Cerita Sebelumnya >>> Klik disini :)
Jum’at, 16 Agustus 2013
Ayah kedingingan di pojok tenda, ku
lepas sarungku dan ku serahkan padanya. Ayah ini sok jagoan sih, gak pernah mau
pakek sleepingbag. Emang enak kedinginan. Untung Agit pengertian.
Pukul setengah enam, Ayah keluar
tenda. Aku yang tidurnya tak nyenyak, segera memutuskan bangun dan re-packing. Ku lihat Ayah segera
merapikan barang-barangnya dan hendak melanjutkan perjalanan.
“Ayah turun sekarang?” Tanyaku
heran.
“Iya, Git. Mau registrasi buat lomba
lari besok. Agit ikut turun yuk.” Ia mengajakku, namun aku menolaknya. Aku mau
bareng tim Rinjani Icik-icik Ehem saja.
“Mas Bagus bangunin, Git. Semalem
udah pesen ke Ayah suruh bangunin katanya.” Ayah cengar-cengir. Aku garuk-garuk
kepala.
“Takut, ah, Yah.. Lagian juga masih
pagi.” Ujarku sambil mendekat ke tenda mas-mas, dan iseng membuka resletingnya.
“Udah bangun kok, Git… Jangan dibuka
tendanya, dingin.” Terdengar suara, entah siapa. Aku kabur sambil cekikian. Ku
lihat Ayah sudah berlari menjauh dari area camp. Aku bingung sepagi ini mau
ngapain. Segera ku rapikan barang-barangku dan menunggu yang lainnya bangun.
Aku menggelar sleepingbag milikku,
milik bang Fadly dan entah milik siapa yang ada ditenda menjadi selimut. Ku
selimuti Mbak Niza, Teh Farah dan Bang Fadly agar tidurnya lebih nyenyak dan
hangat. Biar gak bangun-bangun. Aku
cekikikan.
“Ngapain coba sleepingbagnya di gelar jadi selimut? Terus ditumpuk-tumpuk pula.”
Tanya Bang Fadly yang terbangun.
“Biar hangat, Bang. Hehehehe..” Aku
cengengesan.
“Bukannya dari semalem. Ini udah
pagi baru di selimutin. Bukannya dirapihin SB nya. Bikin kerjaan aja nih Agit.”
BF menggerutu. Aku kabur ke hutan untuk pipis. Juga tak lupa bermain-main
dengan monyet yang berkeliaran.
Ketika kembali ke tempat camp,
anggota timku sudah bangun semua. Ku lihat Mas Bagus sedang merebus air teh.
Aku menghampirinya. Ia menyeduh energen dengan air teh. Iya, air di Senaru ini
tidak begitu bagus. Banyak jentik nyamuknya sehingga harus disaring dan direbus
dulu sebelum diminum. Aku menyebutnya air kecebong. Hahahaha.
"Nyeduh energennya pakek air teh, Jhon?" Tanya Mas Ewok bingung.
"Iya, pakek air mana lagi? Enak kok." Jawabnya santai. Aku dan Mas Ewok latah menyeduh energen dengan air teh. Iya bener, enak kok :D
"Agiiiit.. Mukaku kok kering banget yaaa.." Ujar Mas Ewok sambil mengelus-elus pipinya.
"Sama, aku juga. Ngelungsungi kabeh" Sambung Mas Kiki. Iya, kulit kami sudah mulai menggelap dan wajah-wajah kami mulai menjelek. Kecuali Mas Bagus dan Mas Yuli yang mengenakan topi rimba sehingga wajah mereka aman terlindungi dari paparan sinar matahari.
"Pakek wardahnya teteh tuh, mau?" Tawarku. Mereka mengangguk dan aku segera meminta wardah milik teteh.
"Ini gimana makenya?" Tanya Mas-mas ini dengan mimik lucu. Hahahaha. Iya, mana ada cowok pakek krim muka. Aku cekikikan.
"Ya di pake aja, diolesin terus diratain." Ujarku sambil menahan tawa. Mas-mas ini pakai krim sedikit-sedikit. Sementara Mas Ewok memakainya sampai belepotan.
"Ya opo cuk, kakehan ikuuu! Koyok ingus mukamu! Hahahaha.." Celetuk Mas Kiki. Aku ngakak melihat wajah Mas Ewok seperti orang maskeran. Ku bantu meratakan krim di wajahnya sambil terus tertawa.
