Ceita Sebelumnya >>> Klik disini :)
Aku tiba di pelabuhan Ketapang pukul sebelas malam. Segera ku telefon saudaraku di Banyuwangi. Setelah satu jam menunggu, tak ada satupun yang bisa menjemput. Akhirnya ku putuskan untuk segera ke rumahnya dengan menggunakan bus.
Aku turun di Benculuk. Dari sana aku tak tau harus kemana lagi. Ku putuskan untuk menunggu di Alfamart yang kebetulan buka 24 jam. Jarum jam telah menunjukkan angka satu. Situasi jalan sudah sepi dan menyeramkan. Disana hanya ada supir truk dan preman pasar yang memandangiku aneh karena mondar-mandir dengan carrier di punggung. Sejenak aku merasa beruntung memiliki wajah gosong seperti ini karena terlihat menyeramkan. Tak ada satupun dari mereka yang berani menggodaku.
Setengah dua pagi, akhirnya aku di jemput. Tepat jam dua aku beranjak tidur.
Senin, 19 Agustus 2013
Aku bangun bertepatan dengan adzan shubuh. Badanku semakin terasa tak enak. Seharian di Banyuwangi hanya ku habiskan dengan makan, tidur dan jalan-jalan ke rumah saudara yang lain. Aku bosan.
Beranjak malam hari, ku lihat bulan purnama yang begitu terang. Ku habiskan malam di pinggir sawah milik pakdhe sambil bermain petasan dengan bocah-bocah penghuni kampung. Ku layangkan pandangan ke langit. Karena sejauh apapun jarak kita, selama masih bisa melihat bulan yang sama, aku akan selalu merasa dekat.
Selasa, 20 Agustus 2013
Sama seperti sebelumnya, aku bangun bertepatan dengan adzan shubuh. Kemudian segera mandi dan berkemas karena akan melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan kereta Mutiara Timur Siang pukul delapan. Aku diantar pakdhe menuju stasiun Banyuwangi Baru pukul enam pagi.
Sungguh tak enak rasanya dibonceng naik motor dengan menggendong carrier selama satu setengah jam. Terlebih lagi aku mulai moncor-moncor. Itulah penyakitku yang paling sering kambuh jika masuk angin dan asal makan.
Kereta mulai beranjak meninggalkan stasiun Banyuwangi baru pukul setengah sembilan. Jantungku terasa berdesir mengamati pemandangan di luar jendela. Aku semakin menjauh dari timur. Aku terus menuju barat walaupun aku sendiri tak tau kapan bisa tiba di rumah.
Ku habiskan waktuku selama enam jam di kereta dengan tidur dan memainkan ponsel. Mas Bagus terus menanyakan keberadaanku. Aku sendiri bingung mau langsung melanjutkan perjalanan ke Kediri atau menghabiskan satu malam di Surabaya. Aku terus meminta maaf tak bisa mampir ke kotanya, Ia pun meminta maaf
karena tak bisa menemuiku di stasiun. Saat itu ia masih dalam jam kerja
dan baru pulang pukul lima sore. Saib juga mulai berisik menanyakan
keberadaanku. Begitu pula Mas Ardi dan Mbak Niza. Semua berebutan
menawarkan jemputan.
Pukul setengah tiga, kakiku melangkah perlahan di Stasiun Gubeng. Ku hirup aroma Surabaya yang panas dan menyengat. Dalam. Ku pejamkan mata dan badanku bersandar pada salah satu dindingnya. Baru kali ini, aku merasa bingung dan tak tau harus kemana. Ku seret langkahku menuju loket.
"Mbak, Kereta jurusan Kediri?" Tanyaku pelan.
"Kereta Rapidoho terakhir jam lima sore, Mbak." Jawab petugasnya.
"Satu, mbak." Ujarku ragu.
"Buat besok!!" Sambungku cepat. Mbak Loket bingung menatapku.
"Buat besok pagi, kereta pertama tujuan kediri." Jelasku perlahan. Si Mbak Loket segera mencetak tiket dan aku menyerahkan uang lima ribuan. Aku bengong. Surabaya kan gak ada di dalam jadwal jalan-jalan sembilan belas tahun! Harusnya kan sore ini juga ke Kediri! Kenapa harus semalam di Surabaya sih!!!
"Mas, Kereta Kediri adanya besok pagi. Aku harus kemana lagi ini?" Segera ku kirim ketikan tersebut ke Line Mas Bagus.
Maaf aku berdusta
Meninggalkan kotamu saja aku tak kuasa
Aku...
