Skip to main content

Giraffe Journey 3; Antara Gunung Gede dan Merapi

Ketika saya sedang sibuk dengan Event Fun Hiking Education di Gunung Gede, pada tanggal yang sama, Asti sedang melangkahkan kakinya ke Gunung Merapi. Kami terpisah ratusan kilometer, namun raga tetap berada di tempat yang sama, di atas awan.

Sebenarnya, saya malas ke Gunung Gede. Begitu pula Asti, ia pun malas jauh-jauh ke Merapi. Banyak faktor yang membuat kami berdua malas melangkah ke ketinggian. Banyak alasan betapa naik gunung bersama banyak orang sungguh tidak mengenakkan. Kami hanya ingin mencari pelarian berdua. Bukan dengan dia dan dia yang lain.

Berlari sungguh melelahkan. 
Apalagi jika kau berlari hanya untuk menghindari sebuah rasa takut.
Takut untuk jatuh cinta.

Karena naik gunung berhari-hari dengan lawan jenis, sangat sulit menolak hadirnya benih-benih cinta. Dan yang paling menyebalkan, ketika cinta yang kau percaya sebagai tujuan akhir, ternyata hanyalah sebuah tempat singgah. Sekedar numpang lewat. Turun gunung? Usai sudah. Ah, cinta yang datang terburu-buru, biasanya akan berakhir dengan cepat. Seperti yang sudah-sudah.

Mari kesampingkan dulu masalah pelarian dan cinta-cintaan. 

*hela nafas panjang*

Perjalanan dari Surya Kencana ke Puncak Gunung Gede adalah perjalanan yang paling 'sendiri' untuk saya. Saat itu saya diberi tugas mendampingi tiga orang anak yaitu Amelia Poki-poki, Dila dan Bungsu. Seperti biasa, pikiran saya entah berlarian kemana. Anak-anak saya pun sudah bisa dilepas bahkan mendahului saya menuju ke puncak. Dalam hati saya membatin, "Kak Ast, apa kabar? Trekking ada yang nemenin, kan? Minum ada yang bawain, kan? Muncak nggak sendirian, kan?"

Tidak lama untuk mencapai puncak, sekitar 1 - 2 jam. Dan sesampainya di atas, hujan turun deras. Beberapa peserta tumbang sehingga memaksa pendakian dengan jumlah 57 orang ini harus dihentikan. Saya sendiri tidak bisa berbuat dan membantu lebih banyak. Saya merasa kedinginan. Syukurlah saya memiliki partner paling pengertian yang menyodorkan segelas susu hangat. Tapi sayang, ia ndak sekalian menyewakan jasa peluk.

Cukup lama kami terhenti di Puncak Asmara Gunung Gede. Berdiam di sana dalam waktu yang lama justru membuat kepala saya pusing dan badan semakin menggigil. Akhirnya saya memutuskan untuk turun daripada saya sendiri ikut tumbang karena menghirup asap belerang. Beberapa peserta dan panitia juga mengisyaratkan untuk segera turun karena takut kemalaman. Dari situ, saya tidak tahu siapa lagi anak-anak saya. Semua berpencar dan saling mendahului.

Aku di sini
Kamu di mana?

Kami berjalan, berlari, terjatuh, mencoba bangkit dan terus melangkah lagi hingga kembali ke peradaban yang sebenarnya. Walau jalur Cibodas di malam hari benar-benar menghantui, sampai-sampai kuku kaki saya nunclep lagi. Bagaimana denganmu, Kak Ast? Kuku kakimu sehat? Btw, jaket kita kok sama-sama warna pink? Nah, Giraffe Journey 3 versi Asti bisa dilihat di >>> sini! :)

Comments

  1. Kuku jemopol kaki kiriku membiru, git

    ReplyDelete
    Replies
    1. ndak papa kuku jempol membiru, asal hati jangan. *ngikik*

      Delete
  2. Takut jatuh cinta itu menyedihkan coz cinta itu indah #eeap

    ReplyDelete
  3. Paling seneng nih kalo nulis terus tokoh ny diri sendiri.... Meskipun itu beneran perasaan asli atau bukan, tapi paling tidak "menulis" adalah cara bagus untuk curhat... (Paling tidak buat saya).

    Dan tidak lupa untuk saran saya, biasanya Anda menulis dan di akhir anda menulis kan "message" meskipun terkadang ambigue. Tapi kali ini tidak ada, pure semua tentang travelling and feeling. huftthhh (disapointed..)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahhhhh, kena deh gue disemprot satpam blog. iyaaa lagi hilaf jalan-jalan ni. besok2 dibikin ending yang njleb deh :(

      Delete
    2. Wkwkwkwkwk... Satpam blog. Gw seneng baca tulisan lu nyooong. Gk perlu sedih gituh. Masih gua tunggu satu buku yang di situ tertulis "penulis : agita violy". Satu buku utuh karya kamu...

      Delete
    3. enam bab naskah gue keguguran akibat hardisk arjuna yang rusak ituh. jadi, gue harus mengulang pembuahan lagi dari awal :(((

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kebodohan di Situ Gunung

Posisi yang sudah di Bogor usai berbagi inspirasi ke adik-adik Smart Ekselensia tidak membuat saya dan Hanis langsung pulang ke Bekasi begitu saja. Kami lantas melanjutkan perjalanan ke Sukabumi dengan menggunakan Kereta Pangrango yang kebetulan hanya seharga duapuluh lima ribu rupiah. Pemandangan di sepanjang rel yang baru aktif kembali ini menyuguhkan hamparan sawah dan ladang hijau. Arus sungai yang amat deras juga menemani perjalanan yang memakan waktu dua jam ini.

5 Cm Vs Romeo+Rinjani

5 Cm Vs Romeo+Rinjani Ini kok judulnya malah jadi kayak rumus, ya? Hehehe. Jadi gini, beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film karya Fajar Bustomi, judulnya Romeo+Rinjani. Film yang posternya menampilkan pendaki perempuan dengan pakaian minim tersebut sukses menjadi bahan ejekan para pendaki yang berseliweran di dunia maya. Banyak yang bilang, film ini akan menjadi the next 5 cm yang mengakibatkan membludaknya gunung Rinjani setelah film tersebut ditayangkan. Yah, kita lihat saja nanti seberapa besar efek dari film tersebut di dunia pariwisata, khususnya pendakian. Kembali ke film, bukan maksudnya membanding-bandingkan. Tapi kok ya rasanya ada yang ngeganjel kalau film ini nggak di- share ke temen-temen. Berikut pendapat yang saya rasakan ketika menonton dua film tersebut;

Menyusuri Jejak Islam di Kampung Kauman

Kampung Kauman Free Walking Tour Namanya Kauman. Sebuah kampung yang seringkali dilupakan orang-orang ketika menyusuri Malioboro sampai ujung jalan dan kemudian terhipnotis dengan gagahnya pohon beringin di alun-alun serta suasana nyaman di dalam keraton. Kali ini saya lebih mendahulukan untuk bercerita tentang Kampung Kauman daripada sejarah Jogjakarta, keraton, benteng dan lain-lainnya. Sebuah kesempatan yang langka untuk bisa menjelajahi kampung Kauman bersama orang-orang baru lagi. Adalah Edu Hostel Jogjakarta yang memiliki program Walking Tour Kauman tiap hari Jum’at dan Sabtu. Pada hari Jum’at, biasanya Walking Tour ini akan dibawakan dengan Bahasa Inggris. Namun sayangnya, peserta yang berjumlah lebih dari 15 orang pada hari Jum’at itu tak ada satupun yang berasal dari luar negeri sehingga sepakatlah kami untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.