Friday, 18 January 2013

Perpisahan Hangat dari Ranukumbolo


Cerita sebelumnya bisa dibaca, disini :)

Rabu, 2 Januari 2013

Tidurku tak nyenyak malam itu. Tanpa memeluk termos berisi air panas dan salonpas hot dikakiku yang lupa ku lepas. Aku sampai berteriak kepanasan sambil melepasnya dengan mata yang masih merem. Pukul empat subuh akhirnya aku benar-benar bangun.

“Giiitt.. giiiit..” Teriak seseorang entah darimana.

“Iyaaaah..” Sahutku dengan suara yang masih berat.

“Tenda kamu dimana giiit? Abang gak tauuu..” Teriak orang itu lagi. Aku membuka tenda dan menyembulkan kepala.

“Bang Yasiiin..” Ucapku lemah. Ia sudah jongkok didepan tendaku.

“Nih, buat kamu, Git. Abang pulang sekarang..” Ujarnya seraya menyodorkan jersey Chelsea-nya yang bertuliskan Maha nomor 20.

“Ini buat Agit, Bang? Sayang bang..”

“Gakpapa.. Buat kenang-kenangan.. Abang masih punya banyak..”

“Abang makasiiiih.. Ini masih jam empat pagi Bang..” Mataku mulai berkaca-kaca.
                       
“Iya, Abang pulang sekarang ngejar kereta ke Bandung..”

“Asik.. Lamaran yak… Ati-ati ya Bang…” Aku mencium tangannya. Ia mengelus kepalaku kemudian pergi. Kututup tendaku dan kutatapi jersey darinya. Aku menghembuskan nafas panjang. Segera kupakai jersey tersebut untuk menghangatkan badanku. Kemudian aku teringat Donny yang minta dibangunkan.

Baru saja membuka tenda, aku sudah merasa kedinginan. Baru itu aku merasa dingin luar biasa, terlebih lagi jaketku basah terkena embun yang menempel dipinggir tenda. Entah siapa yang meletakkannya disitu. Tak apa lah, ku pakai saja. Ku longokkan kepalaku keluar tenda.

“Donny udah bangun?” Tanyaku ketika melihatnya sedang packing.

“Udah, Git..” Jawabnya kalem.

“Donny diluar dingin gak?” Tanyaku lagi.

“Dingiiiin. Tapi yaudaah, lo banyakin gerak aja.”

“Lu kok pake sepatu? Emang nggak basah?” Aku benar-benar banyak tanya.

“Basaaah. Ini juga dingin banget kaki gueee!” Jawabnya. Aku memberanikan diri keluar tenda. Meloncat-loncat sambil menghangatkan badan.

“Terus mau ngapain lagi ini? Belum pada banguun…” Kataku kemudian.

“Packing aja, biar entar gak repot.”

“Masih gelap, Don.”

“Pake headlamp lu pe’a.” Oh iya, benar juga. Aku segera menggunakan headlamp dan mengeluarkan carrier. Re-packing barang-barang dan mengumpulkan yang berceceran. Sampai akhirnya setengah enam pagi sudah terlihat terang sekali. Ah, dua hari yang lalu aku sedang merasakan pagi pertama di Ranu Kumbolo :’)

Sudah mulai banyak yang bangun, peserta mulai bersiap-siap. Berkali-kali ku tolehkan wajah ke tenda Team Arcopodo, namun Bang Yasin sudah tak terlihat. Ah, dia benar-benar sudah pulang. Kemudian ku tolehkan lagi wajahku ke dua bukit itu, yang ditengahnya terdapat danau. Dan menoleh ke sisi lainnya. Sebuah tanjakkan yang berhasil kulalui. Dan wajah-wajah mengantuk yang baru saja ku kenal ini, Kalian Luar Biasa!!!

Bertemu lagi dengan orang-orang Sulawesi yang dipuncak itu. Mereka sedang menikmati pagi. Sementara aku sudah bersiap-siap pergi. Tak lupa mendokumentasi dan mengabadikannya dalam sebuah foto.

