Giraffe Journey 2; Kereta, Kuliner dan Keraton.

Bermula dari keisengan saya dengan nyeletuk, "Pengen ke Cirebon, ih. One day trip aja. Naek kereta, jalan-jalan ke keraton, kulineran, terus...."

"Hayuk!" Potong Asti cepat. Dan kebetulan kereta ke Cirebon dari Jakarta lumayan banyak. Maka, sepakatlah duo rumpi ini halan-halan ke Cirebon pada hari Minggu tanpa lupa mengajak boneka kesayangannya.

Kereta yang saya pesan keberangkatannya pukul enam pagi. Saya tiba di Stasiun Gambir setengah jam sebelumnya. Itu pun bela-belain naik taksi yang tarifnya lebih mahal dari tiket kereta :( Kenapa saya naik taksi? Sebenarnya ada bus yang lewat pukul lima pagi di tol timur. Baru saja saya meletakkan motor di penitipan, eh busnya sudah jalan dan luput dari pandangan. Ya sudahlah, itung-itung ngerasain jadi borju.

Sementara Asti, dia malah leyeh-leyeh dan baru berangkat dari rumahnya di Rawamangun ketika saya sudah tiba di Stasiun Gambir. Alhasil dia sambung-menyambung dengan ojek dan lari-lari sepanjang stasiun.

Akhir-akhir ini saya mulai jadi pribadi yang 'kepepet' tiap naik kereta. Waktu mau ke Merbabu, mau ke Lawu, dan ke Cirebon ini. Saya heran, kenapa kereta jarak jauh selalu tepat waktu, padahal kereta lokal hampir selalu ngaret.

di kereta

Selama di Kereta, kami berdua bukannya melanjutkan tidur malah terus ngerumpi dan haha-hihi. Padahal kami pun belum tahu akan kemana nanti ketika tiba di Cirebon. Kami jalan tanpa itinerary dan percaya semua akan baik-baik saja. Saya terus bertanya kepada teman-teman asli Cirebon tentang, 'enaknya kemana aja' dan Asti terus-terusan gugling dengan gadget barunya. ihiiiiy~

Tanpa rencana, ternyata Kunthi juga sedang di Cirebon! Ia soulmate-nya Asti yang kebetulan sedang pulang kampung menjenguk neneknya. Jadilah perjalanan kami aman dengan seorang tourguide gadungan ini.

Perjalanan St. Gambir - St. Cirebon Kejaksan memakan waktu tiga jam-an. Kami tiba di sana ketika matahari belum meninggi, masih pukul setengah sembilan, dan saya sudah mulas akibat makan pisang kepagian.

Say, "Yeeeaaaah!!!"

"B1304" - Platnya Keren.

Keluar stasiun, kami tak segera menyewa becak. Kami masih jalan-jalan sotoy di sekeliling stasiun. Sampai akhirnya masuk ke dalam Indomaret karena merasa kepanasan dan kehausan. Ujung-ujungnya malah beli teh kotak ._.

"Alamat nenek gue di Cangking 1. Naik becak aja bayar limaribu." Ujar Kunthi via chat.

"Buset. Si Kunthi kebangetan abang becak ngangkut kita berdua masa cuma dibayar goceng!" Asti sewot.

"Lah, kalo di Solo sih emang segitu, Kak. Gue nggak tau kalo disini berapa." Sahutku kemudian. Akhirnya kami menghampiri seorang bapak yang sedang santai di becaknya dan sepakat dengan harga delapan ribu rupiah. 

Antara Becak dan Teh Kotak

Sesampainya di rumah Nenek Kunthi, saya segera numpang pup ke belakang. Beristirahat sebentar dan menetapkan pilihan pertama; Makan Nasi Jamblang.

Awalnya, Asti keukeuh kepingin Nasi Jamblang yang di Pelabuhan, katanya sih rekomendasi dari teman. Sementara saya maunya Nasi Jamblang Mang Dul yang tenar se-antero Cirebon éta. Namun semua kemauan mendadak sirna oleh usul Nenek Kunthi, "Ngapain jauh-jauh. Noh, di sebelah sono ada Nasi Jamblang Ibu Nur. Paling enak se-kampung."

Lokasi Nasi Jamblang Ibu Nur ternyata memang tidak terlalu jauh dari rumah Neneknya Kunthi. Kami hanya berjalan kaki kurang dari sepuluh menit untuk segera tiba di sana. 

