Monday 4 November 2013

Antara ¾ Bulan yang Bersinar di Merbabu

Cerita Sebelumnya >>> Klik disini :)




Cruiser Pea #Lovieisme \m/


Awalnya, reunian dengan peserta lebih dari dua puluh orang ini terbagi menjadi dua kelompok. Namun pada kenyataannya kami berjalan sesuka kami. Aku di depan seperti biasa, kemudian di dekatku ada Kak Rizki. Papa Mei dan Kak Vaza juga di depan, gaya jalan mereka memang cepat sih. Kak Asti selalu bersama Kak Kunthi. Fachri bersama teman-temannya, Mbak Al pun bersama rombongannya. Sementara Mbak Ang bersama Kak Key, Om Lovie dan Om Andri. Kak Hay selalu bersama Bray, dan Ebie diantara mereka. Kak Dina bersama Mas Gemak. Mas Kiki sama Inus dan Bang Fadly sweeper.

Hanjir, banyak ya? Capek ngabseninnya -____-

Iya, format kami ketika start seperti itu, namun setelah melalui jalan yang terus menerus menanjak, akhirnya posisi pun berubah. Tim Bandung, Papa Mei dan Kak Vaza di depan semua. Aku terus bertiga-tigaan dengan Kak Ast dan Kak Kunt. Kami yang pada dasarnya memang doyan rumpi, akhirnya menggosip di sepanjang jalan.

“Eh, gue kalo ngelewatin hutan-hutan kayak gini jadi inget twilight deh, uwuwuwuwuuu Edward Cullennn..” Ujar Kak Asti menggemaskan.

“Atau enggak, Petualangan Sherina!!” Lanjutnya bersemangat.

“Setiaaap manusiaa, di dunia.. Pasti punya kesalahan.. tapi hanya yang pemberani, yang mau mengakui..” Aku bersenandung.

“Setiap manusia, di dunia.. Pasti pernah sakit hati.. Hanya yang berjiwa satria, yang mau memaafkan..” Kak Asti menimpali, kemudian kami bernyanyi-nyanyi di tengah hutan Merbabu.

“Betapaa…. Bahagianyaa… Punya banyak teman, betapa senangnya!!” 

"Betapaaaa... Bahagianyaaa.. Dapat saling menyayangi! Mensyukuri karunia-Nya!!" Kami tertawa dalam senja.

Tiba-tiba Om Andri dan Kak Key membalapku, bahkan Mas Bagus berjalan persis di belakangku. Ternyata kami bertiga jalan cukup lama. Kak Asti mempercepat langkahnya, padahal yang ku tau, isi carriernya bahkan lebih berat dari isi carrier Om Andri sekalipun. Kak Kunthi yang juga keong sepertiku, akhirnya terpisah dari Kak Asti. Kebetulan di belakang kami ada Mbak Ang yang berjalan tergopoh-gopoh. Akhirnya kami berjalan terus beriringan dengan Mbak Ang di depan, kemudian Kak Kunthi, Aku dan Mas Bagus.

“Agiiit, ada counterpain nggak?” Teriak Kak Hay dari bawah, aku meneruskan pesan berantai ke atas. Akhirnya Kak Ast meninggalkan counterpainnya di tengah jalan. Aku memungutnya dan melempar ke Mas Bagus, walau bukan terlihat seperti lemparan sih. Mas Bagus memberikan counterpain ke Kak Hay. Aku mengerti, pasti encoknya Bray kumat lagi. Arya memang seringkali cidera ketika naik gunung, entah tulangnya yang rapuh atau memang asam uratnya tinggi, aku tak tau. Yang ku tau hanyalah rambutnya botak dan perutnya buncit. Hahahaha.

"Yaaaah, hape Ebie ketumpahan maduuu.." Ujar Ebie ketika menemukan henfon blekberinya yang belepotan madu. Ia memiliki dua henfon, satu blekberi dan satunya sony yang anti air itu.

Sontak ia membersihkan henfonnya dengan air. Ia terus mengguyurnya sampai bersih.

"Ebie!! Kok BB nya Ebie siram?"

"Iyaa, ini ketumpahan madu."

"Itu kan BB, Ebie! Bukan Sony!!!" Hahahaha kami tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Ebie. Ebie hanya bengong melihat henfonnya sudah mati dan tak bisa dinyalakan.

***

Hari semakin malam, kami menyiapkan headlamp. Dan bodohnya, headlampku berada di tas Inus. Ternyata benar, kita tak boleh memiliki niat buruk di gunung. Aku hanya iseng menambahkan beban ke tas Inus yang isinya cuma air itu dengan makanan-makanan milik kelompok, namun ternyata headlampku terselip disana.

Aku trekking malam tanpa headlamp.

“Mas, headlampku di Mas Inus” Ujarku melas pada Mas Bagus.

