Cruiser Pea #Lovieisme \m/ |
Awalnya, reunian dengan peserta
lebih dari dua puluh orang ini terbagi menjadi dua kelompok. Namun pada
kenyataannya kami berjalan sesuka kami. Aku di depan seperti biasa, kemudian di
dekatku ada Kak Rizki. Papa Mei dan Kak Vaza juga di depan, gaya jalan mereka
memang cepat sih. Kak Asti selalu bersama Kak Kunthi. Fachri bersama
teman-temannya, Mbak Al pun bersama rombongannya. Sementara Mbak Ang bersama Kak
Key, Om Lovie dan Om Andri. Kak Hay selalu bersama Bray, dan Ebie diantara
mereka. Kak Dina bersama Mas Gemak. Mas Kiki sama Inus dan Bang Fadly sweeper.
Hanjir, banyak ya? Capek
ngabseninnya -____-
Iya, format kami ketika start
seperti itu, namun setelah melalui jalan yang terus menerus menanjak, akhirnya
posisi pun berubah. Tim Bandung, Papa Mei dan Kak Vaza di depan semua. Aku
terus bertiga-tigaan dengan Kak Ast dan Kak Kunt. Kami yang pada dasarnya
memang doyan rumpi, akhirnya menggosip di sepanjang jalan.
“Eh, gue kalo ngelewatin hutan-hutan
kayak gini jadi inget twilight deh, uwuwuwuwuuu Edward Cullennn..” Ujar Kak
Asti menggemaskan.
“Atau enggak, Petualangan Sherina!!”
Lanjutnya bersemangat.
“Setiaaap manusiaa, di dunia.. Pasti
punya kesalahan.. tapi hanya yang pemberani, yang mau mengakui..” Aku bersenandung.
“Setiap manusia, di dunia.. Pasti
pernah sakit hati.. Hanya yang berjiwa satria, yang mau memaafkan..” Kak Asti menimpali, kemudian kami bernyanyi-nyanyi di
tengah hutan Merbabu.
“Betapaa…. Bahagianyaa… Punya banyak
teman, betapa senangnya!!”
"Betapaaaa... Bahagianyaaa.. Dapat saling menyayangi! Mensyukuri karunia-Nya!!" Kami tertawa dalam senja.
Tiba-tiba Om Andri dan Kak Key membalapku,
bahkan Mas Bagus berjalan persis di belakangku. Ternyata kami bertiga jalan
cukup lama. Kak Asti mempercepat langkahnya, padahal yang ku tau, isi
carriernya bahkan lebih berat dari isi carrier Om Andri sekalipun. Kak Kunthi
yang juga keong sepertiku, akhirnya terpisah dari Kak Asti. Kebetulan di
belakang kami ada Mbak Ang yang berjalan tergopoh-gopoh. Akhirnya kami berjalan
terus beriringan dengan Mbak Ang di depan, kemudian Kak Kunthi, Aku dan Mas
Bagus.
“Agiiit, ada counterpain nggak?”
Teriak Kak Hay dari bawah, aku meneruskan pesan berantai ke atas. Akhirnya Kak
Ast meninggalkan counterpainnya di tengah jalan. Aku memungutnya dan melempar
ke Mas Bagus, walau bukan terlihat seperti lemparan sih. Mas Bagus memberikan
counterpain ke Kak Hay. Aku mengerti, pasti encoknya Bray kumat lagi. Arya
memang seringkali cidera ketika naik gunung, entah tulangnya yang rapuh atau
memang asam uratnya tinggi, aku tak tau. Yang ku tau hanyalah rambutnya botak
dan perutnya buncit. Hahahaha.
"Yaaaah, hape Ebie ketumpahan maduuu.." Ujar Ebie ketika menemukan henfon blekberinya yang belepotan madu. Ia memiliki dua henfon, satu blekberi dan satunya sony yang anti air itu.
Sontak ia membersihkan henfonnya dengan air. Ia terus mengguyurnya sampai bersih.
"Ebie!! Kok BB nya Ebie siram?"
"Iyaa, ini ketumpahan madu."
"Itu kan BB, Ebie! Bukan Sony!!!" Hahahaha kami tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Ebie. Ebie hanya bengong melihat henfonnya sudah mati dan tak bisa dinyalakan.
***
Hari semakin malam, kami menyiapkan
headlamp. Dan bodohnya, headlampku berada di tas Inus. Ternyata benar, kita tak
boleh memiliki niat buruk di gunung. Aku hanya iseng menambahkan beban ke tas
Inus yang isinya cuma air itu dengan makanan-makanan milik kelompok, namun
ternyata headlampku terselip disana.
Aku trekking malam tanpa headlamp.
“Mas, headlampku di Mas Inus” Ujarku
melas pada Mas Bagus.
“Adek mau pake headlamp? Mas ndak
pake juga ndak papa.” Tawar Mas Bagus.
“Kok gitu?” Tanyaku bingung.
