Perjalanan menuju Arcopodo dimulai. Kami
membentuk satu barisan. Dan team-team yang summit ini disebut dengan Team
Mahameru. Entah apa yang salah dengan headlamp
yang kukenakan. Tiba-tiba lampunya lepas dan batereinya terpental.
“Anjrit.. Kok bisa.” Ucapku kala itu.
Donny membantuku memasangnya lagi. Padahal jelas-jelas headlamp milikku agak sulit dibuka, lalu kenapa bisa tau-tau lepas?
Entahlah.. Aura mistis sepertinya mulai mengikutiku yang sedang datang bulan.
Kami berjalan dalam diam. Tak bercanda
seperti perjalanan malam sebelumnya. Hanya memberi instruksi bilamana ada
lubang, batu atau akar yang melintang. Perjalanan terus merangkak naik hingga
Arcopodo. Struktur tanahnya lembab bekas hujan namun tak terlalu licin. Jalan
malam kali ini santai sekali karena sebentar-sebentar beristirahat. Menyesuaikan
diri dengan oksigen yang mulai menipis. Satu jam kemudian kami tiba di
Arcopodo. Membuka bekal makanan dan mulai memasang gaiters.
Tak lama, sampailah kami di Cemoro
Tunggal. Mahameru yang begitu besar terlihat kokoh dengan lampu-lampu yang
berasal dari headlamp para pendaki
yang merangkak naik terlihat seperti barisan semut berkelap-kelip. Angin gunung
dimalam hari membuat bulu kuduk berdiri. Beruntung sekali trek pasir Mahameru
juga lembab bekas hujan. Tidak seperti di film-film yang mengatakan naik lima
langkah, turun dua langkah. Jarang juga ada batu-batu yang menggelinding. Ikuti
saja pijakan kaki yang telah ada, tak usah repot-repot buat pijakan baru.
Detik dan menit telah berlalu, jarum jam
telah menunjukkan angka yang berbeda. Sudah hampir jam empat namun puncak belum
juga kuraih. Timku berpencar. Dengan Mbak Jun yang paling dulu, disusul Donny
dan Bang Hengky. Sementara aku yang Onta ini akan terus menempel dengan Ucup.
Sampai akhirnya aku gemas menunggu Ucup yang lama dan merangkak sendirian tanpa
air. Terus merangkak dan merangkak dengan bantuan tongkat sakti pinjaman dari
Arif Budiman. Sesekali istirahat dan membuka cemilan. Nafas terasa berat sekali
pagi itu. Angin gunung membuat beberapa pendaki tertidur. Aku selalu
membangunkan mereka yang ketiduran di jalur.
“Ucuuuuuuuuuuuuupp..” Teriakku tiap kali
beristirahat. Namun yang dipanggil tak juga terlihat. Sampai akhirnya aku
menemukan Bang Faisal yang muntah. Entah masuk angin atau kebanyakan minum. Aku
memukul-mukul pundaknya dengan tongkatku. Ia menutup muntahnya dengan pasir.
Kemudian kami melangkah bersama. *ciyeeeee*
Bang Faisal ini anggota kelompok satu,
Tim Ayek-ayek. Beliau sudah sering mendaki gunung, adventurer sejati. Namun baru kali ini mencumbu pasir Mahameru,
sekaligus memuntahinya. Bang Faisal lah yang menemaniku menuju puncak tertinggi
di pulau Jawa. Beliau sabar sekali menungguku beristirahat. Seringkali
ketiduran dan bangun dengan mata berwana merah.
Partner kami ada Mbak Kunthi dan Bang
Ardi. Bang Ardi adalah ketua Tim Ayek-ayek yang bersumpah akan minum kiranti
apabila seluruh anggota kelompoknya berhasil muncak. Bang Ardi doyan semua makanan yang aku keluarkan
dari dalam tas, kecuali soyjoy. Suka belepotan kalau minum sari kurma, tapi
nambah terus. Bang Ardi juga orang yang selalu aku minta minumnya dan sampai
saat ini mengejekku dengan kalimat, “Saya hauus, tapi saya nggak punya
aiiiiir…” :-(
Hari mulai terang, namun kaki tak juga
sampai. Dua kali melewati puncak bayangan yang kusebut puncak bohongan. Mahameru
benar-benar pemberi harapan palsu. Sempat bertemu lagi dengan rombongan Cirebon
yang sudah turun duluan. Hebat sekali , sampai dipuncak jam berapa mereka kalau
jam segini sudah turun? Bunyi mereka ketika berjalan khas sekali. Gantungan
tas-nya seperti bunyi lonceng sapi. Klenung.. klenung… Mengingatkanku pada
seseorang yang entah mengingatku atau tidak. #abaikan
“Ini rombongan Cirebon yang kemarin
ketemu di Pos 2 bukan? Kalo jalan kayak sapi. Klenung klenung..” Sapaku ketika
mereka beristirahat didekatku berdiri.