"Enak yaa.. Wajah jadi lembut." Ujar salah satu diantara mereka. Aku geleng-geleng melihat kelakuan Mas-mas ini.
Setelah semua siap, kami hanya
sarapan mie rebus dan melanjutkan perjalanan pulang. Treknya hutan dengan tanah
sebagai pijakan. Aku paling suka trek seperti ini. Bahagia rasanya ketemu hutan
dan suara burung. “Ibuuuu.. Cita pulaaaang…”
Hampir semua dari kami melintasi
jalur ini dengan cara berlari. Terus berlari dan berkejaran seperti anak kecil.
Seru! Namun yang menyedihkan adalah, kami kehabisan air. Botol minum Mas Bagus
juga hilang entah kemana. Aku memiliki cadangan air madu + gula yang cukup menyegarkan,
tapi juga habis ketika sampai di pos 2. Akhirnya ku beranikan diri untuk
meminta air kepada bule di sebelahku. Mas Galih bengong mendengarku berbicara
bahasa Inggris.
“Nih, Mas.. Minum.” Tawarku kepada
Mas Galih. Ia menenggaknya sambil mesem-mesem. Aku tau, ia pasti sedang
berpikiran agar aku mengajaknya berkenalan dengan Bule itu. Aku tau.
Kurang lebih tiga jam, akhirnya kami
keluar pintu hutan. Berfoto-foto ria dan beristirahat cukup lama.
“Agit, lulus kapan?” Tanya BF
tiba-tiba disaat kami sedang berkumpul.
“Dua tahun lagi kayaknya, Bang.”
Jawabku.
“Dua tahun lagi berarti Mas Bagus
udah 29 loh, Git. Jangan main-main!” Ujarnya serius. Aku kaget. Apaan sih ini >_<
“Udah, Guuuuss.. Buruan tembak..”
Paklek Andi mengompori. Mas Bagus tersenyum menatapku. Mulutku gatal pengen
nyeletuk.
“Agit gak pengen ditembak, maunya
dilamar. Eaaaaak…” Tuh kan, keceplosan.
“Eaaaakkk.. Tak Kode-kode.. tak
kode-kode.. tak kode-kodeee…” Mas Galih bernyanyi sambil joget-joget. Mas-mas
yang lain mengikuti. Aku dan teh Farah ngakak.
“Nanti kalo beneran dilamar gimana,
Git.. Serius lhoo kamu..” Paklek Andi bocor nih, kayak tabung gas lpg 3kg -_-
“Yaaa udah, tinggal nyiapin mahar
sama tempat tinggal aja. Gedung sama catering udah ready kok buat resepsi.” Jawabku serius. Entah yang lainnya
menganggap ini bercanda atau tidak. Ku lihat BF hanya bengong melihatku. Iya,
BF tau, aku memang ingin nikah muda, tapi calonnya yang gak ada. Hahahaha.
“Enak lho, Gus, sama anak kecil,
masih kinyis-kinyis, bisa dikibulin. Hihihi.” Ujar Mas Galih sesat. Yang lain
tertawa.
Tiba-tiba dua ekor angsa melintas
dan berisik. Aku menirukan suaranya..
“Ewooookk.. Ewoooookk.”
“Hahahahahaha…”
Mas Ewok hanya cengar-cengir.
“Turun yuk. Mau nata de coco nih,
kebawa sama Ayah.” Ajakku pada semuanya. Namun tak ada yang berdiri.
“Tuh, Gus.. Ikutin Gus..” Ujar yang
lainnya. Terdengar suara ‘Cieeeeee’ dari kejauhan. Dan Mas
Bagus benar-benar di belakangku. Kami melintasi rombongan porter yang sedang
beristirahat.
“Misi paaaakk..” Sapaku, namun
mereka menjawab secara kompak.
“Cieeeeeeeeeeee…..” Hah??!!
Orang-orang ini kenapa sih -______-
“Mas Bagus mau duluan?” Tanyaku.
“Enggak, Dek Agit duluan aja. Aku di
belakangnya.”
“Gakmau lari lagi?” Tanyaku iseng. Mas Bagus jangan lari lagi.. Agit takut
tertinggal jauh dan nggak bisa ngejar. Jangan lari lagi dari hidupku :'( *halah* *dikeplak*
“Enggak. Dek Agit mau lari?”
