dan Bang Fadly sweeper.

Hanjir, banyak ya? Capek ngabseninnya -____-

Iya, format kami ketika start seperti itu, namun setelah melalui jalan yang terus menerus menanjak, akhirnya posisi pun berubah. Tim Bandung, Papa Mei dan Kak Vaza di depan semua. Aku terus bertiga-tigaan dengan Kak Ast dan Kak Kunt. Kami yang pada dasarnya memang doyan rumpi, akhirnya menggosip di sepanjang jalan.

“Eh, gue kalo ngelewatin hutan-hutan kayak gini jadi inget twilight deh, uwuwuwuwuuu Edward Cullennn..” Ujar Kak Asti menggemaskan.

“Atau enggak, Petualangan Sherina!!” Lanjutnya bersemangat.

“Setiaaap manusiaa, di dunia.. Pasti punya kesalahan.. tapi hanya yang pemberani, yang mau mengakui..” Aku bersenandung.

“Setiap manusia, di dunia.. Pasti pernah sakit hati.. Hanya yang berjiwa satria, yang mau memaafkan..” Kak Asti menimpali, kemudian kami bernyanyi-nyanyi di tengah hutan Merbabu.

“Betapaa…. Bahagianyaa… Punya banyak teman, betapa senangnya!!” 

"Betapaaaa... Bahagianyaaa.. Dapat saling menyayangi! Mensyukuri karunia-Nya!!" Kami tertawa dalam senja.

Tiba-tiba Om Andri dan Kak Key membalapku, bahkan Mas Bagus berjalan persis di belakangku. Ternyata kami bertiga jalan cukup lama. Kak Asti mempercepat langkahnya, padahal yang ku tau, isi carriernya bahkan lebih berat dari isi carrier Om Andri sekalipun. Kak Kunthi yang juga keong sepertiku, akhirnya terpisah dari Kak Asti. Kebetulan di belakang kami ada Mbak Ang yang berjalan tergopoh-gopoh. Akhirnya kami berjalan terus beriringan dengan Mbak Ang di depan, kemudian Kak Kunthi, Aku dan Mas Bagus.

“Agiiit, ada counterpain nggak?” Teriak Kak Hay dari bawah, aku meneruskan pesan berantai ke atas. Akhirnya Kak Ast meninggalkan counterpainnya di tengah jalan. Aku memungutnya dan melempar ke Mas Bagus, walau bukan terlihat seperti lemparan sih. Mas Bagus memberikan counterpain ke Kak Hay. Aku mengerti, pasti encoknya Bray kumat lagi. Arya memang seringkali cidera ketika naik gunung, entah tulangnya yang rapuh atau memang asam uratnya tinggi, aku tak tau. Yang ku tau hanyalah rambutnya botak dan perutnya buncit. Hahahaha.

"Yaaaah, hape Ebie ketumpahan maduuu.." Ujar Ebie ketika menemukan henfon blekberinya yang belepotan madu. Ia memiliki dua henfon, satu blekberi dan satunya sony yang anti air itu.

Sontak ia membersihkan henfonnya dengan air. Ia terus mengguyurnya sampai bersih.

"Ebie!! Kok BB nya Ebie siram?"

"Iyaa, ini ketumpahan madu."

"Itu kan BB, Ebie! Bukan Sony!!!" Hahahaha kami tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Ebie. Ebie hanya bengong melihat henfonnya sudah mati dan tak bisa dinyalakan.

***

Hari semakin malam, kami menyiapkan headlamp. Dan bodohnya, headlampku berada di tas Inus. Ternyata benar, kita tak boleh memiliki niat buruk di gunung. Aku hanya iseng menambahkan beban ke tas Inus yang isinya cuma air itu dengan makanan-makanan milik kelompok, namun ternyata headlampku terselip disana.

Aku trekking malam tanpa headlamp.

“Mas, headlampku di Mas Inus” Ujarku melas pada Mas Bagus.

“Adek mau pake headlamp? Mas ndak pake juga ndak papa.” Tawar Mas Bagus.

“Kok gitu?” Tanyaku bingung.

“Iya, soalnya adek udah cukup menerangi. Hahahaha” Mas Bagus tertawa.

“Maaaasss..” Aku gemas.

“Iyah, nanti Mas senterin yah..” Ujarnya sabar. Aku mengangguk dan mengikuti langkah Kak Kunthi. Mbak Ang sengaja berjalan di depan agar jika ia merasa lelah, ia yang mengatur kapan kami break. Kami melewati bekas kebakaran hutan Merbabu yang terjadi beberapa waktu lalu. Dan sempat juga terdengar suara aneh ketika kami break. Entah itu suara babi hutan, anjing hutan atau penunggu hutan. Kami hanya berjalan dalam diam.