“Adek mau pake headlamp? Mas ndak pake juga ndak papa.” Tawar Mas Bagus.

“Kok gitu?” Tanyaku bingung.

“Iya, soalnya adek udah cukup menerangi. Hahahaha” Mas Bagus tertawa.

“Maaaasss..” Aku gemas.

“Iyah, nanti Mas senterin yah..” Ujarnya sabar. Aku mengangguk dan mengikuti langkah Kak Kunthi. Mbak Ang sengaja berjalan di depan agar jika ia merasa lelah, ia yang mengatur kapan kami break. Kami melewati bekas kebakaran hutan Merbabu yang terjadi beberapa waktu lalu. Dan sempat juga terdengar suara aneh ketika kami break. Entah itu suara babi hutan, anjing hutan atau penunggu hutan. Kami hanya berjalan dalam diam.

Setelah melewati pipa-pipa air dan tanah becek, akhirnya kami tiba di Pos dua dan terlihat beberapa teman kami yang melambai-lambaikan tangan dengan batuan cahaya senter. Beberapa tenda sudah didirikan, beberapa teman juga terlihat sedang masak-masak. Aku kedinginan. Perutku kosong dan terasa mual.

“Kak, mau muntah. Huek.” Ujarku pada Kak Asti dan Kak Rizki.

“Ganti baju dulu sana.. Udah minum tolak angin? Belum makan yah?” Tanya mereka bergantian. Aku menggeleng. Segera ku lepas sepatu dan berganti pakaian di tenda Kak Asti.

“Agit, ini ganti bajunya gimana?” Tanya Mbak Ang. Aku cekikikan.

“Nyalain headlamp mbak, aku nggak keliatan.” Ujarku.

“Heeeh, nanti kalo senternya dinyalain, dari luar keliatan nggak?” Teriak Mbak Ang panik. Iya, ini memang pertama kalinya ia naik gunung. Hahahaha.

“Keliatan, mbak. Jadi kayak wayang-wayangan. Hahaha” Aku berganti pakaian dengan cuek sementara Mbak Ang terlihat was-was.


*sensor*



*sensor*




*sensor terus sampe lima menit*



“Aku udah nih mbak, tak buka tendanya ya. Hahaha.”

“Agiiiiiiiiiittt, Mbak belum selesaaaaaiiii!!!” Aku mengurungkan niatku untuk membuka resleting tenda karena takut disumpel beha. Hahahaha.

“Ayo Git, masak.” Ujar siapa, aku lupa. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Kemudian kami mengutak-atik kompor namun tak juga menyala dan ujung-ujungnya malah mledug.


Nafsu makanku hilang.


“Tenda ini isinya aku, Keyko, Kunthi, Papa sama Mbak Ang.” Ujar Kak Asti sambil menunjuk tenda yang dibawanya.

Aku merasa dibuang. Hiks :’(

Segera ku hampiri Bang Fadly yang mendirikan tenda di belakang.

“Abang tendanya muat berapa orang?” Tanyaku melas.

“Muat bertiga sih, Agit mau disini?” Tanyanya. Iya, Bang Fadly pasti setenda dengan Kak Vaza. Aku tak menjawab pertanyaannya.

“Braaaayy..” Teriakku kemudian.

“Apa giiiiiiit?” Tanyanya juga dengan berteriak.

“Bray tendanya muat empat kan? Sama siapa aja, Braaaay?”

“Biasa Giiiiiiit..” Oh, sama Kak Hayya.

“Agit disini aja sama Kakaaak..” Teriak Kak Hay dari dalam tenda.

“Ndakmauuu, kalian tukang kentuuut!” Jawabku kemudian. Aku memeluk sleepingbagku.

“Dek Agit mau di tenda Mas?” Tawar Mas Bagus kemudian.

“Masih muat?” Tanyaku lagi.

“Muat berlima sih.” Ujarnya.

“Agit di pojok yah..” Aku menyerahkan sleepingbagku ke Mas Bagus sementara tasku berada di tenda Bang Fadly.

Kak Asti dan teman-teman yang mendirikan tenda di depan memutuskan untuk tidur cepat karena mereka berniat untuk summit pagi. Sementara aku dan teman-teman yang tendanya di belakang menghabiskan malam di bawah ¾ bulan yang bersinar. Tak lama rombongan Nganga dan Sumar datang. Teh Farah juga ikut dalam rombongan mereka. Reunian ini terasa hangat ditambah kopi yang dibuat Om Lovie, juga begitu romantis dengan cahaya lilin yang dibakar Mas Gemak.

Aku iseng menghampiri tenda Kang Fachri. Biasanya ia sedang masak-masak di dalam tenda. Ternyata benar. Kang Fachri menyuapiku beberapa sendok nasi beserta sarden dan sosis. Kemudian mereka ku ajak untuk bergabung menikmati malam minggu dengan segelas kopi, sebut saja koja.