Tanyanya balik. Aku memutar bola mataku, mencari jawaban.
“Kalo lari-lari di pikiran Mas
Bagus, boleh?” Addduuuuuh. Keceplosan lagi.
Inget Git, orang kayak gini jangan dimodusin, pantasnya diseriusin >_<
“Hahahahahaha…” Aku tertawa, ia ikut
tertawa. Kemudian yang terjadi selanjutnya hanya hening dan krik-krik di
sepanjang jalan menuju basecamp.
Sesampainya di basecamp, Ayah menyunggingkan senyum ketika melihatku tiba bersama
orang yang aku… *sensor*. Ayah menyodorkanku nata de coco dan
memperkenalkanku kepada teman-temannya. Setelah leyeh-leyeh sebentar, Aku melepas
sepatu dan menggantinya dengan sandal, kemudian re-packing dan hendak membersihkan badan.
“Ada oraaaang?” Tanyaku sambil
mengetuk pintu toilet.
“Adaaa..” Suara Mas Ais terdengar
seperti menahan sesuatu. Aku iseng memburu-buruinya. Namun ketika sudah kelar,
aku malah meninggalkannya pergi. Hahahaha
“Agit lhooo, nakaaal. Aku agek ngising diburu-buru. Saiki malah
mlayu.”
Setelah pembayaran porter dan sewa
mobil untuk pulang kami dapatkan, akhirnya kami beristirahat di rumah warga
untuk makan, mandi dan beres-beres. Aku menjahit celanaku yang sobek, kemudian
memakainya.
Ba’da Ashar, perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Kuta, Lombok. Kami berpamitan dengan Ayah dan menyemangatinya untuk lomba besok. Semoga Ayah menang, biar kita kebagian jatah traktiran :)
Ditengah-tengah perjalanan, mobil
elf yang kami naikki berganti supir. Kemudian Pak Supir selalu menaikkan
penumpang lain padahal jelas-jelas mobil elf ini telah kami sewa. Hari semakin
malam dan kami hanya bersungut-sungut karena adanya penumpang lain yang membuat
kami merasa sungkan untuk bercanda atau ngakak seperti biasanya. Pak Supir juga
tak ramah, tiap kami meminta tolong untuk berhenti di alfamart atau ATM, ia
terus mengoceh menggunakan bahasa daerahnya.
“Ke Kuta malam-malam gini gak berani
saya, dek. Masih rawan daerah itu. Saya antar saja lah ke Praya atau Mataram.”
Ujar dia tiba-tiba. Padahal kesepakatan awal dan pembayaran dimuka telah kami
lunasi. Kami sempat bersitegang dengannya. Aku yang tak mengerti urusan
pembayaran hanya diam dan menguap.
Apa guna teman bila tak untuk
direpotkan?
Mas Ewok menelfon temannya yang
kebetulan memiliki rumah di daerah yang lokasinya tak begitu jauh dari tempat
kami berada.
Kami ketemuan di pom bensin.
“Agit mau ikut naek motor temannya
Mas Ewok aja boleh, ndaaaak?” Rengekku pada BF. Ia pasti tau kalau aku sangat
merindukan Albert.
“Ndak boleh, nanti Agit masuk
angin.” Ujar BF bijak.
Sesampainya di rumah Mas Ilman
(teman Mas Ewok, yang juga teman dari Mas-mas Surabaya ini), kami berdebat
masalah pembayaran dan ganti rugi karena hanya diantar sampai setengah
perjalanan. Dan yang mengejutkan adalah, Supir kedua ini ditipu oleh supir yang
pertama. Supir pertama tak memberikan uang sewa yang full pada supir kedua. Kepalaku pusing, badanku juga sudah mulai
hangat. Aku memilih beristirahat dan tidak ikut campur.
Malam itu kami makan Ayam Taliwang,
Oishi dan pisang. Batukku semakin parah, aku merasa demam. Setelah dicekokin
obat oleh Teh Farah, aku memutuskan tidur.
