Monday 10 February 2014

Tertahan di Semarang - Purwokerto



Cerita Sebelumnya Klik >>> di sini :)


Di Kalimilk, kami yang pertama sampai. Setelahnya Mbak Ang dan geng-nya tiba. Opel dan Om Ardi menyusul kemudian. Beberapa orang yang tidak saya kenal juga turut hadir. Ternyata Jema’at Al-Cruiseriyah luas juga jaringannya. Yah, begitulah pejalan dan (bukan) pendaki. Dia lagi, dia lagi.

"Mam, lo pendiem ya?" Tanya Mas Yudis yang baru saya kenal hari itu.

"Lo mau gue kenalin cewe gak, Mam?" Sambung yang lainnya.

"Gue maunya ta'aruf." Ujar Imam kalem.

"Nggak papa, Mam. Ta'aruf juga. Nanti kalo lo nggak cocok tinggal bilang, 'sori kita nggak jodoh'. Terus cari lagi deh yang lain, niatnya ta'aruf lagi." Celetuk saya.

"Buahahahaha..." Mereka asik melanjutkan keakraban sementara saya dan Danang hanya sibuk dengan isi piring masing-masing. Saya ini aslinya memang pendiam, diam-diam bocor alus.

Seusai dari nyusu dan nenen di Kalimilk, kami pindah ke Jejamuran. Makan lagi, lagi-lagi makan. Geng-nya Mbak Ang ini asli koplak semua. Sepanjang perjalanan kami tertawa walau saya tahu beberapa hati terasa begitu tersayat oleh candaan-candaan yang begitu menohok batin. Halah, oposeh bahasamu, Git.


Sesaat sebelum pulang


Saya tak mengingat begitu banyak hal selama perjalanan pulang. Saya hanya ingin pulang cepat, itu saja. Mbak Ang mengantar kami sampai ke Terminal Jombor. Bus Ramayana tujuan Semarang menjadi pilihan kami untuk pulang.

***

Hujan turun dengan derasnya. Tak pernah merasa kasihan dengan banjir yang telah terjadi di berbagai kota. Tanpa peduli sedikitpun dengan roda-roda kendaraan yang selip karena licin dan bunyi rem yang gemericit di telinga. Ia terus mengguyur badan bus Ramayana yang kami tumpangi sehingga memberikan rasa dingin tanpa harus menyalakan AC. Namun tiba-tiba Ayah iseng menyalakan AC di atas kepala saya dan Imam.

"Ih, ngapain coba dinyalain. Dingin begini juga!" Protes saya sambil menutupnya kembali.

"Kan lu beli tiket bus Patas AC! Kalo nggak mau pake AC ya harusnya beli tiket bus Ekonomi sana!" Asli lah ni orang aneh banget -____-

Napak Tilas Solo - Jogja



Cerita Sebelumnya Klik >> di sini :)


Jum'at, 31 Jnuari 2014
 
Sesampainya di penginapan, kami melaksanakan shalat shubuh dan tidur sampai siang. Imam tak juga memberi kabar. Takutnya, ia kabur seperti beberapa hari sebelumnya. Imam pernah berjanji ingin ke Bekasi namun ketika saya menunggu bahkan hingga tengah malam, ia tak kunjung datang dan benar-benar tanpa kabar. Padahal hari itu hujan dan ia membiarkan saya kedinginan sendirian di tempat yang telah dijanjikan. Tega sekali, bukan? Pantas saja kekasihnya tega meninggalkan ia tanpa kabar. Wong dia sendiri kayak gitu.

“Jogja aja, yuk!” Celetuk Ayah tiba-tiba.

“Yuk! Kayaknya lagi rame, ya? Tadi Nganga, Cesa, Om Ardi, Opel update status di Jogja. Mbak Ang juga besok ke Jogja!” Sambutku antusias. Sementara Danang hanya mengikuti kemanapun kami pergi. Saya dan Danang segera membeli tiket kereta tujuan Yogyakarta pukul lima sore.

Solo hujan deras. Ada baiknya perjalanan ke Lawu kami batalkan. Saib dan Arvita memberi kabar bahwa Lawu badai dan mereka tak bisa bergerak. Terbersit rasa terimakasih kepada Imam sebagai porter yang ketinggalan rombongan. Namun tetap saja, kami masih kesal dengan Imam yang tak berkabar.