Ah sudahlah
Semoga kau datang menjemputku
Seorang gadis kecil dengan tas besar di punggung
Duduk termenung
Bingung
Di Sudut Stasiun, Surabaya - 20 Agustus 2013
Henfonku berdering.
"Agit dimana?" Suara Mbak Niza terdengar panik di kejauhan.
"Hehehe.. Udah Mbak Niza tenang aja yaaa.. Aku mau keliling Surabaya dulu." Jawabku cengengesan.
"Lhoooo jangaaan. Nanti kamu nyasar. Tak jemput aja wes. Posisimu dimana?" Tanyanya lagi. Aku masih ketawa-ketiwi.
"Santai aja, Mbak.. Nanti malem ngopi yaaa.."
"Ooooohh.. Dijemput Mas Bagus ta? Hmmmmmm...." Aku hanya menjawab dengan hehehe. Telefon diputus.
Aku segera mencari warung untuk mengisi perut dan menyeruput es teh manis. Mungkin diujung perbatasan sana, di Tanjung Perak tempat ia
bekerja, Mas Bagus sedang sumringah dan senyum penuh bahagia. Atau
bahkan sampai loncat-loncat sangking senangnya. *dikeplak* Ia terus memperingatkanku agar tak main jauh-jauh. Aku hanya menjawab, " Kalo aku nyasar, mas jemput ya..."
Ku putuskan naik angkot asal-asalan. Kemudian setiap orang-orang turun, aku ikut turun. Mengunjungi taman, pusat kota, mall, kerumunan pinggir jalan dan lain-lain. Dua jam ku habiskan untuk keliling Surabaya. Henfonku mulai menunjukkan tanda-tanda kematiannya. Mas Bagus kelabakan mencariku. Rupanya ia telah keluar kantor dan hendak menjemputku.
Aku segera kembali ke Stasiun Gubeng. Namun sialnya angkot yang ku naikki tak lewat sana. Ku telfon Mas Bagus agar menungguku di depan hotel Sahid. Kebetulan saat itu yang terlihat jelas oleh mataku hanya Hotel Sahid. Namun ternyata cukup jauh aku berjalan menuju sana.
Aku menyeberang.
Kini aku tepat di depan hotel Sahid.
Seorang pria berjalan pelan ke arahku.
Aku memincingkan mata.
Kau kah?
Entah memang aku yang rabun senja atau memang sel-sel di otakku yang berhenti bekerja.
Tiba-tiba lagu Padi berjudul Mahadewi mengalun di telingaku
Terpukau aku menatap wajahnya
Aku merasa mengenal dia...
Tapi ada entah dimana
Hanya hatiku mampu menjawabnya
Mahadewi resapkan nilainya
Pencarian ku...
Usai sudah...
"Hai.." Sapaku pelan. Lututku terasa lemas. Kami segera berjabat tangan cukup lama dan terasa jelas terbersit keraguan untuk melepasnya. Ia segera meraih carrierku. Kami berjalan beriringan ke motornya.
"Yang lainnya udah pada istirahat di rumah, Dek Agit masih keliling-keliling aja." Ujarnya sambil tertawa. Aku hanya cengar-cengir.Carrierku diselipkan di bagian depan motor. Ia mempersilakanku naik. Motor melaju perlahan.
Situasi Surabaya senja itu, macet. Layaknya Jakarta pada jam pulang kerja. Namun hanya pada titik-titik tertentu saja. Aku segera dibawa ke rumahnya, berkenalan dengan ibunya kemudian tak lupa numpang mandi. Aku hanya memikirkan satu hal... Ketmau aku nggumun.. Kok iso yo, aku tekan kene.
Setelah mandi dan beres-beres, kami berbincang sebentar di ruang tamu rumahnya. Ia menanyakan akses menuju rumahku. Ku jelaskan perlahan. Baik dengan bus, kereta, sampai pesawat. Aku tak pernah sebesar ini menaruh harapan kepada seseorang. Dan sampai saat ini, aku masih berharap, kamu benar-benar datang.
"Tadi itu, sebenernya udah mau keluar kantor jam tiga. Pas Dek Agit sampe stasiun" Ujarnya tiba-tiba.
"Terus?"
"Kerjaanku udah kelar. Udah mau izin keluar sebentar, nengok Dek Agit di Gubeng sebelum lanjut ke Kediri. Eh tapi atasanku malah ngasih kerjaan lagi." Lanjutnya. Aku diam mendengarkan.
"Udah bingung mau ngapain itu tadi. Eh tau-tau Dek Agit bilang kereta ke Kedirinya habis. Alhamdulillaaaaah..." Ku lihat senyumnya yang begitu bahagia. Tatapan matanya yang teduh ku rekam dalam-dalam di ingatan. Semoga kelak aku bisa duduk di kursi ini lagi, mendengarkan ceritamu sepulang bekerja.