Yang kelakuan Saib di Rumah Mas
Ilman ndak usah di-share ya ^_^
Sabtu, 17 Agustus 2013
Aku telah bangun dari jam empat
shubuh karena batuk yang semakin menjadi-jadi. Batuk aja cepet jadi, hubungan kita kok gak jadi-jadi? *dikeplak*
Segera ku sambar handuk dan mandi
keramas. Bukan, bukan karena aku mimpi yang aneh-aneh. Tapi karena sudah seminggu
aku ndak keramas. Cukup lama aku
menunggu yang lainnya bangun. Ku habiskan waktu untuk mengutak-atik twitter
yang sudah seminggu ku tinggal, sekedar memantau perkembangan dunia maya dan
iseng membuat beberapa status yang sukses bikin heboh timeline pagi itu.
Timeline Super Kode Rinjani namanya :D
Oh, iyaa.. Selamat Hari Kemerdekaan
Indonesia yang ke-Sekian.. Dirgahayu Indonesiaku :’)
Hari ini hari terakhir kami bersama,
besok sudah saatnya pulang dan kembali menjalani hidup yang sesungguhnya.
Senang mengenal kalian selama seminggu ini. Berbagi canda, tawa juga rasa. Suaraku mulai serak sehingga menyebabkan aku jauh lebih diam dari biasanya. Perasaanku juga tak karuan dan bingung harus bagaimana. Benar kata Ayah, Aku mati gaya.
Wajahku cemong, begitu pula yang lainnya. Pagi itu kami saling menghujat dan menertawakan wajah masing-masing. Begitu lucu dan menggelikan. Wajah Mas Galih dan Mas Ewok bersisik. Wajahku dan Mbak Niza menggelap. Wajah Teh Farah menghitam di bagian hidung. Sementara wajah Mas Kiki terlihat menua. Hahahaha. Ia seperti kakek-kakek dengan banyak keriput di wajah. Isengnya lagi, Mas Ewok sempat candid dan nge-share foto Mas Kiki di twitter.
iling umur, wes keriput kabeh ngunu XD |
HAHAHAHAHAHA XD
MAAP MAS GAMBLES, AGIT KHILAP!!!!
============== batas kekhilafan ===============
Kami sarapan dengan nasi bungkus berbentuk kerucut. Aku makan dengan malas.
"Makan yang banyak, Git.." Celetuk Mas Bagus yang duduk diseberangku.
"Agit makannya dikit, Mas.. Tapi sering." Jawabku pelan.
"Kenapa? Takut gendut ta?" Tanyanya kemudian.
"Agit gak pernah takut gendut, agit takutnya kehilangan..." Jawabku ngasal. Yang lainnya cekikikan. Paklek cengar-cengir.
"Mukanya kenapa daritadi ditutupin?" Tanyanya lagi.
"Gosong.." Jawabku sedih. Tak lama, ku lihat status twitter Mas Bagus seperti ini..
Kenapa takut gendut?
ATM gendut aja banyak yang ngantri :)
atau ini
Kenapa takut gosong?
Kereta gosong aja banyak yang nungguin :)
Sayangnya, aku bukan kereta. Juga bukan ATM.
Gak ada yang nungguin, apalagi ngantri.
Ciyeee.. Agit Galau.
Gak ada yang nungguin, apalagi ngantri.
Ciyeee.. Agit Galau.
*skip* *skip*
Kami berpamitan pulang pukul sepuluh pagi. Mas Ilman membantu kami dalam menyewa mobil dengan memilih jasa travel terbaik namun dengan harga yang relatif murah. Mobil elf yang kami naiki pun jauh lebih bagus dari yang sebelum-sebelumnya.
Aku duduk dipojok kanan, kemudian menyandarkan kepalaku ke jendela. Aku tak enak badan. Mungkin sakit yang kurasakan ini akibat menolak hadirnya cinta. Mungkin. Aku tak mau pusing-pusing memikirkannya.
"Tak temenin duduk disini ya, Git.." Ujar Mas Bagus yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku tak banyak bicara dan mengenakan buff di sepanjang perjalanan. Kulirik ia masih saja sibuk dengan ipinnya. Berbeda denganku, aku adalah tipe orang yang tak akan memegang henfon ketika sedang fokus dengan lawan bicara. Namun lawan bicaraku nampaknya tak tertarik untuk berinteraksi denganku.
"Mati kutu sodaraaaa!!" Celetuk Mas Galih tiba-tiba. Yang lainnya tertawa.
"Merdeka itu sederhana, gak ngerebut jodoh teman misalnya.. Hahahaha." Sahut yang lainnya. Bang Fadly menyadari aku yang bingung mengartikan kalimat mereka.