“Iya, soalnya adek udah cukup
menerangi. Hahahaha” Mas Bagus tertawa.
“Maaaasss..” Aku gemas.
“Iyah, nanti Mas senterin yah..”
Ujarnya sabar. Aku mengangguk dan mengikuti langkah Kak Kunthi. Mbak Ang
sengaja berjalan di depan agar jika ia merasa lelah, ia yang mengatur kapan
kami break. Kami melewati bekas kebakaran hutan Merbabu yang terjadi beberapa
waktu lalu. Dan sempat juga terdengar suara aneh ketika kami break. Entah itu
suara babi hutan, anjing hutan atau penunggu hutan. Kami hanya berjalan dalam
diam.
Setelah melewati pipa-pipa air dan
tanah becek, akhirnya kami tiba di Pos dua dan terlihat beberapa teman kami
yang melambai-lambaikan tangan dengan batuan cahaya senter. Beberapa tenda
sudah didirikan, beberapa teman juga terlihat sedang masak-masak. Aku
kedinginan. Perutku kosong dan terasa mual.
“Kak, mau muntah. Huek.” Ujarku pada
Kak Asti dan Kak Rizki.
“Ganti baju dulu sana.. Udah minum
tolak angin? Belum makan yah?” Tanya mereka bergantian. Aku menggeleng. Segera
ku lepas sepatu dan berganti pakaian di tenda Kak Asti.
“Agit, ini ganti bajunya gimana?”
Tanya Mbak Ang. Aku cekikikan.
“Nyalain headlamp mbak, aku nggak
keliatan.” Ujarku.
“Heeeh, nanti kalo senternya
dinyalain, dari luar keliatan nggak?” Teriak Mbak Ang panik. Iya, ini memang
pertama kalinya ia naik gunung. Hahahaha.
“Keliatan, mbak. Jadi kayak
wayang-wayangan. Hahaha” Aku berganti pakaian dengan cuek sementara Mbak Ang
terlihat was-was.
*sensor*
*sensor*
*sensor terus sampe lima menit*
“Aku udah nih mbak, tak buka
tendanya ya. Hahaha.”
“Agiiiiiiiiiittt, Mbak belum
selesaaaaaiiii!!!” Aku mengurungkan niatku untuk membuka resleting tenda karena
takut disumpel beha. Hahahaha.
“Ayo Git, masak.” Ujar siapa, aku
lupa. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Kemudian kami mengutak-atik kompor
namun tak juga menyala dan ujung-ujungnya malah mledug.
Nafsu makanku hilang.
“Tenda ini isinya aku, Keyko,
Kunthi, Papa sama Mbak Ang.” Ujar Kak Asti sambil menunjuk tenda yang
dibawanya.
Aku merasa dibuang. Hiks :’(
Segera ku hampiri Bang Fadly yang
mendirikan tenda di belakang.
“Abang tendanya muat berapa orang?”
Tanyaku melas.
“Muat bertiga sih, Agit mau disini?”
Tanyanya. Iya, Bang Fadly pasti setenda dengan Kak Vaza. Aku tak menjawab
pertanyaannya.
“Braaaayy..” Teriakku kemudian.
“Apa giiiiiiit?” Tanyanya juga
dengan berteriak.
“Bray tendanya muat empat kan? Sama
siapa aja, Braaaay?”
“Biasa Giiiiiiit..” Oh, sama Kak
Hayya.
“Agit disini aja sama Kakaaak..”
Teriak Kak Hay dari dalam tenda.
“Ndakmauuu, kalian tukang kentuuut!”
Jawabku kemudian. Aku memeluk sleepingbagku.
“Dek Agit mau di tenda Mas?” Tawar
Mas Bagus kemudian.
“Masih muat?” Tanyaku lagi.
“Muat berlima sih.” Ujarnya.
“Agit di pojok yah..” Aku
menyerahkan sleepingbagku ke Mas Bagus sementara tasku berada di tenda Bang
Fadly.
Kak Asti dan teman-teman yang
mendirikan tenda di depan memutuskan untuk tidur cepat karena mereka berniat
untuk summit pagi. Sementara aku dan teman-teman yang tendanya di belakang
menghabiskan malam di bawah ¾ bulan yang bersinar. Tak lama rombongan Nganga dan
Sumar datang. Teh Farah juga ikut dalam rombongan mereka. Reunian ini terasa
hangat ditambah kopi yang dibuat Om Lovie, juga begitu romantis dengan cahaya
lilin yang dibakar Mas Gemak.
Aku iseng menghampiri tenda Kang
Fachri. Biasanya ia sedang masak-masak di dalam tenda. Ternyata benar. Kang
Fachri menyuapiku beberapa sendok nasi beserta sarden dan sosis. Kemudian
mereka ku ajak untuk bergabung menikmati malam minggu dengan segelas kopi,
sebut saja koja.