Setelah melewati pipa-pipa air dan tanah becek, akhirnya kami tiba di Pos dua dan terlihat beberapa teman kami yang melambai-lambaikan tangan dengan batuan cahaya senter. Beberapa tenda sudah didirikan, beberapa teman juga terlihat sedang masak-masak. Aku kedinginan. Perutku kosong dan terasa mual.

“Kak, mau muntah. Huek.” Ujarku pada Kak Asti dan Kak Rizki.

“Ganti baju dulu sana.. Udah minum tolak angin? Belum makan yah?” Tanya mereka bergantian. Aku menggeleng. Segera ku lepas sepatu dan berganti pakaian di tenda Kak Asti.

“Agit, ini ganti bajunya gimana?” Tanya Mbak Ang. Aku cekikikan.

“Nyalain headlamp mbak, aku nggak keliatan.” Ujarku.

“Heeeh, nanti kalo senternya dinyalain, dari luar keliatan nggak?” Teriak Mbak Ang panik. Iya, ini memang pertama kalinya ia naik gunung. Hahahaha.

“Keliatan, mbak. Jadi kayak wayang-wayangan. Hahaha” Aku berganti pakaian dengan cuek sementara Mbak Ang terlihat was-was.


*sensor*



*sensor*




*sensor terus sampe lima menit*



“Aku udah nih mbak, tak buka tendanya ya. Hahaha.”

“Agiiiiiiiiiittt, Mbak belum selesaaaaaiiii!!!” Aku mengurungkan niatku untuk membuka resleting tenda karena takut disumpel beha. Hahahaha.

“Ayo Git, masak.” Ujar siapa, aku lupa. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Kemudian kami mengutak-atik kompor namun tak juga menyala dan ujung-ujungnya malah mledug.


Nafsu makanku hilang.


“Tenda ini isinya aku, Keyko, Kunthi, Papa sama Mbak Ang.” Ujar Kak Asti sambil menunjuk tenda yang dibawanya.

Aku merasa dibuang. Hiks :’(

Segera ku hampiri Bang Fadly yang mendirikan tenda di belakang.

“Abang tendanya muat berapa orang?” Tanyaku melas.

“Muat bertiga sih, Agit mau disini?” Tanyanya. Iya, Bang Fadly pasti setenda dengan Kak Vaza. Aku tak menjawab pertanyaannya.

“Braaaayy..” Teriakku kemudian.

“Apa giiiiiiit?” Tanyanya juga dengan berteriak.

“Bray tendanya muat empat kan? Sama siapa aja, Braaaay?”

“Biasa Giiiiiiit..” Oh, sama Kak Hayya.

“Agit disini aja sama Kakaaak..” Teriak Kak Hay dari dalam tenda.

“Ndakmauuu, kalian tukang kentuuut!” Jawabku kemudian. Aku memeluk sleepingbagku.

“Dek Agit mau di tenda Mas?” Tawar Mas Bagus kemudian.

“Masih muat?” Tanyaku lagi.

“Muat berlima sih.” Ujarnya.

“Agit di pojok yah..” Aku menyerahkan sleepingbagku ke Mas Bagus sementara tasku berada di tenda Bang Fadly.

Kak Asti dan teman-teman yang mendirikan tenda di depan memutuskan untuk tidur cepat karena mereka berniat untuk summit pagi. Sementara aku dan teman-teman yang tendanya di belakang menghabiskan malam di bawah ¾ bulan yang bersinar. Tak lama rombongan Nganga dan Sumar datang. Teh Farah juga ikut dalam rombongan mereka. Reunian ini terasa hangat ditambah kopi yang dibuat Om Lovie, juga begitu romantis dengan cahaya lilin yang dibakar Mas Gemak.

Aku iseng menghampiri tenda Kang Fachri. Biasanya ia sedang masak-masak di dalam tenda. Ternyata benar. Kang Fachri menyuapiku beberapa sendok nasi beserta sarden dan sosis. Kemudian mereka ku ajak untuk bergabung menikmati malam minggu dengan segelas kopi, sebut saja koja.

Tak hanya Bang Fadly yang memiliki banyak dedek, ternyata Kak Vaza juga. Fachri termasuk salah satu dedeknya Kak Za. Tak lama, Hagi (temennya Nganga & Sumar) datang dan bergabung bersama kami. Ia juga dedeknya Kak Vaza. Dan baru-baru ini diresmikan kalau Inus juga dijadikan dedek.

Pusing yah? Iya. Agit juga pusing. Banyak banget tokoh yang tampil. Datang dan hilang silih berganti. Yang paling setia di sisi ya cuma… Ya, kamu tau lah, siapa :3



Photo Taken and Edited By @Fadly14_


Di hadapan cahaya lilin yang menari

Kantuk menghampiri

Mata kecil memaksa diri

Tuk habiskan malam ini

Kapan lagi?