“Git, nanti kalau Imam dateng biasa aja, ya. Jangan tunjukin kalau kita kesal. Tapi kita bales pelan-pelan. Kita siksa dia di sepanjang perjalanan sampai pulang! Hahahahaha.” Ujar Ayah memprovokasi. Saya dan Danang tertawa ala penjahat. Setelah berkemas, kami kembali ke Stasiun Solo Jebres pukul empat sore.

Rasanya dejavu melihat sudut-sudut kota Solo. Kenangan bersama mantan terakhir terlintas dan berkelibetan di kepala hingga ruwet. Dulu, waktu masih bersamanya, jalanan ini saya lalui bukan dengan jalan kaki. Tapi naik motor ber-Plat AD. Namun sudahlah, tak baik mengingat yang sudah-sudah.

Tiba-tiba sebuah becak mendahului saya dan berhenti mendadak. Seorang pria dengan tas sebesar kulkas turun dari becak. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang teramat sangat sehingga sedikitpun senyum tak nampak dari wajahnya. Akhirnya Imam sampai walau satupun dari kami sudah tak lagi mengharapkan kedatangannya.

“Om, maafin gue ya om.” Ujar Imam sambil mencium tangan Ayah Riffat. Ayah tak mengeplak kepala Imam seperti ia mengeplak saya atau Danang. Ia malah tersenyum bijak layaknya seorang Ayah yang telah memiliki anak satu. Heuheuheu.

“Udah makan? Makan dulu, yuk.” Ajak Ayah kemudian. Kami segera menyambangi warung makan tedekat. Modelnya seperti angkringan. Saya hanya melahap pisang goreng dan segelas susu jahe. Hujan turun lagi namun mendung sudah tak menyelimuti wajah Imam. Ia seperti orang yang sudah setahun tak makan. Kurus kering layaknya orang patah hati. Kami mengamati ia makan dengan tatapan prihatin.

“Tadi tas gue kebawa sama anak-anak yang mau ke Merapi. Gue turun di Boyolali ngejar ini tas. Mana gede banget. Jadi kondekturnya ngira kalau ini tas mereka, jadi main diturunin aja. Untung tasnya di belakang, nggak ditaruh bagasi. Gue iseng ngecek ternyata bener kebawa turun...” Imam menghentikan makannya, memberi jeda dengan menenggak susu jahe saya.

“.... Terus supirnya nyuruh gue turun, dia bilang nungguin gue. Gue lari ke kerumunan anak-anak yang ke Merapi. Mereka pada bengong aja ngeliatin kerir gue ditengah-tengah. Akhirnya gue masuk, gue ambil tasnya, terus gue pake. Dengan santainya gue jalan tanpa basa-basi ke mereka. Keren kan gue?”

“NGAAK! LO LEMBEK! HAHAHAHAHA”


***


Kereta tujuan Yogyakarta datang terlambat, juga berhenti berkali-kali di sepanjang perjalanan. Opel tampak gelisah menunggu kedatangan saya. Padahal janjinya pukul enam sore saya sudah tiba disana. Namun hingga pukul delapan, kereta masih saja berhenti entah menunggu apa. Kesialan Imam sudah mulai menular kepada kereta; sama-sama lamban.

Ceritanya Silent Trip



SILENT TRIP, adalah sebuah perjalanan rahasia yang dilakukan secara diam-diam. Perjalanan ini disponsori oleh Ayah Riffat dan didukung oleh Bang Imam. Dek Danang, seorang murid SMAN 9 Semarang juga turut serta dan berperan sebagai yang termuda. Sementara saya hanya bertugas merekam kekonyolan dan kelakuan mereka yang pe’a ini.

Bermula dari Ayah Riffat yang merasa ‘gatel’ ketika melihat tanggalan akhir Januari yang berwarna merah dari Jum’at sampai Minggu, akhirnya mengajak Bang Imam halan-halan. Awalnya tujuan mereka ke Merapi, namun saya merengek agar membelokkannya ke Gunung Lawu. Tanggal sudah pasti, tujuan sudah jelas. Akhirnya saya membelikan mereka tiket kereta ekonomi tujuan Solo Jebres. Kereta Api Matarmaja Tambahan pukul lima sore keberangkatan dari Pasar Senen. Sementara Dek Danang menyusul dari Semarang dengan kereta yang sama pukul duabelas malam. Saya yang menyetting tempat duduk agar posisi kami berdekatan.