Mas Bagus mengajakku makan malam bersama Mas Galih dan Mas Kiki. Kebetulan juga ada Listy, teman pendaki juga yang baru turun Semeru. Kami membincangkan banyak hal. Aku masih mengingat setiap detailnya. Namun biar ku simpan sendiri ya :')
Pada sesi ngopi-ngopi, Mbak Niza datang. Aku memesan cokelat panas, padahal saat itu aku juga membawa cokelat instan yang tinggal di seduh. Mas Kiki dan Mas Ais menceritakan kesedihannya ketika mmc videonya hilang. Aku hanya menjawab dalam hati, semoga tulisan di blog ini bisa mengganti mmc video yang hilang. Walaupun masih banyak kekurangan dalam tiap detailnya. Kenangan kita kan beda-beda.
"Ngantuk ta, Git?" Tanya Mas Bagus membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng perlahan. Bagaimana bisa mengantuk bila rasa ini semakin menusuk.
"Capek, Mas.." Jawabku. Pukul sebelas malam, ia mengantarku pulang ke rumah Mbak Niza. Aku menginap disana, sementara carrierku ditinggal dirumah Mas Bagus. Esok pagi-pagi sekali ia akan mengantarku ke stasiun. Kereta tujuan Kediri berangkat pukul setengah lima pagi.
Rabu, 21 Agustus 2013
Aku bangun pukul tiga pagi. Ku lihat Mbak Niza masih terlelap. Ku sempatkan mandi sebentar dan segera ku hubungi Mas Bagus. Rupanya ia juga telah bangun dan hendak bersiap-siap menjemputku. Pukul empat kurang sekian, ia menelfonku dan mengatakan bahawa dirinya sudah di depan.
Ku bangunkan Mbak Niza dan berpamitan. Ia juga ikut pulang ke rumahnya. Iya, yang semalam tempatku menginap itu kos-kosannya.
Ku layangkan pandangan ke langit.
Bulan yang tinggal separuh,
Seolah-olah melepas kepergianku.
"Mas ngebut ya, dek.." Ujar Mas Bagus. Aku mengeratkan peganganku di pinggangnya. Terbersit rasa Mak Serrr di jantungku. Aku tak tau harus menyebutnya apa.
Perjalanan menuju stasiun Wonokromo ditempuh kurang dari tiga puluh menit. Kami tak banyak bicara saat itu. Aku pun masih bingung harus berkata apa. Kami hanya duduk di depan stasiun dan ia masih memegangi carrierku. Sampai akhirnya kereta datang dan kami berjalan beriringan ke pintu masuk.
Kami bersalaman dalam diam
Lama
Dan lebih lama dari sebelum-sebelumnya
Mataku terasa panas melihat matanya yang biasanya teduh, kali ini memancarkan kesedihan.
Tuhan, Aku tak pernah merasakan perpisahan seberat ini.
"Ati-ati ya dek..." Ujarnya pelan dan menyuruhku segera masuk.
"Carrierku mas. Hehe" Celetukku sambil melirik carrierku yang di gendongnya. Ia cengar-cengir sambil menyerahkan carrierku.
Aku masuk dan menunggu kereta siap.
Ia masih menunggu di luar dan tak mau beranjak sebelum kereta jalan.
Sesekali ku tolehkan pandangan, ia masih setia berdiri disana. Sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Segera ku usap agar tak ketahuan orang di sebelahku.
"Dek, ini buat bekal di kereta." Tiba-tiba Mas Bagus menyerahkan bungkusan plastik berisi air mineral, dan minuman lainnya.
"Mas..."
Belum sempat aku berkata-kata,
ia sudah menghilang.
Menuju Kediri
Perjalanan ke Kediri hanya memakan waktu dua jam. Aku menghabiskannya dengan tidur. Begitu pula ketika sampai di Kediri. Niatanku untuk mengunjungi saudara disana dan berkeliling kota tiba-tiba menguap. Ku putuskan untuk sarapan Soto Daging. Beberapa menit setelah sarapan, badanku keringat dingin. Aku demam.
Kereta tujuan Semarang ku majukan untuk hari itu juga dengan keberangkatan pukul dua belas siang. Aku tak mau menunggu lama. Aku harus segera sampai di rumah. Ku hubungi teman-teman di Cruiser dan Unyu bahwa aku sakit di perjalanan. Mbak Ang siap menampungku di rumahnya. Mas Bagus dan Ayah memperingatkanku agar menuruti Mbak Ang.