Dan di bawah ¾ bulan purnama

Gelas-gelas kami menganga

Menanti tetesan kopi berikutnya

Tertawa

Lupa





Minggu, 13 Oktober 2013

Selamat tanggal tiga belas :’)

Aku baru tertidur setengah jam, tiba-tiba terdengar suara berisik di luar tenda.

“Aryaaaaa… Banguuun. Gue udah sampe nih!” Suara nyaring milik Caesa membuatku cekikikan. Ternyata rombongannya baru tiba. Aku terlalu malas keluar tenda, lagi pula teman-teman di dalam tenda yang ku tempati sudah tidur semua.

“Gue udah dateng gak ada yang nyambut nih?” Kali ini suara laki-laki. Ini pasti Kibo.

“Lo mah disambit, Bo. Bukan disambut. Hahaha.” Nah ini, suara Ucup. Hahaha. Aku tertawa sendirian di pojok tenda.

“Woooooy, bangun lo semua!! Gue balik-balikin nih tenda lo satu-satu!!!” Teriak Ucup lagi. Aku ngakak sejadi-jadinya. Namun sepertinya tak ada satupun dari kami yang bangun. Apalagi Arya. Jadi aku pun melanjutkan tidurku.

Dua jam kemudian, diluar mulai berisik. Sepertinya Kak Asti dkk sedang bersiap-siap untuk summit. Mas Bagus bangun karena mendengarku krasak-krusuk.

“Kita summit jam berapa, Mas?” Tanyaku.

“Jam empatan, dek.” Ujarnya. Kemudian kami memejamkan mata lagi. Tidurku terasa lamaaaa sekali malam itu. Sampai akhirnya aku benar-benar terbangun karena kebelet pipis.

“Mas, ayo banguuun.” Ajakku. Mas Bagus hanya duduk dan menyerahkan headlampnya. Tanda bahwa ia menyuruhku duluan. Aku membuka tenda dan menutupnya kembali. Ku lihat ia mengenakan sleepingbagku dan melanjutkan tidurnya. Iya, jadi semalaman ia dan yang lainnya tidur tanpa mengenakan sleepingbag. Sleepingbagnya dijadikan selimut, namun ia sendiri tak kebagian selimut. Kasihan yah, tau gitu semaleman tak peluk-peluk. Lho??!!

Aku menuju tenda Bang Fadly.

“Abang summit kapan?” Tanyaku pelan.

“Sekarang, Git.” Ujarnya mantap.

“Yang lainnya udah jalan dari jam dua.” Sambung Kak Vaza.

“Yakin kita cuma bertiga?” Tanyaku ragu.

“Yakin aja.”

“Antar Agit pipis dulu, bang..” Ujarku. Bang Fadly menyuruhku agar menunggu sebentar.

“Agiiiiiit.” Teriak seorang wanita dengan jas beludru panjang seperti baju musim salju. Ia menyorotkan senter tepat ke wajahku sehingga aku tak bisa melihat jelas siapa dia.

“Siapa sih?” Tanyaku sambil memincingkan mata.

“Cesaaa, Git! Temenin pipis yuk!” Ujarnya. Ah, kebetulan sekali.

“Abang, Agit pipis bareng Sesa!” Ujarku meninggalkan tenda Bang Fadly. Kami menghilang di balik semak-semak.

Cesa dan rombongan Nganga merencanakan summit siang dan pulang esok hari, mereka menghabiskan dua malam disini.

“Abang, botol Agit yang kecil-kecil pada kemana yah?” Tanyaku sambil celingak-celinguk mencari botol minum bekas.

“Abang bawa minum banyak kok, Git. Agit nanti minum dari sini aja.” Bang Fadly meyakinkanku. Aku mengangguk dan bersiap-siap. Kami memulai perjalanan pukul setengah empat pagi. Sebelumnya aku berpamitan dengan Mas Bagus dan ia berjanji akan menyusulku.

Tiga per empat bulan masih bersinar,
meyakinkan kami agar segera menyambut sang fajar. 



Bersambung kesini >>> Dari Merbabu, Kepada Merapi

Di Jogjakarta Kami Bersua


Tepat dua tahun kurang sebulan aku tak berkunjung ke sini, Jogjakarta, sebuah kota penuh cinta yang memiliki banyak kenangan di tiap sudutnya. Jogja tak pernah berubah, ia tetap ramah walaupun keasliannya hampir punah karena gedung-gedung dan flyover yang dibangun semena-mena. Perjalanan ke Jogja kali ini aku tak sendiri. Tujuanku kesini bukan untuk bertemu dengan masa lalu yang sudah pergi, bukan juga untuk mengenang setiap tempat di kota mistis nan romantis ini. Aku hanya ingin bersilaturahmi, sebut saja reuni.