Kamis, 30 Januari 2014

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Saya terburu-buru mengendarai motor sepulang bekerja menuju Stasiun Bekasi. Sebelumnya saya sempat membeli nasi padang sebanyak dua bungkus dengan lauk ayam gulai. Entah mengapa hanya dua bungkus yang saya beli, padahal jelas-jelas nanti saya pergi bertiga. Bukan karena uang saya kurang, namun Uda penjual nasi padangnya budeg. Saya bilang tiga malah dibungkusin dua. Mau pesan lagi tapi terlanjur buru-buru. Akhirnya perjalanan selama di Commuter Line saya lalui dengan gelisah. Terlebih lagi kereta tujuan Pasar Senen yang tak kunjung datang. Sepuluh menit sebelum keberangkatan, saya baru tiba di sana.

Dengan tergesa-gesa, saya naik turun tangga. Mengejar kereta api Matarmaja Tambahan yang sudah siap untuk berangkat. Dari kejauhan, saya melihat sosok yang tak asing. Seorang Om-om berumuran 36 tahun dengan Jaket Kuning Salomon dan Carrier Osprey seri Tallon 44 berwarna biru terlihat mencolok diantara kerumunan orang. Saya pura-pura tak mengenalnya, namun ia lebih dulu menangkap sosok saya. Sebuah keplakan sadis mendarat di kepala saya. Saya resmi ditoyor Ayah Riffat.



“Agit pea!” Ujarnya sambil cengar-cengir. Saya hanya garuk-garuk kepala, bingung. Sementara panggilan kepada penumpang kereta yang akan saya tumpangi sudah terdengar sejak tadi.

“Imam mana?” Tanyanya lagi. Sambil berkali-kali mencoba menghubungi Imam yang entah dimana. Kami memutuskan untuk masuk duluan. Imam ketinggalan kereta. Tujuh menit sebelum kereta berangkat, ia masih berada di Stasiun Jatinegara. Kami hanya cekikikan menertawakan kebodohan Imam dan menjulukinya dengan sebutan Si Lamban yang Lembek. Imam segera memutar motornya ke Terminal Kampung Rambutan dan menyusul kami dengan menggunakan Bis Ayam.

Wednesday 29 January 2014

Antara Bandung dan Buku


Menurutku, Bandung pukul sepuluh pagi itu masih sama seperti Bandung pukul enam pagi. Dingin dan mendung. Rasanya malas bila harus segera pulang dari kota kembang penuh kenangan ini. Namun Nauvel memburu-buruku dengan alasan, "Kita harus ke Kineruku dan Palasari! Jajan buku!!"

Mendengar kata buku, akhirnya aku segera bangun dan bergegas untuk mandi. Mandi dengan guyuran air Bandung yang dingin menusuk tulang. Nauvel sering bercerita tentang Kineruku yang merupakan tempat asik untuk membaca dalam suasana tenang, sementara Palasari yaitu pusat buku murah di Bandung.

Setelah sarapan dengan Lontong Padang, Nauvel mengendarai motornya menuju Jalan Hegarmanah. Aku yang masih terkantuk-kantuk merasakan angin dingin menampar pipi. Kayaknya enak kalo bobo di pundak Opel. Uwuwuwuwu :3

Belum sempat aku tertidur, sampailah kami di Rumah Buku Kineruku; baca, dengar, tonton.



Disini, bisa baca buku sepuasnya dari pagi sampai malam. Bisa juga beli buku, nonton film, nyemil-nyemil kentang sampai ngopi-ngopi. Buku bacaan yang tersedia pun bermacam-macam dari mulai buku sastra, sosiologi, budaya, sejarah, arsitektur, seni, desain, filsafat hingga cerita wayang pun ada. Aku betah. Ditambah lagi suasananya benar-benar berasa sedang berada di rumah.