Tak hanya Bang Fadly yang memiliki banyak dedek, ternyata Kak Vaza juga. Fachri termasuk salah satu dedeknya Kak Za. Tak lama, Hagi (temennya Nganga & Sumar) datang dan bergabung bersama kami. Ia juga dedeknya Kak Vaza. Dan baru-baru ini diresmikan kalau Inus juga dijadikan dedek.

Pusing yah? Iya. Agit juga pusing. Banyak banget tokoh yang tampil. Datang dan hilang silih berganti. Yang paling setia di sisi ya cuma… Ya, kamu tau lah, siapa :3



Photo Taken and Edited By @Fadly14_


Di hadapan cahaya lilin yang menari

Kantuk menghampiri

Mata kecil memaksa diri

Tuk habiskan malam ini

Kapan lagi?



Dan di bawah ¾ bulan purnama

Gelas-gelas kami menganga

Menanti tetesan kopi berikutnya

Tertawa

Lupa





Minggu, 13 Oktober 2013

Selamat tanggal tiga belas :’)

Aku baru tertidur setengah jam, tiba-tiba terdengar suara berisik di luar tenda.

“Aryaaaaa… Banguuun. Gue udah sampe nih!” Suara nyaring milik Caesa membuatku cekikikan. Ternyata rombongannya baru tiba. Aku terlalu malas keluar tenda, lagi pula teman-teman di dalam tenda yang ku tempati sudah tidur semua.

“Gue udah dateng gak ada yang nyambut nih?” Kali ini suara laki-laki. Ini pasti Kibo.

“Lo mah disambit, Bo. Bukan disambut. Hahaha.” Nah ini, suara Ucup. Hahaha. Aku tertawa sendirian di pojok tenda.

“Woooooy, bangun lo semua!! Gue balik-balikin nih tenda lo satu-satu!!!” Teriak Ucup lagi. Aku ngakak sejadi-jadinya. Namun sepertinya tak ada satupun dari kami yang bangun. Apalagi Arya. Jadi aku pun melanjutkan tidurku.

Dua jam kemudian, diluar mulai berisik. Sepertinya Kak Asti dkk sedang bersiap-siap untuk summit. Mas Bagus bangun karena mendengarku krasak-krusuk.

“Kita summit jam berapa, Mas?” Tanyaku.

“Jam empatan, dek.” Ujarnya. Kemudian kami memejamkan mata lagi. Tidurku terasa lamaaaa sekali malam itu. Sampai akhirnya aku benar-benar terbangun karena kebelet pipis.

“Mas, ayo banguuun.” Ajakku. Mas Bagus hanya duduk dan menyerahkan headlampnya. Tanda bahwa ia menyuruhku duluan. Aku membuka tenda dan menutupnya kembali. Ku lihat ia mengenakan sleepingbagku dan melanjutkan tidurnya. Iya, jadi semalaman ia dan yang lainnya tidur tanpa mengenakan sleepingbag. Sleepingbagnya dijadikan selimut, namun ia sendiri tak kebagian selimut. Kasihan yah, tau gitu semaleman tak peluk-peluk. Lho??!!

Aku menuju tenda Bang Fadly.

“Abang summit kapan?” Tanyaku pelan.

“Sekarang, Git.” Ujarnya mantap.

“Yang lainnya udah jalan dari jam dua.” Sambung Kak Vaza.

“Yakin kita cuma bertiga?” Tanyaku ragu.

“Yakin aja.”

“Antar Agit pipis dulu, bang..” Ujarku. Bang Fadly menyuruhku agar menunggu sebentar.

“Agiiiiiit.” Teriak seorang wanita dengan jas beludru panjang seperti baju musim salju. Ia menyorotkan senter tepat ke wajahku sehingga aku tak bisa melihat jelas siapa dia.

“Siapa sih?” Tanyaku sambil memincingkan mata.

“Cesaaa, Git! Temenin pipis yuk!” Ujarnya. Ah, kebetulan sekali.

“Abang, Agit pipis bareng Sesa!” Ujarku meninggalkan tenda Bang Fadly. Kami menghilang di balik semak-semak.

Cesa dan rombongan Nganga merencanakan summit siang dan pulang esok hari, mereka menghabiskan dua malam disini.

“Abang, botol Agit yang kecil-kecil pada kemana yah?” Tanyaku sambil celingak-celinguk mencari botol minum bekas.

“Abang bawa minum banyak kok, Git. Agit nanti minum dari sini aja.” Bang Fadly meyakinkanku. Aku mengangguk dan bersiap-siap. Kami memulai perjalanan pukul setengah empat pagi. Sebelumnya aku berpamitan dengan Mas Bagus dan ia berjanji akan menyusulku.

Tiga per empat bulan masih bersinar,
meyakinkan kami agar segera menyambut sang fajar. 



Bersambung kesini >>> Dari Merbabu, Kepada Merapi

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...