Merbabu, sebuah gunung yang berdiri megah di kawasan Jogja - Magelang kami pilih untuk mengobati rindu. Perpaduan antara kawan-kawan dari Semeru dan Rinjani tumpah disini, ditambah dengan beberapa teman lagi. Jumlah keseluruhannya lebih dari dua puluh orang sehingga tak memungkinkan bila ku perkenalkan satu per satu. Lagi pula, di catper-catper sebelumnya kan udah di kenalin. Dan sangat di sarankan sebelum baca Catper Merbabu ini, kalian baca catper Semeru dan Rinjani ya, biar gak bingung :)

Ini catper Semeru >>> Memorable Trekking Semeru - The Series

Ini catper Rinjani >>> Rinjani Mountain 2013 - The Series 

*tetep promo* *pasangkacamata*

Aku memiliki tiket kereta Jakarta - Lempuyangan sudah lama, dari jauh-jauh hari sebelum berangkat ke Rinjani. Ayah Riffat lah yang mengompori kami kesini, tapi malah ia sendiri yang tak jadi pergi. *getok ayah*


Jum'at, 11 Oktober 2013

Aku sengaja tak membawa carrier. Kebetulan setelah pulang dari Merbabu nanti, Ayah akan menjemputku di Jogja dan sekalian mengajakku pulang kampung ke Wonogiri. Ayah kandungku ya, bukan Ayah Riffat! Ayah tak mau menemuiku bila aku membawa carrier. Mbah-mbah di kampung juga pasti menatapku aneh jika aku pulang kampung membawa tas sebesar enam puluh liter. Jadilah sleeping bag, jaket, pakaian, obat-obatan pribadi dan sendal jepit kupaksakan berjejalan masuk ke dalam daypack bermuatan kurang dari tiga puluh liter. Aku bagaikan anak kecil yang sedang belajar camping.


Domo nggak ketinggalan dong :)

Aku meninggalkan rumah pukul sepuluh. Punggungku terasa ringan membawa bawaan yang enteng ini. Pasti nanti Kak Asti akan memarahiku. Dia adalah wanita super laki yang bawaannya paling berat. Carriernya berisi peralatan kelompok dan pribadi. Aku mengenalnya dari Semeru, ia anggota tim Ayek-ayek sama seperti Kak Kunthi. Dengan angkot 19a aku menuju terminal, kemudian berganti elf berwarna biru sampai stasiun Bekasi. Di stasiun, aku menaikki commuter line sampai stasiun Pasar Senen dengan sekali transit di stasiun Jatinegara.

Sesampainya di stasiun Pasar Senen, henfonku lowbatt. Aku lupa menchargernya semalam. Aku hanya memberi kabar di grup bahwa aku telah sampai. Kemudian segera keluar stasiun untuk mencari makan. Waktu sudah menunjukkan saatnya aku makan siang.

Pandanganku terlempar ke tiap sisi stasiun. Delapan bulan lalu aku duduk di pinggiran lantai sana dengan carrier super besar. Kemudian seorang teman datang membawa makanan dan bekal untuk perjalanan ke Malang. Namun sekarang, stasiun ini sudah banyak berubah. Tak ada lagi warung-warung yang dengan indahnya memamerkan banyak makanan dari balik kaca transparan. Bedeng-bedeng sengaja dibangun sebagai pembatas sehingga mengharuskan aku berjalan jauh memutar untuk mencari warung makan. Aku jalan santai sambil bengang-bengong.

BLETAAKKK

Seseorang menabrakku. Badanku limbung ke kiri. Seketika aku bangun dan memerhatikan siapa orang iseng yang mementungku dengan matrasnya. Ayah Riffat tertawa terbahak-bahak dibalik matras gulung yang dipegangnya. Aku sontak berteriak.

"AYAAAAHHH!!!"

PLAKKK

Tak sadar tangan kananku menampar pipinya. Ia meringis kesakitan. Orang-orang yang berlalu lalang seketika menoleh memerhatikan kelakuan kami yang aneh ini.

"Sialan, ayah digaplok." Ujar Ayah seraya mengelus-elus pipinya.

"Lagiaaan, Ayah oyoy!" Aku cengengesan.

"Ayah ikut Merbabu?" Tanyaku antusias.

"Enggak, ini nganter Keyko. Ini juga kan carrier Keyko." #uhuk #ahirr #asikasikjoss

"Kak Key mana, Yah?" Tanyaku sambil celingak celinguk mencari Kak Key.

"Itu, lagi ngurusin tiketnya Ebie" Jawab Ayah sambil menunjuk ke loket pembelian tiket.

"Hari gini ngurusin tiket? Emang bisa?" Tanyaku heran.

