Skip to main content

Mimpi dan Impian


Mimpi baik itu datangnya dari Tuhan,
Sementara mimpi buruk datang dari setan.
Sungguh saya tak pernah peduli mimpi itu datang dari mana. Bagi saya, mimpi hanyalah sebuah bunga tidur. Penghias dari segala kegiatan melelahkan nan membosankan yang kita lalui setiap hari. Tidur, bermimpi dan menjadikan mimpi tersebut sebagai sebuah pelajaran, renungan atau penyemangat ketika kita telah bangun. Namun sayang, banyak yang lupa betapa dalamnya makna bangun tidur; bangun untuk hidup yang lebih baik.

Iya, setelah bangun tidur, kamu akan melakukan hal yang itu-itu saja seperti sebelumnya. Tak pernah jauh lebih baik. Bahkan biasanya jauh lebih membosankan. Karena sesungguhnya hari-hari dan tanggal yang paling menarik hanya jatuh pada akhir bulan; ketika gajian.

Apakah tujuan hidup kamu hanya sekedar menunggu gajian?

Untuk urusan bermimpi ketika tidur, saya bukan ahlinya. Mungkin saking lelahnya, saya hanya tertidur lelap, gelap, dan tiba-tiba terbangun ketika hari sudah terang. Iya, mimpi saya hanya gelap dan itu berlangsung setiap hari. Yang saya ingat, beberapa kali mimpi dipatuk ular atau mimpi gigi saya tanggal. Mimpi seperti itu termasuk jenis mimpi yang mana? Baik atau buruk? Dari Tuhan atau setan? Beberapa orang pasti tahu artinya.

Tujuan hidup saya bukan hanya sekedar menunggu gajian. 
Dan impian saya bukanlah menjadi pegawai kantoran.

Banyak hal yang dapat kamu tanam selagi umur masih sedini ini, dan kamu panen ketika tua nanti.
Modal macam apa yang dapat kamu tanam? Segala sesuatunya bukankah butuh uang?
Menanam uang?

Tanamlah impianmu didalam hati dan pikiran. Lalu kamu siram dan beri pupuk dengan segala usaha dan pengalaman yang berkelanjutan. Lakukan terus menerus. Jangan pernah menyerah atau berhenti di tengah jalan. Kamu mau tanamanmu gagal panen?

Saya tahu, banyak dari kamu yang masih saja meremehkan impian orang lain. Sama seperti saya beberapa tahun lalu, saya pernah meremehkan impian orang lain ketika impian saya masih biasa saja dan anak-anak sekali; lulus sekolah, kuliah dan jadi dokter. Mimpi teman saya pada saat itu adalah ke Jepang. Mana bisa ke Jepang tanpa uang? Saya juga bisa ke Jepang ketika sudah jadi dokter. Pikir saya yang saat itu masih duduk di bangku SMP.

Namun nasib berkata lain, impian teman saya terwujud. Ia mendapat program pertukaran pelajar ketika kami sama-sama sedang duduk di bangku SMA, di sekolah yang berbeda. Dan seperti impiannya, ia lolos ke Jepang, tanpa uang, tanpa harus menunggu kuliah bertahun-tahun dan mendapat gelar dokter. Bahkan ia mendapat uang saku untuk hidup di negeri sakura itu selama beberapa bulan.

Saya banyak belajar dari mimpi dan impian.

Sekarang saatnya impian saya yang diremehkan orang, termasuk keluarga sendiri. Entah otak saya yang impulsnya berantakkan atau memang pola pikir kami yang tidak sejalan. Sudah terlalu banyak impian saya yang ditentang oleh Ayah dan Ibu.

"Kamu pikir mudah menjadi seperti itu?"

"Bekerja saja yang benar di kantormu. Kuliah juga yang rajin."

Sebenarnya semua akan menjadi lebih mudah apabila impian saya didukung olehmu, Yah, Bu. Apa salahnya sekedar mendukung atau merestui? Impian pertama saya awalnya adalah kuliah di Solo. Fokus kuliah dengan beasiswa. Namun yang terjadi sekarang saya harus kuliah sambil bekerja, sambil menyempatkan diri untuk jalan-jalan ke luar kota setiap bulan, atau sekedar menghilang dari peradaban berhari-hari dan kembali menjadi manusia normal. Kemudian menumpahkan hasil jalan-jalan dan renungannya di blog ini... bermimpi suatu saat ada penerbit yang tertarik. who knows? 

Letakkanlah impianmu setinggi langit.

Tak usah jauh-jauh. Cukup ditanam di hati dan pikiran saja.

Agar kau tak sakit ketika impianmu tiba-tiba jatuh terhempas ke bumi.

Banyak yang berbeda setelah saya turun dari titik tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru. Entah sugesti atau apa, Semeru mengubah segalanya.