"Agit bikin path dong." Ujar Bang Fadly. Udah punya, Bang. Cuma aplikasinya gakmau nyangkut di henfon ini. Huh. Sekarang aku mengerti, nampaknya yang disebut-sebut barusan itu status Path nya Mas Bagus.
Setelah ke pusat oleh-oleh dan kerajinan tenun sasak, kami menuju Pantai menjelang sore. Mobil elf melintasi pusat kota. Terlihat oleh kami jejeran gedung-gedung perwakilan rakyat dari kantor dinas hingga walikota.
"Oh, disini kantor walikotanya." Ujar Paklek Andi. Mulutku gatal pengen nyeletuk.
"Kalo KUA, dimana?" Tuh kan, keceplosan lagi.
"Eaaaaaaaaakkkk.... Tuh, Guuuuus... Kodeeeeeeeeee...." Aku cengar-cengir dibalik buff yang ku kenakan.
Tujuan kami tetap seperti semula, Pantai Kuta Lombok, kemudian ditambah ke Tanjung Aan. Awalnya kami sudah main-main di Pantai Kuta, namun Pak Supir meracuni kami agar sekaligus mampir ke Tanjung Aan. Menurutnya Tanjung Aan memiliki pemandangan yang lebih bagus dari Kuta, tapi ternyata kami lebih nyaman di Kuta. Jadilah kami seperti turis labil yang muter-muter dari Kuta - Tanjung Aan - Kuta lagi.
"Oh, disini kantor walikotanya." Ujar Paklek Andi. Mulutku gatal pengen nyeletuk.
"Kalo KUA, dimana?" Tuh kan, keceplosan lagi.
"Eaaaaaaaaakkkk.... Tuh, Guuuuus... Kodeeeeeeeeee...." Aku cengar-cengir dibalik buff yang ku kenakan.
Tujuan kami tetap seperti semula, Pantai Kuta Lombok, kemudian ditambah ke Tanjung Aan. Awalnya kami sudah main-main di Pantai Kuta, namun Pak Supir meracuni kami agar sekaligus mampir ke Tanjung Aan. Menurutnya Tanjung Aan memiliki pemandangan yang lebih bagus dari Kuta, tapi ternyata kami lebih nyaman di Kuta. Jadilah kami seperti turis labil yang muter-muter dari Kuta - Tanjung Aan - Kuta lagi.
Kuta Lombok |
Ini Panorama Tanjung Aan |
"Orang gunung berteriak girang menjejak pantai, anak pantai bergumam kagum mendaki gunung."
Terlihat jelas raut-raut wajah gembira dari kami semua ketika menjejak pantai ini. Terutama Mas Galih dan Bang Fadly yang langsung membuka bajunya dan berlarian bersama ombak. Mas Kiki dan Mas Bagus sibuk memotret, Mbak Niza dan Teh Farah sibuk narsis berdua, sementara aku dan Mas Ardi sibuk membuat tulisan di pasir.
"Mbak, beli kainnya dong mbaaaak.." Ujar seorang gadis asli Lombok menghampiri kami yang kemudian menggelar barang dagangannya. Postur tubuhnya kecil, dengan kulit yang legam khas pantai serta mimik muka keras ketimuran.
"Nggak, Mbak.. Makasih." Jawab kami kompak.
"Beli dong, Mbak. Masa jauh-jauh kesini gak beli apa-apa." Ujarnya sewot.
"Uangnya nggak ada, Mbak."
"Mana mungkin gak ada uang tapi bisa kesini?" Hey! Lu orang jualan apa ngajak ribut?!!
"Ya uangnya kepake buat yang lain, buat ongkos pulang. Tadi kita juga udah beli kain di kotanya. Nih kainnya." Sahut kami sabar.
"Ya disana sudah beli, disini juga beli dong, Mba.. Gak adil mbak ini." Ujarnya terus memaksa.
"Yaudah, berapa harganya?" Ujar Mbak Niza tiba-tiba. Entah memang ia berniat beli atau tidak. Setelah dilakukan tawar menawar harga yang cukup njelimet, akhirnya Mbak Niza meraih kain sarung khas Lombok. Tak lama beberapa pedagang lainnya datang menghampiri.
"Mbak.. Beli punya saya juga dong!"