"Gatau deh. Eh, beliin Ayah minum dong. Orange water yang guedee. Ayah males ngantri" Ujar Ayah. Aku segera masuk kedalam Indomaret yang kebetulan berada di sebelah kami berdiri sejak tadi.

Aku gagal menunaikan makan siangku. Aku mengikuti Ayah yang menghampiri Kak Key. Kemudian tak lama Papa Mei datang. Disusul Bang Fadly yang diantar oleh dedeknya kekasihnya. Uwuwuwuwu :3

Kak Vaza datang sendirian, sama sepertiku. Sementara Arya, Kak Hayya dan Ebie datang bertiga dengan menggunakan taksi. Udah kenal semua kan? Belum? Makanya baca postingan yang lainnya dong! *tetep promo*

Oh iya, ini trip pertamaku dengan Ebie. Ebie ini temannya Kak Key, namun dari wajah dan kelakuannya yang unyu, sepertinya tak pantas dipanggil Kak. Ia memang tak punya tiket untuk ke Jogja, awalnya ia akan menggantikan kak Hay yang tadinya memutuskan untuk tak ikut. Namun dua jam sebelum berangkat, Kak Hay tiba-tiba mendadak berangkat. Labil yaa =_=

Jadilah Ebie tak memiliki tiket menuju Jogja..

Kebetulan ada satu tiket sisa milik Bang Faisal. Bang Fai baru berangkat sabtu pagi bersama Ucup, Cesa dan Kibo. Kak Key mengusahakan agar tiket kereta milik Bang Fai dipakai oleh Ebie. Namun apa daya, waktu yang terlalu mepet dan kebijakan pihak KAI yang tak masuk akal membuat kami kebingungan. Akhirnya Arya dan Ebie mengunjungi warung printer terdekat untuk mencetak scann KTP Bang Fai.


Sama Ayah Pea

Kak Key, BF, Papa Mei, Agit


Waktu telah menunjukkan pukul satu siang. Penumpang dengan tiket kereta Bengawan tujuan Solo sudah dipanggil-panggil sejak tadi.

"Kita nungguin apa, sih?" Tanyaku heran.

"Ini, Arya sama Ebie masih nge-print KTP Faisal." Jawab Kak Key.

"Emang KTP nya Faisal gak ada? Pake aja. Bisa kok masuk. Atau nggak nanti masuknya bareng-bareng. Ebie belakangan. Nanti tiket sama KTP Agit.... bla bla bla.." Ujarku mengatur strategi. Iya, bukannya aku malas menjabarkan. Tapi strategi tersebut sudah biasa dipakai Calo'-calo' tiket kereta pasar senen. Dan aku tak boleh membeberkannya di media sosial B-)

Aku gerah. Perdebatan panjang ini tak akan selesai. Yang lainnya masih saja sibuk mengurusi tiket. Atau hanya menunggu Arya dan Ebie yang entah kapan kembali ke stasiun. Kenapa tak dari kemarin-kemarin, sih? Atau kalau memang karena tiket Kak Hay, kenapa limabelas menit sebelum kereta jalan malah baru datang? KENAPA NGGAK DATANG DARI PAGI?!!! *Oke, Agit emosi*

Aku segera berpamitan kepada Ayah, kemudian berjalan menuju peron. Setibanya didepan petugas pemeriksa tiket, aku dimarahi karena kereta sudah hampir jalan. Aku segera berlari ke dalam stasiun dan berhasil masuk ke kereta, entah gerbong berapa, yang penting aku masuk.

Ku tolehkan wajahku keluar kereta, namun teman-temanku tak juga terlihat. Kereta berjalan. Semakin kencang berbarengan dengan peluit panjang. Aku berjalan gontai menuju gerbong dan duduk di bangku sesuai nomor yang tertera pada tiket. Ah, ada colokan. Segera ku charger henfonku dan ku telfon teman-temanku satu per satu.

Semuanya tak ada yang aktif.

Aku menghela nafas panjang. Membayangkan selama sepuluh jam duduk sendirian sampai Jogja. Kemudian bertemu Mbak Ang dan Om Lovie yang sudah berada disana sendirian dan menceritakan bagaimana teman-temanku ketinggalan kereta. Ah :(

Lalu bagaimana dengan teman-temanku? Apa mereka menyusul? Atau malah gagal pergi? Ah, mengapa hanya karena satu orang, semuanya jadi berantakkan. Aku juga terlalu egois mementingkan diriku sendiri yang tak peduli dengan yang lainnya. Aku egois naik kereta sendirian!!

"Dek Agit..." Ujar Kak Key lemah. Aku seketika menoleh ke sumber suara. Kulihat wajah Kak Key yang terlihat kelelahan, juga Kak Za dan Kak Hay yang bercucuran keringat. Mataku berbinar menatap wajah-wajah mereka. Segera ku bantu mereka merapikan carrier-carrier besar dan tak lupa menyodorkan minuman.