Foto-foto gila Oro-oro Ombo. Ah, sulit untuk mendeskripsikannya.


“Fotoin gue sama Agit dong!” Teriak Bang Ucup.

“Ayok..” Aku mendekat kepadanya. Berpose dengan dua jari sambil cengengesan.

“Satu.. Dua..” Aba-aba dari fotografer (aku lupa) Tiba-tiba Bang Ucup mengangkatku.

“Aaaaaaaaaaaakkkkkk!!! Hahaha…” Aku berteriak sambil tertawa.

“Lu jangan gerak. Berat bego!” Ujarnya. Hahaha… Dan terciptalah sebuah foto seorang Bapak yang menggendong anaknya dengan Background Ranu Kumbolo.


“Ayo yang pulang sekarang siap-siap. Nanti kloter tiga pulang jam sepuluh. Tadi yang pertama udah pulang duluan jam empat shubuh.” Jelas Om Dedy selaku panitia.

“Nganga. Tenda gue masih banyak isinya. Gak dirapihin?” Tanyaku pada Nganga.

“Nanti tenda lu gue aja yang bawa, Git” Jawabnya.

“Kompor gue mana ya, Nga?” Tanyaku lagi.

“Ada di tas gue. Tar gue juga yang bawa.” Ia meyakinkanku.

“Tendanya pasaknya lima ya, Nga. Punya Om gue itu..”

“Iyaaaa…” Ia tersenyum. Senyum yang manis sekali. (kalimat ini dibuat agar Ken Rangga senang)

“Ada yang mau sari kurma?” Tanyaku setengah berteriak. Nganga yang pertama nyengir, kemudian Caesa, lalu Bang Ardi tiba-tiba datang. Ah mereka ini, senang sekali sari kurma dan selalu belepotan meminumnya. Dan aku pasti memarahi :-D

Aku hendak menutup payungku yang semalaman terbuka. Payung ini dipakai Arya selama perjalanan.

“Aryaaa.. Kok payung gue rusak sih yaa? Yah.. kok patah? Yahh.. Aryaaa.. Ini punya emak gue, dapet dari Ibu-ibu PKK.. Aryaaa.. nanti gue bilang apa ke emak gue Yaaaaa?!!” Aku ngoceh tiada henti.

“Gak tau giiiiiiiit. Hahaha Sorry git..” Jawab Arya sambil cengar-cengir.

“Git, tangkep nih.” Teriak Kibo sambil hendak melempar sesuatu.

“Kibooo, itu kan kado buat kelompok! Nanti kan buat tukeran kado. Kok lu malah kasih gue?” Aku masih ngoceh tiada henti.

“Udah nih tangkep! Ni kado gue buat elu.” Ia melempar bungkusan. Aku menangkapnya.

“Buka gih.” Ucap Kibo lagi. Aku membukanya. Dan..

“Aaaaaaaaaahhhh.. Kibo so-sweeeeeeeeeeet!! Pasti emak gue seneng payungnya jadi cakepan. Makasih ya Kibooooo!” Aku senyam-senyum tak karuan. Terimakasih semesta. Masih sepagi ini aku sudah mendapat banyak hadiah.

“Gileee ini tas gue enak banget dah..” Tutur Arya sambil melintas dihadapanku.

“Yaudah sih Ya, tas gue emang gak enak. Lo mah gituu..” Aku merengut.

“Siapa yang tasnya paling berat? Tanya Uchil, Guide kelompokku.

“Aku chil, tukeran chil.” Jawabku.

“Ooo.. tidak bisa. Sini tak setting-in” Ia mengutak-atik settingan carrierku (pinjaman dari Bang Koko). Dan ajaibnya, setelah kupakai, jadi enteng. Kyaaaa :-D

“Ayooo.. Pulaaaang..” Teriak Arya.