Tak hanya Bang Fadly yang memiliki
banyak dedek, ternyata Kak Vaza juga. Fachri termasuk salah satu dedeknya Kak
Za. Tak lama, Hagi (temennya Nganga & Sumar) datang dan bergabung bersama
kami. Ia juga dedeknya Kak Vaza. Dan baru-baru ini diresmikan kalau Inus juga
dijadikan dedek.
Pusing yah? Iya. Agit juga pusing.
Banyak banget tokoh yang tampil. Datang dan hilang silih berganti. Yang paling
setia di sisi ya cuma… Ya, kamu tau lah, siapa :3
Photo Taken and Edited By @Fadly14_ |
Di hadapan cahaya lilin yang menari
Kantuk menghampiri
Mata kecil memaksa diri
Tuk habiskan malam ini
Kapan lagi?
Dan di bawah ¾ bulan purnama
Gelas-gelas kami menganga
Menanti tetesan kopi berikutnya
Tertawa
Lupa
Minggu, 13 Oktober 2013
Selamat tanggal tiga belas :’)
Aku baru tertidur setengah jam,
tiba-tiba terdengar suara berisik di luar tenda.
“Aryaaaaa… Banguuun. Gue udah sampe
nih!” Suara nyaring milik Caesa membuatku cekikikan. Ternyata rombongannya baru
tiba. Aku terlalu malas keluar tenda, lagi pula teman-teman di dalam tenda yang
ku tempati sudah tidur semua.
“Gue udah dateng gak ada yang
nyambut nih?” Kali ini suara laki-laki. Ini pasti Kibo.
“Lo mah disambit, Bo. Bukan
disambut. Hahaha.” Nah ini, suara Ucup. Hahaha. Aku tertawa sendirian di pojok
tenda.
“Woooooy, bangun lo semua!! Gue
balik-balikin nih tenda lo satu-satu!!!” Teriak Ucup lagi. Aku ngakak
sejadi-jadinya. Namun sepertinya tak ada satupun dari kami yang bangun. Apalagi
Arya. Jadi aku pun melanjutkan tidurku.
Dua jam kemudian, diluar mulai
berisik. Sepertinya Kak Asti dkk sedang bersiap-siap untuk summit. Mas Bagus
bangun karena mendengarku krasak-krusuk.
“Kita summit jam berapa, Mas?”
Tanyaku.
“Jam empatan, dek.” Ujarnya.
Kemudian kami memejamkan mata lagi. Tidurku terasa lamaaaa sekali malam itu. Sampai
akhirnya aku benar-benar terbangun karena kebelet pipis.
“Mas, ayo banguuun.” Ajakku. Mas
Bagus hanya duduk dan menyerahkan headlampnya. Tanda bahwa ia menyuruhku
duluan. Aku membuka tenda dan menutupnya kembali. Ku lihat ia mengenakan
sleepingbagku dan melanjutkan tidurnya. Iya, jadi semalaman ia dan yang lainnya
tidur tanpa mengenakan sleepingbag. Sleepingbagnya dijadikan selimut, namun ia sendiri
tak kebagian selimut. Kasihan yah, tau gitu semaleman tak peluk-peluk. Lho??!!
Aku menuju tenda Bang Fadly.
“Abang summit kapan?” Tanyaku pelan.
“Sekarang, Git.” Ujarnya mantap.
“Yang lainnya udah jalan dari jam
dua.” Sambung Kak Vaza.
“Yakin kita cuma bertiga?” Tanyaku
ragu.
“Yakin aja.”
“Antar Agit pipis dulu, bang..”
Ujarku. Bang Fadly menyuruhku agar menunggu sebentar.
“Agiiiiiit.” Teriak seorang wanita
dengan jas beludru panjang seperti baju musim salju. Ia menyorotkan senter
tepat ke wajahku sehingga aku tak bisa melihat jelas siapa dia.
“Siapa sih?” Tanyaku sambil
memincingkan mata.
“Cesaaa, Git! Temenin pipis yuk!”
Ujarnya. Ah, kebetulan sekali.
“Abang, Agit pipis bareng Sesa!”
Ujarku meninggalkan tenda Bang Fadly. Kami menghilang di balik semak-semak.
Cesa dan rombongan Nganga
merencanakan summit siang dan pulang esok hari, mereka menghabiskan dua malam
disini.
“Abang, botol Agit yang kecil-kecil
pada kemana yah?” Tanyaku sambil celingak-celinguk mencari botol minum bekas.
“Abang bawa minum banyak kok, Git.
Agit nanti minum dari sini aja.” Bang Fadly meyakinkanku. Aku mengangguk dan
bersiap-siap. Kami memulai perjalanan pukul setengah empat pagi. Sebelumnya aku
berpamitan dengan Mas Bagus dan ia berjanji akan menyusulku.
Tiga per empat bulan masih bersinar,
meyakinkan kami agar segera menyambut sang fajar.
Bersambung kesini >>> Dari Merbabu, Kepada Merapi