Bang Fadly dan Papa Mei menyusul dengan dua carrier. Ternyata carrier milik Arya dan Ebie juga ikut diangkut.

"Arya sama Ebie ketinggalan kereta..." Ujar Kak Key lagi. Aku mengangguk-angguk iba. Sementara Kak Hay sibuk menghubungi dua orang itu agar segera mencari bus tujuan Jogja. Aku memberi saran untuk naik bus dari Bekasi. Namun ternyata mereka berangkat dari Lebak Bulus.

Terimakasih, Tuhan... Aku tak sendirian.

Kami menghabiskan waktu sembilan jam yang tersisa di kereta dengan makan, tidur dan bercerita-cerita. Kereta tiba di Stasiun Cirebon sore hari dan berhenti cukup lama. Bang Fadly keluar dan mencarikan kami nasi bungkus. Kakak BF baik yah :”

Tiba-tiba Kak Hayya mengeluarkan laptop dan hendak melanjutkan tugas akhirnya. Namun kenyataannya, ia malah menyetel film star trek dan menontonnya sampai malam. Bahkan beberapa penumpang di sekitar kami pun ikut menonton di belakangnya. Lumayan, ada hiburan gratis.

Aku glundang-glundung. Cemas menunggu kabar dari Mas Bagus yang entah jadi berangkat atau tidak.  Sampai pukul delapan malam, ia belum juga packing. Tim Nutrijel pun tiba-tiba menghilang dan memutuskan untuk batal Merbabu. Mas Ais dan Mas Ewok sudah dipastikan tidak ikut. Sementara Mas Kiki masih fifty-fifty. Ada satu orang tambahan dari Surabaya, yaitu Inus. Iya, Inus bukan ingus, apalagi anus. Kami juga menaruh harapan kepada Inus agar memberi tumpangan menginap semalam di Jogja. Kebetulan eyangnya Inus memiliki rumah dan kontrakan di Jalan Raya Magelang. Tapi Inus pun tak memberi kabar apakah kami bisa menginap di rumah eyangnya atau tidak.

Waktu terus berjalan sampai akhirnya kami tiba di Stasiun Lempuyangan pukul sepuluh malam. Tak lama, kami bertemu dengan Mbak Ang dan Om Lovie. Mereka berdua telah tiba di Jogja entah dari kapan. Mbak Ang lah yang mengurusi sewa mobil untuk ke Wekas esok hari. Terimakasih Mbak Ang :”)

Kami diantar ke warung kopi semesta, kemudian makan sepuasnya tanpa mbayar. Enak kan? Enak dong :3 Disana, akhirnya kami bertemu dengan teman-teman lainnya. Kemudian membicarakan akan bermalam dimana karena kemungkinan teman-teman Surabaya baru tiba esok subuh. Inus memang pemberi harapan palsu. Hahaha. Akhirnya aku, Kak Rizki dan Kak Dina menginap di kost-kostan teman pendaki dari #ChapterJogja, sementara tim unyu menginap di tempat mantannya Bang Fadly. Ciyeee :3

“Citra, Kosan lo dimana? Gue mau numpang dong!” Ujarku menelfon teman pendaki dari #ChapterJogja, kebetulan beberapa waktu lalu ia pernah menginap di rumahku. Citra menjelaskan panjang lebar dimana letak kostannya. Kemudian kami diantar kesana oleh temannya Mba Ang yang juga pembalap.

Letak kostan Citra njelimet, sampai-sampai temannya Mba Ang kesal sendiri. Polisi tidur yang gede-gede juga bertebaran di tengah jalan, jadilah mobil ceper yang kami naiki ini kepentok-pentok. Hehehe Maaf ya, Mas. Akhirnya kami diantar dengan motor om Lovie dan Mas Gemak. Sesampainya di kost Citra, kami membersihkan badan lalu rumpi-rumpi sampai tertidur.



Sabtu, 12 Oktober 2013

Seperti biasa, aku bangun paling pertama. Bahkan jam empat subuh pun aku sudah bangun. Ku coba membuka grup line cruiser, ternyata Kak Asti dan Kak Kunthi sudah tiba di stasiun Tugu. Mereka menyewa penginapan selama dua jam untuk membersihkan badan dan istirahat sebentar. Sementara tim Surabaya masih di perjalanan, dengan perkiraan dua jam lagi tiba di Jogja.

Aku glundang-glundung.

Ku coba menelfon satu persatu tim unyu, dari Kak Key, Kak Hay, Bang Fadly, Kak Vaza, semuanya tak ada yang mengangkat. Adzan shubuh berkumandang, aku shalat agar tenang.