“Arya, lo beneran pulang sekarang?” Tanya Caesa dengan suara manjanya. Kami sedih mendengarnya. Arya berkaca-kaca.

“Tiket gue hari ini, Sa..” Jawab Arya.

“Gue, Nganga, Kibo, Budi sama Ucup mau main ke Malang dulu..”

“Lain kali kita main bareng ya, Sa..” Kami saling berpelukan satu sama lain. Kemudian aku, Mbak Jun, Donny, Bang Hengki dan Arya bersama kelompok lainnya yang mengejar kereta akhirnya pulang duluan.

Selama perjalanan pulang aku lupa tak bawa air. Hehehe. Kami jalan dengan Tim Ayek-ayek yang beranggotakan Mbak Kunthi, Bang Faisal, Bang Ardi, Ida, Ratu dan Papa Meizal. Mbak Kunthi ini hebat, sempat membawakan air dari Sumbermani dan Ranu Kumbolo untuk ayahnya. Sementara aku, boro-boro bawa pulang air, baru beberapa meter melangkah saja sudah kehausan.

“Saya haus, tapi saya gak punya air..” Hahaha. Itu kalimat andalanku tiap kali melintasi kelompok lain yang sedang beristirahat.

“Sini minum.. Tapi nyedot dari waterbag.”

“Gakpapa Bang..” Jawabku. Dan baru-baru ini kuketahui kalau yang kuminta airnya itu bernama Mas Lovie. Beliau dari Sumatera. Eh, atau Kalimantan? Aku lupa. Pokoknya dari pulau seberang!

“Adik kecil ini Onta yah.. Hahaha..”

Perjalanan pulang sempat aku bertukar tas dengan Uchil, kemudian bertukar lagi dengan Mas Iwan (guide Tim Ayek-ayek). Aku bahkan tak tau tasku berada dimana. Ahaha. Cukup cepat karena perjalanannya turun. Namun kakiku masih panas bekas salonpas hot semalam. Menyesal sekali tak mematuhi saran Arif Budiman :-|

Sempat berbincang-bincang dengan PapaMei ketika perjalanan pulang. Aku pribadi tak mengerti mengapa beliau dipanggil papa. Aku juga baru mengenalnya hari itu. Ia tak berhasil muncak karena partnernya tak sanggup melanjutkan perjalanan. Dan ini pertama kalinya beliau mendaki. Namun sepertinya beliau lebih menikmati sensasi ketika berlari dan menikmati keunikan suatu daerah daripada mendaki gunung. Trip dia selanjutnya setelah Semeru adalah Belitong. Ikut dong Papaaaa :-D

Kami tiba di Ranu Pani pukul sebelas kurang sekian. Aku segera memesan Nasi Rawon ceplok dan teh manis di sebuah warung makan. Aku melahapnya seraya bertanya-tanya kepada para Guide.

“Mas, kok Rawone nggak ireng?”

“Disini susah nyari kluwak..” Jawab Uchil.

“Terus kok ra nganggo endog asin?” Tanyaku lagi.

“Gaktau, disini khasnya gitu. Beda ya sama di Malang?” Tanya Uchil. Aku mengangguk.

“Udah, Adik Kecil makan dulu, jangan lupa beli minum di warung sebelah ya..” Aku cengengesan. Tak lama setelah ngerawon dan nge-teh, aku membeli sebotol air mineral dan sebotol air ber-ion. Keduanya kuselipkan di kantung celana kanan dan kiri.

“Ayo yang sudah kelar makan siap-siap pulang ke Tumpang!” Instruksi dari Om Dedy. Kami segera menaikkan carrier-carrier kedalam truk bermuatan dua puluh lima orang. Aku duduk dipojokan. Donny berdiri didepanku seraya menjaga carrier agar tak berjatuhan. Aku tertidur selama perjalanan.