Aku dan Nauvel memilih sofa di halaman belakang. Nauvel membaca buku Rojak karya Fira Basuki sementara aku memilih Rectoverso milik Dee Lestari. Buku dengan cover berwarna hijau itu menarik perhatianku sejak melangkah masuk ke dalam Kineruku. Aku ingin membaca Firasat, Peluk dan Selamat Ulang Tahun. Entah mengapa. Kadang, kita tak perlu alasan untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan. Dan kadang, pilihan yang terbaik adalah menerima.

Ternyata, surga yang dimiliki Bandung tak hanya ada di Dago Pakar dengan kerlip lampu kota yang membinarkan mata. Disini, aku juga menemukan potongan surga.





"Nanti kapan-kapan kalau kesini lagi kita nonton film, ya. Sekarang baca buku dulu aja sambil bengong." Ujar Nauvel. Sebenarnya aku ini memang bawel dan banyak tingkah. Namun dihadapan Nauvel dan buku-buku sebanyak ini, aku bisa apa? :"

"Rasa hangat ketika kedua tubuh bertemu, rasa lengkap ketika dua jiwa mendekat, rasa rindu yang tuntas ketika kedua pasang mata menatap." - Rectoverso.

Kami menghabiskan waktu disana selama hampir tiga jam. Setelahnya aku merengek agar cepat pulang karena takut kemalaman sampai rumah. Mengingat saat itu Tol Cipularang masih amblas dan pasti akan macet sekali.

Masih ada potongan surga lainnya yang membuatku tak bisa apa-apa selain menunjukkan ekspresi wajah berbinar dan mendesis 'Waaahhh...'. Pernah melihat bagaimana ekspresiku bila melihat pisang? Ya, hal itu akan terjadi ketika aku melihat setumpuk buku.

Selanjutnya Palasari. Entah mengapa Bandung mendadak cerah bahkan bisa dikatakan panas. Padahal menurut Nauvel, hari-hari biasanya hujan lebat disertai suhu ekstrem yang membuat setiap detiknya seperti butuh pelukan. Kali ini lain, Bandung seolah menyambut kehadiranku. Hihihihi :D

Setibanya di Palasari, bayanganku terlempar ke Pusat Buku Pasar Senen. Kios-kios buku berjejeran dari buku bekas sampai buku baru. Nauvel melirikku heran ketika ku putuskan untuk membeli buku Dilema karya Alvi Syahrin. Iya, ia memang bukan penggemar teenlit. Sementara aku membeli buku ini hanya karena penasaran dengan gaya menulis Alvi. Beberapa waktu sebelumnya kami pernah bertemu dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Gagas Media dan Bukune.


Koridornya sempit sekali hingga badanku yang mungil namun lebar ini kerap kali menyenggol buku-buku yang tidak masuk ke dalam rak atau sekedar hanya ditumpuk di lantai. Setelah membayar dan Nauvel puas melihat-lihat, ia mengantarku ke terminal. Sebelum menaiki bis pulang, hadiah untuknya buru-buru kuserahkan. Coba tebak, aku kasih kado apa? Hihihi.

Selamat memasuki usia ke 23, travel-mate kesayangan.
Semoga kita bisa jalan-jalan lagi dan terus kembangin brand Menuju Jauh ini yaa ~~~\o/




**catatan: Bukannya nggak mau foto sendiri, tapi selama di Bandung aku merasa nggak butuh henfon. Jadi ya dimatiin aja henfonnya :)

Tuesday 28 January 2014

Bandung itu Kamu



Foto : Pidi-Baiq.tumblr.com

Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah Wilayah belaka, lebih jauh dari itu melibatkan Perasaan, yang bersamaku ketika sunyi. Mungkin saja ada tempat yang lainnya, ketika kuberada di sana, akan tetapi Perasaanku sepenuhnya ada di Bandung, yang bersamaku ketika rindu. - Pidi Baiq.


Sabtu, 25 Januari 2013.

Kereta Argo Parahyangan mulai bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Bekasi. Bunyi peluit petugas Stasiun menjerit panjang disambut dengan suara klakson kereta yang memekakkan telinga. Tapi bebunyian se-berisik itu seolah terasa kalah oleh gemuruh yang meletup-letup di dada.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...