Hari semakin pagi. Aku mulai lapar dan Kak Asti mulai ngomel-ngomel di grup karena ia telah nongkrong dan sarapan di Malioboro sejak tadi berdua-duaan dengan Kak Kunthi. Ah iya, Fachri dan Tim Bandung juga sudah sampai jogja.

Aku iseng mengobrak-abrik tasku. Ku ambil boneka domo dan ku pentung-pentungkan ke badan Kak Rizki dan Kak Dina yang tidurnya kebo secara bergantian. Mereka kaget dan tertawa terbahak-bahak. Iya, boneka ini kalau digebuk kencang-kencang akan berbunyi “toweweweng – toweweweng” Hahahaha.

“Agit rusuuuuuuuuuuhhh… Hahahaha” Teriak Kak Rizki, kemudian berlindung dibalik bantal. Kak Dina cekikikan dan meregangkan badannya, sebut saja ngulet.

“Ayoooo, banguuuun.” Ujarku melas. Sambil terus mementungkan domo.

“Nantiiii sih, masih pagi. Yang lainnya juga pasti belum pada bangun.” Ujar Kak Rizki lagi.

“Iiiih, kalo ngikutin yang lainnya mah nanti gak jalan-jalaaan.” Aku gemas.

“Coba telfon Mbak Ang, kita dijemput nggak?” Tanyanya. Aku mencoba menghubungi Mbak Ang namun tak diangkat.

“Udah sih, jalan sendiri aja. Naik taksi kek, bus kek.” Aku rewel.

“Yaudah lu mandi duluan sana, gue mau tidur dulu bentar.” Aku nurut, kemudian mengambil pakaian dan menunaikan mandi pagi.

Selesai mandi, kulihat kak Dina yang sibuk dengan barang-barangnya. Daypacknya over muatan. Entah apa saja yang ia bawa. Aku latah, dan sibuk dengan barang-barangku. Enak ya, ke gunung bawa daypack doang. Hahaha *ketawa penjahat*

Dek, Mas udah sampai yah..
Sampai ketemu..

Jantungku berdesir. Segera ku buru-buru kak Rizki agar bangun, sementara Kak Dina sudah meluncur ke kamar mandi.

“Ayoooooo kak, banguuuun. Agit lapeeer.” Ujarku manja. Ia tak beranjak. Aku yang sedang menggenggam henfon seketika iseng menjepret pose tidurnya yang nungging dan mengirimnya ke grup line cruiser. Kulaporkan ke Kak Asti bahwa Rizkinya tak mau bangun. Kak Asti memerintahku untuk menyiramnya, namun aku terlalu pengecut untuk melakukan itu.

“Jadi lo bangunin kita-kita cuma karena laper? Sonooo, keluar cari makanaaan.” Ujarnya sambil cengengesan. Aku nyengir.

“Fachri sama tim Bandung udah sampe tuh.” Sambungku memberitahu.

“Unyu udah dateng?” Tanyanya lagi.

“Belum sih, masih di tempat mantannya bang Fadly, masih siap-siap. Ayooo lu siap-siap.”

“Ki, buruan mandi, ki!” Ujar Kak Dina tiba-tiba. Aku tersenyum penuh kemenangan. Horeee, ada yang mbelain!

Akhirnya kami meninggalkan kost Citra pukul tujuh. Citra mengantarku lebih dahulu dengan motor mionya. Aku diturunkan di halte Trans Jogja dan Citra kembali lagi ke Kostnya untuk mengantar dua temanku. Dan yang tak disangka adalah, motor mio milik Citra kembali dengan penumpang tiga orang dengan daypack besar-besar.

Tiba-tiba motor yang dikendarai Kak Rizki naik ke atas trotoar dan hendak menabrakku yang sedang duduk bengong.

“Buahahahahaha.. Lu ngapain naek motor bertigaan diatas trotoar?? Oyoooooooy!!! Hahaha” Aku ngakak. Mereka turun dari motor dan ikut tertawa. Ternyata Citra tak berani membawa satu motor bertiga sehingga Kak Rizki yang mengendarainya. Tau sendiri, Kak Rizki ini preman, polisi tidur diseruduk, trotoar pun dianggap jalanan. Setelah berpamitan, akhirnya kami menaikki bus yang kebetulan melintas dan menurut kondektur, bus ini melewati Malioboro.