Kami baru tiba di Tumpang pukul dua siang. Sementara perjalanan ke Stasiun Malang bisa hamper sejam dikarenakan hujan yang tak henti-henti dan keadaan jalan di sore hari yang biasanya macet. Donny gelisah, Mbak Juni resah, Arya mengucapkan kata-kata sumpah serapah dan aku tak tau arah #abaikan.

Yang nggak enak gak usah dibahas yaaa..
Yang tau diem ajaaa :-D

Kami tiba di Stasiun Tumpang tepat pukul tiga sore. Sementara kereta Matarmaja tujuan Jakarta berangkat pukul 14.50. Aku segera menuju pintu masuk. Arya ini ajaib, ia menggunakan tiket dan KTP milik Mbak Kunthi. Mbak Kunthi tak jadi menggunakan kereta karena ia pulang naik bus. Aku membawa tiga tiket dan tiga buah KTP. Satu lagi milik Imam, kelompok tiga. Penjaga tiketnya merasa bingung memerhatikan kami yang berbeda dengan KTP. Aku alihkan saja perhatiannya.

“Mbak, Matarmajane durung mangkat?”

“Belum Mbak, keretane delay, ada keterlambatan.” Jelasnya sambil tersenyum dan mulai menyetempel tiket bahwa sesuai.

“Alhamdulillaaah.. Ayo mbak, cepet..” Kataku. Ia menyerahkan tiga tiket beserta ktp-nya.

Namun penderitaan tak berakhir disini. Kami hampir tertangkap security. Kebetulan Arya jalan terlebih dahulu ketika hendak memasuki peron, sementara aku dan Imam di belakangnya.

“Tiketnya mana mas?” Tanya Security.

“Itu pak, dibelakang. Saya lagi ribet nih.” Jawab Arya emosi karena dompetnya direbut Security. Arya membawa banyak tentengan kala itu.

“Mana tiketnya, mas? Gak bisa masuk!” Tahan Security itu lagi.

“Iki lho pak, tiket ning kulo. Ono telu, iki mas Kunthi, iki tiket kulo, iki tiket mas Imam..” Jelasku pelan-pelan.

“Ooo, monggo-monggo..” Aku tertawa terbahak-bahak melihat Arya dengan raut wajahnya yang kesal. Kami segera mendekat ke kereta. Namun seperti ada yang hilang.

“Donny!!!” Aku berteriak keluar pembatas peron.

“Gue nggak bisa masuk, Git!” Suara Donny terdengar pelan.

“Kenapa?”

“Tiket gue angus, belum dituker. Elu duluan aja gakpapa.” Wajahnya memelas.

“Hape gue di elu Don..” Ia menghampiriku seraya membuka tas pinggangnya kemudian menyerahkan ponselku. Security memerhatikan kami.

“Botol minum lu ada di gue, Don..” ucapku lagi.

“Gakpapa udah buat lo aja..”

“Gitaaaa.. Ayo masuuuuuuuk! Keretanya gak berenti lama!!” Teriak Arya yang sedang bersiap-siap masuk kereta. Aku menghampirinya.

“Lo ngapain sih?” Tanya Arya.

“Donny gak bisa masuk, Ar. Tiket Fast-paynya gak bis dituker. Minimal nuker sejam sebelumnya.”

“Yaudah sekarang gini, lo kan udah masuk, gue juga udah masuk. Kalo dia gak bisa masuk, itu urusan dia.” Jelas Arya sambil menyusun Carrier di kereta. Aku tak menjawab perkataannya.

“Git, lo duduk dimana?” Tiba-tiba Donny telah berada dibelakangku. Aku sedang menaikkan carrierku ke bagasi atas.

“Lah, kok lu bisa masuk?” Aku bengong.

“Ntar gue cerita.” Jawab Donny sambil berlalu. Aku segera merapikan barang bawaanku. Mengecek tempat duduk dengan tiket-tiket cancel yang tak terpakai. Kemudian mencari Donny yang entah dimana. Kereta mulai berjalan pelan.


(Bersambung ke cerita selanjutnya, bisa Klik Disini)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...