"Saya juga mbak!!"
"Punya saya juga. Ini lebih murah dari punya dia. Punya dia mahal. Mbak dibohongin itu."
"Mbak curang, beli punya dia, tapi gak beli punya saya. Itu gak adil namanya, Mbak!!"
"Bohong kalau mbak bilang gak punya duit, benar-benar hilang nanti saya sumpahin duitnya!"
"Kalau beli punya dia, harus beli punya saya juga, Mbak. Gak punya otak mbak ini!!"
Dan yang terjadi selanjutnya, adalah misuh-misuh menggunakan bahasa JawaTimuran. Aku benar-benar ndak paham dengan cara mereka berdagang. Ini jelas pemaksaan namanya. Mas Kiki yang terlihat paling kesal.
Kami bahkan sampai lupa tak makan siang karena terlalu senang bermain. Bang Fadly sempat dikubur di dalam pasir. Namun fotonya terlalu vulgar untuk diperlihatkan ke media. Ndak lulus sensor di blog Agit. Maaf ya, Bang ;)
"Hmm.. Agit, foto dulu yuk, disana." Ujar Mas Bagus tiba-tiba. Aku hanya mengekornya. Kemudian ia duduk di pasir. Yang lainnya sorak-sorai bergembira di belakang kami.
"Agit duduk sini." Ujarnya. Aku terlihat kikuk.
"Kurang rapet, Jhoooooooooon!!!" Teriak Mas Ewok. Kami mendekatkan posisi duduk. Namun masih ada jarak yang tersisa.
"Lagiiii.. kurang mepeeet!" sial. Mau buat apaan sih foto ini.
"Nah, Agit kepalanya nengok sedikit ke Mas Baguuuus." Astaga. Linggih nang kene ae wes ndredeg ngene, opo maneh noleh. Iso copot atiku.
"Gak papa kan, Git?" Tanya Mas Bagus tiba-tiba.
"Iyah.. Nggak.. Gak papa." Jawabku terputus-putus. Aku masih mengatur detak jantungku sedemikian rupa. Tangan kananku refleks meremas-remas pasir. Apa kabar, Agit yang setiap liat kamera jadi anak cengengesan? Kenapa sekarang mati gaya?
"Udah belum?" Tanyaku seperti anak kecil bermain petak umpet. Gak mau lama-lama ada di sebelah Mas Bagus. Iya, gak mau lama-lama, maunya selamanya T_T
Mas Bagus menghampiri mas Ewok. Mengutak-atik kamera ipinnya. Bang Fadly cengar-cengir menatapku. Aku balas tatapannya dengan makna seperti ini, "Abang, gimana dong ini?"
"Ayooo, satu kali lagiiiii... Satu.. Duaa.. Tiga!!"
KLIK
NowPlaying : BIP - Pelangi dan Matahari :') |
Hari semakin sore, perut kami pun semakin lapar. Akhirnya sebelum sunset turun, kami memutuskan untuk pulang.
"Ayo, Mas.. Pulang." Ujarku pada Mas Kiki yang masih saja mengutak-atik kameranya.
"Nanti dulu, bikin ending dulu. Nanti pada gandengan tangan menghadap sana, terus lompat bareng-bareng ya." Mas Kiki memberi instruksi.
Kami segera membuat barisan dalam satu saf. Mas Kiki meraih tangan kiriku, sementara di sebelah kananku tak ada yang mau mengisi. Semuanya menjauh dariku. Ada apa sih? Aku bingung.
"Lhooo, kok gak ada yang mau di sebelah Agit?" Yang lain cengar-cengir. Tiba-tiba Mas Bagus menghampiriku. Aku bungkam seketika.
"Tanganku kotor ya Git.." Ujarnya sambil menepuk-nepukan tangan ke celana.
Kemudian ia meraih tangan kananku,
dan menggenggamnya.
Jantungku berdetak tak karuan.
Aku berhenti bernapas.
"Itungan ketiga lompat yaaa... Satuuuu... Duaaa... Tigaaaaa!!!!"
Kami lompat bersamaan,
Berteriak,
Tertawa lepas..
Sampai akhirnya genggaman kami yang terlepas...
Sampai jumpa, Kuta..
Terimakasih sore ini...
Bersambung Kesini >>> Perpisahan di Bawah Langit Praya :)