Setiap
orang pasti punya harapan. Sekecil apapun itu. Walau tahu bahwa
harapannya mustahil, walau sadar jika harapannya terlalu jauh untuk
digapai. Bahkan seringkali harapan-harapan tersebut dicemooh orang lain.
Tapi di dalam hati setiap orang, tentu ada harapan. Dari yang
sederhana, hingga yang setinggi langit.
Bagaimana
dengan mereka? Adik-adik kecil berseragam pramuka dengan alas kaki
seadanya. Masih kah mereka memiliki harapan? Sanggupkah mereka
mewujudkan harapan-harapannya?
***
Bermula dari keisengan seorang teman, Mbak Intan, yang mem-forward sebuah twit dari @relawan_kfp.
Isinya tentang ajakan menjadi relawan pendidikan di Pandeglang, Banten.
Syaratnya sederhana, yaitu blogger aktif atau fotografer. Pendaftaran
yang berlangsung singkat itu akhirnya terpilih 10 orang dari 120
pendaftar. Dan saya termasuk salah satu yang beruntung diberi kesempatan
jalan-jalan sekaligus mengajar disana. Alhamdulillah, rejeki mahasiswa
sholehah.
Jum'at, 19 September 2014 adalah hari keberangkatan yang telah ditunggu-tunggu. Meeting point ditentukan di Terminal Kampung Rambutan, pukul sembilan malam. Namun hingga waktunya tiba, Pak Dosen masih saja berceloteh tentang materi yang diajarnya. Sudah perut lapar, teman-teman
juga mulai berisik memburu-burui saya. Untunglah, Hanis siap sedia
mengantar saya melintasi kalimalang dengan kecepatan seperti Komeng dan
motornya yang selalu terdepan.
Sesampainya
di Terminal Kampung Rambutan, saya memperkenalkan diri dan disambut
hangat oleh teman-teman lainnya. Saya terharu, betapa mereka begitu
sabar menanti saya. Walau saya tahu bahwa penantian mereka berujung pada
kekecewaan. Iya, saya ndak bawa makanan apa-apa soalnya. Setelah
basa-basi sebentar (sekaligus menunggu saya yang nyusu dulu sampai
tuntas), akhirnya kami memulai perjalanan tepat pukul setengah sebelas
malam. Bismillah...
***
Seperti
yang kita tahu, jalanan malam hari kota Jakarta menuju Banten bisa
dikatakan sepi. Paling-paling diramaikan oleh truk dan kontainer besar
yang memang jam operasionalnya jam segitu. Saya terkantuk-kantuk
bersandar pada jendela mobil. Ayunan kepala seirama dengan lagu dangdut
yang menemani malam panjang kali ini. Perkiraan waktu untuk sampai
di tempat tujuan adalah tujuh jam, saya sudah pusing duluan. Ditambah perut
yang semakin lapar tak karuan.
Tenanglah, kawan.
Ini akan jadi hal yang menyenangkan!
Setelah
keluar dari akses tol terakhir, melintasi kawasan industri dengan
cerobong pabrik yang mengeluarkan asap hingga membuat langit sekitarnya
terlihat terang (tidak gelap seperti malam hari pada umumnya), hingga melewati
jalanan yang naik turun dan rusak seperti akses Pantura - Kendal yang
tidak kunjung kelar, akhirnya kami tiba di sebuah Negeri kecil bersamaan
dengan sepertiga malam terakhir.
Siapa sangka, pukul empat pagi, sudah ada yang menyambut kedatangan kami, menyiapkan tempat istirahat, menyediakan teh, dan menjamu kami selayaknya saudara jauh yang lama tak jumpa. Saya leyah-leyeh sambil menunggu Adzan Shubuh. Sebagian dari kami melanjutkan tidur, beberapa yang lainnya memberanikan diri untuk mandi pagi.
Hari
semakin siang. Murid-murid mulai berdatangan. Tangan-tangan kecil beruluran meminta salim, tanda hormat kepada saya, seorang tamu
yang juga masih duduk di dunia pendidikan. Entah haru atau suasana macam
apa yang merasuk ke hati saya. Saya jadi ingat ketika masih di Sekolah
Dasar, sepatu mulai jebol, sudah merengek minta yang baru. Uang jajan
kurang, tidak mau sekolah. Bosan di rumah, minta ikut kursus atau les
privat. Sementara mereka semua, sungguh jauh dari hal itu. Seadanya,
begitu sederhana.
Dan
kadang, kesederhanaan lah yang mampu menyentil sifat-sifat arogan
manusia. Sederhana itu murni. Tidak dibuat-buat. Sama seperti perasaan,
tidak ada yang mau 'kan, dengan perasaan yang dibuat-buat?