Di dalam bus, kami duduk di belakang. Kak Rizki duduk persis di samping mas-mas yang banyak omong dan sok tahu. Ia menerawang kami. Menurutnya, Kak Rizki adalah orang yang bawel dan cepat mengambil keputusan. Sementara Kak Dina adalah orang yang jalannya lamban dan plin plan. Kalau aku, aku adalah orang yang setia dan rajin menabung. Hahahaha *digetok*

Ketika turun bus, kami ngakak sejadi-jadinya karena terawangan mas-mas barusan. Biarlah, hanya Tuhan dan orang-orang terdekat yang tau kita seperti apa. Setelah berjalan sekitar seratus meter, akhirnya kami menemukan duo soulmate (Asti & Kunthi), Om Lovie, Mbak Ang dan Tim Bandung yang sedang leyeh-leyeh di tukang bubur. Aku bersalaman pada mereka semua. Tak lama Om Andri datang dengan adventure gear-nya yang serba baru. Carrier deuter, sepatu TNF. Om, pinjem dong om. Hahaha.

Aku menunaikan sarapan pagiku dengan semangkuk bubur ayam semur. Iya, bumbunya seperti kuah semur. Kalau di Jakarta atau jawa barat kan kuahnya kuning opor gitu yah? Ini warnanya hitam kecoklatan seperti semur. Ya udahlah, Git, udah habis juga, masih aja protes. [--,]>

Cukup lama kami menunggu kedatangan tim unyu. Awalnya mereka mengira akan dijemput, namun ternyata tidak. Jadilah mereka berangkat ke Malioboro dengan taksi. Sementara Bang Fadly semotor berdua dengan mantannya. Uwuwuwuwuu :3

Kami akhirnya berangkat ketika hari mulai siang, sekitar pukul sepuluh. Mobil yang kami sewa ini berhenti di depan TVRI untuk menjemput Tim Surabaya. Aku dan Bang Fadly keluar mobil, kemudian berlari-lari kecil menyambut kedatangan Tim Surabaya. Bang Fadly menjabat tangan Mas Bagus, Mas Kiki juga Inus. Dan aku, aku hanya mematung di depan Mas Bagus. Kikuk.

“Apa? Mau peluk ta?” Tanya Mas Bagus seraya mengangkat kedua tangan. Aku hendak memeluknya namun ia malah kabur. Hahahaha. Aku nyengir, gemas.

Kami melanjutkan perjalanan. Total mobil yang kami sewa berjumlah tiga. Perjalanan sempat terhenti beberapa kali. Dari yang melihat tukang listrik kesetrum, ban kempes, mampir-mampir alfamart, isi bensin, sampai menjemput Arya dan Ebie yang sudah menunggu di terminal Magelang.

“Perjalanan paling gokil tuh Git, gue tadi.” Ujar Arya ketika duduk di mobil yang ku tumpangi. Ia kemudian bercerita panjang lebar tentang bis yang ia naikki adalah bis sewaan menuju Magelang, bukan bis patas antar kota seperti biasanya. Kemudian selama dua belas jam, ia hanya dihibur oleh lagu-lagu lawas dari TV yang menggantung di bis, lalu gaya menyetir pak Supir yang ekstrem. Ia juga menaiki bis itu dari sore, namun bis baru meninggalkan terminal Lebak Bulus pukul Sembilan malam.

“Elo sih, Bray, bukannya naek dari Bekasi. Kan enak, ada Maju Lancar, blablabla blablabla..” Ujarku sambil menyebutkan agen-agen Bus yang berjejeran di depan depsos Bekasi.

“Iya, Om Pulung nyuruhnya dari Lebak Bulus, Git. Baru itu tuh gue bentak-bentak Calo’ Lebak Bulus. Hahahaha. Pada takut ama gua Git. Padahal gua gak bawa apa-apa ya.” 

“Iya, bahagia beud hidup lo. Gue yang kebagian bawa carrier Ebie mentang-mentang gue daypackan doang. Huhu..”

Sepanjang perjalanan menuju Wekas, aku tak dapat tidur. Om Lovie telah menanti kami di pintu masuk Wekas dengan motor sewaannya selama di Jogja. Cepat sekali yah, Suhu yang satu ini. Mas Gemak dan Kak Dina juga sudah tiba disana.

Sesampainya di Wekas, kami bertemu dengan Mbak Al dan rombongannya, sebut saja Tim Boyolali. Sambil menunggu kedatangan mobil bak yang akan kami sewa, beberapa diantara kami membeli logistik dan leyeh-leyeh. Sementara aku jajan pentol dan menelfon Ayahku yang katanya telah tiba di Wonogiri. Ayah hendak menjemputku Senin Pagi di Jogja, jadi mau tak mau, Minggu sore aku harus sudah turun gunung.

“Yah, sinyalnya susah nih. Besok sore Cita telfon lagi ya. Nanti janjian aja Senin pagi mau ketemu dimana.” Ujarku mengakhiri pembicaraan.

Kami menaiki mobil bak sampai basecamp wekas. Setelah menunaikan Dzuhur dan Ashar yang dijama’, mengisi perut , re-packing dan share beban, akhirnya kami berdoa dan memulai pendakian pukul setengah empat sore.



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...