 

Nasi Jamblang Ibu Nur

Masing-masing dari kami memesan nasi satu porsi saja. Namun untuk lauk, saya hanya mengambil sate udang, kentang dan pepes jamur. Sedangkan Asti dan Kunthi kalap. Mereka mengambil sate udang, sate telur puyuh, cumi hitam, pepes, perkedel dan ampas kecap.

"Cobain ampas kecapnya deh. Sisa-sisa bikin kecap gitu. Enak tau." Ujar Kunthi menyihir kami berdua. Kami yang tak tahu apa-apa tentang ampas kecap seketika turut mencomotnya. Namun ketika di-icip. Huweeek. Rasanya sepeeeet. Enakan oncom!! :((

ini namanya ampas kecap (sumber : kitabmasakan.com)

Setelah puas dan kenyang dengan nasi jamblang, sebenarnya kami juga penasaran dengan empal gentong dan nasi lengko. Tapi, yang namanya manusia kan nggak boleh berlebihan, jadi kita jalan-jalan dulu aja biar cepet lapar lagi. Dan kami menetapkan pilihan destinasi selanjutnya; Keraton Kasepuhan Cirebon.

Untuk mencapai Keraton Kasepuhan, kami menaiki angkot nomor... (hmmm... lupa.) *garuk-garuk kepala* Kebetulan kami mendapat supir angkot yang baik hati sehingga mengantar kami sampai tempat tujuan. Nah, kami tiba disana ketika adzan dzuhur berkumandang. Asti dan Kunthi shalat di Masjid, sementara saya yang sedang berhalangan hanya bisa mengamati sekeliling.

Menurut cerita-cerita di google, Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon ini dikenal dengan sebutan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid ini merupakan yang tertua di Cirebon, sekaligus sebagai salah satu masjid tertua di tanah Jawa dan Indonesia. Nama masjid ini diambil dari kata "sang" yang bermakna keagungan, "cipta" yang berarti dibangun, dan "rasa" yang berarti digunakan.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Sepanjang pintu masuk masjid, nampak beberapa pengemis duduk di emperan. Ada juga beberapa nenek-nenek yang berjualan. Kawasan Keraton ini terlihat agak mistis bagi saya, ditambah lagi katanya ada makam Sunan Gunung Jati yang saya sendiri tidak tahu dimana tempatnya. Hehehe. Kayaknya sih banyak pengunjung yang ziarah sekaligus anak-anak study tour yang berkunjung kesana. Karena siang itu kawasan keraton terlihat sangat ramai.

Selepas shalat, kami tak melewatkan kesempatan 'menjejak' peninggalan para wali di keraton kasepuhan. Kebetulan semalam sebelumnya baru saja diadakan royal wedding, pernikahan anak kedua Sultan Kasepuhan Cirebon Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat dan Permaisuri RA Isye Natadiningrat, yaitu Ratu Raja Fatimah dengan mempelai pria bernama M. Akbar. 

Tenda-tenda belum dibongkar, janur kuning juga belum mengering. Saya mulai membayangkan apa rasanya ya, nikahan di keraton kayak gini. heuheuheu :3 

Tiket masuk Keraton Kasepuhan Cirebon ini seharga Rp 8.000,- Disediakan juga jasa tour guide yang siap mengantar dan menjelaskan sejarah bangunan atau benda-benda di museum. Tapi ketiga makhluk random ini lebih tertarik mengacak-acak keraton daripada mengetahui sejarahnya :|

Nenek Penjual Keripik

Keraton Kasepuhan Cirebon

di halaman keraton

mulai menggila

papan penunjuk arah

Kereta Singa Barong

Kami kelelahan keliling-keliling dan foto-foto. Kemudian duduk di tengah taman sambil mendengar orang di sebelah kami sedang bertanya-tanya pada guide yang disewanya.

"Jadi, patung singa ini adalah sejarah dari tahun blablabla..." Jelas guide.

"Terus kok ada boneka Jerapahnya ya, Pak?" tanya pengunjung kebingungan sambil menunjuk boneka jerapah di atas singa. Semua pengunjung menoleh ke saya dan Asti. Saat itu Asti sedang jeprat-jepret boneka Jerapah di patung singa, sementara saya sibuk nyempilin domo ke giginya patung singa :|

ini lucu kan .______.

Seketika bapak guide kehilangan wibawanya. Patung bersejarah telah dibuat objek foto iseng oleh dua anak kurang kerjaan. Dan Kunthi, ia hanya bisa tepok jidat melihat kelakuan kedua temannya.