Usai
sarapan, kami diundang oleh Pak Sudirman, selaku Kepala Sekolah dari
SDN Banyuasih 3, tempat dimana kami akan menghabiskan waktu bersama
siswanya seharian ini hingga esok hari. Beliau bercerita, di SD ini
hanya ada tiga orang PNS, empat orang honorer dan satu orang dari
relawan Sekolah Guru Indonesia
Dompet Dhuafa. Keadaan sekolah juga begitu memprihatinkan. Bayangkan,
satu ruangan dibagi menjadi dua kelas, itupun hanya dibatasi sekat
berupa papan. Kelas I digabung dengan kelas II, begitu seterusnya. Untuk
ruang guru pun dibagi dengan perpustakaan, ruang tamu dan gudang.
SDN Banyuasih 3 Pandeglang, Banten |
Iya, satu ruangan ada dua kelas. |
Dengan situasi belajar-mengajar yang sangat tidak kondusif, Pak Sudirman, Guru-guru dan murid tetap semangat menjalaninya. Bahkan setiap tahunnya sekolah ini melahirkan juara-juara atletik tingkat provinsi, nasional hingga ASEAN. Namun sayang, prestasi-prestasi tersebut tidak mampu membawa mereka ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Saya sempat nyeletuk ke siswa kelas enam, "Habis ini mau lanjut ke SMP mana?" namun tak satu pun dari mereka yang menjawab. Hanya senyum terpaksa yang menghiasi bibir mungil mereka. Ditambah kilatan mata yang terlihat begitu pasrah. Saya sungguh merasa bersalah.
Rangkaian acara dimulai dengan upacara penyambutan. Nggak nyangka lho, kami disambut pakai upacara segala. Macam pejabat gitu. Selanjutnya perkenalan profil dari masing-masing relawan yang sebagian besar berprofesi sebagai blogger dan fotografer ini. Beberapa teman-teman dari Dompet Dhuafa juga ikut meramaikan.
Selanjutnya, kami bikin games, pertanyaan-pertanyaan sederhana siapa yang mau jadi presiden, siapa yang mau kuliah, siapa yang mau jalan-jalan keliling dunia. Ternyata, masih banyak dari mereka yang punya cita-cita mulia seperti jadi dokter, ustadz, guru, tentara, dan banyak lagi. Tak lupa juga melakukan senam otak yang benar-benar bikin pusing, dan bagi-bagi buku dari Asia Foundation buat adik-adik.
Matahari yang terasa semakin menyengat tak membuat semangat anak didik di SDN Banyuasih 3 ini luntur. Malah kakak relawan yang lebih dulu mengeluh kepanasan. Setelah upacara dibubarkan, kami yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok, akhirnya masuk ke masing-masing kelas untuk membantu adik-adik membuat prakarya yang nantinya akan dipajang menghiasi dinding kelas. Hiasannya bermacam-macam, ada yang membentuk pulau Indonesia, ada yang membuat laut negeri ini, profesi dan cita-cita, hingga yang umum seperti kebun binatang dan ladang.
Selepas dzuhur, kami istirahat. Di kelas enam tempat saya ditugaskan, tanpa sengaja salah satu dari kami menemukan sebuah tampah yang sengaja disembunyikan di kolong meja belajar. Tampah tersebut berisi gorengan yang belum laku dijual.
"Ini punya siapa?" Tanya Mas Angger kaget. Seorang murid perempuan tersenyum malu. Sambil menjelaskan harga gorengan tersebut limaratus rupiah. Setiap hari ia membawanya ke sekolah untuk dijual ke teman-teman. Rasanya seperti melihat langsung serial Keluarga Cemara, saat si Euis berjualan Opak di Sekolahnya.
Oh, iya. Kami tidak melewatkan acara makan bersama. Masing-masing murid diwajibkan membawa makanan dari rumah. Paling banyak dari mereka membawa nasi dan mie, serta ikan goreng. Ada juga yang tidak bawa, entah memang tidak ada makan di rumah atau lupa membawanya. Keterbatasan lorong sekolah tidak menjadi penghambat aktivitas makan bersama ini.
Adik-adik di SDN Banyuasih 3 ini begitu senang difoto. Senyum mereka menunjukan ketulusan, mata mereka memancarkan harapan. Hanya kita yang dapat menyulut asa mereka, membantu mewujudkan harapannya. Mengutip twit dari Mas Aan, seorang rekan relawan, "Berhenti mengutuk kegelapan. Nyalakan lilin, sekarang!"