“Iyaa.. Mbak yang rombongan dari Jakarta
ya? Kemarin kita dikasih Rainbow Cake alias dodol dari Kalimantan samaaa…”
“Sama saya maas!” Jawabku riang.
“Woo, ini orangnya. Kemarin gelap, nggak
keliatan. Kemarin Mbak-nya juga pake jas hujan. Asale pundhi mbak? Saget mboso Jowo tha?” Tanya salah satu dari
mereka.
“Solo mas, Wonogiri.”
“Wah, Baksoooo..” Ujar mereka hampir
berbarengan. Kemudian kami semua tertawa.
“Ayo mbak, semangat. Puncak sebentar
lagi.” Aku segera pamit dan melanjutkan perjalanan. Sebelumnya habis dikasih
biskuitdari mereka. Hehehe. Dan kutemukan Bang Faisal yang ketiduran diatas.
Aku mengajaknya jalan lagi.
Sudah hampir jam tujuh dan kami tak juga
sampai. Entah dimana puncaknya, kabut perlahan turun membuat jarak pandang
semakin buram. Soyjoy dan susu kental manis putih adalah menu sarapanku waktu
itu. Sambil sesekali menenggak sari kurma yang mampu mengisi perutku. Bang
Faisal juga memberiku cokelat sebagai tambahan sarapan. Satu jam berlalu dan
seseorang memanggilku dari atas.
“Giiiiiiiiiiiiiiiit… Ayo sebentar
lagiiii!!”
“Itu siapa siiiiiiiiiiih? Gak
keliataaan!”
“Donny Giiiit!!” Kemudian ia, Mbak Jun
dan Bang Hengky turun menghampiriku.
“Gue gak punya aiiir… Ucup gaktau dimanaa..” Suaraku melemah.
Mereka memberikanku air.
“Kalian mau turun? Terus gue dipuncak
sama siapa?” Aku sedih sekali waktu itu.
“Masih banyak orang kok git diatas” Ujar
mereka. Ah! Percuma banyak orang kalau bukan kalian. Kalian kok tega sih. Aku
mengumpat dalam hati.
“Yasin nungguin lo git diatas.” Ujar
MbakJun membuatku semangat lagi. Bang Yasin, tunggu aku dan jersey “ Meru 13 “
punyaku!! Mereka kemudian pergi meninggalkanku.
“Kunthi bakal muncak buat Ayaaaah!” Mbak
Kunthi terlihat semangat. Dan aku? Aku akan muncak untuk siapa? Kukuh? Peduli
apa dia terhadapku?!! Ibu? Ibu juga tak peduli mau aku sampai puncak atau
tidak. Siapa yang selama ini menyemangatiku memuncak?
“Gue bakal muncak buat Pires yang lagi
di Papandayaaaaan!!!” iya, Pires, Arif Budiman. Orang yang dari awal membantuku
mewujudkan ide gila ini. Ia sedang berada di Papandayan merayakan tahun baru
dalam sebuah acara yang sama sepertiku.
Dan kabut semakin gelap. Gerimis mulai
turun. Aku down. Untuk apa lagi aku
muncak jika diatas tak ada apa-apa? Namun Bang Faisal tetap menungguku.
Berkali-kali aku bertanya ‘yakin bang muncak?’ namun ia hanya menjawab dengan
senyuman. Tanpa sedikitpun bicara. Sementara Mbak Kunthi dan Bang Ardi telah
jauh diatas.
Sampai akhirnya trek pasir itu telah
berganti dengan bebatuan yang membentuk seperti tangga. Kutapakki perlahan,
merangkak, memanjat dan meraih tangan Bang Fai untuk ditarik.
Dan aku akhirnya sampai,
Di titik tertinggi pulau Jawa,
3.676 meter diatas permukaan laut,
Mahameru yang berkabut,
Air mata berjatuhan lembut,
Mentari pertama ditahun yang baru turut
menyambut,
Samudera awan itu benar-benar ada,
Diatas lampu-lampu kota,
Pantai, laut yang menghampar dibagian
sana,
Menghadap Bromo, Arjuno, Welirang,
Argopuro,
Bukit demi bukit yang telah terlalui,
Jatuh bangun yang telah terlewati,
Egoisme yang tak terbendungi,
Semua bergantian hadir dihadapanku,
Terimakasih semesta…