Merasa malu, kami segera cabut dari keraton. wkwkwk

Di luar, kami menemukan tukang es kelapa yang juga jualan es jeruk. Cocok untuk pelepas dahaga karena Cirebon yang panas juga meredakan rasa malu di dalam keraton tadi.

"Mang, es kelapa tiga."

"Bungkus atau minum sini, Neng?" Tanyanya memastikan.

"Bungkus deh. Jualan es jeruk juga ya, Mang? Dicampur ajah, es kelapa campur jeruk biar seger." 

"Lah? Serius, neng? Nggak akan mabok nantinya?" Mamang Kelapa heran. Saya cekikikan, sementara Kunthi terus berusaha meyakinkan kalau kelapa dicampur jeruk nggak akan bikin mabok. Akhirnya Mamang Kelapa luluh dan membuatkan minuman sesuai yang kami pesan.

Sambil melahap es kelapa jeruk yang segernya maha-dasyat ditengah Cirebon yang panas, kami merundingkan akan kemana lagi. Dan jadilah destinasi selanjutnya jatuh kepada; Keraton Kanoman.

Menuju kesana, kami mengandalkan tukang becak. Udah gitu kami bertiga yang badannya buntal-buntal ini berjejalan masuk ke dalam satu becak dengan saya sebagai tumbalnya! Iyah, mana mungkin muat satu becak bertiga. Mau nggak mau ada yang harus dipangku, dan saya yang dipangku :(

Udah gitu kami harus melewati pasar dan jalanan yang macet terus sepanjang masa, mamang tukang becaknya kasian, sampe semper nggenjot becak berpenumpang dengan total bobot hampir 200 kilo. Terus orang-orang pada ngeliatin saya gitu karena saya dipangku dan duo buntal di belakang saya ketutupan. 

"Udah, Neng. Jalan aja. Kasian itu tukang becaknya. Pada gak sadar diri ya badan gede-gede gitu naik becak satu bertiga." Ujar pejalan kaki. Asti dan Kunthi cekikikan. Ahhh, saya malu. Nggak mau ke Cirebon lagi :(

Tapi, setibanya di Keraton Kanoman, urat malu saya putus lagi :(((((

Halaman Keraton Kanoman

saya banyak tingkah --,

Bagian Keraton Kanoman

Tak banyak yang kami lakukan disini. Selain keratonnya tidak terlalu luas, kami juga kesorean dan masih mau mampir ke dua keraton lagi. Yaitu Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

Dari Keraton Kanoman, kami hanya berjalan kaki sebentar menuju Keraton Kacirebonan. Saat itu keraton sedang dirapikan untuk menyambut tamu mahasiswa dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung yang akan berkunjung kesana keesokan harinya. Aula juga menjadi tertutup sehingga kami tak leluasa untuk masuk. 

Kunthi si Titisan Putri Cirebon

Teras Keraton

Hari semakin sore, saya pun semakin mengantuk. Akhirnya kami tidak melanjutkan perjalanan ke Keraton Kaprabonan. Sempat terbersit rasa ingin berkunjung ke Gua Sunyaragi, yang menurut masyarakat setempat, situs guanya kece dan nggak begitu jauh. Namun saya ragu, Asti ragu, Kunthi yang sering ke Cirebon pun meragu. Jadilah kami kembali ke Jalan Cangking dan pulang ke rumah Nenek Kunthi.

"Jajan Es Campur Bawon, yuk!" Ujar Kunthi. Kami mengiyakan. Udah tau belum Es Campur Bawon itu apa? Es campur pake duren!! Penasaran? Saya pernah bahas disini >>> Es Campur Bawon.

Setelah mabok es campur, saya numpang tidur di rumah Nenek Kunthi sampai hampir Maghrib. Kemudian terburu-buru ke stasiun karena harus segera pulang. Kereta pulangnya setengah tujuh malam. Kami melewatkan momen pergantian senja di alun-alun Masjid Raya sambil main layangan. Padahal sore-sore gitu Cirebon udah mulai adem. Terus juga lupa belum makan empal gentong sama nasi lengko :(

Next time ke Cirebon lagi, ah. Mau mampir Gua Sunyaragi, makan empal gentong sama nasi lengko. Hmmm, sekalian mampir ke kampung halaman kamu, boleh? :3

See You!!!

Sampai jumpa di Next Giraffe Journey!