Saya yang tadinya seorang pemikir akut ketika 'gagal' dalam suatu hal, sekarang bisa lebih santai.
Saya yang tadinya seorang yang ketergantungan terhadap kabar pacar, sekarang sudah bisa menjalani hidup sendiri dan jauh lebih baik.
Saya yang tadinya selalu mengeluhkan tugas-tugas kampus dan kerjaan, sekarang hanya diam dan bergerak bagaimana kerjaan bisa lekas rampung-- walaupun masih suka emosian dan diselingi misuh.
Saya yang tadinya selalu sedih dan depresi ketika tulisan di blog ini menerima kritik pedas dari pembaca, sekarang hanya bergumam, "Perbandingan pengkritik dengan pendukung blog ini masih satu banding sekian. Lagipula, rata-rata orang yang suka mengkritik adalah orang yang tidak punya karya sama sekali. Mereka yang punya karya akan jauh lebih menghargai dan memberi saran bijak, bukan kritik."

Dan saya, yang tadinya punya impian biasa saja, kini mulai berani bermimpi yang jauh. Sejauh jarak dari desa terakhir menuju puncak, lalu menembus awan. Tak peduli dengan ejekan dan remehan yang terlontarkan. Justru ejekan dan remehan itulah yang membuat saya lebih kuat dari sebelumnya. Sama seperti ketika semua orang tertawa sambil  meremehkan saya yang berpamitan pergi Mahameru. Sudah terbukti, kan, siapa yang akhirnya tertawa belakangan?

Tak banyak yang dapat saya lakukan saat ini, selain menanam impian dan menyuburkannya sendirian.

Bermimpilah, dan bangun untuk hidup yang lebih baik.

Jangan pernah takut melangkahkan kaki untuk memulai sebuah impian. Karena sebuah hasil yang besar selalu dimulai dari langkah awal.

Hadapilah, ujian hidupmu tak seberat berjalan di trek pasir Mahameru.






Agita Violy,
Enam puluh lima hari menuju 19 tahun.

Comments

  1. waaaah , enampuluhlima hari lagi
    tnggal semblan agustus bukan ? abis ngitung tanggalan hwehehe :3
    semangat bermimpi yaa hehe

    ReplyDelete
  2. Gantungkan cita2 setinggi mungkin sambil terus berusaha meraihnya.

    Jangan lupa ikutan Give Away Niken Kusumowardhani.
    http://forgiveaway.blogspot.com/2013/06/give-away-menyemai-cinta.html

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kebodohan di Situ Gunung

Posisi yang sudah di Bogor usai berbagi inspirasi ke adik-adik Smart Ekselensia tidak membuat saya dan Hanis langsung pulang ke Bekasi begitu saja. Kami lantas melanjutkan perjalanan ke Sukabumi dengan menggunakan Kereta Pangrango yang kebetulan hanya seharga duapuluh lima ribu rupiah. Pemandangan di sepanjang rel yang baru aktif kembali ini menyuguhkan hamparan sawah dan ladang hijau. Arus sungai yang amat deras juga menemani perjalanan yang memakan waktu dua jam ini.

5 Cm Vs Romeo+Rinjani

5 Cm Vs Romeo+Rinjani Ini kok judulnya malah jadi kayak rumus, ya? Hehehe. Jadi gini, beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film karya Fajar Bustomi, judulnya Romeo+Rinjani. Film yang posternya menampilkan pendaki perempuan dengan pakaian minim tersebut sukses menjadi bahan ejekan para pendaki yang berseliweran di dunia maya. Banyak yang bilang, film ini akan menjadi the next 5 cm yang mengakibatkan membludaknya gunung Rinjani setelah film tersebut ditayangkan. Yah, kita lihat saja nanti seberapa besar efek dari film tersebut di dunia pariwisata, khususnya pendakian. Kembali ke film, bukan maksudnya membanding-bandingkan. Tapi kok ya rasanya ada yang ngeganjel kalau film ini nggak di- share ke temen-temen. Berikut pendapat yang saya rasakan ketika menonton dua film tersebut;

Menyusuri Jejak Islam di Kampung Kauman

Kampung Kauman Free Walking Tour Namanya Kauman. Sebuah kampung yang seringkali dilupakan orang-orang ketika menyusuri Malioboro sampai ujung jalan dan kemudian terhipnotis dengan gagahnya pohon beringin di alun-alun serta suasana nyaman di dalam keraton. Kali ini saya lebih mendahulukan untuk bercerita tentang Kampung Kauman daripada sejarah Jogjakarta, keraton, benteng dan lain-lainnya. Sebuah kesempatan yang langka untuk bisa menjelajahi kampung Kauman bersama orang-orang baru lagi. Adalah Edu Hostel Jogjakarta yang memiliki program Walking Tour Kauman tiap hari Jum’at dan Sabtu. Pada hari Jum’at, biasanya Walking Tour ini akan dibawakan dengan Bahasa Inggris. Namun sayangnya, peserta yang berjumlah lebih dari 15 orang pada hari Jum’at itu tak ada satupun yang berasal dari luar negeri sehingga sepakatlah kami untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.