*foto: @adhimagnifico, @harrismaul, @aansmile27, @citno, @intanintuntun
thanks to: Sekolah Guru Indonesia, Dompet Dhuafa, Relawan Komunitas Filantropi Pendidikan
Cerita lainnya:
- Sepucuk Surat dari Anak SD di Pelosok Negeri
- Menyulut Asa, dari Kami untuk Mereka
- Melawan Keterbatasan dengan Secercah Harapan
Selanjutnya, kami bikin games, pertanyaan-pertanyaan sederhana siapa yang mau jadi presiden, siapa yang mau kuliah, siapa yang mau jalan-jalan keliling dunia. Ternyata, masih banyak dari mereka yang punya cita-cita mulia seperti jadi dokter, ustadz, guru, tentara, dan banyak lagi. Tak lupa juga melakukan senam otak yang benar-benar bikin pusing, dan bagi-bagi buku dari Asia Foundation buat adik-adik.
Matahari yang terasa semakin menyengat tak membuat semangat anak didik di SDN Banyuasih 3 ini luntur. Malah kakak relawan yang lebih dulu mengeluh kepanasan. Setelah upacara dibubarkan, kami yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok, akhirnya masuk ke masing-masing kelas untuk membantu adik-adik membuat prakarya yang nantinya akan dipajang menghiasi dinding kelas. Hiasannya bermacam-macam, ada yang membentuk pulau Indonesia, ada yang membuat laut negeri ini, profesi dan cita-cita, hingga yang umum seperti kebun binatang dan ladang.
Membuat Prakarya |
Ini hasilnyaaaa :) |
Selepas dzuhur, kami istirahat. Di kelas enam tempat saya ditugaskan, tanpa sengaja salah satu dari kami menemukan sebuah tampah yang sengaja disembunyikan di kolong meja belajar. Tampah tersebut berisi gorengan yang belum laku dijual.
"Ini punya siapa?" Tanya Mas Angger kaget. Seorang murid perempuan tersenyum malu. Sambil menjelaskan harga gorengan tersebut limaratus rupiah. Setiap hari ia membawanya ke sekolah untuk dijual ke teman-teman. Rasanya seperti melihat langsung serial Keluarga Cemara, saat si Euis berjualan Opak di Sekolahnya.
Oh, iya. Kami tidak melewatkan acara makan bersama. Masing-masing murid diwajibkan membawa makanan dari rumah. Paling banyak dari mereka membawa nasi dan mie, serta ikan goreng. Ada juga yang tidak bawa, entah memang tidak ada makan di rumah atau lupa membawanya. Keterbatasan lorong sekolah tidak menjadi penghambat aktivitas makan bersama ini.
Makan Bareng |
Adik-adik di SDN Banyuasih 3 ini begitu senang difoto. Senyum mereka menunjukan ketulusan, mata mereka memancarkan harapan. Hanya kita yang dapat menyulut asa mereka, membantu mewujudkan harapannya. Mengutip twit dari Mas Aan, seorang rekan relawan, "Berhenti mengutuk kegelapan. Nyalakan lilin, sekarang!"
thanks to: Sekolah Guru Indonesia, Dompet Dhuafa, Relawan Komunitas Filantropi Pendidikan
Cerita lainnya:
- Sepucuk Surat dari Anak SD di Pelosok Negeri
- Menyulut Asa, dari Kami untuk Mereka
- Melawan Keterbatasan dengan Secercah Harapan
Ah, saya bingung mau komentar apa. Saya cuma bisa mendoakan adik-adik SDN Banyuasih 3 ini memperoleh kehidupan yang lebih baik di masa dewasanya kelak. Juga untuk para pengajar SDN Banyuasih 3 agar diberi balasan yang setimpal atas jasa-jasa yang mereka berikan pada adik-adik ini. Aamiin.
ReplyDeleteaamiiiiiin :')
Deletesekolahnya udah bagus, prestasinya juga sesuai, semangt adik2....
ReplyDeletejadi inget sekolah adalah amanah dan harapan orangtua agar anaknya jadi lebih baik dari orang tua... semoga adik" ini teguh mengemban amanh orangtuanya y mbak mantap dah para volunter ini ^-^.9
ReplyDeletejogja bikin juga dong, mz...
DeleteKak .. aku ngak mengutuk kegelapan, tapi aku suka gelap2an coz bisa tidur nyenyak #plak
ReplyDeletekaaaaaak -_____-
Deletesedih juga bacanya, diluar sana masih banyak orang-orang yang lebih sulit dari kita, tapi meskipun mereka serba sederhana, mereka tidak malas belajar, malah mereka terlihat sangat semangat..
ReplyDelete