Di Kereta Brantas Tujuan Semarang
Ku sandarkan kepalaku
Lemah
Di bahu jendela
Dengan kening yang menguap
Panas
Di sudut kursi
Merintih sendiri
Ku coba pejamkan mata
Sesak yang kurasa
Sampai semuanya gelap
Dan aku benar-benar terlelap
Agita Violy - Lemah
Brantas, 21 Agustus 2013
Di Semarang
Aku tiba di Semarang Poncol bertepatan dengan adzan Maghrib. Tak lama Mbak Anggarita menjemputku. Ia adalah pembalap rally nasional yang berdomisili di Banyumanik. Beruntung sekali ia mau menampungku. Ia segera mengarahkan mobilnya ke Simpang Lima kemudian berhenti di sebuah kedai sop dan gulai kambing.
Aku makan dengan perlahan. Nampaknya upaya pengurusan badan ke Rinjani dengan target susut delapan kilo ini positif gagal. Di Rinjani saja makanan berlimpah, turun Rinjani makan Ayam Taliwang, Nasi Balap Puyung. Di Bali makan Nasi Rawon. Di Banyuwangi makan masakan rumah. Di Surabaya makan bebek. Di Kediri makan Soto Daging. Sekarang di Semarang makan sup kambing. *elus-elus-perut*
Kebetulan saat itu ada mamanya mbak Ang juga adiknya. Sepertinya mereka baru pulang jalan-jalan. Selama di perjalanan pulang, Mbak Ang menjelaskan tempat-tempat nongkrong di Semarang. Namun aku hanya mendengarnya samar-samar. Aku ketiduran.
Sesampainya di rumah Mbak Ang, aku segera mandi air hangat dan memutuskan untuk tidur setelah sebelumnya ditodong cerita macam-macam dan akhirnya bercerita dari hati ke hati :)
22 Agustus 2013
Aku bangun pukul enam pagi. Kebetulan saat itu aku sedang tidak shalat. Badanku terasa mendingan dari sebelumnya. Mbak Ang mengajakku mencari tiket pulang kemudian jalan-jalan ke Kota Lama Semarang.
Agit item banget ya? Hahahaha :D |
Udah item, gendut, dekil :( |
Kalo kata Om Lopi, Agit men-jelek :( |
Menuju dzuhur kami pulang, kemudian melaksanakan sarapan yang tertunda. Selesai sarapan aku tertidur sampai Ashar. Lalu mandi dan membereskan barang-barang. Aku mendapatkan bis Nusantara tujuan Jakarta pukul tujuh malam. Mbak Ang mengajakku napak tilas dengan menggunakan motornya. Jalan-jalan sore sambil nyari Nasi Gandul dan mimik susu.
Ia membawaku ke universitas tempatnya kuliah dulu. Cantik-cantik gini ternyata dulunya Mbak Ang anak teknik. Ia menunjukkan tempat-tempat dimana ia pacaran dan cabut semasa kuliah. *digetok Mba Ang*
Kami main lupa waktu sampai-samapai adzan Maghrib berkumandang. Sesampainya di rumah, aku segera mengangkut carrierku ke mobil mbak Ang dan berpamitan dengan ibunya juga adiknya. Kami menuju agen bus Nusantara. Mbak Ang memberikanku bekal obat batuk, cokelat, biskuit dan air jeruk untuk di perjalanan.
Setelah foto-foto perpisahan dan menunggu bus cukup lama, akhirnya Mba Ang berpamitan pulang duluan. Aku masuk ke dalam bus dan duduk bersandar jendela. Ku minum obat batuk pemberian Mbak Ang, memberi kabar kepada Mas Bagus dan Ayah Riffat, lalu tertidur sampai Jakarta.
Dan akhirnya, setelah empat belas hari melangkah
Aku merasakan banyak hal
Kebersamaan, kesombongan, kesenangan
Kehilangan, kepayahan, keraguan, kesepian
Sampai melupakan
Melupakan segala sesuatu yang pernah singgah
Membersihkan segala ingatan dan kenangan
Untuk ditempati memori baru
Maaf, bagi yang tersakiti
Bukan maksudku tak peduli
Bukan juga aku bermain hati
Semoga kamu mengerti
Apa yang kurasakan ini
Ayah, Ibu,
Terimakasiih telah menunggu
Cita pulang membawa rindu...
Terimakasih, untuk pembaca setia Rinjani Mountain 2013 - The Series.
Tanpa kalian, page viewer blog ini gak akan tembus sepuluh ribu dalam sebulan :')
Selesai...